Tugas dan Fungsi Dewan Keamanan PBB Kendala Reformasi Dewan Keamanan PBB

internasional yang membawa dampak pada masalah kemanusiaan akibat digunakannya hak veto. 30 1. Menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai, yaitu dengan cara yang didasarkan atas; persetujuan sukarela atau paksaan hukum dalam menjalankan persetujuan. Argumentasi lain adalah bahwa hak veto merupakan warisan Perang Dunia II yang memberikan keistimewaan kepada negara-negara kuat sudah tidak relevan lagi diterapkan pada masa globalisasi dan letak peta politik internasional sudah berubah. Karenanya PBB perlu di restrukturisasi atau di reformasi, terutama organ DK, agar dapat mengakomodasi perkembangan internasional, khususnya negara- negara dari dunia ketiga.Untuk keperluan tersebut, Pasal 108 dan 109 Piagam PBB mengatur tentang perubahan terhadap ketentuan Piagam yang dianggap tidak relevan lagi.

B. Tugas dan Fungsi Dewan Keamanan PBB

Dalam hal mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional diserahkan kepada dewan keamanan, dengan syarat; semua tindakan dewan keamanan tersebut harus selaras dengan tujuan dan asas-asas PBB, tugas dan kewajiban dewan keamanan dapat dibagi atas beberapa golongan, yaitu : 2. Mengambil tindakan-tindakan terhadap ancaman perdamaian dan perbuatan yang berarti penyerangan. Sedangkan fungsi Dewan Keamanan sebagai berikut: 1. Memelihara perdamaian dan keamanan internasional selaras dengan asas- asas dan tujuan PBB. 2. Menyelidiki tiap-tiap persengketaan atau situasi yang dapat menimbulkan pergeseran internasional 30 Saiman, op.cit., hlm. 6. Universitas Sumatera Utara 3. Mengusulkan metode-metode untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang demikian atau syarat penyelesaian. 4. Merumuskan rencana-rencana untuk menetapkan suatu sistem mengatur persenjataan 5. Menentukan adanya suatu ancaman terhadap perdamaian atau tindakan agresi dan mengusulkan tindakan apa yang harus diambil 6. Menyerukan untuk mengadakan sanksi-sanksi ekonomi dan tindakan lain yang bukan perang untuk mencegah atau menghentikan agresor 7. Mengadakan aksi militer terhadap seorang agresor 8. Mengusulkan pemasukan anggota-anggota baru dan syarat-syarat dengan negara-negara mana yang dapat menjadi pihak dalam status mahkamah internasional 9. Melaksanakan fungsi-fungsi perwakilan PBB di daerah “strategis”. 10. Mengusulkan kepada majelis umum pengangkatan seorang sekretaris jenderal, dan bersama–sama dengan majelis umum, pengangkatan para hakim dari mahkamah internasional 11. Menyampaikan laporan tahunan kepada majelis umum

C. Peranan Dewan Keamanan PBB dalam Pemeliharaan Keamanan dan Perdamaian Negara-Negara di Dunia

Seperti yang dicantumkan dalam Piagam, salah satu tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Untuk itu PBB dapat mengambil tindakan-tindakan kolektif yang diperlukan untuk mencegah dan menyingkirkan ancaman terhadap perdamaian serta menyelesaikan sengketa-sengketa secara damai. Sehubungan dengan itu para pendiri PBB menciptakan sistem yang memberikan peranan utama kepada Dewan Keamanan bagi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian, Dewan Keamanan telah dijadikan suatu organ eksekutif yang dilengkapi dengan wewenang-wewenang untuk memutuskan terutama di bidang pelaksanaan Bab VII Piagam. Sejumlah pasal dibuat khusus untuk Dewan yang Universitas Sumatera Utara memungkinkannya bertindak secara cepat dan efisien untuk mencegah maupun menghentikan sengketa-sengketa bersenjata. Dewan Keamanan mengkonstatir adanya ancaman terhadap perdamaian atau terjadinya suatu agresi. Dewan Keamanan pulalah yang mengambil semua tindakan-tindakan yang diperlukan mulai dari yang tidak menggunakan kekerasan sampai pada penggunaan pasukan bersenjata bila perdamaian dunia sudah terancam. Sehubungan dengan itu Dewan Keamanan akan dilengkapi dengan pasukan-pasukan bersenjata yang sebelumnya sudah disiapkan oleh negara-negara anggota untuk keperluan Organ tersebut, yang intinya terdiri dari kesatuan-kesatuan dari negara-negara anggota tetap Dewan. Namun ketentuan-ketentuan yuridis yang terdapat dalam piagam, dengan cepat ditinggalkan realita politik dan pasukan-pasuka bersenjata tersebut tidak pernah dapat dibentuk. Selanjutnya bagaimana caranya Dewan Keamanan harus bertindak bila suatu negara anggota menjadi korban suatu agresi? Dengan apa Dewan Keamanan mencegah suatu ancaman perang tanpa adanya sarana yang konkrit dan memadai? Diwaktu terjadi Perang Korea pada tahun 1950, walaupun dibentuk angkatan bersenjata internasional yang menghadang agresi Korea Utara, itu sama sekali bukanlah pelaksanaan sistem keamanan kolektif yang dirancang oleh Piagam. Memang benar ada suatu Angkatan Bersenjata Internasional yang dibentuk Dewan Keamanan untuk menghadapi agresi Korea Utara, tetapi pembentukan angkatan bersenjata tersebut terjadi dalam keadaan yang tidak normal. Intervensi militer tersebut dapat terjadi karena tidak adanya wakil Uni Soviet di Dewan Keamanan sehingga Organ tersebut mempunyai peluang untuk memutuskan pembentukan suatu pasukan bersenjata internasional. Karena tidak hadir, tentu saja wakil Uni Soviet di Dewan Keamanan tidak dapat menggunakan hak vetonya untuk menentang pembentukan angkatan bersenjata tersebut. Dalam peristiwa itu suatu operasi militer dalam arti kata Piagam memang telah dilakukan tetapi bertentangan dengan kehendak salah satu dari anggota tetap Dewan, suatu hal yang sama sekali di luar ketentuan Piagam dan tidak mungkin lagi terjadi di masa selanjutnya. Dapat dikatakan bahwa operasi militer PBB di Korea ini Universitas Sumatera Utara dengan sekitar 500.000 pasukan hampir seluruhnya terdiri dari kesatuan-kesatuan dan dibawah komando Amerika Serikat, walaupun ada partisipasi dari negara- negara lain terutama dari Barat. Meskipun operasi militer tersebut bernaung di bawah bendera PBB namun panglima tertingginya diangkat oleh Amerika Serikat. Setelah wakil Uni Soviet menduduki kembali kursinya di Dewan, dia langsung menentang semua resolusi yang tidak sesuai dengan kepentingan negaranya. Kasus Perang Korea ini merupakan bukti bahwa sistem keamanan kolektif yang dirancang para pendiri Piagam langsung macet karena dunia pasca Perang Dunia II segera diracuni konflik ideologi Timur-Barat dan suasana Perang Dingin. Sebagai akibatnya banyak ketentuan dalam Piagam yang berhubungan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan tidak dapat dilaksanakan karena kurang atau tidak adanya kerjasama antara negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan. Sebaliknya sebagai suatu Organisasi internasional yang dinamis dan yang selalu berusaha memecahkan berbagai permasalahan keamanan yang dihadapi, PBB dengan segala kelemahan dan kekurangannya, telah dapat mencegah terjadinya suatu perang dunia baru seperti yang sudah dua kali membawa kesengsaraan pada umat manusia pada bagian pertama abad XX. Dengan segala ketidaksempurnaannya sebagai organisasi yang bervokasi universal, PBB telah dapat dengan selamat mengantarkan dunia ke abad XXI dengan dasar-dasar kerjasama yang lebih kokoh dan erat yang akan lebih memperkecil kemungkinan terjadinya perang antara bangsa. Sehubungan dengan perkembangan PBB ini, Prof. Virally, pakar Hukum Organisasi Internasional Perancis kenamaan pada tahun 1961 pernah mengatakan: PBB dewasa ini bukan hanya suatu Piagam, lebih dari itu adalah pengalaman sejarah 15 tahun. 31 31 Michel Virally, L’ONU, d’hier a demain, Seuil, 1961, hal. 27 Dengan demikian sekarang ini kita juga dapat mengatakan bahwa untuk mempelajari PBB tidak cukuphanya dengan membaca ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam Piagam, lebih penting lagi adalah mempelajari Universitas Sumatera Utara sejarah perkembangannya selama 60 tahun terakhir. Semenjak semula banyak ketentuan-ketentuan Piagam yang tidak lagi memadai, sudah ketinggalan, tidak sesuai dengan realita politik yang ada, dan bahkan ada yang sama sekali tidak dipakai lagi. Demikianlah pembentukan dan peranan menonjol pasukan pemeliharaan keamanan PBB dalam banyak situasi konflik baik bersifat antar negara ataupun internal suatu negara merupakan suatu lembaga yang berkembang pesat di luar Piagam yang telah banyak memberikan sumbangan penting bagi pencegahan sengketa, pembentukan, pemeliharaan, pengukuhan stabilitas dan keamanan di berbagai pelosok dunia.

1. Kegagalan Sistem Keamanan Bersama

Sistem keamanan bersama yang dirancang Piagam dengan tujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan yang merupakan tulang punggung sistem keamanan PBB hanya tinggal di atas kertas karena dunia setelah Perang Dunia II langsung ditandai dengan suasana saling tidak percaya dan mencurigai antara Blok Timur dan Barat terutama antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Oleh karena itu pembentukan pasukan bersenjata yang merupakan instrumen militer PBB tidak pernah dapat terlaksana karena tidak adanya kesepakatan antara negara-negara besar Dewan Keamanan. Perumusan kesepakatan-kesepakatan khusus seperti yang tercantum dalam pasal 43 Piagam yang harus menentukan cara dan modalitas pengadaan pasukan-pasukan bersenjata dari negara-negara anggota untuk Dewan Keamanan bagi pelaksanaan tugasnya tidak dapat terwujud. 1 Tidak Dibuatnya Kesepakatan-kesepakatan Sesuai Pasal 43 Segera mulai pertengahan bulan Februari 1946, Dewan Keamanan menginstruksikan Komite Kepala-kepala Stafnya yang terdiri dari Kepala-kepala Staf kelima negara anggota tetap untuk mempelajari ketentuan-ketentuan pasal 43 Piagam dari segi militer dan pada waktunya menyampaikan hasil-hasil dari Universitas Sumatera Utara pengkajiannya serta rekomendasi yang dianggap perlu. Beberapa waktu kemudian, Komite menyampaikan laporannya yang berisi sejumlah kesepakatan antara lain mengenai besarnya jumlah pasukan yang harus disediakan oleh anggota-anggota tetap dan kontribusi negara-negara lain. Disamping itu laporan juga berisi perbedaan-perbedaan pandangan atas sejumlah aspek terutama mengenai jumlah keseluruhan pasukan yang harus dimiliki Dewan Keamanan, komposisi pasukan-pasukan kontribusi masing-masing negara anggota tetap disamping modalitas penggunaannya bila terjadi ketidaksepakatan antara kelima negara besar di saat sedang berlangsungnya operasi militer. Dalam perdebatan- perdebatan yang terjadi kemudian di Dewan Keamanan ternyata perbedaan- perbedaan tersebut tidak dapat diatasi. Walaupun diskusi-diskusi tetap dilanjutkan dalam komite, nyatalah bahwa semenjak bulan Juli 1947 kesalingcurigaan yang mewarnai hubungan Uni Soviet dan negara-negara Barat telah menyebabkan perundingan-perundingan tidak berguna lagi. Tampil dan meruncingnya secara cepat Perang Dingin yang juga ditandai dengan gagalnya perundingan antara menteri-menteri luar negeri yang dijadwalkan oleh Konferensi Potsdam, juga menyebabkan ketentuan-ketentuan pasal 106 Piagam yang bertujuan untuk memberlakukan sementara pasal 43 tidak terlaksana karena tidak adanya kesepakatan antara anggota-anggota tetap. Demikianlah sengketa Timur Barat telah menggagalkan sistem keamanan kolektif PBB. Sistem ini bukan gagal dalam pelaksanaannya tetapi gagal sebelum lahir sebagai akibat suasana Perang Dingin yang langsung menandai hubungan internasional pasca Perang Dunia II. 2 Sistem Keamanan Melalui Cara Lain Gagalnya sistem keamanan bersama dalam kerangka PBB ini telah mendorong negara-negara blok Timur dan Barat mengembangkan zona-zona pengaruh dan blok-blok militer. Terhadap politik zona pengaruh yang dilakukan secara aktif oleh Uni Soviet di eropa Timur dengan segera diimbangi negara- negara Barat, dengan Amerika Serikat sebagai intinya, mendirikan Pakta Persekutuan Atlantik Utara NATO pada tanggal 4 April 1949. Pembentukan suatu persekutuan pertahanan seperti NATO ini secara resmi dapat dianggap Universitas Sumatera Utara sesuai dengan pasal 51 Piagam. Menurut pasal tersebut negara-negara anggota PBB baik secara individual maupun kolektif dapat melaksanakan hak bela diri bila mendapat serangan bersenjata dari negara lain sambil menunggu Dewan Keamanan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Pembentukan NATO ini mendapat reaksi dari negara-negara komunis Eropa Timur. Dengan berintikan Uni Soviet sebagai kekuatan militer utama, mereka juga membentuk pakta pertahanan bersama pada tanggal 14 Mei 1955 yang dikenal dengan Pakta Warsawa. Pembentukan pakta-pakta pertahanan ini merupakan bukti bahwa negara- negara tidak mungkin lagi mengharapkan sistem keamanan bersama PBB, dan karena itu mereka mencari sendiri cara-cara lain untuk melindungi mereka melalui sistem aliansi tradisional yang dilengkapi dengan teknik-teknik organisasi internasional dan integrasi militer. Pembentukan kedua sistem pertahanan ini juga merupakan pengukuhan dari suasana Perang Dingin yang berdampak negatif terhadap kerjasama negara-negara terutama di Dewan Keamanan di bidang pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Kurangnya kerjasama tersebut terbukti dengan penggunaan hak veto yang berlebih-lebihan dari negara- negara anggota tetap, terutama Uni Soviet sehingga melumpuhkan kegiatan- kegiatan operasional perdamaian Dewan Keamanan. Sebagai contoh, Uni Soviet telah menggunakan sebanyak 100 veto antara tahun 1946-1962. 32 Sebagaimana yang telah disinggung sebelum ini, tidak adanya wakil Uni Soviet di Dewan Keamanan di waktu meletusnya Perang Korea pada bulan Juni 1950 telah memungkinkan Organ tersebut membentuk suatu pasukan militer Veto ini pada umumnya digunakan untuk melindungi kepentingan negara besar bersangkutan dan negara-negara yang dilindunginya. Lumpuhnya Dewan Keamanan karena penggunaan hak veto yang berlebih-lebihan telah menyebabkan peranan Majelis Umum lebih menonjol selama beberapa waktu. 3 Sistem Union untuk Pemeliharaan Perdamaian 32 Claude-Albert Colliard, op.cit, p.217 Universitas Sumatera Utara internasional untuk menghadang agresi yang datang dari Korea Utara. Setelah wakil Uni Soviet tersebut menduduki kembali kursinya di Dewan Keamanan, tidak mungkin lagi dibuat resolusi-resolusi mengenai intervensi militer PBB mengenai Perang Korea tersebut. Untuk keluar dari jalan buntu, atas prakarsa AS, Majelis Umum PBB pada tanggal 3 Nopember 1950 menerima resolusi yang dikenal dengan nama Uniting for Peace Resolution Res. No. 377 V, yang dikenal juga dengan nama resolusi Dean Acheson yang memberikan wewenang kepada Majelis Umum untuk bertindak bila Dewan Keamanan menjadi lumpuh karena penggunaan hak veto. Memang benar resolusi Uniting for Peace ini dirancang untuk memungkinkan Majelis Umum menangani masalah Korea, namun dalam pemikiran para pemrakarsa, resolusi tersebut juga dimaksudkan untuk membuat suatu sistem permanen yang dapat terus berfungsi apabila PBB berada dalam situasi yang sama. Ketentuan sentral resolusi tersebut memberikan kemungkinan kepada Majelis untuk membahas semua keadaan di mana terjadi ancaman terhadap perdamaian atau suatu agresi dan membuat rekomendasi-rekomendasi yang sesuai mengenai tindakan-tindakan kolektif termasuk penggunaan senjata bila diperlukan sekiranya Dewan Keamanan tidak dapat melaksanakan tugas pokoknya. Dengan kata lain, Majelis merasa berkewajiban untuk menggantikan Dewan bila Dewan tersebut gagal melaksanakan tugasnya kendatipun terdapat pembatasan-pembatasan yang diberikan kepada Majelis sesuai pasal 11 ayat 2 Piagam. Dalam keadaan ini Majelis sebagai ganti Dewan dapat mengambil tindakan-tindakan kolektif seperti yang tercantum dalam Bab VII Piagam. Sesuai resolusi Uniting for Peace tersebut Dewan dapat mengambil Majelis Umum untuk mengadakan sidang khusus darurat dalam waktu 24 jam bila Majelis sedang tidak bersidang di saat terjadinya ancaman terhadap perdamaian yang memerlukan intervensi PBB. Tentu saja Majelis Umum hanya dapat membuat rekomendasi namun seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Perang Korea hal tersebut tidak menjadi kendala bila paling tidak ada satu negara adidaya yang siap memberikan pasukan bersenjatanya kepada PBB bila diminta oleh Organisasi dunia tersebut. Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi mekanisme yang baru ini, Majelis Umum membentuk dua komisi antara pemerintah yang masing-masingnya terdiri dari 14 negara. Komisi pertama bernama Komisi Observasi untuk Perdamaian yang bertugas memantau situasi di kawasan di mana terdapat ancaman terhadap perdamaian. Komisi kedua bertugas untuk mempelajari tindakan-tindakan kolektif dan cara- cara penggunaannya untuk memelihara dan memperkokoh perdamaian termasuk pembentukan unsur militer dari negara-negara anggota. Jadi misi Komisi kedua adalah untuk menggantikan misi komite Kepala Staf seperti yang dicantumkan dalam pasal 43 Piagam. Kepada negara-negara anggota diminta untuk menyiapkan dalam angkatan bersenjata mereka kesatuan-kesatuan militer yang terlatih, terorganisir dan dilengkapi sebegitu rupa sehingga dapat dengan cepat bertugas sebagai kesatuan-kesatuan dari PBB. Juga diminta agar negara-negara anggota memberitahu secepat mungkin komposisi dan besarnya kesatuan- kesatuan militer tersebut kepada komisi. Di atas kertas sistem baru ini cukup menarik dan secara nyata bertujuan untuk menggantikan sistem kesepakatan- kesepakatan khusus sesuai pasal 43 Piagam yang gagal terlaksana. Namun sistem pengganti yang dirancang Majelis Umum ini juga mengalami kegagalan. Sebabnya ialah karena tidak adanya reaksi dari negara-negara anggota atas permintaan untuk menyediakan pasukan-pasukan yang dengan cepat dapat digunakan oleh PBB. Seperti juga halnya dengan upaya pembentukan pasukan PBB sesuai dengan pasal 43, tidak satupun negara yang bersedia memberikan komitmen sebelumnya, melalui pengadaan pasukan, terhadap suatu sengketa yang belum jelas bentuknya dengan kemungkinan melibatkan kepentingan kedua negara adidaya. Akhirnya pada tahun 1956 gagasan ini secara definitif ditinggalkan karena tidak sesuai dengan realita politik dunia yang ada.

2. Pemeliharaan Perdamaian Sesuai Sistem Piagam

Pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional sejak semula merupakan tugas utama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lahirnya PBB pada tahun 1945 disambut oleh Presiden Roosevelt sebagai permulaan orde baru Universitas Sumatera Utara internasional. 33 Memang benar itulah maksud pendiri PBB, mendirikan suatu sistem kolektif untuk mencegah agar jangan terulang lagi perang dunia yang telah dua kali membawa bencana terhadap umat manusia. Sehubungan dengan itu pada bulan Nopember 1943 di waktu masih berkecamuknya Perang, wakil-wakil dari Inggris, AS, Uni Soviet dan Cina mengumumkan Declaration on General Security yang menyepakati keharusan untuk secepat mungkin mendirikan suatu organisasi internasional umum bagi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Waktu Piagam dirumuskan, mukadimahnya mengajak negara- negara penanda-tangan menyatukan kekuatan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan memastikan bahwa kekuatan bersenjata tidak akan digunakan kecuali bagi kepentingan bersama. Selanjutnya pasal 1 ayat 1 Piagam menguraikan tujuan utama PBB yaitu memelihara perdamaian dan keamanan internasional untuk itu mengambil tindakan-tindakan kolektif yang efektif untuk pencegahan dan panghapusan ancaman terhadap perdamaian, untuk penindasan tindakan agresi atau pelanggaran-pelanggaran lainnya terhadap perdamaian, dan menyelesaikan secara damai sengketa-sengketa internasional atau keadaan yang dapat melanggar perdamaian. Walaupun tidak ada istilah keamanan bersama karena kegagalan sistem tersebut dalam Liga Bangsa-Bangsa namun niatnya tetap ada seperti digunakannya kata-kata menyatukan kekuatan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. 34 Dewan Keamanan dalam sistem Piagam ini pada dasarnya merupakan suatu forum dari negara-negara besar yang menang perang dan secara bersama memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Majelis Umum dapat melakukan perdebatan dan membuat rekomendasi dan meminta perhatian Dewan tetapi tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan. Sebaliknya pasal 39 dari Piagam memberikan wewenang untuk bertindak kepada Dewan. Dengan jelas dinyatakan bahwa Dewan Keamanan berwenang menentukan adanya suatu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian dan membuat rekomendasi atau 33 Lihat Brian Urquhart, The Role of the UN in Maintaining and Improving International Security, Survival, 28, No.5 September-Oktober 1986, p.338. 34 Paragraf 6 Mukadimah Piagam Universitas Sumatera Utara memutuskan tindakan-tindakan yang akan diambil untuk memelihara dan memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Ini Piagam terletak pada Bab VII yaitu: Tindakan yang berhubungan dengan ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian dan tindakan agresi. Dewan Keamanan mempunyai wewenang, bila dianggap perlu, untuk meminta negara-negara anggota menjatuhkan sanksi dan bila kebijaksanaan ini gagal, Dewan dapat mengambil tindakan-tindakan melalui angkatan udara, laut dan pasukan darat yang diperlukan untuk memelihara atau memulihkan keadaan. Sebagaimana disinggung sebelum ini Dewan Keamanan dapat membentuk Komite Kepala-kepala Staf untuk membantu dan memerikan nasehat kepada Dewan. Kalau kita perhatikan, Dewan Keamanan memang merupakan suatu badan eksekutif yang dilengkapi dengan segala macam wewenang dan kekuasaan untuk mengambil tindakan-tindakan kekerasan demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan dunia. Namun pelaksanaan prinsip tersebut tergantung dari kemauan baik negara-negara anggota. Sekiranya kemauan ini tidak ada atau hanya datang dari sejumlah negara saja tentu tidak banyak yang dapat dilakukan Organisasi dunia tersebut. Sebaliknya banyak yang dapat dicapai sekiranya kegiatan-kegiatan yang dilakukan mendapat dukungan dari negara-negara terutama anggota-anggota tetap Dewan Keamanan. Dalam kehidupan masyarakat internasional bukan hanya mekanisme yuridis yang dapat menjamin perdamaian dan keamanan internasional. Mekanisme yuridis betapapun sempurnanya hanya dapat berfungsi dalam situasi politik di mana paling tidak terdapat semacam konsensus tentang tingkat kekerasan yang tidak dapat lagi ditolelir. Selanjutnya marilah kita teliti ketentuan-ketentuan yang mengatur organ- organ utama PBB dalam kaitannya dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan, batas-batas kemampuan, kendala-kendala yang dihadapi serta hasil- hasil yang telah dapat dicapainya. Universitas Sumatera Utara 1 Peranan Utama Dewan Keamanan Bab VII Piagam PBB yang terdiri dari 13 pasal berisikan ketentuan- ketentuan yang menyangkut tindakan-tindakan yang akan diambil PBB bila terdapat ancaman atau pelanggaran terhadap perdamaian ataupun suatu tindakan agresi. Terhadap suatu keadaan yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia terdapat tahap-tahap yang harus ditempuh sebelum PBB mengambil tindakan dalam bentuk kekerasan. Sesuai pasal 39 Piagam, mula-mula Dewan Keamanan akan menentukan apakah memang ada ancaman atau pelanggaran terhadap perdamaian ataupun suatu agresi. Selanjutnya Dewan membuat rekomendasi yang diperlukan bagi pemeliharaan ataupun pemulihan perdamaian dan keamanan. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas atas keadaan yang terjadi, Dewan juga, sesuai pasal 34 Piagam, dapat melakukan investigasi. Setelah mendapatkan data-data yang diperlukan, selanjutnya Dewan menetapkan apakah peristiwa yang terjadi merupakan ancaman atau tidak terhadap pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Selanjutnya, sesuai Pasal 40, dan sebelum membuat rekomendasi, Dewan dapat memutuskan tindakan-tindakan sementara yang dianggap perlu untuk mencegah memburuknya keadaan. Sekiranya tindakan-tindakan sementara ini tidak dilaksanakan maka Dewan, sesuai Pasal 41, dapat memutuskan tindakan- tindakan yang tidak melibatkan kekuatan bersenjata seperti pemutusan hubungan ekonomi, laut, udara, radio atau alat-alat komunikasi lainnya ataupun juga pemutusan hubungan diplomatik. Akhirnya bila tindakan-tindakan tersebut di atas tidak dilaksanakan, Dewan, sesuai Pasal 42, dapat menggunakan pasukan udara, laut, dan darat yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan keadaan. Jelaslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab VII Piagam, intervensi Dewan mempunyai urutan-urutan mulai dari mengkonstatasi suatu keadaan sampai pada penggunaan pasukan bersenjata untuk pemeliharaan dan pemulihan keamanan. Namun, dalam praktiknya seperti kita lihat kemudian intervensi sesuai piagam ini Universitas Sumatera Utara jarang terlaksana. Disamping itu, mengingat kompleksnya permasalahan yang dihadapi terutama selama era Perang Dingin, ditambah dengan aneka ragamnya kepentingan yang terlibat, negara-negara anggota tetap Dewan terutama Uni Soviet dan AS sering menggunakan hak vetonya sehingga permasalahan yang dibahas sering tidak ada kelanjutannya. Sampai tahun 1999, tidak kurang dari 247 veto yang telah digunakan, 120 oleh Uni Soviet, 72 oleh Amerika Serikat, 32 Inggris, 18 Perancis dan 5 Cina. 35 Setelah berakhirnya Perang Dingin, membaiknya hubungan Timur-Barat, penggunaan hak veto menjadi sangat berkurang. Sebagai bukti setelah berakhirnya Perang Dingin sampai tahun 2004 hanya 17 kali veto yang telah digunakan yaitu 12 oleh AS, 3 oleh Rusia dan 2 oleh Cina. 36 Dalam sengketa negara bekas Yugoslavia dan selanjutnya Bosnia- Herzegovina, Dewan Keamanan selalu menyebutkan keadaan sebagai ancaman terhadap perdamaian sedangkan yang terjadi lebih gawat lagi, yaitu pelanggaran terhadap perdamaian. Sebagai akibatnya terjadilah peningkatan yang cepat kegiatan-kegiatan Dewan. Kegiatan ini antara lain diwujudkan dalam banyaknya resolusi yang membentuk pasukan pemeliharaan perdamaian. Disamping itu, dalam banyak resolusi Dewan mencatat adanya ancaman terhadap perdamaian. Namun, Dewan kelihatannya sangat enggan untuk melukiskan suatu situasi sebagai agresi walaupun kenyataannya memang demikian. Demikianlah, resolusi Dewan Keamanan No. 660 tanggal 2 Agustus 1990, yang dengan jelas menyangkut keadaan seperti disebutkan dalam pasal 40 dan 43 Piagam yang mengecam invasi Irak terhadap Kuwait sama sekali tidak menggunakan kata agresi, demikian juga resolusi-resolusi selanjutnya yaitu resolusi 661, 6 Agustus 1990 dan resolusi 674, 29 Oktober 1990 yang mengecam pendudukan Irak, atas dasar Bab VII Piagam, tetapi tetap tidak menggunakan kata agresi. 37 35 Changing Pattems in the Use of the Veto in the Security Council, Office of the ASG for Security Council, June 1999. 36 The Security Council Veto-Global, Policy Forum-UN Security Council Page 1 of 19,9302004. 37 Resolusi DK No. 713, 21 September 1991 dan Resolusi DK No. 757, 30 Mei 1992. Diwaktu terjadinya konflik bersenjata Iran-Irak yang Universitas Sumatera Utara mulai tahun 1980, baru 7 tahun kemudian Dewan Keamanan menyebutkan adanya pelanggaran terhadap perdamaian. Kehati-hatian yang ditunjukkan Dewan untuk menentukan jenis suatu keadaan dalam banyak hal kiranya dapat dimengerti. Dengan menghindarkan diri untuk menuding suatu negara sebagai agresor, Dewan tampaknya ingin memelihara suasana bagi tercapainya penyelesaian politik dari krisis yang terjadi. Sebaliknya penggunaan secara ekstensif pengertian ancaman terhadap perdamaian telah dijadikan sebagai dasar untuk berbagai kegiatan operasional. Intervensi Dewan Keamanan dalam kasus-kasus dilakukan di negara- negara di mana kepentingan negara besar anggota tetap Dewan Keamanan tidak terlibat secara langsung. Sebaliknya Dewan Keamanan tidak mungkin melakukan hal yang sama bila negara yang melakukan pelanggaran adalah salah satu dari anggota tetap atau negara-negara yang dilindunginya. Sistem blok Timur-Barat akhirnya telah sangat memperluas pengecualian-pengecualian yang semula hanya berlaku kepada negara-negara anggota tetap. Pengecualian tersebut telah meluas ke negara-negara yang dilindungi oleh anggota-anggota tetap Dewan Keamanan, terutama oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Sebagai akibatnya banyak kasus- kasus yang telah merupakan ancaman terhadap perdamaian dunia tetapi Dewan Keamanan tidak dapat berbuat banyak karena penggunaan hak veto terutama seperti yang dilakukan Amerika Serikat dalam sengketa Arab-Israel. 2 Pengambilan Tindakan-tindakan Sementara Menurut pasal 40 Piagam, Dewan Keamanan, sebelum membuat rekomendasi dapat menyarankan tindakan-tindakan sementara yang dianggap perlu untuk mencegah menggawatnya suatu keadaan misalnya dengan melaksanakan gencatan senjata. Dalam pelaksanaan pasal 40 ini Dewan Keamanan hanya dapat sekedar meminta pihak-pihak yang bersengketa untuk melaksanakan saran tersebut. Jadi pasal 40 dengan jelas menunjukkan bahwa wewenang yang dimiliki Dewan hanya sekedar menyampaikan rekomendasi. Universitas Sumatera Utara Wewenang Dewan dalam hal ini bersifat terbatas. Tindakan-tindakan sementara yang disarankan tidak berisikan kecaman terhadap negara yang bersangkutan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh pasal 40 tersebut, tindakan- tindakan sementara yang diambil itu tidak akan mempengaruhi hak, tuntutan atau posisi pihak-pihak yang bersengketa. Dalam prakteknya usul untuk mengambil langkah-langkah sementara tersebut sering disertai dengan nada ancaman. Misalnya Dewan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan sekiranya usul tindakan sementara tersebut ditolak dan dalam hal ini Dewan dapat menganggap sikap tersebut sebagai ancaman terhadap perdamaian. 3 Wewenang Sanksi-sanksi Non Militer Dalam hal ancaman dan pelanggaran terhadap perdamaian, Piagam PBB menjelaskan bahwa bila pasal 40 Piagam merujuk pada tindakan-tindakan sementara sebelum Dewan membuat rekomendasi atau memutuskan tindakan- tindakan yang diperlukan sesuai pasal 39, pasal 41 dapat memutuskan tindakan- tindakan yang harus diambil dan yang tidak menggunakan pasukan bersenjata. Pasal 41 ini hanya bisa dilaksanakan bila Dewan Keamanan telah dapat menentukan bentuk dari keadaan. Setelah diketahui bentuk keadaan tersebut barulah Dewan dapat bertindak dengan mengambil keputusan-keputusan. Walaupun Dewan hanya dapat sekedar meminta negara-negara untuk melaksanakan keputusannya namun dengan mengkombinasikan pasal 41 dengan pasal 25 Piagam, Dewan telah dapat menampilkan sifat mengikat dari keputusan- keputusan yang diambilnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan penolakan Libya untuk menyerahkan 2 warganya kepada Inggris dan Perancis yang dituduh kedua negara tersebut telah melakukan tindakan terorisme di udara. Dewan Keamanan, atas dasar Bab VII, dalam resolusinya No. 784, tanggal 31 Maret 1992 dan sebagai tindak lanjut resolusi sebelumnya No. 731 tanggal 21 Januari1992 menyatakan bahwa penolakan tersebut merupakan ancaman terhadap perdamaian dan karena itu memutuskan untuk mengenakan embargo atas alat pengangkutan udara, Universitas Sumatera Utara pemasokan senjata dan bantuan teknik militer kepada negara tersebut. Sebagaimana kita lihat, keputusan Dewan Keamanan tersebut pada umumnya dipatuhi oleh negara-negara anggota apalagi AS, Inggris dan Perancis yang mengambil langkah-langkah hukum yang diperlukan di dalam negeri bagi pelaksanaan embargo tersebut. Berbeda dari tindakan-tindakan sementara, keputusan-keputusan yang diambil Dewan merupakan tindakan-tindakan kekerasan. Selanjutnya ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam pasal 49 dan 50 Piagam berusaha untuk memberikan cara-cara yang konkrit kepada negara-negara anggota untuk menghormati secara efektif tindakan-tindakan paksaan yang diputuskan oleh Dewan. Sehubungan dengan itu ketentuan-ketentuan tersebut berisikan bantuan timbal balik antara negara-negara anggota PBB dan konsultasi dengan Dewan bagi negara-negara yang perekonomiannya terganggu sebagai akibat pelaksanaan keputusan-keputusan yang diambil Dewan. Sebagai contoh dalam kasus Irak- Kuwait tahun 1990, Dewan Keamanan membentuk suatu Komite Sanksi yang juga mempunyai tugas untuk menentukan negara mana saja yang harus mendapatkan bantuan keuangan dan ekonomi sebagai akibat embargo terhadap Irak. 38 Atas dasar Bab VII Piagam, Dewan Keamanan dalam resolusinya No. 232 tanggal 16 Desember 1966 menjatuhkan sanksi-sanksi ekonomi kepada Rhodesia Selatan. Resolusi tersebut diperkuat dengan 2 resolusi lainnya Kecuali resolusi Majelis Umum tanggal 15 Mei 1951 yang merekomendasikan embargo atas bahan strategis terhadap Korea Utara, Dewan Keamanan telah menjatuhkan sanksi-sanksi dalam peristiwa Rhodesa tahun 1965, invasi Kuwait oleh Irak tahun 1990, terhadap Lybia tahun 1992 dan 1993, pihak- pihak yang bersengketa di Yugoslavia semenjak tahun 1991, Liberia tahun 1992, Haiti tahun 1993, Angola tahun 1993 dan Sudan tahun 1996. 39 38 Resolusi Dewan Keamanan No. 661, tanggal 6 Agustus 1990 dan No. 665, tanggal 25 Agustus 1990. 39 Resolusi Dewan Keamanan No. 253, 29 mei 1968 dan Resolusi No. 277, 18 Maret 1970. yang melarang semua hubungan dagang dan keuangan dengan Rhodesia Selatan, penarikan wakil-wakil dagang dan keuangan asing, penghentian semua sarana transport dan Universitas Sumatera Utara pemutusan hubungan diplomatik. Penggunaan pasal 41 ini juga mempunyai batas- batas pula dalam pelaksanaanya. Kadang-kadang sulit untuk mengharapkan semua negara untuk mematuhi sepenuhnya ketentuan sanksi tersebut. Portugal dan Afrika Selatan misalnya tetap melakukan perdagangan dan mengirim minyak ke Rhodesia. Setelah berakhirnya Perang Dingin, penjatuhan sanksi menjadi lebih mudah dan juga dapat memperkuat pelaksanaannya. Dalam kasus Yugoslavia, Dewan Keamanan tanpa banyak kesulitan telah dapat secara berturut-turut mengenakan sanksi embargo total atas senjata-senjata, 40 atas semua transaksi termasuk transportasi udara. 41 Sanksi-sanksi ekonomi juga telah dijatuhkan kepada Haiti setelah terjadinya kudeta terhadap Presiden yang telah dipilih secara demokratis, yaitu J.B Aristide, mula-mula oleh OAS Organization of American States dan kemudian oleh Dewan Keamanan. 42 Embargo mengenai penjualan senjata dan material militer juga dijatuhkan kepada Somalia 43 dan Liberia. 44 4 Wewenang Sanksi-sanksi Militer Mengenai invasi Irak terhadap Kuwait yang terjadi tanggal 2 Agustus 1990, Dewan Keamanan dalam resolusinya no. 661 tanggal 6 Agustus 1990 meminta negara-negara anggota dan bukan anggota PBB untuk mengenakan embargo menyeluruh terhadap Irak. Lima hari kemudian, invasi militer Irak tersebut dinyatakan sebagai invasi berdasarkan ketentuan Bab VII Piagam, namun kata agresi tetap tidak dipakai oleh Dewan Keamanan. Boikot total hubungan militer, perdagangan, keuangan terhadap Irak yang didasarkan atas pelaksanaan Bab VII Piagam berjalan baik dan bahkan Swiss yang bukan anggota PBB juga ikut melakukan embargo. Embargo ini juga diperkuat dengan keputusan Dewan Keamanan untuk melakukan blokade laut. 40 Resolusi Dewan Keamanan No. 724, 15 Desember 1991 dan Resolusi No. 727, 19 September 1992. 41 Resolusi Dewan Keamanan No. 752, 15 Mei 1992; 757, 30 Mei 1992; 787, 16 Nopember 1992. 42 Resolusi Dewan Keamanan No. 841, 16 Juni 1993. 43 Resolusi Dewan Keamanan No. 733, 23 Januari 1992. 44 Resolusi Dewan Keamanan No. 788, 19 Nopember 1992. Universitas Sumatera Utara Pasal 42 yang merupakan inti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Bab VII Piagam memberikan wewenang kepada Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan-tindakan militer, udara, laut dan darat yang diperlukan untuk memelihara dan memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Namun dinyatakan pula bahwa ketentuan tersebut baru dilakukan bila tindakan-tindakan kekerasan non militer tidak memadai atau mengalami kegagalan. Kalau dibanding dengan Liga Bangsa-Bangsa LBB yang menjadikan pelaksanaan sanksi-sanksi militer bersifat fakultatif bagi negara-negara anggota, selanjutnya PBB bukan saja dapat memutuskan penggunaan kekerasan tetapi juga ikut melaksanakannya. Pelaksanaan ketentuan ini akan ideal apabila dari segi militer, PBB mempunyai persenjataan sendiri yang dapat menangkal agresi yang tidak dilakukan oleh salah satu anggota tetap Dewan Keamanan. PBB pada hakekatnya tidak membentuk angkatan bersenjata internasional yang bebas dari negara-negara dan yang diletakkan dibawah komando langsung Dewan Keamanan. Rancangan yang sesuai dengan pasal 43 adalah negara-negara anggota menyerahkan ke Dewan Keamanan pasukan-pasukan bersenjata yang diperlukan atas dasar kesepakatan-kesepakatan khusus dengan Dewan Keamanan. Tetapi yang ada hanyalah himpunan dari pasukan berbagai negara yang dikoordinasikan oleh Dewan Keamanan. Satu-satunya organ bersama adalah Komite Kepala-kepala Staf yang terdiri dari kepala-kepala staf dari kelima anggota tetap untuk membantu Dewan dalam masalah-masalah militer seperti yang disebut dalam pasal 47 Piagam. 45 1. Memelihara perdamaian dan keamanan internasional;

D. Prinsip Persamaan Kedaulatan dalam Pengambilan Keputusan di Dewan Keamanan PBB

Pasal 1 Piagam PBB memuat tujuan PBB antara lain : 45 DR. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, PT Alumni, 2005, hal. 582. Universitas Sumatera Utara 2. Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa berdasarkan prinsip-prinsip persamaan derajat; 3. Mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan serta masalah kemanusiaan, dan hak-hak asasi manusia; 4. Menjadi pusat bagi penyelenggaraan segala tindakan-tindakan bangsa- bangsa dalam mencapai tujuan bersama. Adapun asas-asas PBB termuat dalam Pasal 2 Piagam PBB yang digunakansebagai dasar untuk mencapai tujuan PBB tersebut diatas, antara lain : 1. PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua anggotanya; 2. Kewajiban untuk memenuhi kewajiban-kewajiban sesuai dengan apa yang tercantum dalam Piagam; 3. Setiap perselisihan harus diselesaikan secara damai agar perdamaian dan keamanan tidak terancam; 4. Mempergunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara harus dihindarkan; 5. Kewajiban untuk membantu PBB terhadap tiap kegiatan yang diambil sesuai dengan Piagam PBB dan larangan membantu negara di mana negara tersebut oleh PBB dikenakan tindakan-tindakan pencegahan dan pemaksaan; 6. Kewajiban bagi negara bukan anggota PBB untuk bertindak sesuai dengan Piagam PBB apabila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional; 7. PBB tidak akan campur tangan dalam masalah persoalan dalam negeri domestic jurisdiction dari negara-negara anggotanya.

1. Prinsip Persamaan Kedaulatan

Pasal 2 butir 1 Piagam PBB memuat asas yang menyatakan bahwa PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua negara anggotanya. Asas ini sangat Universitas Sumatera Utara penting bagi semua negara anggota, karena dengan demikian PBB bukanlah organisasi internasional yang bersifat “supranasional”. Selain itu asas ini juga berkaitan dengan asas colectivity atau asas kegotongroyongan, artinya tindakan- tindakan yang dijalankan atas nama PBB sifatnya kolektif, bergotong royong sesuai dengan asas-asas demokrasi. Hal yang demikian mengharuskan dijalankannya asas koordinasi, artinya bahwa segala tindakan dan kegiatan bangsa-bangsa ke arah perdamaian harus diselaraskan dan dipersatukan. 46 Asas persamaan kedaulatan yang tercantum dalam Pasal 2 butir 1 Piagam PBB tersebut termasuk asas hukum umum. Berdasarkan Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, maka asas-asas hukum umum merupakan sumber hukum internasional yang ketiga. Yang dimaksudkan dengan asas-asas hukum umum adalah asas-asas hukum yang mendasari sistem hukum modern. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem hukum modern adalah sistem positif yang didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum negara barat, yang sebagian besar didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Romawi. 47 Perlu ditegaskan disini bahwa yang menjadi sumber hukum internasional adalah asas-asas hukum hukum umum dan bukan hanya asas-asas hukum internasional. Brierly mengatakan bahwa asas-asas hukum umum ini meliputi spektrum yang luas, yang juga meliputi asas-asas hukum perdata yang diterapkan oleh peradilan nasional yang kemudian dipergunakan untuk kasus-kasus hubungan internasional. 48 46 Sri Setianingsih Suwardi, op.cit, hlm.270. 47 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, hlm.138. 48 Chairul Anwar, 1988, Hukum Internasional, Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Djambatan, Jakarta,hlm.16. Dengan demikian, yang termasuk ke dalam asas-asas hukum umum ini antara lain, asas pacta sunt servanda, asas bonafides, asas penyalahgunaan hak abus de droit, serta asas adimpletinon est adiplendum dalam hukum perjanjian. Tentu saja termasuk juga di dalamnya asas hukum internasional, misalnya asas kelangsungan negara, penghormatan kemerdekaannegara, asas non intervensi dan asas persamaan kedaulatan negara. Universitas Sumatera Utara Jika dihubungkan dengan persoalan hak veto yang dimiliki oleh 5 lima negara anggota tetap DK PBB, maka pertanyaan yang timbul adalah apakah berarti hak veto kelima negara anggota tetap DK PBB itu bertentangan dengan asas hukum umum? Untuk menjawab ini tentu kita telusuri terlebih dahulu tentang bagaimana awal mula munculnya hak veto dan bagaimana pula proses pemungutan suara di DK PBB. 2.Prinsip-prinsip Dalam Pengambilan Keputusan di DK PBB Pengambilan keputusan dalam organisasi internasional, khususnya PBB dapat dilakukan baik melalui pemungutan suara ataupun tidak. Keputusan yang diambil tanpa pemungutan suara dapat melalui konsensus atau aklamasi, baik yang dilakukan atas saran ketua sidang yang bersifat ”ruling” maupun usul anggota tanpa ada pihak yang menolak. 49 Kadang-kadang penerimaan konsensus diartikan bagi sesuatu negara atau beberapa negara tidak ingin menghambat jalannya keputusan, walaupun tidak menyetujui usul yang diajukan. Dalam hal demikian negara-negara tersebut dapat menyatakan keberatan-keberatannya untuk tidak merasa terikat oleh keputusan yang diambil secara konsensus tersebut. Hal ini dapat dimungkinkan jika memang benar-benar dapat memberikan sumbangan bagi penyelesaian yang efektif dan kekal bagi perbedaan-perbedaan yang ada. Dengan demikian dapat memperkokoh wewenang PBB. Beberapa aturan tata cara rules of procedure bahkan memungkinkan Ketua Sidang untuk mengupayakan konsensus bagi usul- usul. 50 49 Sumaryo Suryokusumo, 1993, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 151-152. 50 Ibid., hlm.152. Sistem dasar di dalam PBB mengenai persuaraan pemungutan suara tercermin dalam Pasal-Pasal 18, 19, 20 dan 27 Piagam PBB, dua sistem diantaranya telah digunakan secara umum. Disatu pihak didasarkan atas prinsip Universitas Sumatera Utara ”one nation one vote” dan dilain pihak didasarkan atas nilai-nilai ekonomi, geografis, dan lain-lain yang disebut ”weighted voting”. Sistem ini memberikan kepada negara-negara besar, yaitu lima anggota tetap DK PBB suatu hak veto secara eksklusif di DK. Pengambilan keputusan melalui pemungutan suara di DK PBB terhadap semua masalah kecuali yang bersifat prosedural memerlukan dukungan suara bulat dari kelima negara anggota tetap DK PBB sebagai syarat utama sebagaimana tersirat dalam Pasal 27 ayat 3 Piagam PBB. Sedangkan badan- badan PBB lainnya mengambil keputusan, baik melalui mayoritas sederhana maupun mayoritas mutlak. Keputusan melalui mayoritas mutlak atau mayoritas dua pertiga adalah menyangkut masalah-masalah penting seperti : 51 a Rekomendasi mengenai pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional; b Pemilihan keanggotaan tidak tetap DK PBB, anggota ECOSOC dan anggota Dewan Perwalian menurut Pasal 86 ayat 1e; c Masuknya negara baru anggota PBB; d Penanggulangan hak-hak dan keistimewaan keanggotaan; e Pengeluaran anggota dengan paksa; f Masalah-masalah yang berkaitan dengan beroperasinya sistem perwalian; dan g Masalah-masalah anggaran. Sedangkan masalah masalah lainnya diluar ketentuan diatas akan diputuskan dengan suara mayoritas dari negara-negara anggota yang memberikan suara, baik secara afirmatif mendukung maupun secara negatif menolak. Namun negara yang menyatakan abstain tidak dihitung dalam pemungutan 51 Lihat Pasal 18 ayat 2 Piagam PBB dan Rule 83 dari Rule of Procedure Majelis Umum. Universitas Sumatera Utara suara.12 Ini diartikan sebagai mayoritas sederhana yaitu mayoritas sekecil mungkin yang lebih dari setengah suara yang dihitung. 52 Ada pula yang disebut mayoritas bersyarat qualified majority dimana keputusan ditetapkan atas dasar persentase suara yang biasanya lebih besar dari mayoritas sederhana. Mayoritas bersyarat yang paling umum adalah dua pertiga tetapi mayoritas bersyarat lainnya, seperti tiga perempat atau tiga perlima juga digunakan. 53 Dalam pengambilan keputusan diluar masalah-masalah prosedural non prosedural di DK PBB dijumpai beberapa permasalahan, antara lain : Sementara itu, terhadap masalah-masalah non prosedural, pengambilan keputusan yang dianut di DK PBB adalah berdasarkan Pasal 27 ayat 3 Piagam PBB. Dalam pasal tersebut diatur bahwa dari 15 anggota DK PBB diperlukan 9 suara afirmatif dukungan, termasuk suara dari 5 anggota tetap DK PBB, inilah yang sering disebut sebagai hak veto anggota tetap DK PBB, sebab jika satu saja anggota tetap tidak menyetujui, maka pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan. 54 a Jika 5 negara anggota tetap seluruhnya memberikan suara afirmatif sedangkan tidak mencapai 9 suara afirmatif karena sebuah atau lebih negara anggota tidak tetap memberikan suara negatif menolak, maka keputusan tidak dapat diambil. b Jika tercapai 9 suara afirmatif tetapi ada sebuah negara anggota tetap DK yang menyatakan menolak, maka satu suara negatif ini membuat batalnya keputusan karena hakikatnya veto telah dijatuhkan. c Lain halnya dengan suara abstain yang diberikan oleh sebuah atau lebih negara anggota tetap DK yang tidak diperhitungkan dalam rangka Pasal 27 ayat 3 Piagam, sehingga dalam pengambilan keputusan haruslah dicari 52 Henry G. Schermers, 1980, International Institution Law, Sijthoff Noordhoff, Maryland USA,hlm. 406. 53 Ibid. 54 Sumaryo Suryokusumo, op.cit., hlm. 154. Universitas Sumatera Utara tambahan paling sedikit suara dari anggota tidak tetap sejumlah suara negara anggota tetap DK yang menyatakan abstain. d Jika salah satu anggota DK baik anggota tetap maupun tidak tetap terlibat dalam pertikaian, menurut Bab IV dan Pasal 52 ayat 3 Piagam PBB, maka para pihak tersebut haruslah abstain dan dengan sendirinya memerlukan penggantian suara afirmatif dari negara anggota lainnya untuk mencapai 9 suara afirmatif. 55

3. Dasar Pengaturan PrinsipAsas Persamaan Kedaulatan Dalam Pengambilan Keputusan di DK PBB

Dalam struktur organisasi PBB, DK merupakan salah satu organ utama selain lima organ utama yang lain. Dengan demikian asas dan tujuan PBB merupakan juga asas dan tujuan seluruh organ PBB. Di bagian terdahulu sudah dikemukakan bahwa dalam Pasal 2 ayat 1 Piagam PBB tercantum suatu asas yang amat penting, yaitu asas “persamaan kedaulatan” atau “the principle of sovereignequality”. Asas ini memperlihatkan dengan jelas sifat kelembagaan politik dari PBB dan berdasarkan asas ini pula sesuatu negara anggota tidak dapat dipaksa ataupun didesak untuk menyetujui sesuatu dan menjalankan hal-hal yang bertentangan dengan kedaulatan negara dan kepentingan nasionalnya national interest. Di pihak lain asas ini sering menjadi batu sandungan dan hambatan bagi kelancaran penyelesaian masalah-masalah politik di tingkat internasional. 56 55 Setyo Widagdo, The basis of Equal Sovereignty Principles and Veto Arrangement in the United Nations Security Council Decision Making, hal. 3-5. 56 Pareira Mandalangi, 1986, Segi-Segi Hukum Organisasi Internasional, Binacipta, Bandung, hlm.70. Universitas Sumatera Utara Starke 57 Dengan demikian sesungguhnya prinsip atau asas “persamaan kedaulatan” dapat dikatakan sebagai suatu norma dasar hukum internasional umum atau jus cogens, yaitu suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tidak boleh dilanggar dan yang hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. juga mengatakan : “Pasal 2 Piagam PBB juga mengemukakan prinsip-prinsip tertentu. Dua dari prinsip ini ditetapkan untuk ketaatan organik oleh PBB sendiri, yakni bahwa dasar PBB adalah persamaan kedaulatan dari semua anggotanya dan bahwa PBB tidak akan campur tangan kecuali bila diperlukan “tindakan pemaksaan” dalam persoalan yang “pada dasarnya” berada dalam yurisdiksi dalam negeri suatu negara…” 58 Oleh karena itu asas tersebut sejajar dengan asas tentang larangan agresi non agression, asas non discrimination, asas self determination dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan jus cogens. 59 Menurut Schwarzenberger 60 57 Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional, terjemahan Sumitro, Aksara Persada indonesia, hlm.320 dan 321. 58 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni,Bandung,hlm.166. 59 Lihat Ian Brownlie, 1979, Principles Of Public International Law, Oxford University Press, Oxford, hlm.417. Lihat pula Mieke Komar, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969 MengenaiHukum Perjanjian Internasional, Bahan Kuliah FH-UNPAD, Bandung, hlm.118. 60 Schwanzerberger, 1960, International Law And Order, Stevens and Sons, London, hlm.30-31 dan43-47. untuk membentuk jus cogens atau premptory norm of general international law, suatu aturan hukum internasional harus memiliki sifat-sifat yang universalatau asas-asas yang fundamental, misalnya asas-asas yang bersangkutan harus mempunyai arti pentingluar biasa exceptionally significent dalam hukum internasional disamping arti penting istimewadibandingkan dengan asas-asas lainnya. Selain itu, asas tersebut merupakan bagian esensial daripadasistem hukum internasional yang ada atau mempunyai karakteristik yang merupakan refleksi darihukum internasional yang berlaku. Apabila sifat-sifat ini diterapkan, akan timbul tujuan asasfundamental Universitas Sumatera Utara dalam tubuh hukum internasional, yaitu kedaulatan, pengakuan, permufakatan, itikadbaik, hak membela diri, tanggung jawab internasional dan kebebasan di laut lepas. Prinsip kedaulatan merupakan suatu hak yang tidak dapat dicabut, karena merupakan ciri hakiki yang harus dipunyai oleh setiap negara apabila negara itu berkeinginan untuk tetap “exist” dalam pergaulan masyarakat internasional. Kedaulatan merupakan suatu ciri yang harus melekat pada negara. Dalam perkara Wemblendon 1929, Permanent Court Of International Justice PCIJ membenarkan dan menguatkan hak kekuasaan negara yang berdaulat untuk melaksanakan kedaulatannya. Demikian pula dalam Piagam PBB terdapat asas- asas kedaulatan negara yang harus dihormati oleh PBB sendiri sebagai suatu organisasi dunia terbesar pada saat ini. 61 PBB bukanlah organisasi supra negara atau supra nasional, hal ini tercermin dalam Pasal 2 ayat 1 Piagam PBB bahwa badan dunia tersebut didirikan atas dasar prinsip persamaan kedaulatan diantara semua negara anggotanya. PBB juga bukanlah suatu badan yang berdaulat, tidak seperti negara yang menurut sistem hukum internasional dapat bertindak apa saja asalkan tidak bertentangan prinsip-prinsip hukum secara umum atau kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam suatu perjanjian. Karena itu walaupun DK dikatakan mempunyai kekuasaan yang berlebihan ultra vires, hal itu tidak berarti kekuasaannya tidak terbatas, melainkan ada pembatasan-pembatasan secara hukum. Oleh sebab itu DK tidak dapat bertindak diluar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Pasal 24 ayat 2 dan Pasal 1 ayat 1 Piagam PBB. Kekuasaan DK PBB Tidak Tak Terbatas 62 Sesuai dengan Pasal 24 ayat 2 semua tindakan DK PBB yang dilakukan termasuk tindakan dalam rangka pengenaan sanksi, baik sanksi ekonomi maupun 61 Yudha Bhakti, op.cit, hlm. 172. 62 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus . . . op.cit, hlm. 166. Universitas Sumatera Utara sanksi militer haruslah tetap didasarkan atas prinsip-prinsipasas-asas dan tujuan PBB, yaitu tetap menghormati persamaan kedaulatan, hak negara untuk mempertahankan kemerdekaan politik dan keutuhan wilayah sesuatu negara. Dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional melalui langkah-langkah secara kolektif untuk mengatasi adanya ancaman dan pelanggaran perdamaian maupun tindakan agresi terhadap suatu negara, tindakan DK PBB sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 tersebut haruslah didasarkan prinsip- prinsip keadilan dan hukum internasional tanpa merugikan kepentingan nasional sesuatu negara. Dari uraian diatas nampaknya jelas bahwa yang menjadi dasar pengaturan persamaan kedaulatan dalam pengambilan keputusan di DK PBB adalah Pasal 2 ayat 1 Piagam PBB yang merupakan asas atau prinsip dari PBB dan seluruh organ-organnya. Artinya, DK PBB sebagai salah satu organ utama harus menempatkan persamaan kedaulatan sebagai landasan dalam setiap pengambilan keputusan.

4. Alasan Pembenar Secara Yuridis Digunakannya Hak Veto

Dalam Piagam PBB, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit menyatakan bahwa kelima negara anggota tetap DK PBB memiliki hak veto, namun secara implisit tersirat, hak veto itu muncul dari penafsiran Pasal 27 ayat 3 Piagam PBB, yang menyatakan : “Keputusan-keputusan DK mengenai hal-hal lainnya non prosedural akan ditetapkan dengan dengan suara setuju dari sembilan anggota termasuk suara bulat dari anggota-anggota tetap, dengan ketentuan bahwa dalam keputusan-keputusan dibawah Bab VI dan dibawah ayat 3 pasal 52 pihak yang berselisih tidak diperkenankan memberikan suaranya. Yang dimaksud “suara bulat anggota tetap” dalam Pasal 27 ayat 3 Piagam PBB tersebut diatas adalah berarti “hak veto”. Persoalan yang kemudian Universitas Sumatera Utara timbul adalah bagaimana menetapkan suatu persoalan termasuk “prosedural” atau “non prosedural” ? Bila diamati, dalam Piagam PBB sendiri tidak terdapat perumusan yang merupakan masalah prosedural ataupun non prosedural. Pada pertemuan di San Fransisco, keempat negara besar AS, Uni Sovyet, Inggris dan Cina telah membuat daftar, mana yang termasuk masalah prosedural, sebagai contoh keputusan yang didasarkan pada persoalan tata tertib Pasal 28-32 Piagam, pertanyaan yang sehubungan dengan agenda penundaan rapat. Sedangkan yang termasuk masalah non prosedural adalah rekomendasi untuk penyelesaian sengketa dan keputusan untuk tindakan dan kekerasan. Dalam hal adanya keragu- raguan apakah suatu kasus termasuk perkara prosedural atau non prosedural, maka masalah tersebut menjadi masalah non prosedural. 63 Padahal hak veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar DK memiliki kekuatan yang memadai, dalam prakteknya telah menyimpang dari maksud semula. Ternyata penggunaan hak veto oleh kelima negara anggota tetap DK, terutama AS telah digunakan dengan tidak ada batasnya. Lihatlah praktek penggunaan hak veto selama in, yang telah digunakan sebanyak 261 kali, sebagian Jika kita cermati, maka kewenangan anggota tetap DK PBB untuk melakukan veto terhadap masalah-masalah non prosedural, lebih bersifat politis, sehingga memang secara politis eksistensi hak veto kiranya dapat dibenarkan. Hal ini sebagaimana diuraikan terdahulu, dapat dijelaskan bahwa alasan sah bagi pemberian status luar biasa hak veto kepada kelima negara anggota tetap DK PBB adalah sehubungan dengan dibebankannya tanggung jawab yang berat kepada kelima negara anggota tetap tersebut dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Oleh karena itu kepada mereka harus diberikan hak suara final dan sekaligus penentu tentang bagaimana tanggung jawab itu harus dilaksanakan. Kiranya asumsi dan alasan ini merupakan suatu keputusan yang sangat politis sekali. 63 Sri Setianingsih Suwardi, loc.cit., hlm.293. Universitas Sumatera Utara besar diantaranya 123 kali oleh Uni SovyetRusia sampai pertengahan dasawarsa 1990 an. Sebagian besar diantaranya 59 dan 43 digunakan untuk mencegat anggota baru dan pencalonan Sekretaris Jenderal. Dalam 5 tahun belakangan ini, AS tercatat sebagai negara yang paling sering menggunakan hak veto 10 kali 64 Masalah yang lebih sulit adalah apabila DK PBB harus memutuskan suatu masalah dengan tidak hadirnya anggota tetap DK PBB. Bila masalah yang diputuskan adalah masalah prosedural, maka tidak hadirnya anggota tetap DK . Dengan demikian semakin mempertegas bahwa konsepsi hak veto menempatkan kelima negara anggota tetap DK PBB memiliki kedudukan dan atau kedaulatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara anggota PBB lainnya. Namun justru konsep tersebut bertentangan dengan asas persamaan kedaulatan principle of the sovereign equality. Dengan demikian, jika ada anggapan oleh sebagian besar anggota PBB bahwa secara yuridis eksistensi hak veto ini telah melanggar atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional umum, seperti persamaan kedaulatan, maka anggapan itu benar adanya. Oleh karena itu secara tegas dapat dikatakan bahwa sesungguhnya tidak ada alasan pembenar secara yuridis terhadap penggunaan hak veto, selain dalam Piagam PBB juga tidak ada ketentuan secara eksplisit. Penggunaan Veto Dalam Praktek Kekuatan veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar DK PBB mempunyai kekuatan yang manjur, dalam prakteknya telah menyimpang dari maksud semula. Ternyata penggunaan hak veto oleh negara yang mempunyai hak itu sering dipergunakan dengan tidak ada batasnya. Dalam praktek anggota DK PBB lebih senang memilih abstain daripada menggunakan suara negatifnya dalam hal DK PBB harus memutuskan suatu masalah. 64 Kusnanto Anggoro, Prioritas Dan Strategi Indonesia di DK PBB, Kompas, 30 Januari 2007, hlm. 5. Universitas Sumatera Utara PBB tidak menjadi masalah, tetapi jika keputusan yang harus diambil menyangkut masalah non prosedural, baru timbul masalah, karena masalah non prosedural harus diputus dengan suara 9 anggota DK PBB termasuk lima anggota tetap. Dalam praktek masalah veto ini telah diperlunak. Penafsiran Pasal 27 3 Piagam secara gramatika bahwa semua anggota tetap Dewan Keamanan harus memberikan suaranya agar suatu draft resolusi Dewan Keamanan dapat diputuskan; abstain dianggap suatu veto. Tetapi sejak permulaan berdirinya PBB telah ada praktik yang konsisten yang tidak menganggap bahwa absen sebagai veto dan ini telah diakui dalam praktik lihat keputusan Mahkamah Internasional dalam kasus Namibia. Dampak dari ketidakhadiran anggota tetap Dewan Keamanan dalam pemungutan suara terjadi tahun 1950 ketika Uni Soviet memboikot Dewan Keamanan, ketika Dewan Keamanan akan mengambil keputusan tentang masalah Korea. Korea Utara mengadakan invasi ke Korea Selatan, Dewan Keamanan mengambil resolusi yang menetapkan negara anggota dapat mengirimkan bantuan ke Korea Selatan. Pada waktu Dewan Keamanan mengambil keputusan Uni Soviet tidak hadir dalam pemungutan suara, karena Uni Soviet tidak setuju Taiwan menggantikan kedudukan Cina di Dewan Keamanan. Uni Soviet mengatakan bahwa keputusan Dewan Keamanan untuk kasus Korea tidak sah, karena diputus tanpa persetujuan Uni Soviet. Sebaliknya Uni Soviet Dipersalahkan melanggar Pasal 28 1 Piagam, dimana anggota Dewan Keamanan mempunyai kewajiban untuk menghadiri sidang Dewan Keamanan. Berdasarkan alasan ini maka Dewan Keamanan dapat mengambil keputusan walaupun salah satu anggota tetap tidak hadir. Sejak itu belum ada anggota tetap Dewan Keamanan memboikot Dewan Keamanan. Di dalam praktiknya saat ini, kewajiban untuk abstain pada salah satu pihak yang terlibat dalam sengketa anggota tetap Dewan Keamanan sering diabaikan. Salah satu contoh adalah Resolusi Dewan Keamanan dalam Kasus Lockerbie, dimana Dewan Keamanan telah mengambil keputusan terhadap Libya, Universitas Sumatera Utara dimana Inggris, Amerika Serikat dan Perancis mengambil bagian dalam pemungutan suara. 65 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak ada alasan pembenar secara yuridis digunakannya hak veto, tetapi jika ditelusuri, digunakannya hak veto itu ditafsirkan secara implisit dari pasal 27 ayat 3 Piagam PBB. Dilihat dari praktik veto sebagaimana diuraikan diatas, maka nampak sekali muatan politis dari digunakannya veto tersebut dalam pengambilan keputusan, sehingga pertimbangan politis lebih menonjol ketimbang pertimbangan-pertimbangan yuridisnya, bahkan kadang-kadang malah agak bertentangan dengan aspek yuridis. 66 65 Op.cit., hlm. 296-297. 66 Setyo Widagdo, The basis of Equal Sovereignty Principles and Veto Arrangement in the United Nations Security Council Decision Making, hal. 7-11. Universitas Sumatera Utara BAB IV TINJAUAN YURIDIS ATAS UPAYA REFORMASI DEWAN KEAMANAN PBB

A. Upaya Reformasi Dewan Keamanan PBB

Isu reformasi Dewan Keamanan merupakan salah satu perdebatan abadi nan panjang yang telah dibahas setidaknya selama 18 tahun, beberapa bahkan mengatakan bahwa masalah ini sama tuanya dengan umur Dewan Keamanan itu sendiri. Karena kelemahan, kecacatan dan ketidakadilan yang terdapat dalam DK PBB, perdebatan dan proposal yang beragam mengenai reformasi Dewan Keamanan telah muncul. Walaupun setelah berakhirnya Perang Dingin, ketika Dewan menjadi lebih efisien dan lebih terlibat dalam berbagai masalah internasional dan operasi penjaga perdamaian, tuntutan untuk melakukan reformasi di badan tersebut malah terus meningkat. Salah satu penjelasan yang dapat diberikan mengenai fenomena ini mungkin setelah berakhirnya Perang Dingin, negara-negara anggota PBB menaruh kembali kepercayaan mereka yang hilang di Dewan dan karena itu mulai berusaha lebih keras untuk membuat struktur DK PBB sesuai dengan realitas dunia saat ini. Struktur DK sebagian besar masih sama dengan struktur awal pada tahun 1946 dan tidak mencerminkan distribusi kekuatan dunia saat ini dan situasi geopolitik masa kini. Saat ini, sebagian besar anggota tetap DK bukanlah negara yang paling stabil dan paling kuat di dunia, akan tetapi sayangnya mereka masih memiliki kekuatan yang memungkinkan mereka untuk memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap setiap keputusan, kebijakan dan agenda dari Dewan Keamanan itu sendiri. Universitas Sumatera Utara Secara umum, proposal yang diusulkan oleh negara-negara dalam upaya reformasi Dewan Keamanan PBB menyangkut dan membahas lima persoalan kunci sebagai berikut: 1 Jenis keanggotaan Categories of membership 2 Persoalan hak veto Question of veto 3 Keterwakilan kawasan Regional representation 4 Jumlah anggota DK setelah perluasan serta metoda kerjanya Size of the enlarge Security Council and its working methods; dan 5 Hubungan antara DK dengan Majelis Umum PBB The relationship between the Security Council and the General Assembly. 67 Dalam pembahasan reformasi DK PBB, isu yang paling contentious atau panas adalah mengenai perluasan keanggotaan tetap dan hak veto. Berbagai usulan yang diajukan dalam beberapa tahun terakhir ini antara lain dari kelompok Uniting for Consensus - UfC, G-4, Kelompok Afrika belum berhasil menjembatani perbedaan fundamental antara negara-negara anggota PBB.

1. Kelemahan yang Terdapat di Dewan Keamanan dan Proposal untuk melakukan Reformasi

Dewan Keamanan PBB bukanlah lembaga atau institusi yang sempurna. Kelemahan mendasar dari organ ini telah menyebabkan banyaknya tuntutan dari sebagian besar negara-negara anggota PBB untuk melakukan reformasi. Hubungan antara Dewan Keamanan dan Majelis Umum yang tegang bukan hanya karena Dewan Keamanan adalah sebuah organ eksklusif yang berisi lima belas anggota yang tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan umum dari mayoritas anggota PBB. Sebagaimana fakta menunjukkan bahwa badan ini mampu mengeluarkan keputusan yang bersifat mengikat sementara resolusi dari Majelis Umum yang berisi 193 anggota sama sekali tidak mengikat secara hukum 67 http:kemlu.go.idPagesIIssueDisplay.aspx?IDP=13l=id, situs resmi kementerian luar negeri Republik Indonesia, diakses tanggal 15 Mei 2013. Universitas Sumatera Utara serta kepercayaan dari banyak anggota PBB bahwa Dewan Keamanan semakin memperluas mandatnya merupakan faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap hubungan yang tidak nyaman ini. 68 Reformasi yang pertama dan satu-satunya terhadap Dewan Keamanan terjadi pada tahun 1965 yaitu terjadinya penambahan jumlah anggota tidak tetap Dewan Keamanan. Alasan utama dari reformasi ini adalah bahwa jumlah negara- negara anggota PBB telah lebih dari dua kali lipat dari jumlah semula dan telah meningkat dari 51 negara menjadi 114 negara. Sejak reformasi itu, jumlah negara anggota PBB telah meningkat secara substansial lagi terutama setelah pecahnya Uni Soviet banyak anggota baru bergabung dengan PBB. Hari ini, PBB memiliki 193 anggota. Ketidakseimbangan jumlah anggota antara Majelis Umum dengan DK PBB membuat DK PBB sangat eksklusif dan justru menunjukkan salah satu ketimpangan utama dari Dewan ini. Ukuran jumlah dari Dewan ini sangat tidak mencerminkan perkembangan keanggotaan PBB dan juga ini bertentangan dengan isi Pasal 2 Piagam; yaitu “prinsip persamaan kedaulatan dari semua ... anggota. Fokus reformasi PBB tertuju pada upaya untuk menjadikan Dewan Keamanan DK lebih demokratis dan representatif. Banyak negara memandang bahwa Dewan Keamanan PBB perlu direformasi karena tidak lagi mencerminkan realitas geopolitik dan tidak mencerminkan keterwakilan kawasan secara merata. Diperlukan upaya rebalancing antara kawasan dan meningkatkan keterwakilan negara berkembang di Dewan Keamanan yang merupakan 23 dari seluruh negara anggota PBB. 69 68 Pernyataan dari Robert Hill mantan Duta Besar Australia untuk PBB dalam sebuah wawancara khusus yang dilakukan oleh Sahar Okhovat pada bulan Juni 2011. 69 Weiss, ‘Overcoming Security Council Reform Impasse’, hal. 10. Hal inilah yang menyebabkan mengapa banyak negara menuntut agar jumlah dari anggota tetap dan anggota tidak tetap dari DK PBB ditambah. Keterwakilan kawasan dari anggota Dewan juga banyak menuai kritik. DK PBB memiliki dua anggota tetap yang berasal dari Eropa Barat. Sementara Afrika, benua terpadat kedua dan Amerika Selatan tidak memiliki satupun perwakilan tetap di badan tersebut. Universitas Sumatera Utara Usulan agar diadakannya reformasi dalam tubuh Dewan Keamanan PBB disebabkan oleh ketidak efektifan negara-negara pemegang hak veto dalam menyelesaikan masalah perdamaian dan keamanan internasional serta penyalahgunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan. Hal ini terlihat dari kasus penggunaan hak veto pada perang Korea oleh Uni Soviet, penyalahgunaan hak veto dalam penyelesaian konflik terusan Suez 1956 antara Inggris dan Perancis, ketidak pedulian Amerika Serikat AS pada himbauan PBB untuk menghentikan invasi atas Irak pada tahun 2003 dan yang terakhir dari kasus akhir-akhir ini yang melanda Suriah akibat konflik kepentingan dari negara- negara anggota tetap DK PBB khususnya antara Amerika Serikat dengan Rusia. Keterangan-keterangan diatas menunjukkan dan menggambarkan mengapa hak veto menjadi salah satu titik lemah terbesar dalam Dewan Keamanan dan menjadi faktor utama yang menjadikan organ ini tidak demokratis. Kurangnya transparansi dari organ ini, bagaimana metode kerjanya hingga agenda-agendanya yang kontroversial, semuanya menjadi bahan kritikan sejak awal berdirinya dan pada akhirnya menimbulkan tuntutan yang kuat terhadap reformasi badan tersebut. Banyak negara yang kritis terhadap agenda Dewan karena mereka percaya konflik yang terjadi di Eropa, Afrika dan Timur Tengah lebih cenderung muncul dalam agenda DK PBB dibandingkan konflik yang terjadi di Asia dan Amerika Selatan. Bahkan, peran Dewan Keamanan dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional memiliki pendekatan yang berbeda di masing-masing wilayah negara yang berbeda. 70 Yang terakhir, titik lemah dari Dewan Keamanan yang akan ditunjukkan yaitu sesungguhnya anggota tetap Dewan, setidaknya dalam satu dekade terakhir, merupakan lima dari sepuluh negara-negara pengekspor senjata terbesar di dunia. Dari tahun 2000 sampai 2010, bersama-sama mereka bertanggung jawab terhadap 71 persen total ekspor senjata konvensional yang dilaporkan. Pasal 26 menyatakan bahwa Piagam dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional, Dewan Keamanan harus bertanggung jawab untuk merumuskan, dengan bantuan 70 Ibid., hal. 15. Universitas Sumatera Utara Komite Staf Militer ... rencana yang akan disampaikan kepada para Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pembentukan sistem pengaturan persenjataan . 71 Oleh karena itu, para anggota tetap Dewan Keamanan, beberapa eksportir senjata terbesar, bertanggung jawab membangun sistem regulasi persenjataan dan harus mengontrol perdagangan besar ini. Konflik kepentingan ini tidak memungkinkan Dewan Keamanan untuk memenuhi tanggung jawabnya. Seperti apa yang Jimmy Carter akui dan jelaskan dengan baik dalam kampanye presidennya di tahun 1976. Dia mengatakan bahwa kita tidak bisa memiliki kedua-duanya. Kita tidak bisa menjadi negara pendukung kedamaian terkemuka di dunia sekaligus menjadi negara pemasok persenjataan terbesar di dunia. 72 Beberapa proposal reformasi Dewan Keamanan dalam berbagai kategori ukuran, hak veto, representasi kawasan, penggolongan keanggotaan, dan metode kerja telah dikembangkan selama bertahun-tahun. Usulan untuk perluasan Dewan Keamanan, baik dengan penambahan anggota tetap atau tidak tetap, telah memperoleh kemajuan yang relatif. Jerman dan Jepang, dua kontributor utama program PBB, bersama dengan India negara terpadat kedua dan Brasil membentuk sebuah kelompok yang disebut G-4 dalam rangka untuk melobi secara kolektif dan saling mendukung upaya mereka satu sama lain untuk mendapatkan keanggotaan permanen di Dewan Keamanan. Di sisi lain, ada beberapa negara yang menentang tawaran G-4, terutama karena persaingan politik regional dan karena kekhawatiran tentang posisi mereka sendiri jika tetangga atau saingan mereka mendapatkan kursi permanen di Dewan. Mereka membentuk kelompok oposisi yang disebut Uniting for Consensus. Anggota inti dari kelompok ini adalah Italia, Pakistan, Korea Selatan, Meksiko, Argentina, Spanyol, Turki, Kanada, dan Malta dan mereka menganjurkan penambahan kursi non- permanen. Mengingat Korea Selatan tidak ingin Jepang mendapatkan kursi permanen, Pakistan menentang India, Argentina dan Meksiko menentang 71 The United Nations, Charter of the United Nations 1945, http:www.un.orgendocumentscharterindex.shtml, diakses tgl 28 Agustus 2011. 72 Anup Shah, The Arms Trade is Big Business, updated 5 October 2010, http:www.globalissues.orgarticle74the-arms-trade-is-big-business, diakses tanggal 28 Agustus 2011. Universitas Sumatera Utara keanggotaan permanen Brasil, dan Spanyol dan Italia dapat dianggap sebagai saingan utama politik regional dari Jerman. 73 Boleh-boleh saja kita mengatakan, sebagaimana yang dikatakan oleh mantan Duta Besar Australia untuk PBB, bahwa negara-negara yang tergabung dalam Uniting for Consensus tidaklah bergabung dikarenakan pemufakatan antara mereka tetapi karena penentangan terhadap salah satu dari rival mereka yang ada di kelompok G-4. 74 Tentunya, negara-negara tersebut tidak secara terbuka mengakui fakta ini dan menyatakan bahwa penentangan mereka terhadap penambahan kursi permanen adalah karena reformasi demokratis dan representatif tidak dapat dicapai melalui penambahan anggota tetap. Mereka percaya bahwa usaha G-4 untuk menambah kursi anggota tetap tidak efektif karena hanya akan memberikan hak istimewa ke beberapa negara sementara tidak memperdulikan sebagian besar negara lain. 75 Berbeda dengan sikap mereka beberapa tahun yang lalu, para anggota tetap mulai mendukung beberapa proposal reformasi pada perluasan keanggotaan dan telah menjadi pandangan umum dari mayoritas negara-negara. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Kugel, sifat Dewan Keamanan yang relatif lebih terbuka terhadap beberapa usulan reformasi, seperti perluasan anggota tetap Dewan, dimaksudkan untuk melegitimasi kursi mereka di Dewan Keamanan sebagai anggota tetap dan juga untuk melegitimasi keputusan mereka sendiri. Para anggota tetap DK PBB itu sangat menyadari bahwa mayoritas keputusan dewan sangat berpengaruh dan menyangkut negara-negara Afrika yang tidak memiliki perwakilan tetap di Dewan dan karena itu mereka menyadari bahwa mereka harus memberikan dukungan suara yang lebih kuat ke benua itu. Ini adalah alasan utama dukungan mereka terhadap penambahan kursi Afrika ke Dewan Keamanan. Para anggota tetap Dewan Keamanan juga mulai mendukung beberapa kandidat yang berasal dari kelompok G-4. AS baru-baru ini mendukung tawaran India serta 73 John Langmore, A Step towards Security Council Reform, dibuat pada bulan Oktober 2008, http:www.nautilus.orgpublicationsessaysapsnetpolicy-forum2008langmore-UNSC, diakses tgl 28 Agustus 2011. 74 Pernyataan dari Robert Hill mantan Duta Besar Australia untuk PBB dalam sebuah wawancara khusus yang dilakukan oleh Sahar Okhovat pada bulan Mei 2011. 75 Alischa Kugel, ‘Reform of the Security Council: A New Approach’, Friedrich Ebert Stiftung, Jurnal Singkat Nomor 12 September 2009, hal. 4. Universitas Sumatera Utara Jepang dan Brasil meskipun tidak pernah secara terbuka mendukung Jerman. Seorang pejabat Australia, memberikan keterangan dan percaya bahwa sebenarnya Amerika tidak mendukung tawaran dari G-4. Secara bijaksana AS tidak menyatakan sikap mereka secara jelas tentang keengganan mereka untuk memberikan dukungan itu karena mereka tidak ingin dianggap sebagai penghambat reformasi Dewan Keamanan PBB. Pejabat Australia tersebut percaya pada fakta bahwa semua anggota G-4 yang hadir di Dewan memilih abstain dari pemungutan suara untuk menjatuhkan resolusi ke Libya membuat Amerika lebih ragu-ragu dalam melanjutkan dukungan mereka terhadap kelompok G-4 ini. Akan tetapi negara Inggris, Perancis, dan Rusia, lebih mendukung anggota G-4 dalam masalah ini. Perancis dan Inggris, khususnya, mendukung upaya negara-negara Afrika untuk memperoleh kursi tetap di Dewan Keamanan. Sikap China, malah jauh lebih berbeda. Negara ini tidak mendukung penambahan anggota tetap dan menentang upaya dari kelompok G-4 tersebut. Meskipun, negara ini bukan bagian dari “Uniting for Consensus”, pihaknya sangat mendukung kepentingan kelompok ini dan melakukan lobi untuk kepentingan mereka. Meskipun China tidak secara terbuka menegaskan penolakannya terhadap G-4 tetapi banyak kalangan menilai bahwa kehadiran Jepang di G-4 merupakan alasan utama dibalik penolakan China. Ada juga usulan reformasi lainnya terhadap perluasan keanggotaan di Dewan Keamanan. “The Ezulwini Consensus” yang diadopsi pada tahun 2005 oleh Uni Afrika African Union, meminta alokasi dua kursi permanen disertai hak veto serta dua kursi non-permanen pada benua Afrika itu. Ambisi yang frontal dari usulan reformasi ini terutama dalam hal meminta perolehan hak veto serta ketidakmampuan negara-negara Afrika untuk menyepakati negara Afrika mana yang akan menjadi kandidat terhadap usulan ini menyebabkan masalah besar yang menghambat proposal ini. Beberapa dari kandidat Afrika yang berpotensial telah memahami kelemahan dari perjanjian ini mungkin berpikir berhenti untuk memberikan dukungan terhadap Konsensus Ezulwini. Namun, tindakan ini yang dapat membahayakan status mereka untuk Uni Afrika African Union dan juga bisa berakibat buruk terhadap status mereka sebagai perwakilan dari Afrika. Universitas Sumatera Utara Selama Pemerintahan Howard, Australia menyarankan reformasi Dewan Keamanan berupa usulan agar badan tersebut seperti deretan bertingkat tiga dimana anggota kelompok G-4 dan Indonesia bergabung sebagai anggota tetap tanpa hak veto. Dikatakan bahwa proposal ini bisa memberikan dukungan suara yang lebih kuat terhadap negara-negara berkembang dan kehadiran Indonesia akan menjadi perwakilan sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Namun, tampaknya dukungan kepada Indonesia telah menurun dan menjauh dari wacana publik. Pada umumnya banyak negara memberikan dukungan kepada kelompok African Union untuk menempatkan dua wakilnya di Dewan Keamanan Tetap PBB, dan juga kelompok G-4 selain Jerman karena mereka menilai bahwa perwakilan Eropa sudah sangat besar di Dewan. Mereka percaya bahwa tak seorang pun memiliki monopoli atas pengambilan keputusan terkait masalah ini dan karena itu mendukung reformasi Dewan Keamanan dan metode kerjanya. Banyak pihak juga menyadari bahwa upaya reformasi terhadap hak veto merupakan isu kontroversial dengan sedikit peluang untuk sukses. John Langmore, dalam artikelnya mengatakan bahwa salah satu proposal reformasi yang lebih mudah dan dapat diterima adalah upaya peningkatan jumlah anggota tidak tetap Dewan Keamanan dan menggabungkannya dengan penghapusan klausul yang melarang anggota non-permanen untuk mengajukan pencalonan kembali sebagai anggota sebelum mereka pensiun. Saran ini mungkin terdengar sangat menarik bagi para anggota G-4, karena ini bisa membantu mereka tetap berada di Dewan Keamanan dalam waktu yang lama tanpa menarik banyak pihak oposisi ketika mereka nantinya secara jelas mengutarakan keinginan mereka untuk memperoleh kursi permanen di Dewan. Yang terakhir ada masukan yang menyarankan bahwa para anggota G-20 dapat menjadi kandidat yang cocok untuk keanggotaan DK PBB karena mereka mewakili lebih dari 65 populasi penduduk dunia dan gabungan PDB mereka memiliki persentase yang besar dari total PDB dunia. Namun kebanyakan para ahli dan khususnya Australia tidak mendukung usulan ini. John Langmore khususnya sangat menentang hal itu dengan alasan bahwa para anggota G-20, Universitas Sumatera Utara meskipun dipilih dengan baik dalam hal kekuatan ekonomi yang mereka miliki dan keterlibatan mereka dalam perdagangan serta representasi daerah, dikhawatirkan malah akan membuat Dewan Keamanan lebih tidak demokratis karena negara-negara kecil dan miskin dengan tidak adanya prospek mereka bergabung ke dalam kelompok G-20 akan membuat mereka tidak dapat memiliki akses dan tidak dapat memiliki perwakilan di Dewan Keamanan. Selain itu, fungsi G-20 serta kebijakan-kebijakan yang menyertainya baru-baru ini telah banyak menuai kritik terutama karena banyak negara anggota PBB menganggap PBB lah yang seharusnya bertindak sebagai mekanisme utama terhadap pembangunan ekonomi global, bukan kelompok G-20. Meskipun usulan tentang perluasan keanggotaan Dewan merupakan usulan terkemuka, ada pandangan umum di kalangan negara-negara anggota PBB yang berpandangan bahwa pemenuhan usulan perluasan keanggotaan DK PBB tidak harus menjadi prasyarat untuk pengajuan usulan reformasi lainnya. Hak Veto dan metode kerja Dewan Keamanan harus direformasi juga. Ada beberapa usulanproposal mengenai reformasi hak veto mulai dari membatasi penggunaannya terhadap isu-isu penting keamanan nasional, penghapusannya secara menyeluruh, serta permintaan untuk perluasannya bagi anggota tetap Dewan Keamanan yang baru. Kategori reformasi ini adalah yang paling kontroversial yang mengundang banyak perdebatan dan tidak memiliki dukungan yang kuat. Oleh karena itu, hak veto biasanya tidak berada dalam agenda debat internasional mengenai reformasi DK PBB dan tidak banyak negara yang meminta dukungan terhadap isu tersebut. Ketika ditanya antisipasi tentang masa depan reformasi hak veto, seorang komentator menegaskan bahwa ia akan sangat terkejut jika kami dapat membuat banyak kemajuan dalam masalah ini. Pandangan ini juga dipercayai oleh para ahli lainnya yang percaya bahwa para anggota tetap DK PBB tidak akan menyerahkan kekuasaan hak veto mereka dengan mudah, sehingga gagasan untuk melakukan reformasi hak veto hampir terdengar mustahil. Walaupun demikian, John Langmore berpikir ada kemungkinan di masa depan para anggota tetap Dewan Keamanan dapat Universitas Sumatera Utara menyetujui mengenai pembatasan keadaan di mana saja dan dalam hal apa saja hak veto dapat digunakan. Akan tetapi perkembangan usulan mengenai pembatasan hak veto tersebut lebih cenderung pembatasan dalam bentuk norma- norma ketimbang pembatasan mengikat secara hukum. 76 76 Pernyataan dari Robert Hill mantan Duta Besar Australia untuk PBB, John Langmore Presiden Asosiasi Australia untuk PBB dan pejabat Australia dalam sebuah wawancara khusus yang dilakukan oleh Sahar Okhovat pada bulan Juni 2011. Di sisi lain, mayoritas negara mendukung perbaikan dalam metode kerja Dewan Keamanan dan mencoba untuk membuat Dewan lebih transparan tentang pertemuan- pertemuannya dan keputusan-keputusan yang dikeluarkannya. Beberapa pihak juga berpendapat bahwa perluasan Dewan Keamanan akan membuat badan tersebut terlalu besar dan akibatnya menyebabkan DK PBB tidak terkendali dan tidak efektif. Namun, organ ini perlu diperluas seperti yang terjadi pada tahun 1965. Reformasi ini tidak akan tercapai dengan mudah. Saat ini sudah banyak dukungan dibandingkan sebelumnya dari negara-negara anggota PBB terhadap upaya reformasi Dewan Keamanan untuk keterwakilan kawasan yang lebih adil serta perluasan Dewan Keamanan. Lagi-lagi masalah utama yang muncul adalah tentang menyepakati rincian dari proposal reformasi itu. Mungkin sangat kelihatan bahwa mayoritas masyarakat internasional mendukung perluasan Dewan tetapi jika kita menggali lebih dalam, kita dapat melihat ada perbedaan pendapat yang mendasar mengenai kandidat maupun proposal mana yang terbaik. Oleh karena itu, timbul pertanyaan baru apakah mereka dapat mencapai suatu konsensus tentang reformasi Dewan, dan yang lebih penting proposal manakah yang lebih populer, yaitu tentang perluasan keanggotaan atau perbaikan prosedur kerja Dewan yang secara efektif dapat meningkatkan akuntabilitas dan kinerja Dewan.

2. Waktu yang Tepat untuk Melakukan Upaya Reformasi Dewan Keamanan

Piagam PBB telah diamandemen sebanyak tiga kali: dua kali untuk memasukkan perubahan jumlah kursi Dewan Ekonomi dan Sosial ECOSOC dan Universitas Sumatera Utara sekali pada tahun 1963 untuk mengakomodir perluasan anggota tidak tetap Dewan Keamanan yang sejauh ini merupakan satu-satunya reformasi terhadap Dewan Keamanan ini . Pada tahun 1963 jumlah anggota tidak tetap meningkat dari 6 menjadi 10 sehingga berakibat pada jumlah suara setuju yang diperlukan untuk mengesahkan suatu resolusi disamping suara setuju dari lima anggota tetap berubah dari 7 suara menjadi 9 suara. Bagaimanapun, jumlah anggota tetap Dewan Keamanan tetap utuh dan tak berubah sedikitpun. Beberapa kalangan berpendapat bahwa dampak nyata dari reformasi baru bisa dirasakan beberapa tahun kemudian setelah berakhirnya Perang Dingin karena sebelum waktu itu Dewan dianggap tidak efektif sebagai akibat dari perpecahan ideologis antara negara super power. Pertanyaan mengenai masalah representasi yang adil dan jumlah anggota Dewan Keamanan pernah dimasukkan dalam agenda Majelis Umum pada tahun 1979 atas permintaan beberapa negara termasuk India dan Nigeria, tapi tidak pernah ditanggapi hingga tahun1992. Dapat diyakini bahwa Agenda for Peace Sekretaris Jenderal Boutros Ghali yang diterbitkan pada Januari 1992 telah memberikan pengaruh yang besar dalam mengarahkan perhatian publik pada masalah reformasi Dewan ini. Pada tahun 1993, Boutros Ghali atas permintaan dari Majelis Umum, menyerahkan laporan yang berisi komentar-komentar dari negara-negara Anggota PBB tentang pandangan mereka terhadap keanggotaan DK PBB. Pada bulan Desember tahun itu dan selama sesi ke-48 Majelis Umum, Kelompok Kerja Terbuka mempertanyakan perwakilan yang adil terhadap keanggotaan Dewan Keamanan serta penambahan anggota Dewan Keamanan dan hal-hal lain terkait dengan Dewan Keamanan. Kelompok ini mengadakan pertemuan selama 3 putaran dan menghasilkan laporan dan rekomendasi mengenai isu-isu yang berkaitan dengan keanggotaan dan hak veto serta masalah yang berkaitan dengan transparansi Dewan. Namun mereka tidak bisa mencapai kesepakatan tentang segala hal. Pertemuan-pertemuan lain yang berikutnya dari kelompok ini selama sesi sidang Majelis Umum tidak membuahkan hasil. Dan pada peringatan ulang tahun PBB yang ke-60, perdebatan yang terjadi membahas Universitas Sumatera Utara isu yang hampir sama dengan perdebatan yang terjadi ketika peringatan ulang tahun PBB yang ke-50. Satu-satunya perbedaan yang dapat dirasakan adalah bahwa pada tahun 2005 negara-negara seperti Jerman, Brasil, India dan Jepang menjadi lebih tegas dan vokal dalam mengajukan tuntutan proposal mereka. Setelah konflik yang dikobarkan AS terhadap Irak, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, membentuk Panel Tingkat Tinggi yang diberi nama High Level Panel On Threats, Challenge and Changeuntuk melaporkan dan meneliti segala aspek yang berbeda dari PBB termasuk Dewan Keamanan. Panel ini merekomendasikan dua model mengenai perluasan DK PBB. Kedua model mengusulkan peningkatan jumlah masing-masing enam bagi wakil-wakil dari Afrika, Asia Pasifik, Eropa dan Amerika, sehingga total anggota DK PBB berjumlah 24. Model A menyediakan enam kursi anggota tetap, tanpa hak veto, sedangkan untuk kursi anggota tidak tetap disediakan tiga kursi dengan jangka waktu 2 tahun. Untuk model A dapat terlihat dalam tabel di bawah ini. Model A Regional Jumlah Negara Kursi Anggota Tetap Kursi Anggota Tetap Yang Diminta Kursi Anggota Tidak Tetap Yang Diminta 2 tahun Tidak diperbarui Total Afrika 53 2 4 6 Asia- Pasifik 56 1 2 3 6 Eropa 47 3 1 2 6 Amerika 35 1 1 4 6 Total 191 5 6 13 24 Sumber : Report of The Secretary General’s High Level Panel on Treaths, Challenges and Change, A More Secure World: Our Shared Responsibility United Nations, 2004. Universitas Sumatera Utara Dalam Model B, panel sengaja meniadakan keberadaan permintaan kursi anggota tetap. Meski demikian panel juga menciptakan kategori baru yang terdiri dari delapan kursi anggota yang setiap 4 tahun dapat diperbarui dan satu kursi anggota tidak tetap yang tidak dapat diperbarui selama jangka waktu 2 tahun. Proposal ini cukup efektif mengingat dari keluwesan yang senantiasa dapat diterapkan pada empat wilayah dunia seperti Afrika, Asia-Pasifik, Eropa dan Amerika. Untuk model B dapat terlihat dalam tabel di bawah ini. Model B Regional Jumlah Negara Kursi Anggota Tetap Kursi Anggota Jangka Waktu 4 tahun Dapat Diperbarui Kursi Anggota Tidak Tetap Yang Diminta 2 tahun Tidak diperbarui Total Afrika 53 2 4 6 Asia- Pasifik 56 1 2 3 6 Eropa 47 3 2 1 6 Amerika 35 1 2 3 6 Total 191 5 8 11 24 Sumber : Report Of The Secretary General’s High Level Panel on Treaths, Challenges and Change, A More Secure World: Our Shared Responsibility United Nations, 2004. Namun demikian, tidak ada usulan mengenai penghapusan hak veto dan Kofi Annan tidak menjelaskan pandangannya mengenai hal ini. Lalu Kofi Annan, menyerahkan rekomendasi tersebut kepada para peserta KTT Global tahun 2005 dan mendesak negara-negara yang hadir untuk memutuskan dan menyetujui satu model dari usulan tersebut. Namun KTT tersebut tidak membuahkan hasil. Walaupun demikian, negara-negara yang hadir pada umumnya setuju bahwa Universitas Sumatera Utara diskusi tentang masalah ini harus terus dilanjutkan. Panel Tingkat Tinggi juga menunjuk kepada acuan ketentuan Piagam yang mengatakan bahwa anggota tidak tetap harus dipilih dengan lebih memperhatikan kontribusi mereka terhadap pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Konsekuensinya adalah bahwa negara-negara yang memberikan kontribusi yang yang lebih besar kepada PBB baik finansial, militer, maupun diplomatik diusulkan untuk memiliki keterlibatan yang lebih dalam pengambilan keputusan di Dewan Keamanan. Oleh karena itu, Panel mengusulkan agar negara-negara maju yang mengalokasikan 0,7 dari pendapatan nasional mereka untuk bantuan pembangunan PBB dianggap lebih layak menjadi anggota non-permanen di Dewan Keamanan PBB. Kegagalan KTT Global tahun 2005 untuk memperoleh kesepakatan mengenai reformasi Dewan Keamanan membuat negara-negara anggota PBB mengurangi upaya mereka dalam hal itu. Kelompok Kerja Panel Tingkat Tinggi tetap menganggur sampai awal tahun 2007 ketika Presiden Majelis Umum mengembalikan fungsinya. Ketidak efektifan Kelompok Kerja tersebut menyebabkan munculnya seruan untuk mengganti kelompok tersebut dengan perundingan antar pemerintah langsung. Seruan tersebut akhirnya membuahkan hasil dan pada bulan September 2008, negara-negara anggota setuju untuk memindahkan perundingan ketingkat perundingan antar pemerintah yang didasarkan pada proposal yang diajukan oleh negara-negara anggota. Itu bukanlah perubahan yang mudah dan kelanjutan dari perundingan itu penuh dengan perdebatan yang sengit dan panas. Alasan utama pihak oposisi dari beberapa negara adalah bahwa kesepakatan mengenai usulan terhadap Kelompok Kerja hanya bisa diputuskan melalui mekanisme konsensus saja sementara perundingan antar pemerintah bisa diputuskan hanya dengan mekanisme suara mayoritas dari negara-negara anggota. Dengan begitu pihak oposisi menilai, ada kemungkinan dari beberapa usulan reformasi yang bisa membahayakan dan mengancam kepentingan beberapa negara, dapat dilaksanakan tanpa persetujuan dari semua negara anggota. Universitas Sumatera Utara Sejauh ini, perundingan antar pemerintah yang diketuai oleh Zahir Tanin, Perwakilan Tetap Afghanistan di PBB, belum bisa dibilang sukses. Alasan utama yang menjadi penyebab kurangnya keberhasilan tersebut dikarenakan negara- negara anggota masih menegaskan kembali sikap lama mereka dan enggan untuk berkompromi. Kelompok G-4 dan African Union menganjurkan untuk penambahan kursi permanen sedangkan anggota kelompok Uniting for Consensus menentang mereka dan menganjurkan untuk penambahan kursi non-permanen saja. Ada begitu banyak proposal reformasi dalam setiap kategori reformasi dan ini membuat usaha reformasi menjadi tidak produktif. Perundingan putaran pertama antar pemerintah terfokus pada memperoleh usulanproposal dari negara- negara anggota PBB pada lima persoalan kunci terkait masalah reformasi. Membahas persoalan kunci tersebut secara lebih mendalam pada putaran kedua. Menjelang akhir putaran pertama, ada muncul harapan bahwa kedua kelompok negara yang bertentangan mungkin akan mencapai kesepakatan mengenai masalah perluasan Dewan dengan mempertimbangkan metode pendekatan jalan tengah. Pendekatan ini mengusulkan bahwa reformasi yang diterapkan, seperti penambahan kursi anggota tetap, mesti tunduk pada peninjauan dan penilaian ulang setelah jangka waktu tertentu. Bagaimanapun, Pendekatan jalan tengah ini dihadapkan dengan masalah yang sama karena ada terlalu banyak variasi yang dikemukakan oleh berbagai negara. Selain itu, tidak semua negara mendukung solusi ini dan ada penentangan yang kuat dari India dan negara-negara Afrika sehingga menghambat kemajuannya. Namun saat ini, ada secercah harapan bahwa solusi ini dapat memecahkan kebuntuan dalam perundingan dibandingkan yang terjadi pada tahun 2009. Pada bulan Mei 2010 dan atas saran dari beberapa negara, Duta Besar Zahir Tanin mengirim draft pertama kepada semua negara anggota yang berisi proposal utama dan parameter dalam rangka melakukan reformasi terhadap Dewan Keamanan dan meminta saran dan tanggapan dari mereka. Dengan demikian, proses reformasi memasuki tahap perundingan antar pemerintah berbasis negotiating textatau naskah tertulis. Kemudian Zahir Tanin memasukkan Universitas Sumatera Utara saran dan tanggapan dari negara-negara anggota dalam revisi pertama dari negotiating text dimaksud selama pertemuan putaran pertama perundingan antar pemerintah dari total lima putaran yang disepakati. Lalu pada tanggal 2 Juni 2010, negara-negara sepakat untuk menggunakan negotiating text tersebut sebagai dasar untuk melakukan perundingan. Sejak saat itu dan selama rapat pleno informal Majelis Umum PBB, banyak negara menyerukan revisi dan peringkasan terhadap negotiating text tersebut. Khususnya, para anggota G-4 yang semakin tidak sabar, menekankan urgensi dari reformasi dan menyerukan peringkasan negotiating text sehingga perundingan yang sebenarnya bisa mulai. Sejauh ini, negotiating text telah direvisi tiga kali dengan revisi terakhir diselesaikan pada bulan Februari 2011. Tampaknya perundingan antar pemerintah akan melalui jalan yang sama seperti yang terjadi dengan Kelompok Kerja dahulu. Negara-negara anggota masih memegang teguh pendirian awal mereka dan mengulangi sikap mereka. Sementara negara-negara G-4 menggunakan setiap kesempatan untuk mempercepat proses perundingan, para anggota Uniting for Consensus cenderung memperlambat proses dengan memberikan perhatian terlalu banyak pada prosedur dan menekankan kepada negara-negara bahwa mereka harus setuju pada prinsip- prinsip reformasi yang pertama. Putaran terakhir perundingan ini terjadi pada bulan Maret 2011. Para anggota G-4 merasa tidak puas dengan perundingan antar pemerintah yang terkesan lamban dan campur tangan terus menerus yang dilakukan oleh para anggota Uniting for Consensus, memutuskan untuk mengambil inisiatif dan memotong perundingan mereka dengan memperkenalkan resolusi yang baru. Resolusi itu memiliki potensi untuk mengarahkan perdebatan sehingga dapat menghasilkan hasil yang lebih praktis. Resolusi tersebut berisi permintaan perluasan Dewan baik dari segi kursi anggota tetap maupun anggota tidak tetap. Pada bulan Juli 2011, Jepang dan Brazil yang sangat aktif dalam melobi negara- negara lain untuk mengamankan dukungan suara terhadap resolusi ini, mengklaim bahwa mereka telah memperoleh dukungan sekitar 100 suara dari negara-negara anggota, tanpa menyebutkan secara spesifik negara yang memberi dukungan Universitas Sumatera Utara tersebut. Meskipun jumlah dukungan suara ini merupakan suatu prestasi yang besar bagi negara-negara G-4, tetapi itu masih kurang karena mereka harus memperoleh 128 suara setuju dua pertiga dari total mayoritas suara Majelis Umum agar dapat menghasilkan sebuah resolusi. Diyakini bahwa para pendukung resolusi ini menyerahkan draft ke Majelis Umum hanya ketika mereka yakin bahwa mereka memiliki dukungan minimal yang diperlukan untuk itu. Oleh karena itu, mereka memiliki pekerjaan tambahan yang harus dilakukan dengan mencoba meyakinkan negara-negara lebih banyak lagi tentang keunggulan dari resolusi mereka ini, terutama ketika proses yang diusung Zahir Tanin masih berlangsung. Sementara itu negara-negara Afrika masih berpegang teguh pada Ezulwini Consensus, dan telah terbukti menjadi hambatan besar dalam proses perundingan untuk mencapai tujuan dari reformasi ini. Meskipun begitu ada beberapa tanda-tanda bahwa calon Afrika utama, Nigeria dan Afrika Selatan, baru-baru ini menjadi lebih melunak dan mungkin lebih mudah untuk dibujuk. Meskipun mungkin kelihatan bahwa sejauh ini tidak banyak yang sudah dicapai dalam hal reformasi Dewan, kenyataannya adalah bahwa beberapa perubahan sebenarnya telah terjadi dalam metode kerja Dewan tanpa banyaknya pemberitaan mengenai hal itu dan walaupun tanpa melakukan amandemen Piagam PBB. Selama bertahun-tahun, negara-negara telah memodifikasi prosedur Dewan Keamanan. Reformasi yang mereka lakukan menyangkut isu yang berkaitan dengan transparansi Dewan, hubungannya dengan Majelis Umum, dan lebih bersifat inklusif dalam prosesnya. Saat ini, metode kerja pengambilan keputusan di Dewan Keamanan tidaklah sangat tertutup dan rahasia seperti sebelumnya dan negara-negara non-anggota Dewan serta media pers juga mendapatkan penjelasan rutin dari Presiden Dewan ketika melakukan konsultasi pribadi dengan para anggota DK PBB. Dewan juga mengadakan pertemuan-pertemuan dengan negara- negara yang berkontribusi dalam pemberian bantuan pasukan. Selain itu, anggota- anggota Dewan Keamanan juga sering mengadakan pertemuan dengan LSM-LSM dan pakar-pakar untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman mereka tentang konflik sehingga dapat membuat keputusan-keputusan yang lebih bijak. Universitas Sumatera Utara

B. Kendala Reformasi Dewan Keamanan PBB

Dapat disimpulkan bahwa hak veto yang dimiliki oleh lima negara besar adalah salah satu hambatan terbesar atas upaya reformasi Dewan Keamanan. Setiap reformasi mendasar, seperti perubahan pada jumlah kursi Dewan Keamanan, harus tertulis dalam Piagam PBB. Di sisi lain, Pasal 108 dan 109 Piagam PBB memberikan hak veto kepada lima anggota tetap atas setiap perubahan atau amandemen terhadap isi Piagam PBB. Oleh karena itu sangat jelas sekali bahwa tidak akan ada reformasi yang dapat terwujud tanpa persetujuan dari anggota tetap Dewan Keamanan. Sebagai contoh, Cina sebagai anggota pemegang hak veto Dewan Keamanan, sangat menentang penambahan anggota tetap. Akibatnya, kelompok G-4 sebagai salah satu pendukung paling serius dan vokal terhadap reformasi Dewan Keamanan, tidak memiliki kesempatan dan harapan yang tinggi dalam memecahkan kebuntuan proses reformasi sementara China secara aktif menentang bagian dari proposal. Inilah sebabnya mengapa Paul Kennedy, seorang sejarawan Universitas Yale, menyebut hak veto sebagai The Catch-22 dari reformasi Piagam. The Catch-22 merupakan istilah yang sering dipakai untuk menggambarkan situasi di mana hasil atau solusi yang diinginkan tidak mungkin dan hampir mustahil dapat dicapai karena seperangkat aturan atau kondisi yang tidak logis dan tidak adil. Pasal 108 dan 109 Piagam membuat prospek reformasi hak veto menjadi sangat tipis, dan hampir terdengar mustahil. Sangat sulit untuk mengharapkan bahwa negara-negara pemegang hak veto akan mendukung setiap langkah reformasi atas kekuasaan hak veto yang menjadikan mereka sebagai salah satu organ terpenting yang dimiliki PBB. Dan ironisnya Piagam PBB memberikan mereka sarana untuk itu dan akhirnya mereka dapat dengan mudah memblokir setiap proposal reformasi yang ditujukan kepada Dewan Keamanan yang dapat mengancam kekuasaan mereka. 77 77 Sahar Okhovat, The United Nations Security Council: Its Veto Power and Its Reform, hal. 43-44. Universitas Sumatera Utara Dengan kata lain reformasi ini juga terhambat oleh kemauan keras dari negara-negara pemegang hak veto untuk terus memiliki hak istimewa tersebut, kepentingan strategis yang terus berkembang, dan kurang terbukanya paradigma dari para anggota pemegang hak veto. Kegagalan untuk mereformasi Dewan menimbulkan salah satu pertanyaan yang paling berbahaya dalam sejarah kita yaitu akankah kita harus tetap menunggu dan membiarkan keadaan ini terus berlanjut sampai munculnya dan terjadinya kerusakan dan kehancuran yang parah akibat dari ketidakadilan yang lahir dari kebijakan ini. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, ketentuan Piagam yang mengharuskan persetujuan dari semua anggota tetap Dewan Keamanan untuk setiap usulan atas upaya reformasi telah terbukti menjadi hambatan terbesar terhadap reformasi Dewan Keamanan PBB. Namun, di antara kelima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat memiliki kasus yang berbeda. Pada beberapa kesempatan, seperti kasus perang Irak tahun 2003 atau ancaman yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Amerika Serikat terhadap penghentian dukungan keuangan kepada lembaga internasional PBB jika Majelis Umum PBB memberikan pengakuan dan pengesahan kepada negara Palestina. AS membuktikan bahwa ia memiliki kemampuan untuk menyandera PBB dan badan- badan lain agar bertindak sesuai dengan kepentingannya sendiri. Thomas Weiss berpendapat bahwa saat kebijakan dalam dan luar negeri Washington memiliki dampak yang besar terhadap agenda dan tindakan Dewan Keamanan. Mengingat dampak dan sepak terjang dari Amerika Serikat, ada pandangan umum bahwa negara adidaya yang ada akan terus berpartisipasi baik secara politik maupun finansial dalam sebuah institusi untuk menghambat institusi tersebut membatasi kekuasaan yang dimiliki oleh negara adidaya yang dimaksud. Oleh karena itu, di antara kelima anggota tetap Dewan Keamanan, Amerika Serikat telah terbukti menjadi hambatan yang terbesar dalam upaya reformasi Dewan Keamanan PBB. Tidak hanya dapat menolak untuk melakukan kompromi, AS juga mampu menarik diri dari Dewan Keamanan atau bahkan PBB, jika anggota lain dari Universitas Sumatera Utara Dewan Keamanan bersikeras untuk melakukan reformasi yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional AS. Amerika Serikat mungkin telah kehilangan sebagian kekuasaannya, terutama dalam hal kekuatan ekonomi, tetapi AS masih dianggap sebagai negara adidaya. Dan ini tidak terjadi dengan beberapa anggota tetap lainnya, yaitu Inggris, Perancis dan Rusia. Ketika Uni Soviet terpecah sehingga hanya meninggalkan Rusia, status dan identitasnya berubah dari negara adidaya menjadi negara yang bercita-cita menjadi bagian dari kekuatan dunia. Oleh karena itu, Rusia tidak memiliki mandat yang sama seperti pendahulunya. Rusia tidaklah sekuat Uni Soviet dan kekuatan ekonominya hanyalah setengah dari ukuran kekuatan ekonomi Uni Soviet. Demikian pula halnya dengan Inggris dan Perancis kekuasaannya tidak lagi besar. Pertanyaan yang muncul adalah apakah negara- negara tersebut akan lebih bersedia untuk melakukan kompromi?. Pendapat para ahli dalam hal ini berbeda. Dengan mempertimbangkan status kekuatan yang dimiliki oleh anggota-anggota tetap Dewan saat ini dan fakta bahwa negara- negara tersebut menggunakan lembaga yang tersedia untuk memenuhi kepentingan nasional mereka, Thomas Weiss percaya bahwa sangat mungkin berkurangnya kekuatan seperti yang dialami Perancis dan Inggris akan membuat mereka bersedia menyerahkan salah satu kekuatan mereka atau berbagi dengan negara lain. Pada akhirnya, menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB serta memiliki hak veto memberi mereka kekuatan dan kekuasaan untuk mengontrol PBB bahkan dunia walaupun pada kenyataannya itu tidak sebanding dengan kekuatan real mereka saat ini. Beberapa kalangan percaya bahwa status mereka sebagai negara besar membuat mereka sangat berhati-hati dalam menentukan sikap dan langkah di setiap perundingan. Di sisi lain, John Langmore yakin bahwa mereka akan lebih bersedia untuk kompromi atau perundingan dalam rangka untuk menampilkan fleksibilitas mereka dan mungkin mencoba untuk mempertahankan kursi, kekuasaan dan status mereka dengan cara itu. Kerelaan anggota tetap Dewan Keamanan untuk mendukung upaya reformasi yang akan mempengaruhi status mereka dan kekuasaan mereka di Universitas Sumatera Utara dewan sebagian besar dapat ditebak dari sikap mereka terhadap resolusi yang dikerjakan oleh kelompok G-4. Resolusi ini merupakan salah satu upaya paling serius untuk melakukan upaya reformasi dalam waktu yang cukup lama. Meskipun harus diingat bahwa resolusi ini tidak dimaksudkan untuk membahayakan secara serius kekuatan lima anggota tetap Dewan Keamanan karena resolusi ini belum menyerukan reformasi hak veto dan sedikit kabur dalam hal jenis kursi tambahan yang diminta. Stewart M. Patrick mengatakan bahwa Inggris dan Perancis, yang menyadari kerentanan mereka terhadap upaya reformasi ini sebagai fenomena pergeseran dan kemunculan kekuatan baru dunia, mendukung resolusi ini. Rusia, yang pada mulanya sangat menentang gagasan penambahan kursi anggota tetap, akhirnya mendukung India untuk memperoleh keanggotaan permanen pada tahun 2010. Sebagai akibatnya, Rusia kemungkinan akan lebih mendukung resolusi dari kelompok G-4. Sedangkan China, bagaimanapun sangat vokal dalam menunjukkan penentangannya terhadap proposal G-4 dan sekarang sedang mencoba untuk meminta negara-negara Afrika agar tidak memberikan dukungan mereka terhadap kelompok G-4, dikarenakan negara-negara Afrika sebagaimana yang diketahui merupakan kubu oposisi utama resolusi G-4 ini sehingga hal itu dapat memberikan dukungan bagi kepentingan China. Meskipun mendukung Jepang, Brazil dan India, Amerika Serikat tidak melakukan apa-apa dalam hal ini dan dukungannya hanya bersifat retorika semata. Sejatinya Amerika Serikat belum terbuka mendukung resolusi G-4. dan ini ditunjukkan ketika sebuah aksi nyata diperlukan, Amerika Serikat masih ragu- ragu untuk memberikan dukungannya secara penuh dan serius kepada kelompok G-4 dan juga reformasi lain pada umumnya. Kendala lain yang serius, sebagaimana yang dapat disimpulkan dari apa yang terjadi selama perdebatan mengenai reformasi, adalah ketidaksepakatan negara-negara anggota PBB pada rincian usulan reformasi yang dikehendaki. Fakta-fakta mengungkapkan bahwa negara-negara tidak dapat mencapai kesepakatan tentang jumlah kursi tambahan di Dewan Keamanan, jenis kursi tersebut permanen atau non-permanen, negara kandidat, dan perluasan hak veto Universitas Sumatera Utara atau penghapusannya. Serta adanya fakta bahwa setiap negara masih mendukung usulan awal mereka sendiri tanpa banyak melakukan kompromi, telah terbukti menimbulkan hambatan besar terhadap kemajuan proses perundingan reformasi. 78 − AS sebagai negara adidaya tunggal dan merasa membiayai 25 operasional lembaga PBB tersebut tidak memberikan lampu hijau terhadap reformasi struktural di DK PBB, sebab bagi AS, PBB adalah sebuah lembaga internasional yang dijadikan alat untuk memaksimalkan kepentingan nasional AS. Dengan adanya ketergantungan finansial PBB dari AS, maka lembaga internasional ini tidak akan mampu bersikap independen ketika berhadapan dengan kepentingan AS dan sekutunya. Belum lagi ditambah sekretariat PBB berada di AS serta mayoritas pekerja di lembaga internasional ini adalah warga negara AS, sehingga lengkaplah sudah cengkeraman AS ini terhadap lembaga internasional yang paling bergengsi. Singkatnya, selain kendala-kendala yuridisseperti yang dikemukakan diatas, ada juga kendala-kendala lain yang juga berperan terhadap kegagalan reformasi Dewan Keamanan PBB, diantaranya: − China sebagai anggota tetap DK PBB yang merupakan wakil dari dunia ketiga ternyata tidak mau berbagi kekuasaan dengan negara lain. Bagi China jika Jepang menjadi anggota tetap DK PBB karena kekuatan ekonomi dan teknologinya, maka power yang dimiliki China akan berkurang. Apalagi sepanjang sejarah peradaban bangsa China dengan Jepang selalu bersaing untuk menjadi pusatnya Asia dan Dunia. Sikap konservatif China sebetulnya sangat disayangkan, sebab dunia sekarang ini membutuhkan kekuatan penyeimbang AS yang suka berbuat unilateral dan suka meninggalkan PBB. − Negara-negara Afrika yang baru mengalami kemerdekaan di abad 20 ternyata tidak mempunyai power yang cukup untuk berhadapan dengan negara-negara barat. Selain disebabkan oleh kemiskinan, rendahnya SDM, 78 Ibid. Universitas Sumatera Utara perang saudara, bangsa Afrika kurang bersatu dan sangat tergantung kepada negara-negara maju, baik itu dalam bidang ekonomi, maupun dukungan terhadap rezim yang berkuasa. − Negara-negara Eropa seperti Perancis, Inggris merasa ketakutan jika Jerman menjadi anggota tetap DK PBB. Jerman yang pernah menguasai Eropa dengan nazi nya sampai sekarang tetap menjadi hantu bagi sebagian besar negara Eropa. − Islam sebagai kekuatan alternatif yang “menantang” Barat pasca tumbangnya Uni Sovyet ternyata juga tidak bisa bersatu. Negara-negara Islam dalam berhubungan internasional selalu mengedepankan kepentingan nasional negara masing-masing, sehingga posisi tawarnya lemah. 79 Dengan demikian kegagalan reformasi DK PBB yang pernah diusulkan oleh mayoritas negara anggota PBB lebih banyak disebabkan kurang bersatunya kekuatan baru di panggung internasional. Hal ini juga sekaligus membuktikan kegagalan menempatkan prinsip persamaan kedaulatan dalam pengambilan keputusan di DK PBB, sebab setiap upaya melakukan reformasi di tubuh DK PBB, AS dan sekutunya selalu memveto.

C. Ketentuan Hukum Mengenai Upaya Reformasi Dewan Keamanan PBB