Akibat Hukum Dari Penyerahan Dokumen -Dokumen Palsu Dalam Pembayaran Transaksi Ekspor Impor Yang Menggunakan L/C (Letter Of Credit)

(1)

AKIBAT HUKUM DARI PENYERAHAN DOKUMEN

-DOKUMEN PALSU DALAM PEMBAYARAN TRANSAKSI

EKSPOR IMPOR YANG MENGGUNAKAN L/C

(LETTER OF CREDIT)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH:

050200263

DENNY HERNAWAN

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

AKIBAT HUKUM DARI PENYERAHAN DOKUMEN-DOKUMEN PALSU DALAM PEMBAYARAN TRANSAKSI EKSPOR IMPOR YANG

MENGGUNAKAN L/C (LETTER OF CREDIT)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH:

050200263 DENNY HERNAWAN

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG DISETUJUI OLEH:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

NIP 196204211988031004 Prof. Dr. Tan Kamello SH., MS.

Pembimbing I Pembimbing II

Sinta Uli SH., M. Hum.

NIP 195506261986012001 NIP 196101181988031010 Zulkifli Sembiring SH.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Skripsi ini merupakan syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Didorong dengan kenyataan ini, maka akhirnya penulis menyesaikan skripsi ini dengan judul :

“AKIBAT HUKUM DARI PENYERAHAN DOKUMEN-DOKUMEN PALSU DALAM PEMBAYARAN TRANSAKSI EKSPOR IMPOR YANG MENGGUNAKAN L/C ( LETTER OF CREDIT)”.

Skripsi ini membahas tentang akibat hukum apabila terjadi pemalsuan dokumen di dalam transakasi ekspor impor yang menggunakan yang menggunakan Letter of Credit (L/C). Semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi para pihak yang berkepentingan pada umumnya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, namun dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H. M.S. selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Sinta Uli, S.H. M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan serta petunjuk bagi penulis.

5. Bapak Zulkifli Sembirirng, S.H. selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah memberikan masukan bagi penulis.

6. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H. M.Hum selaku Ketua Jurusan Hukum Perdata Dagang yang telah banyak memberi ilmu, masukan dan banyak memberi bantuan bagi penulis.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staf di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Teristimewa persembahan penulis untuk Ayahanda H. Ir. Mukhtaruddin dan Ibunda Hj. Rozana Bachrum serta adik penulis Yudha Widyanata dan Hilman Wardhana yang telah banyak memberikan motivasi dan semangat serta melimpahkan segenap kasih sayangnya, bimbingannya dan segala sesuatu yang diperlukan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 9. My Inspiration Adinda Putri Kharisma Dewanti yang selama ini memberi

dukungan, semangat, dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini serta menjadi teman hidup terbaik selama ini. Thank you for being my angel, wish you the best for me.

10.Staf-staf PT. INALUM, bapak D. Turnip, bapak Herbert dan bapak Dedy yang telah memberikan waktu dan pemikirannya serta memberikan data yang diperlukan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.


(5)

11.Seluruh teman-teman stambuk 2005 (Roki, Mulyana, Doly, Amir, Muklis, Bayhaqi, Erwin, Ucok, Iqbal, Hendra/Kocik, Udin, Andika, Wahyu, Reza Dislan, Said, Reza Adrian, Arki, Sadli, Syamsul, Wesi, Ari Ikhsan, Anak-anak PB : Fauzi, Tri Reza, Fandi, Dimas, Bang Yudi, Bang Sem, Elvin, Rizqo, Fachrizal/ai’, Andre dan teman-teman, senior maupun adik-adik yang tidak bisa disebutkan satu persatu).

12.Teman-temanku Adi Wika Prasetya, M. Taufik, Rizki Astari, Ilus Steina, Doni, Barian, Ricky, Agung, Kiput, Faisal, Bobby, Dimmy, Gerly dan teman-teman masa kecilku yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Dan akhirnya harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat serta mendapat rahmat dan hidayah dari ALLAH SWT, Amin.

Medan, 30 Agustus 2009

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 6

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TRANSAKSI EKSPOR IMPOR YANG MENGGUNAKAN L/C ... 20

A. Transaksi Ekspor Impor ... 20

B. Sumber Hukum dalam Transaksi Ekspor Impor ... 21

C. Hubungan Hukum Pihak yang Terkait dalam Transaksi Ekspor Impor ... 26

D. Mekanisme Pembayaran Transaksi Ekspor Impor ... 29

E. Letter of Credit (L/C) ... 31

1. Dasar Hukum Letter of Credit (L/C) ... 34


(7)

BAB III DOKUMEN-DOKUMEN DALAM TRANSAKSI

EKSPOR IMPOR ... 53

A. Dokumen dalam Transaksi Ekspor Impor ... 53

B. Pengaturan Dokumen L/C dalam UCP 500 ... 54

C. Dokumen yang Dipersyaratkan dalam L/C ... 55

D. Tanggung jawab Bank Terhadap Dokumen ... 79

BAB IV AKIBAT HUKUM PENYERAHAN DOKUMEN - DOKUMEN PALSU DALAM TRANSAKSI EKSPOR IMPOR YANG MENGGUNGAKAN L/C ... 82

A. Ketentuan tentang Tindakan Pemalsuan Dokumen .... 82

B. Tindakan Pemalsuan Dokumen dalam L/C (Letter of Credit) ... 84

C. Akibat Hukum Penyerahan Dokumen-dokumen yang Dipalsukan ... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99


(8)

ABSTRAK

Kegiatan ekspor impor di suatu negara merupakan suatu hal yang sangat penting. Ekspor Impor merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan suatu negara, disamping untuk meningkatkan devisa serta memajukan perekonomian negara tersebut. Di Indonesia, ekspor impor merupakan salah satu tujuan nasional di bidang ekonomi. Ekspor impor merupakan suatu transaksi jual beli antara pengusaha yang berbeda negara. Oleh karena itu, sisterm pembayaran yang digunakan dalam hubungan perdagangan ini haruslah betul-betul aman dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Di Indonesia, L/C merupakan salah satu cara pembayaran yang paling populer yang digunakan untuk transaksi ekspor impor karena pembayaran dengan L/C hanya menggunakan dokumen-dokumen sebagai pengganti barang serta memiliki jangka waktu pembayaran sesuai kesepakatan para pihak. L/C ini sendiri diatur di dalam UCP 500 yang merupakan suatu aturan yang tidak mengikat dalam pelaksanaan L/C. Pengusaha boleh tunduk kepada UCP, namun boleh juga tidak sepanjang kesepakatan kedua belah pihak. Karena L/C ini menggunakan dokumen, maka L/C ini sendiri memiliki celah untuk melakukan perbuatan melawan hukum yaitu dengan memalsukan dokumen L/C tesebut. Diperlukan pengetahuan tentang dokumen apa saja yang dipersyaratkan dalam L/C serta apa akibat hukum dari penyerahan dokumen yang dipalsukan dalam pembayaran yang menggunakan L/C. Oleh karena itu perlu dilakukan pembahasan yang mendalam tentang pelaksanaan L/C ini, baik secara teoretis maupun secara nyata di dalam kegiatan perekonomian sehari-hari.

Dalam L/C terdapat cara-cara pembayaran yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan para pihak. Disamping itu ada dokumen- dokumen yang harus dipenuhi dalam melakukan pembayaran L/C. Dokumen itu meliputi dokumen-dokumen penting serta dokumen-dokumen tambahan yang diperlukan sesuai perjanjian kedua belah pihak. Di dalam L/C, bank merupakan pihak yang paling berpengaruh karena bank melakukan pembayaran serta melakukan pemeriksaan terhadap dokumen –dokumen yang diserahkan. Hal ini harus sesuai dengan standar praktik perbankan internasional. Apabila terjadi pemalsuan dokumen, bank berhak menolak dokumen-dokumen yang diajukan serta menolak pembayaran, ataupun pihak bank dapat menuntut pembayaran kembali apabila bank telah terlanjur melakukan pembayaran terhadap L/C kepada penjual apabila ternyata diketahui bahwa dokumen yang diserahkan palsu.

Dalam UCP 500 diatur dokumen-dokumen yang harus dipenuhi sepanjang tidak ada kesepakatan lain antara kedua belah pihak. Dan dalam UCP disebutkan bahwa bank tidak bertanggung jawab atas terjadinya pemalsuan. Namun pada kenyataannya bank juga bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Hal ini untuk melindungi kepentingan pembeli serta menjaga nama baik dan good will pihak bank terhadap nasabahnya, dalam hal ini pembeli. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan yang mendalam terutama mengenai pemeriksaan dokumen oleh pihak bank. Pembeli juga harus berhati-hati serta selektif dalam memilih rekan dagangnya diluar negeri serta pemerintah harus membuat regulasi terhadap pelaksanaan L/C tersebut agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat.


(9)

ABSTRAK

Kegiatan ekspor impor di suatu negara merupakan suatu hal yang sangat penting. Ekspor Impor merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan suatu negara, disamping untuk meningkatkan devisa serta memajukan perekonomian negara tersebut. Di Indonesia, ekspor impor merupakan salah satu tujuan nasional di bidang ekonomi. Ekspor impor merupakan suatu transaksi jual beli antara pengusaha yang berbeda negara. Oleh karena itu, sisterm pembayaran yang digunakan dalam hubungan perdagangan ini haruslah betul-betul aman dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Di Indonesia, L/C merupakan salah satu cara pembayaran yang paling populer yang digunakan untuk transaksi ekspor impor karena pembayaran dengan L/C hanya menggunakan dokumen-dokumen sebagai pengganti barang serta memiliki jangka waktu pembayaran sesuai kesepakatan para pihak. L/C ini sendiri diatur di dalam UCP 500 yang merupakan suatu aturan yang tidak mengikat dalam pelaksanaan L/C. Pengusaha boleh tunduk kepada UCP, namun boleh juga tidak sepanjang kesepakatan kedua belah pihak. Karena L/C ini menggunakan dokumen, maka L/C ini sendiri memiliki celah untuk melakukan perbuatan melawan hukum yaitu dengan memalsukan dokumen L/C tesebut. Diperlukan pengetahuan tentang dokumen apa saja yang dipersyaratkan dalam L/C serta apa akibat hukum dari penyerahan dokumen yang dipalsukan dalam pembayaran yang menggunakan L/C. Oleh karena itu perlu dilakukan pembahasan yang mendalam tentang pelaksanaan L/C ini, baik secara teoretis maupun secara nyata di dalam kegiatan perekonomian sehari-hari.

Dalam L/C terdapat cara-cara pembayaran yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan para pihak. Disamping itu ada dokumen- dokumen yang harus dipenuhi dalam melakukan pembayaran L/C. Dokumen itu meliputi dokumen-dokumen penting serta dokumen-dokumen tambahan yang diperlukan sesuai perjanjian kedua belah pihak. Di dalam L/C, bank merupakan pihak yang paling berpengaruh karena bank melakukan pembayaran serta melakukan pemeriksaan terhadap dokumen –dokumen yang diserahkan. Hal ini harus sesuai dengan standar praktik perbankan internasional. Apabila terjadi pemalsuan dokumen, bank berhak menolak dokumen-dokumen yang diajukan serta menolak pembayaran, ataupun pihak bank dapat menuntut pembayaran kembali apabila bank telah terlanjur melakukan pembayaran terhadap L/C kepada penjual apabila ternyata diketahui bahwa dokumen yang diserahkan palsu.

Dalam UCP 500 diatur dokumen-dokumen yang harus dipenuhi sepanjang tidak ada kesepakatan lain antara kedua belah pihak. Dan dalam UCP disebutkan bahwa bank tidak bertanggung jawab atas terjadinya pemalsuan. Namun pada kenyataannya bank juga bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Hal ini untuk melindungi kepentingan pembeli serta menjaga nama baik dan good will pihak bank terhadap nasabahnya, dalam hal ini pembeli. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan yang mendalam terutama mengenai pemeriksaan dokumen oleh pihak bank. Pembeli juga harus berhati-hati serta selektif dalam memilih rekan dagangnya diluar negeri serta pemerintah harus membuat regulasi terhadap pelaksanaan L/C tersebut agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pada mulanya hubungan perdagangan di Indonesia hanya terbatas pada satu wilayah negara Indonesia, tetapi dengan semakin banyaknya berkembangnya arus perdagangan antar negara, maka hubungan dagang itu tidak hanya dilakukan antara para pengusaha di dalam satu negara, tetapi juga dengan para pengusaha di luar negeri. Bahkan hubungan-hubungan dagang itu semakin beranekan ragam, baik cara pengangakutan maupun cara pembayarannya.

Sama halnya dengan Transaksi Perdagangan Nasional atau Perdagangan dalam Negeri, yakni melakukan transaksi jual beli, maka pada Perdagangan Luar Negeri juga dilakukan aktivitas jual beli dengan pengertian jual sebagai aktivitas Ekspor dan beli sebagai aktivitas Impor. Yang dimaksud ekspor dan impor dalam pengertian ini dibatasi pada ekspor impor barang (visible goods).

Roselyne Hutabarat menyimpulkan Transaksi Perdagangan Internasional sebagai suatu transaksi yang sederhana dan tidak lebih dari membeli dan menjual barang antara pengusaha yang bertempat tinggal di negara yang berbeda.1

1

Roselyne Hutabarat, Transaksi Ekspor Impor, Erlangga, Jakarta, 1991, hal. 1.

Transaksi perdagangan internasional dapat berjalan dengan baik bila prestasi dan kontra prestasi antara penjual (eksportir) dan pembeli (importir) dapat dipenuhi dan memuaskan semua pihak. Pihak penjual berusaha bagaimana cara yang sebaik-baiknya agar dapat memenuhi kewajibannya untuk mengirim dan menyerahkan barang-barang yang dipesan pembeli dan menerima haknya atas pembayaran dari barang-barang yang dipesan pembeli tersebut. Sebaliknya pembeli memikirkan pula untuk dapat dengan mudah melakukan kewajibannya 1


(11)

melunasi pembayaran atas barang-barang yang dibelinya dan menerimanya dengan sebaik-baiknya.

Harus diakui cara pembayaran dengan uang tunai di pandang kurang begitu aman dan dirasakan kurang praktis. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak:

Adalah menjadi suatu kenyataan bahwa pada zaman sekarang ini di dalam perkembangan lalu lintas perdagangan terdapat suatu kemajuan dalam cara-cara pembayaran dengan mempergunakan alat-alat pembayaran kredit dan pembayaran kontan selain dengan mata uang.2

Oleh karena itu, sebagai pengganti dipergunakan sistem pembayaran dengan mempergunakan surat-surat berharga dalam transaksi perdagangan internasional. Pada perdagangan internasional, pembeli dan penjual berkedudukan di negara yang berbeda, sehingga dalam pelaksanaan pembayaran oleh pembeli bersamaaan dengan saat penyerahan barang secara fisik oleh penjual, sebagaimana lazim terjadi dalam perdagangan dalam negeri kecil sekali kemungkinannya. Demikian pula dengan kedudukan pembeli dan penjual di negara yang berbeda, maka cara pembayaran merupakan hal yang berpengaruh pula dalam kelancaran perdagangan tersebut, karena hal ini berkaitan dengan resiko yang dihadapi dalam pemilihan cara pembayaran tersebut.3

Sistem pembayaran yang paling aman dipandang dari sudut kepentingan eksportir dan importir adalah apa yang disebut L/C. Dalam L/C hukum yang berlaku adalah hukum tentang dokumen, bukan hukum tentang barang atau jasa

2

Emmy Pangaribuan simanjuntak, Hukum Dagang Surat Berharga, Seksi Hukum Dagang FH-UGM, Yogyakarta, 1982, hal. 45.

3

Moerdjono & Jamal Wiwoho, Transaksi Perdagangan Luar Negeri Dokumen Kredit dan Devisa, Djambatan, Jakarta, 1992, hal. 2.


(12)

atau lainnya. Dalam L/C tersebut penjual dapat menerima pembayaran setelah melengkapi dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam L/C dan telah diperiksa oleh bank.

Bank mempunyai peranan yang sangat besar dalam transaksi perdagangan internasional yang menggunakan L/C ini. Bank wajib melakukan penelitian atas dokumen – dokumen yang diajukan penjual kepadanya secara ketelitian yang wajar untuk mementukan apakah dokumen – dokumen telah memiliki kesesuaian dengan persyaratan L/C. Ukuran kesesuaian tersebut didasarkan pada standar praktik Perbankan Internasional.

Dalam transaksi perdagangan internasional yang menggunakan L/C sebagai cara pembayarannya, hubungan antara penjual dan bank diakhiri pada saat sepucuk surat berharga (Draft) yang diserahkan oleh penjual beserta dokumen yang dipersyaratkan lainnya diterima dan disetujui/diakseptasi oleh pihak bank dan diikuti pembayaran. Kemudian pihak bank akan menagih kembali dari pembeli atas apa yang telah dibayarkannya kepada penjual. Tetapi, buakn mustahil jika pada suatu saat muncul tuntutan dari bank terhadap penjual mengenai uang yang telah dibayarkannya kepada penjual tersebut.

L/C merupakan salah satu instrumen yang paling vital dalam pembayaran perdagangan internasional, oleh karena itu dokumen ini sering menjadi pusat incaran penjahat untuk dijadikan palsu atau dipalsukan. Yang dipalsukan disini bukan L/C-nya itu sendiri, melainkan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam L/C. Dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih, orang semakin mudah untuk memalsukan sesuatu meskipun sudah ada pengawasan yang ketat. Begitu juga dengan L/C ini, meskipun sudah ada pengawasan yang ketat dari


(13)

pihak bank dan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan L/C, masih ada juga kasus-kasus dalam pelaksanaan L/C tersebut, terutama mengenai tindak pemalsuan terhadap dokumen-dokumen L/C. Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab munculnya tuntutan dari bank terhadap penjual mengenai uang yang telah dibayarkan oleh pihak bank kepada penjual tersebut.

Tindakan pemalsuan dokumen ini merupakan suatu tindak pidana dimana dapat mencemarkan nama baik bank yang menangani pembayaran dengan menggunakan L/C tersebut, sebab pihak bank-lah yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam pelaksanaan L/C. Secara lebih luas, tindakan tersebut dapat menurunkan tingkat kepercayaan pihak asing kepada negara dimana tindak pemalsuan tersebut dilakukan. Oleh karena itu, untuk menggulangi kejahatan ini memerlukan kerjasama dan kelengkapan peraturan yang diikuti dengan traktat antar negara.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian – uraian diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Dokumen – dokumen apa saja yang dipersyaratkan dalam transakasi ekspor impor yang menggunakan L/C sebagai cara pembayarannya? 2. Apa akibat hukumnya terhadap penyerahan dokumen – dokumen palsu

dalam transaksi ekspor impor yang menggunakan L/C?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan


(14)

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk menguraikan dan menganalisis dokumen – dokumen apa saja yang dipersyaratkan dalam transaksi ekspor impor yang menggunakan L/C.

b. Untuk menganalisis bagaimana akibat hukumnya apabila terjadi penyerahan dokumen – dokumen palsu dalam transaksi ekspor impor yang menggunakan L/C.

2. Manfaat Penulisan

Dari hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang jelas, antara lain:

1. Manfaat teoretis, hasil penulisan ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang pada gilirannya dapat memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum perdata dan dagang, khususnya dalam bidang Perdagangan Internasional.

2. Manfaat Praktis, diharapkan hasil penulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yuridis yang berkaitan dengan akibat hukum penyeraha dokumen-dokumen yang dipalsukan dalam transaksi ekspor impor yang menggunakan L/C, dan manfaat bagi para pembuat kebijakan maupun pihak legislatif guna melengkapi peraturan perundang-undangan yang masih diperlukan.


(15)

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum (PDIH) / (Perpustakaan) FH-USU, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti. Oleh karena itu penulisan skripsi ini dapat dikatakan masih orisinil sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademis.

E. Tinjauan Pustaka

Hakikat L/C adalah cara pembayaran dan oleh karena itu keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam L/C harus dipertahankan secara adil dan terbuka. Keadilan dan keterbukaan dalam pelaksanaan L/C merupakan suatu keharusan karena inti dari L/C adalah perwujudan pembayaran sejumlah yang diperjajikan oleh para pihak dalam L/C.

Pemohon (Importir) yang meminta bank penerbit untuk menerbitkan L/C berhak atas barang yang dibayar berdasarkan L/C tetapi berkewajiban pula kepada bank penerbit yang untuk dan atas nama pemohon (Importir) melakukan pembayaran barang yang dipesan kepada penerima (Eksportir) yang menyampaikan kepada bank penerbit dokumen-dokumen yang dipersyaratkan di dalam L/C tersebut. Jika bank penerbit memberi kuasa kepada bank yang ditunjuk untuk melakukan pembayaran atas barang kepada penerima (Eksportir), bank penerbit berkewajiban membayar kembali kepada bank yang ditunjuk sejumlah uang yang telah dibayarkan kepada penerima (Eksportir). Hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan berdasarkan perjanjian yang disetujui para pihak yang memuat jumlah pembayaran yang akan dibayarkan sebagai pengganti atas pengiriman barang oleh penerima kepada pemohon. Saat pelaksanaan hak dan kewajiban juga dilakukan dengan merujuk pada kesepakatan


(16)

masing-masing pihak berdasarkan perjanjian. Demikian pula halnya dengan pembayaran sejumlah uang dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban.

Ketentuan Internasional L/C dimuat dalam Uniform Customs and Practice For Documentary Credits (UCP) revisi 1993, publikasi No. 500 yang lebih dikenal dengan UCP 500. UCP mengatur tentang pelaksanaan L/C secara Internasional tetapi hanya bersifat pengaturan umum. Ketentuan teknis pelaksanaan L/C tidak diatur oleh UCP, tetapi oleh hukum nasional. UCP tidak dapat mencampuri apa yang diatur oleh hukum nasional, tetapi hukum nasional dapat mencampuri materi aturan UCP. UCP dan hukum nasional tidak mempunyai hubungan hierarki karena UCP bukan merupakan bagian dari perundang-undangan suatu negara.4

UCP merupakan hasil karya International Chamber of Commerce (ICC) yang kekuatan mengikatnya secara hukum tidak dapat dipersamakan dengan kekuatan mengikatnya produk hukum legislatif atau produk hukum yudikatif pada tingkat nasional atau konvensi pada tingkat Internasional. UCP merupakan seperangkat ketentuan mengenai L/C yang penggunaaanya didasarkan kesepakatan para pihak. Sehingga, kalau para pelaku L/C mau tunduk pada ketentuan – ketentuan UCP, maka dalam L/C harus dimuat pernyataan tunduk pada UCP.5 Pernyataan tunduk yang dilakukan terhadap keseluruhan atau sebagian ketentuan UCP. Dalam hal L/C yang hanya tunduk sebagian ketentuan UCP berarti para pihak mengatur sendiri klausul-klausul tertentu yang berbeda atau klausul-klausul tertentu dalam L/C tersebut diluar dari ketentuan UCP.6

4

Ramlan Ginting, LC Tinjauan Aspek Hukum Dan Bisnis, Salemba empat, Jakarta, 2000, hal. 7.

5

Uniform Custom and Practice 500, Artikel 1.

6

Ibid, 9c, 10b, c, 17, 20 b.


(17)

demikian mencerminkan bahwa pemberlakuan ketentuan UCP adalah sesuai dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1338 KUHPer.

Didalam prakteknya, penjual dan pembeli bebas menentukan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam merealisasikan transaksi mereka. Mereka diberikan kebebasan untuk menentukan dokumen yang diperlukan sesuai dengan yang dibutuhkan sebagaimana yang disepakati, sepanjang memenuhi peraturan yang berlaku. Dalam transaksi ekspor impor digunakan berbagai dokumen sesuai dengan yang dipersyaratkan. Dokumen – dokumen itu dipersiapkan oleh penjual, pembeli, pengangkut dan lembaga/instansi yang tugasnya berkaitan dengan perdagangan.

L/C diterbitkan untuk merealisasikan pembayaran perikatan dasar. L/C adalah cara pembayaran, sedangkan perikatan dasarnya adalah perjanjian jual beli. Realisasi L/C dilakukan atas dasar penyerahan dokumen – dokumen yang dipersyaratkan dalam L/C, sedangkan realisasi perikatan dasar dilaksanakan berdasarkan pengiriman barang sesuai dengan persyaratan perikatan dasar. Jadi dapat dikatakan bahwa pelaksanaan L/C terpisah dari pelaksanaan perikatan dasarnya yaitu perjanjian jual beli.

Berkaitan dengan keterpisahan antar L/C dan perikatan dasarnya terdapat sebuah teori yang dinamakan Absolute Payment Theory. Teori ini mengatakan bahwa dengan penerbitan L/C, pembeli telah memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian jual beli untuk membayar penjual. Berdasarkan L/C tersebut, penjual hanya berhak memporoleh pembayaran hasil ekspornya dari bank penerbit melalui bank korespondennya. Penjual tidak dapat menuntut


(18)

pembayaran atas ekspor barangnya kepada pembeli kerena L/C dianggap sebagai pembayaran mutlak.7

Sebagai cara pembayaran, L/C dibayar oleh bank penerbit melalui bank korespondennya kepada penerima yang menyerahkan dokumen-dokumen sesuai dengan persyaratan L/C. Berkenaan dengan itu terdapat suatu teori yang dinamakan Agency theory. Menurut teori ini yang didasarkan pada pemikiran H.C. Gutteridge seorang pakar hukum L/C Inggris, dalam perjanjian jual beli terdapat kuasa (Authority) secara tersirat dari penjual kepada pembeli untuk melakukan pembayaran sesuai dengan ketentuan pembayaran dalam perjanjian jual beli. Dalam pasal 1457 KUHPer disebutkan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Meurut pasal 1474 KUHPer, penjual berkewajiban menyerahkan uang kepada pembeli, sedangkan penyerahan itu harus menurut hukum. Menurut pasal 1459 KUHPer menyebutkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 612, 613, dan 616. Kewajiban menyerahkan barang berarti bahwa seorang penjual diwajibkan untuk memindahkan barang yang dijula kepada pembeli, sehingga pembeli menjadi seorang yang berhak atas barang itu. Oleh karena itu agar pembeli berstatus sebagai orang yang berhak atau sebagai pemilik (eigenaar) peralihan itu harus memenuhi persyaratan sebagaiman ditentukan dalam pasal 612 dan 613 KUHPer. Dari kedua pasal tersebut dapat dikatakan bahwa penyerahan meliputi penyerahan secara yuridis dan penyerahan secara nyata.

7


(19)

Intinya adalah pembayaran L/C dilakukan bank penerbit atau kuasanya jika penjual menyerahkan kepada bank yang berangkutan document of title yaitu konosemen (Bill of Lading) yang sesuai dengan klausul-klausul L/C.8

Secara Etimologis, pemalsuan adalah membuat sesuatu menjadi palsu. Menurut Maruluk Pardede, pemalsuan diartikan sebagai suatu tindakan yang Dalam pelaksanaan L/C, bank berkewajiban untuk memeriksa dokumen yang diserahkan dengan seksama untuk memastikan apakah dokumen tersebut secara nyata sesuai atau tidak dengan persyaratan di dalam L/C. Kesesuaian dokumen dengan apa yang dipersyaratkan dalam L/C harus dilakukan berdasarkan standar praktek Perbankan Internasional. Dokumen-dokumen yang secara nyata tidak sesuai satu dengan yang lainnya akan dianggap tidak sesuai dengan persyaratan yang terdapat dalam L/C. Jika dokumen-dokumen yang diserahkan penjual kepada bank secara nyata tidak sesuai dengan apa yang telah dipersyaratkan dalam L/C, maka bank yang bersangkutan berhak menolak untuk menerima dokumen tersebut dan mengembalikan dokumen tersebut kepada penjual (eksportir) dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja perbankan melalui telekomunikasi atau cara yang lain. Dengan penolakan tersebut, pihak penjual tidak bisa mendapatkan pembayaran seperti yang diharapkan.

Tetapi dalam praktek dapat terjadi kemungkinan, bahwa pihak bank telah melaksanakan pembayaran atas dokumen-dokumen yang telah diserahkan oleh pihak penjual. Namun pihak pembeli menolak pembayaran kepada bank dengan dasar bahwa barang-barang yang diterima pembeli tidak sesuai dengan perjanjian yang dibuat dengan penjual sebelumnya. Hal ini dapat terjadi karena penjual telah menyerahkan dokumen-dokumen yang telah dipalsukan kepada pihak bank.

8


(20)

menciptakan keadaan yang tidak sama dengan fakta sebenarnya. Dalam pemalsuan, orang akan menciptakan identias palsu meliputi nama, alamat yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya, tanda tangan yang dipalsukan, cap yang dipalsukan, jumlah nilai yang diubah atau diperbesar jumlahnya, dan kemungkinan – kemungkinan lainnya.9

Menurut Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, dalam hal ada unsur pemalsuan dokumen, pihak bank mempunyai alasan yang baik dan kuat untuk menggugat pihak penjual. Sebab di dalam kasus penyerahan dokumen yang dipalsukan yang datangnya dari penjual, penjual telah mempunyai itikad buruk untuk tidak melaksanakan perjanjian sesuai kontrak dan penjual yang demikian dapat diklasifikasikan sebagai penjual yang menipu (Fraud). Adalah hal yang tidak wajar bilamana penjual yang menipu tersebut mempunyai alasan untuk Jadi, pemalsuan tersebut tejadi pada surat dimana keterangan yang ada pada surat tersebut tidak benar. Artinya keterangan tersebut tidak sesuai dengan keadaan yang diterangkan oleh tulisan tersebut sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain. Tindakan pemalsuan tersebut merupakan tindakan yang masuk dalam delik pidana.

Dalam L/C dikenal prinsip Independensi yaitu bahwa kontrak L/C terpisah dari perikatan dasarnya. Pemalsuan adalah pengecualian terhadap prinsip Independensi tersebut. Pihak bank yang bertindak dengan itikad baik berhak untuk menolak pembayaran aatu menuntut pembayaran kembali kepada penjual jika diketahui adanya unsur pemalsuan dalam transaksi ekspor impor yang menggunakan L/C, dan pihak penjual tidak berhak atas pembayaran atas barang yang telah diperjanjikan.

9


(21)

membela dirinya dengan mengemukakan bahwa pihak bank dapat menuntut pembayaran tersebut dari pihak pembeli.10

Dalam Hukum Perdata Internasional, pada dasarnya digunakan 2 teori untuk menentukan hukum nasional yang berlaku bagi L/C. Teori yang pertama adalah teori tempat pelaksanaan L/C (lex loci solutionis). Menurut teori ini hukum yang berlaku bagi L/C adalah hukum nasional negara bank penerbit karena pada negara tersebut dilakukan penerbitan dan pembayaran L/C. Teori yang kedua adalah teori keterkaitan paling dekat dan paling nyata (closest and most real connection). Menurut teori ini hukum nasional yang berlaku bagi L/C adalah hukum nasional dari negara yang mempunyai keterkaitan paling dekat dan paling nyata dengan transaksi L/C. Teori yang kedua ini merupakan teori yang paling umum digunakan dalam rangka menentukan hukum nasional yang berlaku untuk L/C.

Dalam hal terjadi sengketa dalam pelaksanaan transakasi L/C, terutama berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak diatur dalam UCP, pengadilan dapat menyelesaikan kasus yang dimaksud berdasarkan pilihan hukum yang dimuat dalam L/C. Jika L/C tidak memuat pilihan hukum, hakim harus menentukan hukum nasional yang berlaku (Governing law) atas L/C dengan cara menerapkan prinsip-prinsip Hukum Perdata Internasional yang berlaku bagi kontrak.

11

Berhubungan dengan itu, apabila terjadi permasalahan dan didalam L/C disebutkan sesuai dengan rumusan permasalahan yang diangkat, dimana salah satu pihak melakukan wanprestasi, dimana penjual tidak menyerahakan

barang-10

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Pembukaan kredit Berdokumen, seksi hukum dagang, FH-UGM, Yogyakarta, 1980, hal. 15.

11


(22)

barang sesuai dengan kontrak jual beli dengan melakukan pemalsuan terhadap dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam L/C, maka menurut hukum nasional Indonesia yang melakukan wanprestasi tersebut dapat digugat di depan hakim. Seseorang dapat dikatakan wanprestasi, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.

Menurut Prof. Subekti, yang dapat dituntut dari pihak yang melakukan wanprestasi diantaranya ada beberapa kemungkinan, antara lain :

1. Pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat. 2. Meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya

karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya.

3. Menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang dideritanya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian. 4. Meminta kepada hakim supaya perjajinjian dibatalkan, disertai dengan

permintaan penggantian kerugian dan pengembalian keadaan sebagaimana sebelum perjanjian dibuat.

Menurut pendapat yang paling banyak dianut, pembatalan perjajian bukan saja karena salah atu pihak melakukan wanprestasi, tetapi putusan hakim yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan itu bersifat constitutief dan tidak declaratoir. Bahkan hakim itu mempunyai suatu kekuasaan discretionair, artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian, meskipun ganti rugi yang diminta harus dikabulkan. Selain itu, tentu


(23)

saja kedua belah pihak yang berkontrak juga dapat mengadakan ketentuan bahwa pembatalan ini tidak usah diucapkan oleh hakim, sehingga perjanjian dengan sendirinya akan hapus manakala satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.12

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif (yang mencakup penelitian asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum

Di Indonesia, pemalsuan merupakan salah satu delik pidana. Delik pemalsuan diatur oleh pasal 263 KUHP, yang terdiri dari 2 ayat. Ayat 1 dari pasal 263 KUHP tersebut substansinya adalah barang/sesuatu yang sudah ada, kemudian ditiru atau dipalsukan, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Sedang pada ayat 2 disebutkan substansi unsurnya adalah memasukkan data – data yang isinya adalah palsu.

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini, agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, maka hukum yang dipergunakan antara lain: 1. Jenis dan sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal secara terperinci di daerah tertentu dan pada saat tertentu. Biasanya dalam penelitian ini, sudah mendapatkan atau mempunyai gambaran yang berupa data awal tentang permasalahan yang akan diteliti.

2. Metode Pendekatan

12


(24)

vertikal dan horizontal, dan perbandingan hukumnya) dan pendekatan hukum sosiologis atau empiris.13

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Contohnya adalah peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunakan adalah Undang-undang mengenai perjanjian atau peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan perjanjian.

Pada penelitian yuridis normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder yang ada dalam keadaan siap terbit, bentuk, dan isinya telah disusun peneliti-peneliti terdahulu, dan dapat diperoleh tanpa terlihat waktu dan tempat.

Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder ataupun peraturan perundang-undangan dan perjanjian-perjanjian yang ada. Di dalam penelitian hukum data sekunder mencakup:

b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Contohnya adalah doktrin, hasil penelitian akademis, karya-karya ilmiah para sarjana, jurnal, dan artikel-artikel yang berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contonya adalah kamus hukum, kamus istilah hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

13


(25)

Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder dan kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer dilapangan atau terhadap masyarakat.

a. Data primer, yaitu data langsung diperoleh dari lapangan yang wujudnya berbentuk:

- Gagasan, opini, pandangan, sikap, orang, atau kelompok orang terhadap suatu persoalan.

- Pola tingkah laku dari satu atau beberapa kelompok masyarakat.

Cara untuk mendapatkan data primer dapat berupa wawancara, membuat quisioner, pengamatan maupun observasi.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dalam keadaan siap terbit, bentuk dan isinya telah disusun oleh peneliti-peneliti terdahulu, dan dapat diperoleh tanpa terlihat waktu dan tempat.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk menunjang penelitian ini, teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Dalam hal ini penulis mencari dan mengumpulkan data yang bersumber dari kepustakaan dengan cara mempelajari dan menelaah bahan-bahan yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini juga mengumpulkan data melalui data yang didapat dilapangan yaitu pada PT. INALUM Kab. Batubara.


(26)

Data yang sudah diperoleh dari data primer dan sekunder dianalisis secara kualitatif, yaitu menganalisis data dengan mengumpulkan data primer dan mengaitkannya dengan bahan-bahan pustaka dan peraturan perundang-undangan selanjutnya dirangkum dan disusun secara sistematis.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis, penulisan skripsi ini menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5 (lima) bab yang secara terperinci sebagai berikut:

Bab I Merupakan Bab Pendahuluan

Di dalam bab ini penulis menggambarkan hal-hal yang bersifat umum dalam latar belakang, kemudian dilanjutkan dengan perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan ditutup dengan memberikan sistematika dari penulisan skripsi ini.

Bab II Tinjauan Umum Tentang Transaksi Ekspor impor Yang Menggunakan L/C

Di dalam bab ini dikemukakan tentang: Transaksi ekspor impor, Sumber Hukum dalam transaksi ekspor impor, Hubungan hukum


(27)

para pihak yang terkait dalam transaksi Ekspor Impor, Mekanisme pembayaran Transaksi ekspor impor, Letter of Credit (L/C).

Bab III Dokumen-Dokumen Dalam Transaksi Ekspor Impor

Di dalam bab ini dipaparkan mengenai: Dokumen dalam Transaksi ekspor impor, Pengaturan dokumen L/C dalam UCP 500, Dokumen yang dipersyaratkan dalam L/C, Tanggung jawab bank terhadap dokumen.

Bab IV Akibat Hukum Penyerahan Dokumen-Dokumen Palsu Dalam Transaksi Ekspor Impor Yang Menggunakan L/C.

Di dalam bab ini diuraikan mengenai: Ketentuan tentang tindakan pemalsuan dokumen, Tindakan pemalsuan dokumen dalam L/C, Akibat hukum penyerahan Dokumen-dokumen yang dipalsukan. Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, kemudian dilengkapi dengan saran yang mungkin bermanfaat di masa mendatang.


(28)

BAB II

TINJAUAN TENTANG LETTER OF CREDIT (L/C)

A. Transaksi ekspor impor

Kegiatan ekspor impor didasari oleh kondisi bahwa tidak ada suatu negara yang benar-benar mandiri karena satu sama lain saling membutuhkan dan saling mengisi. Adanya perbedaan kebutuhan inilah yang menyebabkan adanya suatu kegiatan jual beli yang dilakukan oleh negara yang satu dengan negara yang lain. Kegiatan ini disebut dengan ekspor impor.

Ekspor adalah suatu kegiatan menjual barang yang diproduksi di dalam negeri untuk kemudian dijual kepada pembeli yang berada di luar negeri untuk dipasarkan di negara pembeli tersebut. Sedangkan impor adalah suatu kegiatan membeli barang dari penjual yang ada di luar negeri untuk dipasarkan di dalam negeri. Hal ini dapat terjadi karena masing-masing negara memiliki keunggulan dan disisi lain juga memiliki kekurangan. Perbedaan inilah yang mendorong negara negara di dunia untuk melakukan kegiatan ekspor impor. Disamping untuk memenuhi kebutuhan suatu negara, kegiatan ekspor impor juga dapat menambah devisa negara serta untuk memajukan perekonomian negara tersebut.


(29)

Kegiatan ekspor impor merupakan jual beli yang dilakukan secara internasional, artinya dilakukan antar negara. Menurut Gunawan Widjaja & Ahmad Yani , Jual beli merupakan suatu perbuatan hukum antara pihak penjual di satu pihak dengan pihak pembeli di lain pihak mengenai suatu barang.14

B. Sumber Hukum dalam Transaksi Ekpor Impor

Menurut pasal 1457 KUH Perdata, jual beli didefenisikan sebagai perjanjian antara penjual dengan pembeli dimana pihak penjual mengikatkan diri untuk menyerahkan benda dan pihak pembeli untuk membayar harga yang sudah diperjanjikan itu.

Jadi, ekspor impor yang dilakukan oleh satu negara dengan negara lain harus didahului dengan negosiasi yang dilakukan oleh pengusaha antar kedua negara. Dalam negosiasi ini akan menghasilkan suatu kontarak yang berisi kesepakatan untuk mengadakan suatu kegiatan jual beli terhadap suatu barang. Dalam kontrak ini pula akan ditentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak serta cara pembayaran atas jual beli tersebut (Terms of Payment).

Di dalam pelaksanaan ekspor impor, kedua belah pihak haruslah mengetahui apa yang menjadi sumber hukum di dalam kegiatan perdagangan internasional tersebut agar proses jual beli yang dilakukan dapat berjalan dengan lancar dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak harus sesuai dengan sumber hukum yang berlaku dalam perdagangan internasional tersebut. Sumber hukum

14

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor-Impor & Imbal Beli), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hal. 9.


(30)

inilah yang mengatur dan mengendalikan beroperasinya kontrak tersebut. Mulai dari saat awal pembentukan kontrak hingga saat pelaksanaan kontrak tersebut.15

1. Provisi kontrak (Contract Provision)

Sumber – sumber hukum di dalam transaksi ekspor impor adalah sebagai berikut :

Provisi kontrak merupakan hal – hal yang diatur dalam kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak. Provisi kontrak ini merupakan dasar hukum utama bagi suaru kontrak. Apa yang diatur dalam provisi kontrak terserah pada para pihak. Hukum hanya memberikan batasan batasan untuk melindungi berbagai kepentingan lain yang lebih tinggi, misalnya keadilan, ketertiban umum, kepentingan negara da lain sebagainya.

Menurut pandangan Soedjono Dirdjosisworo, provisi kontrak adalah apa-apa yang telah diatur dalam kontrak tersebut oleh kedua belah pihak. Hukum memandang kontrak sebagai your own business. Artinya terserah pada para pihak mau mengatur bisnisnya secara bagaimana dalam kontrak tersebut.16

15

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Hukum dagang Internasional, Refika aditama, Bandung, 2006, hal. 23.

16

Ibid..

Jika provisi suatu kontrak tidak dapat menampung aspirasi kedua belah pihak, misalnya dalam hal pelaksanaan perjanjian yang tidak diatur sama sekali dalam kontrak, hukum akan menyediakan optional law (hukum yang mengatur) untuk mengisi kekosongan hukum dalam masyarakat. Dalam konteks perdagangan internasional, kedua belah pihak, yaitu eksportir dan


(31)

importir diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menentukan isi kesepakatan dalam kontrak.

2. General Contract Law (Hukum Kontrak Umum)

Tiap – tiap negara memiliki general contract law tersendiri. Di Indonesia, general contract law ini dapat dilihat dalam ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga. Dalam buku ketiga ini diatur secara umum dan berlaku bagi seluruh kontrak, seperti jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dan sebagainya. Di dalamnya diatur asas-asas dan prinsip-prinsip suatu kontrak. Keentuan itu ada yang dapat dikesampingkan oleh para pihak dan ada pula yang tidak dapat dikesampingkan.

3. Specific Contract law (Hukum Kontrak Khusus)

Selain ketentuan-ketentuan umum, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur tentang ketentuan khusus yang berkenaan dengan kontrak-kontrak tertentu. Dalam perjanjian jaul beli internasional misalnya, jika yang berlaku adalah Hukum Indonesia, maka berlaku juga ketentuan tentang perjanjian jual beli yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang diatur dalam pasal 1457 sampai dengan 1540 yang pada prinsipnya mengatur tentang :

a. Ketentuan-ketentuan umum b. Kewajiban-kewajiban penjual c. Kewajiban pembeli


(32)

e. Ketentuan-ketentuan khusus mengenai jual beli piutang dan hak-hak tidak berwujud lainnya

4. Kebiasaan-kebiasaan

Kebiasaan-kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum. Demikian halnya dengan kebiasaan di dalam transaksi perdagangan (Trade Usage/Custom) yang merupakan salah satu sumber hukum dan dapat menjadi pedoman dalam menginterprestasi kontrak termasuk kontrak transaksi ekspor impor.

5. Yurisprudensi

Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Yurisprudensi) dapat menjadi dasar hukum bagi berlakunya kontrak. Yurisprudensi akan terasa maknanya jika ada hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang, atau yang memerlukan penafsiran-penafsiran terhadap suatu Undang-Undang. Namun demikian, dalam hukum transaksi perdagangan internasional, peranan yurisprudensi kurang begitu berarti karena biasanya penyelesaian suatu kasus dalam Transaksi Perdagangan Internasional menggunakan Arbitrase.

6. Kaidah Hukum Perdata Internasional

Kaidah Hukum Perdata Internasional banyak digunakan karena pada umunya setiap transaksi ekspor impor melibatkan berbagai pihak dan berbagai negara. Berkaitan dengan hal itu, jika ada perselisihan tentang hukum mana yang berlaku bilamana hal tersebut tidak diatur dalam kontrak, maka dipergunakanlah kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional (Conflict of law) ini.


(33)

Salah satu yang cukup terkenal adalah teori The Most Characteristic Connection Rule. Menurut teori ini hukum para pihak yang mempunyai perstasi yang sangat karakteristik. Dalam bidang jual beli internasional, maka ketentuan hukum dari pihak penjual yang berlaku karena dianggap mengandung paling banyak karakteristik (yang unik) dalam setiap transaksi perdagangan.17

7. Konvensi Internasional (International Convention)

Konvensi Internasional adalah kesepakatan-kesepakatan internasional yang sedang, telah, atau sedang diratifikasi oleh negara-negara di dunia. Agar suatu konvensi dapat mengikat, maka negara-negara kedua belah pihak tersebut harus merupakan peserta dari konvensi internasional tersebut dan telah meratifikasi sehingga telah menjadi bagian dari hukum nasional masing-masing negara.

Ketentuan-keterntuan/konvensi-konvensi internasional ada juga yang mengatur mengenai perjanjian jual beli internasional. konvensi-konvensi internasional yang khusus mengatur mengenai jual beli internasional adalah sebagai berikut :

a. United Nations Convention on Contracts for the International sale of Goods

b. Convention on the Limitation Period in the International sale of Goods.

8. Ketentuan – ketentuan domestik lainnya

17


(34)

Ketentuan domestik merupakan aturan- aturan yang dikeluarkan pemerintah setempat seperti aturan yang berkenaan dengan ekspor impor, letter of credit, asuransi, bill of lading, bill of exchange, dan lain sebagainya.

C. Hubungan Hukum Para Pihak Yang Terkait Dalam Transaksi Ekspor Impor

Dalam Transakasi ekspor impor, pelaksanaannya lebih menekankan pada pergerakan barang dan dokumen-dokumen pendukungnya. Keadaan tersebut mempengaruhi semua aspek dalam transaksi perdagangan internasional, termasuk pembiayaannya. Pembeli/importir biasanya tidak dapat secara langsung memperoleh kredit. Oleh karena itu dibutuhkanlah pihak ketiga (bank) yang berperan sebagai penyedia dana untuk membiayai transaksi tersebut.18

1. Hubungan hukum antara pihak pembeli (Applicant) dan penjual (Beneficiary)

Sebagaimana halnya transaksi jual beli pada umumnya, dalam transaksi perdagangan internsional, antara pembeli dan penjual terjadi hubungan hukum, yaitu pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual. Paralel dengan kewajiban tersebut, kedua belah pihak juga memiliki hak, pembeli berhak menerima barang yang dibelinya dan penjual berhak untuk memperoleh pembayaran atas barang yang dijual. Hal ini sesuai dengan defenisi jual beli menurut pasa 1457 KUH Perdata yang menyatakan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana

18


(35)

pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.

Dalam transaksi ekspor impor yang menggunakan L/C, antara penjual dan pembeli tampaknya tidak terdapat hubungan langsung, karena pembayarannya dilakukan oleh bank. Pembukaan atas suatu L/C tidak akan menghapus hak penjual atas pembayaran, dan hak itu baru akan hapus jika pihak bank telah membayar harga pembelian tesebut kepada penjual.

2. Hubungan hukum pembeli (Applicant) dengan Issuing Bank

Dalam transaksi ekspor impor, L/C merupakan cara pembayaran yang paling banyak digunakan. Maka, pembeli akan memohon pembukaan L/C kepada issuing bank atas nama penjual. Hubungan hukum antara pembeli dengan issuing bank ini dapat dipandang sebagai pemberian kuasa (lastgeving) dengan pemberian upah.19

3. Hubungan hukum antara issuing bank dengan advising bank

Namun ada sebagian ahli hukum menganggap hubungan hukum itu lebih tepat dipandang timbul dari suatu perjanjian yang mempunyai unsur-unsur campuran antara perjanjian pemberian kuasa (lastgeving) dan perjanjian untuk melakukan beberapa pekerjaan.

Antara issuing bank dengan dan advising bank (nominated bank) dapat terjadi kerjasama karena antara penjual sebagai beneficiary dan issuing bank berada di negara yang berbeda dan issuing bank tidak

19


(36)

memiliki cabang di negara di mana beneficiary berada. Karena itu diperlukan bank lain yang berada di negara tempat beneficiary untuk menjadi bank koresponden (advising bank) dan bertugas untuk memberitahu beneficiary bahwa telah diterbitkan L/C baginya.

Jika advising bank juga berperan sebagai nominated bank, hubungan hukum yang terjadi bukan hanya saling membantu tapi juga hubungan hukum pemberian kuasa. Dalam pemberian kuasa ini, kewajiban issuing bank untuk membayar dilimpahkan kepada nominated bank. Setelah nominated bank membayar kepada beneficiary, maka nominated bank berhak untuk memperoleh pembayaran kembali dati issuing bank.

4. Hubungan Hukum Issuing Bank dengan penjual (Beneficiary)

Hubungan hukum antara issuing bank dengan penjual terjadi karena issuing bank mengambil alih kredibilitas pembeli dalam melakukan pembayaran kepada penjual dan menjamin pembayaran kepada pembeli.

Hubungan hukum antara issuing bank dengan penjual ini tergantung dari sifat hukum L/C tersebut. Teori yang ada menunjukkan bahwa adanya konstruksi hukum yang menganggap bank sebagi penjamin (borg) bagi pembeli, lalu bank dianggap sebagai penjamin awal bagi pembeli dan pemenuhan kewajiban yang menggunakan kredit berdokumen.20

5. Hubungan Hukum advising bank dengan penjual (Beneficiary)

20


(37)

Dalam hal transakasi ekspor impor, apabila advising bank hanya bertindak sebagai bank koresponden, maka advising bank tidak mempunyai perikatan terhadap beneficiary (penjual). Tapi, jika kedudukan advising bank juga sebagai confirming bank, maka hubungan hukum antara penjual dan advising bank sama dengan hubungannya dengan issuing bank.

Mengenai kewajiban advising bank dapat dilihat dalam pasal 7 UCP 500. Advising bank yang berperan sebagai nominated bank akan menjadi perantara pembayaran antara issuing bank dengan beneficiary. Nominated bank mengambil alih kewajiban issuing bank untuk melakukan pembayaran dan memeriksa semua dokumen-dokumen yang diserahkan penjual.

D. Mekanisme Pembayaran Transaksi Ekspor Impor

Dalam hubungan sistem pembayaran pada perdagangan internasional, kita mengenal beberapa macam prosedur. Berdasarkan ketentuan pasal 3 Peraturan Pemerintah no.1 tahun 1982 jo Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi nomor 27/KP/1/82, tata cara pembayaran ekspor dan impor dapat dilakukan dengan :

a. Pembayaran di muka (Advanced Payment) yaitu sistem pembayaran dimana pembeli (Importir) membayar terlebih dahulu kepada penjual (Eksportir) sebelum merealisasi ekspor sesuai dengan kesepakatan para pihak.

b. Letter Of Credit (L/C) yaitu sistem pembayaram dimana pembeli (Importir) menyediakan dana untuk penjual (Eksportir) dengan


(38)

perantaraaan banknya, dan pembayaran hanya dapat dilakukan oleh bank korespondennya di negara penjual (Eksportir) dengan penyerahan dokumen - dokumen pengapalan oleh penjual (Eksportir) kepada bank tersebut.

c. Wesel inkaso (Collection Draft) yaitu suatu cara penagihan pembayaran yang dilakukan dengan pengiriman dokumen – dokumen baik finacial documents maupun commercial documents dari eksportir kepada importir melalui bank. Sistem pembayaran ini ada dua jenis, yaitu :

1. Documentary collection, yaitu penagihan dilakukan dengan pengiriman dokumen baik yang berupa financial documents disertai commercial documents oleh ekspotir kepada importir dengan menggunakan jasa bank.

2. Clean collection, yaitu penagihan dilakukan hanya dengan pengiriman finacial documents atau commercial documents saja.

Untuk kedua jenis collection tersebut, eksportir dapat meminta kepada bank yang menyalurkan dokumen – dokumen tersbut kepada importir atas dasar pembayaran:

i. Pembayaran tunai (Document against payment : D/P) yaitu penyerahan dokumen kepada importir baru dilakukan apabila importir telah membayar.

ii. Akseptasi atas wesel atau promes (Documents againts acceptance : D/A) yaitu penyerahan dokumen kepada impotir apabila importir telah mengakseptasi wesel atau promes tersebut.


(39)

d. Perhitungan kemudian (Open account) yaitu sistem pembayaran dengan cara memindahkan rekening importir ke rekening eksportir dan pembayaran dilakukan di kemudian hari pada tanggal yang telah ditentukan bersama, setelah pengiriman barang dilakukan.

e. Konsinyasi yaitu pembayaran dilakukan kalau barang telah laku terjual di negara pengimpor dan eksporit tetap memegang hak milik atas barang selama barang tersebut belum terjual.

f. Sistem pembayaran lainnya yang lazim dalam perdagangan.

E. Letter Of Credit (L/C)

Di dalam dunia perdagangan khususnya dunia perbankan dikenal suatu pembayaran yang disebut dengan L/C. Mengenai istilah Letter Of Credit (L/C) ini masih banyak terdapat keanekaragaman tentang penyebutannya. Ada yang menyebut dengan credit opening (creditief opening) di mana dalam bahasa Belanda disbut credietbrief dan dalam bahasa Francis disebut dengan letter de credet, sedangkan di Jerman dikenal dengan nama accreditief dan di negara Belgia dan Amerika lebih dikenal dengan istilah crediet tetapi bukan dalam arti yang sebenarnya bagi kredit.

Terdapat banyak pendapat mengenai defenisi L/C ini. JT. Sianipar memberi defenisi tentang L/C yaitu suatu persetujuan atau surat perintah untuk membayarkan uang dari seorang kepada orang lain dengan syarat. Biasanya surat perintah membayar ini datanganya dari pembeli untuk penjual.21

21

JT. Sianipar, Asuransi Pengangkutan Laut, Bagian Pertama, PT. Asuransi Jasa Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 40.


(40)

Bank Indonesia mengatakan L/C adalah janji dari issuing bank untuk membayar sejumlah uang kepada eksportir sepanjang ia dapat memenuhi syarat dan konsidi L/C tersebut. Bank Indonesia berpendapat bahwa inti dari L/C adalah janji pembayaran kepada penerima langsung oleh bank penerbit atau bank lain sebagai kuasanya.22

Selanjutnya, Emmy Pangaribuan Simanjuntak mengatakan bahwa pengertian L/C adalah suatu surat perintah membayar kepada seorang atau beberapa orang yang dialamati untuk melakukan pembayaran sejumlah uang tertentu yang disebut di dalam surat perintah itu kepada seorang tertentu. Biasanya yang memberi perintah itu adalah suatu bank dan yang dialamati adalah bank juga. Inti dari defenisi beliau adalah bahwa L/C merupakan surat perintah membayar. Beliau melihat L/C sebagai perintah atau kuasa bank penerbit kepada bank pembayar.23

Kemudian, Amir MS mengatakan L/C adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh suatu bank atas suatu permintaan importir langganan bank tersebut yang ditujukan kepada eksportir di luar negeri yang menjadi relasi importir tersebut, yang memberi hak kepada eksportir itu untuk menarik wesel-wesel atas importir bersangkutan untuk sejumlah uang yang disebutkan dalam surat itu.24

Sementara itu, UCP mengatakan bahwa L/C adalah janji dari bank penerbit untuk melakukan pembayaran atau memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran kepada penerima atas penyerahan dokumen-dokumen (misalnya konosemen, faktur, sertifikasi asuransi) yang sesuai dengan persyaratan L/C.25

Dari defenisi di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa letter of credit (L/C) itu adalah suatu cara pembayaran dimana pembeli atau importir

22

Bank Indonesia, Metode Pembayaran Internasional L/C Dan Non L/C, Bank Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 2.

23

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Loc. Cit.

24

Amir MS, Seluk Beluk Dan Teknik Perdagangan Luar Negeri : Suatu Penuntun Ekspor-Impor, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1995, hal. 37.

25


(41)

memberikan perintah (order) yang ditujuakan kepada bank untuk membuka L/C agar membayar sejumlah uang kepada penjual atau eksportir atas penyerahan dokumen-dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C oleh penjual atau eksportir tersebut.

Bank-bank umum di Indonesia dalam praktik mengikuti defenisi L/C menurut UCP. Hal ini dikarenakan dalam masa berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1970, Bank Indonesia mengeluarkan Himpunan Ketentuan-Ketentuan Prosedur Lalu Lintas Devisa, sebagai ketentuan pelaksana yang mengharuskan L/C yang diterima dari luar negeri maupun yang diterbitkan dari Indonesia ke luar negeri, tunduk pada UCP yang berlaku yaitu UCP 290 yang mulai berlaku 1 Oktober 1975.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1970 tersebut beserta dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1976 yang merupakan perubahan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1970, kemudian dicabut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 sebagai ketentuan pelaksananya, Bank Indonesia Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/14/ULN tanggal 29 September 1984 yang mewajibkan L/C yang diterbitkan Bank Devisa di Indonesia tunduk pada UCP yang berlaku yaitu UCP 400 yang mulai berlaku 1 Oktober 1984. UCP ini menggantikan UCP 290.

Kemudian, Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/14/ULN tersebut dicabut dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/34/ULN tanggal 17 Desember 1993 yang mengatur penundukan L/C pada UCP yang berlaku yaitu UCP 500 yang mulai berlaku pada 1 Januari 1994. UCP 500 ini menggantikan UCP 400. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, Surat Edaran Bank Indonesia


(42)

No. 26/34/ULN tersebut memberi pilihan kepada bank devisa menentukan L/C yang diterbitkannya tunduk atau tidak pada UCP 500. Dalam praktik bank devisa masih tetap menundukkan L/C pada UCP 500.

1. Dasar Hukum Letter Of Credit (L/C)

Yang dimaksud sebagai dasar hukum adalah suatu ketentuan yang menjadikan peristiwa, keadaan atau perbuatan mempunyai akibat hukum. Dasar hukum pelaksanaan L/C di Indonesia yaitu Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 Tentang Tata Cara Ekspor Impor Dan Lalu Lintas Devisa, yaitu :

a. Cara pembayaran ekspor impor dilakukan dengan tunai atau dengan kredit

b. Pembayaran ekpor impor dapat dilakukan dengan metode L/C dan metode non L/C

Pelaksanaan transaksi ekpor impor kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perdagangan Dan Perindustrian RI Nomor 124/MPP/Kep/5/1990 tentang ketentuan umum di bidang ekspor khususnya Pasal 3 ayat (2) yaitu :

”Pembayaran ekspor dapat dilakukan dengan L/C atau dengan cara pembayaran lain yang lazim berlaku dalam perdagangan internasional sesuai dengan kesepakatan penjual dan pembeli.”

Sedangkan ketentuan pelaksanaanya yang berlaku sekarang adalah Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/34/ULN tanggal 17 Desember 1993. Surat Edaran Bank Indonesia tersebut mengatur bahwa Letter Of Credit yang diterbitkan bank devisa boleh tunduk atau tidak pada


(43)

UCP 500. Walaupun demikian, ketentuan nasional di atas secara tersirat kelihatannya menghendaki agar UCP 500 berlaku bagi transaksi Letter Of Credit.

2. Jenis-Jenis Letter Of Credit (L/C)

L/C sebagai cara pembayaran diatur dalam UCP tetapi pada umumnya pengaturannya tidak rinci. Oleh karena itu, pengaturan UCP tersebut hanya harus dipadukan dengan konsepsi yang berkembang dalam transaksi perbankan internasional baik yang berasal dari rumusan para pakar L/C, putusan pengadilan mengenai L/C maupun kebiasaan dan praktik L/C. Jenis-jenis L/C dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Jenis-Jenis L/C Menurut Keterikatan Bank a. Revocable Letter Of Credit

Yang dimaksud dengan Revocable L/C adalah L/C yang dibatalkan/dirubah oleh bank penerbit setiap saat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada penerima. Jenis Revocable L/C mempunyai suatu tanggal expiration/habis waktunya yang tepat sebelum mana dokumen-dokumen itu bisa dinyatakan untuk dinegosiasikan. Meskipun begitu, penarikan kembali dari L/C ini dapat dilakukan oleh salah satu pihak sebelum berlakunya L/C tanpa persetujuan pihak lain.

Menurut artikel 8 kalimat pertama UCP 500 menyatakan bahwa : ”Suatu revocable boleh dirubah atau dibatalkan setiap saat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada beneficiary”.

Tetapi dalam praktik, pembatalan atau perubahan harus dengan suatu pembatasan yaitu apabila Revocable L/C telah dinegocieer pada


(44)

suatu tanggal dan pencabutan L/C diterima/dicounter bank sesudah tanggal negosiasi, maka L/C itu akan dibayar oleh opening bank. Hal itu harus dibuktikan dengan datum post stempel karena itu faktor penanggalan sangat penting.

Bila pencabutan Revocable L/C telah diterima, sedang L/C belum dipergunakan, maka L/C itu batal dan sekali-kali tidak boleh dipergunakan. Sehubungan dengan itu, maka sesuai dengan ketentuan artikel 8 kalimat kedua UCP 500 yang menyatakan :

”Namun demikian, Issuing Bank harus membayar kembali (reimburse) kepada bank lain kepada siapa revocable credit tersebut telah dibayarkan atas unjuk, aksepatasi atau negosiasi, untuk mana pelaksanaan pembayaran, akseptasi atau negosiasi yang telah dilakukan bank lain tersebut, sebelum diterimanya pemberitahuan perubahan atau pembatalan dilaksanakannya atas dasar penyerahan dokumen-dokumen yang secara nyata sesuai dengan persyaratan dan kondisi kredit”.

Pengertian Revocable L/C ini tidak akan menempatkan penjual dalam posisi yang menguntungkan. Itulah sebabnya kenapa dalam praktik L/C demikian jarang sekali dipergunakan. Dalam praktik, pada umumnya bank penerus memberitahukan perubahan atau pembatalan Revocable L/C kepada penerima. Pemberitahuan ini dilakukan bank sebagai pelayanan jasa demi kesinambungan bisnis antara bank dan nasabah. Walaupun demikian, secara hukum, bank penerus tidak dibebani kewajiban hukum untuk melakukan pemberitahuan baik kepada penerima maupun pihak lainnya.

b. Irrevocable L/C

Pengertian Irrevocable L/C adalah L/C yang diminta oleh bank pembuka L/C atas permintaan pembeli, yang diterima oleh bank penerus (advising bank) untuk disampaikan kepada penjual/eksportir, dimana


(45)

Irrevocable L/C mempunyai bentuk tidak dapat dibatalkan/dirubah di dalam masa berlakunya L/C (expiry date) oleh pihak manapun juga, terkecuali bila disetujui oleh semua pihak.

Jadi menurut jenis Irrevocable L/C ini yang bertanggung jawab atas pembayaran L/C adalah bank pembuka/penerbit. Hal ini sesuai dengan fungsi L/C yaitu suatu jaminan yang akan diberikan oleh bank penerbit L/C kepada penjual bahwa bank akan membayar berdasarkan dokumen-dokumen yang ditarik sesuai dengan syarat dan kondisi kredit.

Dalam praktik banyak dilaksanakan pembukaan L/C dengan irrevocable karena para pihak tidak perlu merasa khawatir bahwa L/C tersebut akan dibatalkan/dirubah. Meskpiun menurut jenis Irrevocable L/C tidak dapat dibatalkan/dirubah di dalam masa berlakunya L/C oleh pihak manapun juga, terkecuali telah disetujui oleh semua pihak, namun menurut praktik perbankan jenis L/C ini dapat dibatalkan sebelum jangka waktu berlakunya L/C habis dan negotiating bank belum mengambil alih L/C tersebut.

Jangka waktu berlakunya Irrevocable L/C bergantung lamanya waktu yang diterima oleh eksportir, untuk menyiapkan barang-barang dan dokumen-dokumen sesuai yang diminta pada L/C dimana ini telah disetujui lebih dahulu antara penjual dan pembeli sebelum L/C dibuka. Untuk ini jangka waktu yang dibutuhkan harus diperhitungkan benar-benar, hal ini untuk menghindari perpanjangan berlakunya L/C yang akan berakibat menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi pelaksanaannya.


(46)

Apabila irrevocable L/C waktunya berlaku telah habis, maka L/C itu dengan sendirinya atau secara otomatis batal dan tidak boleh sama sekali dipergunakan/direalisir, terkecuali dengan persetujuan tertulis/kawat dari pembeli melalui bank pembuka/opening bank.

Jika L/C akan diperpanjang masa berlakunya, maka sebelum L/C tersebut habis masa berlakunya, semua pihak harus diberi tahu dan menurut praktik yang bertanggung jawab atas ongkos perpanjangan yaitu orang kepada siapakah perpanjangan L/C itu diminta.

Untuk setiap pembukaan L/C harus disebutkan secara tegas dan mencantumkan secara jelas apakah irrevocable atau revocable L/C. Hal ini sesuai dengan artikel 6 sub b UCP 500 yang menyatakan :

”Karena itu pada semua kredit harus dengan jelas tercantum petunjuk, apakah kredit itu bersifat revocable atau irrevocable.”

Apabila L/C itu sama sekali tidak menyebutkan irrevocable atau revocable, maka L/C tersebut dianggap sebagai irrevocable L/C. Ketentuan ini sesuai dengan artikel 6 sub c UCP 500 antara lain sebagai berikut :

”Dalam hal tidak terdapat perunjuk demikian, kredit tersebut akan dianggap sebagai irrevocable.”

c. Irrevocable And Confirmed L/C

Menurut pendapat beberapa sarjana antara lain oleh Molengraf-Zevenbergen26

26

Emmy Pengaribuan Simanjuntak, Op. Cit, hal. 43.

, mempersamakan istilah revocable dengan kredit yang tidak dikonfirm/inconfirmed, sedangkan irrevocable disamakan dengan


(47)

kredit yang dikonfirm. Yang dimaksud dengan irrevocable and confirmed L/C yaitu :

Suatu L/C yang tidak dapat dibatalkan/dirubah kecuali apabila ada persetujuan dari para pihak, dalam jenis L/C ini yang bertanggung jawab adalah bank pembuka/opening bank selama jangka waktu berlakunya L/C, dan bank kedua juga bertanggung jawab atas pembayaran tersebut.

Bank pengkonfirmasi yang mengkonfirmasi L/C menjamin kewajiban bank pembuka/penerbit dengan menyatakan komitmennya sendiri untuk membayar L/C. Bank pengkonfirmasi tidak dapat menarik diri dari kewajbannya kepada penerima. Bank pengkonfirmasi dan bank penerbit sama-sama memberikan kepastian pembayaran ganda. Dengan perumusan lain, konfirmasi atas irrevocable L/C merupakan janji pasti dari bank pengkonfirmasi sebagai tambahan terhadap janji pasti dari bank penerbit.

Dalam confirmed L/C, bank pengkonfirmasi tidak memiliki hak regres (right of recourse) terhadap penerima, walaupun cara pembayaran L/C atas dasar negosiasi. Bank pengkonfirmasi baru memiliki hak regres, jika bank pengkonfirmasi melakukan pembayaran kepada penerima dengan under reserve atau dengan penandatanganan letter of indemnity oleh penerima.

Pembayaran dengan under reserve dilakukan terhadap dokumen-dokumen yaitu memuat discrepancy.27

27

Discrepancy (penyimpangan) adalah perbedaan antara dokumen yang diajukan dengan persyaratan L/C. Perbedaan tersebut dapat berupa perbrdaan major (substansial) atau minor (non- substansial). Kedua klasifikasi perbedaan ini baik secara bersamaan maupun masing-masing dapt dijadikan alasan hukum oleh bank untuk menunda atau menolak pembayaran L/C.


(48)

melakukan pembayaran atas dokumen-dokumen yang discrepancy berdasarkan kondisi under reserve berhak menagih kembali nilai yang dibayarkan kepada penerima jika bank pengkonfirmasi tidak memperoleh pembayaran kembali dari bank penerbit atau reimbursing bank. Pembayaran dengan penandatanganan letter of indemnity ditujukan kepada nasabah pada umumnya, sedangkan under reserve ditujukan kepada nasabah inti. Pada letter of indemnity nasabah menandatangani pernyataan bersedia membayar kembali kepada bank pengkonfirmasi, sedangkan pada under reserve, janji membayar kembali pada dasarnya dilakukan secara lisan saja. Istilah under reserve dan letter of indemnity disebut dalam UCP 500 artikel 14 f.

2. Jenis-Jenis L/C Menurut Pihak Yang Mengeluarkan L/C a. Bankers L/C

Pengertian dari bankers L/C yaitu L/C yang dibuka oleh suatu bank, dimana bank membuka L/C atas permintaan pembeli/pemohon tersebut bertanggung jawab atas pembayarannya, bila syarat-syarat L/C dapat dipenuhi. Sehingga L/C yang dikeluarkan bank mengandung suatu jaminan yaitu :

A.Jaminan kepercayaan dari bank. Dalam hal ini bank memberikan/meminjamkan nama saja sehingga pembeli menjadi lebih dipercaya, tanpa melibatkan dirinya untuk bertanggung jawab atas pembayaran, atau bank mengambil alih seluruh kewajiban membayar, sehingga terjadi substitusi dari kemampuan membayar si pembeli oleh bank penerbit.


(49)

B. Adanya term and condition, untuk mana si penjual nanti akan dapat memperoleh pembayaran atas barangnya dengan menyerahkan dokumen-dokumen yang diminta sesuai dengan syarat L/C. Term and condition isinya antara lain :

1) Invoice harus jelas maksudnya, invoice harus diterbitkan oleh penjual dimana harus menunjukkan nama pembeli sebagaimana tertera pada L/C.

2) Dokumen harus diserahkan kepada paying bank pada/sebelum tanggal pengapalan berakhir atau tanggal negosiasi.

3) B/L harus menyatakan on board : i. menyatakan tanggal jatuh tempo ;

ii. janji untuk membayar.

Menurut praktik perbankan L/C hanya dapat dibenarkan dengan menggunakan banker L/C.

b. Merchant L/C

Yang dimaksud dengan merchant L/C adalah L/C yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan dan bank biasanya hanya meneruskan L/C tersebut tanpa suatu ikatan maupun tanggung jawab atas pelaksanaan pembayarannya.

Merchant L/C ini tidak lazim dipergunakan, disebabkan perkembangan industri dan dagang yang menghendaki modal yang lebih


(50)

besar dan perputaran yang lebih cepat mengalihkan aktivitas pembiayaan ke tangan perbankan.

Bentuk Merchant L/C ini dilarang di Indonesia, yaitu menurut SK Menteri Perdagangan Dan Koperasi Nomor 146/KP/V/1977 tanggal 1 Mei 1977. Bentuk merchant L/C ini dengan merugikan penjual dengan resikonya yang terlalu besar.

3. Jenis-Jenis L/C Menurut Syarat-Syaratnya a. Documentary L/C

Pengertian documentary L/C adalah suatu L/C yang mewajibkan eksportir penerima L/C untuk menyerahkan dokumen pengapalan yang membuktikan pemilikan barang serta dokumen penunjang lainnya sebagai syarat untuk memperoleh pembayaran dari dana yang tersedia pada L/C tersebut. Sehingga dalam L/C ini, dokumen-dokumen merupakan syarat yang penting yang harus dipenuhi oleh eksportir untuk dapat menerima pembayaran.

b. Open/Clean L/C

Yang dimaksud dengan clean L/C yaitu bahwa di dalam L/C ini tidak dicantumkan syarat lain untuk penarikan wesel, dalam arti tidak diperlukan dokumen-dokumen, bahkan pengambilan kredit yang tersedia, si penerima hanya akan menyerahakan tanpa terima kuitansi atau bukti lain seperti faktur, debet nota, rekening dan lain-lain tergantung keinginan dari si pembuka L/C dan atau sifat transaksi atau jasa-jasa bersangkutan.

4. Dilihat Dari Segi Pembayarannya


(51)

Sight L/C adalah L/C yang pembayarannya oleh negotiating bank dilakukan pada saat wesel-wesel diunjukkan oleh eksportir, disertai dokumen-dokumen lain yang sesuai dengan syarat-syarat L/C. Tentang kepada siapa yang harus bertanggung jawab terhadap transaksi tersebut, maka di dalam L/C bersangkutan dicantumkan atas nama siapa wesel bersangkutan harus diterbitkan. Wesel tersebut ada yang diterbitkan atas : 1) Bank Penerus L/C (Advising Bank) ; atau

2) Bank Pembuka (Opeing Bank) ; atau

3) Bank ketiga yaitu principal dari bank pembuka L/C ; 4) Pembeli itu sendiri.

Bila wesel diterbitkan atas dasar pembeli (bukan bank), maka dikatakan wesel diterbitkan atas pihak ketiga. Tetapi lazimnya sight L/C senantiasa ditujukan secara khusus kepada bank-bank koresponden di luar negeri, di mana bank-bank pembuka mempunyai rekening pada koresponden bersangkutan dan bank penerima L/C sekaligus juga merupakan/bertindak sebagai bank pembayar.28

b. Usance L/C

Usance L/C adalah L/C yang mengharuskan eksportir penerima L/C untuk menarik wesel berjangka dan bukan wesel unjuk sebagaimana lazimnya. Jangka waktu wesel tersebut bisa bervariasi antara 30 sampai dengan 180 hari.

Untuk usance L/C ini pada saat wesel dan dokumen diserahkan negotiating bank tidak melakukan pembayaran, namun eksportir bisa

28


(52)

mengajukan permintaan agar L/C tersebut didiscount dengan pembayaran diskonto yang berlaku.

Unsance L/C biasa diterbitkan pada waktu-waktu hubungan yang normal tidak dapat dijalankan lagi, dimana keinginan pembeli tidak dapat dipaksakan kepada penjual. Kemingkinan yang lain si penjual menerima tawaran untuk melaksanakan pembayaran dengan usance L/C bila pembeli itu langganan baik dan sudah dipercaya. Di dalam transaksi ini, bank memegang peranan sebagai tersangkut/bank pembayar.

5. Dilihat Menurut Hak Beneficiary a. Transferable L/C

UCP mengatur relatif rinci mengenai L/C yang dapat dialihkan ini (Transferable L/C). UCP mengatur bahwa L/C dapat dialihkan oleh penerima kepada pemasok melalui perantaraan bank jika bank penerbit menyatakan demikian dalam L/C. Pengalihan ini hanya dapat dilakukan satu kali proses kecuali L/C mencantumkan sebaliknya. Pengalihan dapat dilakukan terhadap sebagian atau keseluruhan L/C dan dapat dialihkan kepada satu atau lebih pemasok.29

Transferable L/C hanya dapat dipindahkan dengan ketentuan, bahwa syarat-syarat dari pemindahan tersebut harus sama dengan L/C pokok/semula, terkecuali yang mengenai jumlah, harga, tanggal habis berlaku L/C (L/C expiry date) dan tanggal habis pemuatan (shipping expiry date). Semuanya ini masing-masing atau seluruhnya dapat dikurangi,

29


(53)

dipotong, (mengenai jumlah), dipermudah (mengenai tanggal), tegasnya tidak boleh melewati syarat-ayarat dari L/C pokok.

Alasan dan pengecualian tersebut adalah bahwa jumlah L/C akan lebih rendah dari jumlah sebenarnya dan kesatuan harga yang telah dikurangi, selisih inilah yang menjadi beneficiary pertama sebagai pedagang perantara.

b. Non Transferable L/C

Merupakan kebalikan dari transferable L/C, oleh kerena itu non transferable L/C berarti L/C yang tidak dapat ditransfer sehingga beneficiary yang namanya tercantum pada L/C itu yang berhak.30

6. Jenis-Jenis L/C Khusus a. Revolving L/C

Revolving L/C merupakan L/C yang dipakai berulang-ulang oleh penerima dalam jumlah tertentu selama jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam L/C yang bersangkutan tanpa perlu menerbitkan L/C yang baru atau melakukan perubahan L/C yang bersangkutan. Revolving L/C diterbitkan kepada penerima untuk kegiatan bisnis yang berkesinambungan dengan pemohon. Segera setelah dilakukan pembayaran kembali atas penarikan L/C, nilai L/C kembali tersedia kepada penerima sebesar nilai semula.

30


(54)

Revolving L/C dapat bersifat kumulatif atau non kumulatif. Revolving L/C berlaku selama periode tertentu dan meng-cover wesel-wesel dari semua transaksi selama periode tersebut. Revolving L/C pada umunya bersifat revocable agar dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh bank penerbit jika wesel yang telah dinegosiasikan tidak dibayar kembali oleh pemohon.31

b. Back To Back L/C

Transaksi L/C anak (back to back L/C) melibatkan suatu L/C sebagai pelindung atau pengaman untuk L/C yang lain yang diamankan L/C induk. Kedua L/C tersebut berdasarkan hukum L/C masing-masing berdiri sendiri, tetapi persyaratannya sama kecuali untuk nilai L/C dan tanggal jatuh tempo L/C. L/C sebagai jaminan yang disebut juga L/C induk (master L/C) nilainya relatif lebih besar dibanding nilai L/C anak. Dan tanggal jatuh tempo induk lebih lama dibanding tanggal jatuh tempo L/C anak.

Selisih nilai antara L/C induk dan L/C anak merupakan keuntungan penerima L/C induk. Sementara, tanggal jatuh tempo L/C induk lebih lama dibanding tanggal jatuh tempo L/C anak dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada penerima L/C induk untuk mengganti faktur dan wesel yang diterima dari penerima L/C anak untuk disesuaikan dengan nilai L/C induk. L/C anak lahir karena penerima dari L/C induk tidak memiliki barang-barang yang diminta L/C induk dan oleh karena itu

31


(55)

harus menerbitkan kepada pemasok L/C anak dengan perlindungan dari L/C induk tersebut. Sebagai pemohon terhadap L/C anak, penerima berkewajiban mereimburs bank penerbit dan L/C anak yang telah melakukan reimburs L/C anak kepada bank pembayar. Reimburs ini wajib dilakukan oleh penerima terlepas dari apakah penerima sudah dibayar atau belum berdasarkan L/C induk.32

c. Red Clause L/C

Red Clause L/C adalah L/C yang dibayar dimuka. Di dalam jenis L/C ini dimuat suatu klausul yang secara tradisional dicetak dengan warna merah (red clause) yang isinya memungkinkan penerima menarik pembayaran L/C di muka sebelum dilakukan pengiriman barang. Penarikan di muka tersebut dapat terhadap seluruh nilai atau terhadap sebagian nilai L/C. Klausul red clause menggambarkan kepercayaan pemohon terhadap penerima.33

”The red clause credit accordingly witnesses an intimate relationship of trust and knowledge between the applicant for credit and the beneficiary, since the app;icant is extending a loan through his bank to the beneficiary without documentary security.”

Lazar Sarna pakar hukum Kanada, mengatakan :

34

Fasilitas pembayaran di muka diberikan kepada penerima tanpa disertai dengan pengajuan dokumen-dokumen kepada bank pembayar pada

32 Ibid , hal. 47. 33

Raymond Jack, Documentary Credits, Butterworths, London, Dublin, Edinburgh, 1993, hal. 24.

34

Lazar Sarna, Letter Of Credit – The Law And Current Practice, Carswell, Toronto, Calgary, Vancouver, 1986, hal. 24.


(56)

saat menerima pembayaran di muka. Dokumen-dokumen yang dipersyaratkan diproses dan disampaikan kepada bank pembayar sama dengan halnya dengan L/C pada umumnya. Dokumen-dokumen diajukan kepada bank pembayar setelah dilakukan pengiriman barang oleh penerima. Informasi yang diperlukan dari penerima pada saat penerimaan pembayaran di muka oleh penerima adalah bukti keberadaan, produksi dan penyimpanan barang yang akan dikapalkan,35

d. Standby L/C

yang merupakan dokumen yang berbeda dengan bukti pengiriman barang yang merupakan dokumen-dokumen yang diajukan dalam rangka pembayaran L/C pada umumnya.

Penggunaan standby L/C di dalam suatu transaksi telah menimbulkan pertanyaan apakah ini merupakan L/C atau garansi bank atau bukan. Ciri-ciri dari kredit berdokumen yaitu untuk mereakisasi pembayaran disertai dengan dokumen-dokumen yang disyaratkan, juga standby L/C ini mempunyai ciri-ciri pula tetapi penekannya berbeda. Dalam kredit berdokumen ini, dokumen-dokumen akan dinyatakan untuk menerima pembayaran, sedangkakan dalam standby L/C untuk terlaksananya pembayaran tidak memerlukan dokumen.

Sehubungan tersebut di atas, maka perngaertian dari standby L/C adalah L/C yang dimaksud untuk menjamin suatu transaksi, dimana L/C tersebut baru dapat direalisasi apabila transaksi tersebut tidak dipenuhi.36

Bernard S. Wheble37

35

Ibid, hal. 25.

36

Hartono Hadisoeprapto, Op. Cit, hal. 61.

37

Bernard S. Wheble, yang mengutip 12 C.F.R. Seksi 7 1160 (1981), Problem Children Standby L/C And Simple First Demand Guarantee, 24 Arixona law Review. Hal. 301.


(1)

Demikian juga menurut Staf Humas BRI cabang Kisaran, dimana dia akan menuntut kepada penjual atau eksportir terhadap apa yang telah dibayarkannya dalam hal terjadi pemalsuan dokumen. Penjual tersebut dari semula telah beritikad buruk untuk tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya. Penjual tersebut telah melakukan wanprestasi. Hal ini dilakukan untuk melindungi pembeli yang telah menjadi nasabahnya dimana sudah terjalin kepercayaan yang mahal harganya.

Jadi meskipun dalam Pasal 15 UCP 500 menyatakan bahwa bank tidak bertanggung jawab terhadap adanya pemalsuan/penipuan tetapi dalam praktik pelaksanaan L/C, bank akhirnya ikut bertanggung jawab pula terhadap adanya pemalsuan tersebut. Tanggung jawab bank ini diwujudkan dengan menuntut kembali uang yang telah dibayarkannya kepada penjual, yang telah menyerahkan dokumen-dokumen palsu.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

1. Dalam UCP 500 disebutkan mengenai dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam L/C antara lain:

a. Dokumen transportasi, diatur dalam artikel 23 sampai artikel 33 b. Dokumen asuransi, diatur dalam artikel 34 sampai 36

c. Faktur, diatur dalam artikel 37

d. Dokumen lainnya selain ketiga dokumen diatas.

UCP 500 mengatur persyaratan yang dipenuhi oleh masing-masing jenis dokumen sepanjang L/C tidak menentukan sebaliknya. Artinya, persyaratan dokumen tersebut bersifat kontraktual, dimana persyaratan dokumen diserahkan sesuai dengan kesepakatan para pihak yang dinyatakan dengan tegas di dalam L/C.

Dalam praktek pelaksanaan L/C, dokumen yang diperlukan bervariasi tergantung dari jenis barang dan kepercayaan dari masing-masing pihak,. Dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan, semakin sedikit pula dokumen yang dipersyaratkan. Tetapi pada intinya ketiga dokumen yang penting yang disebutkan diatas harus ada dalam pelaksanaan L/C selain wesel.

2. Dalam artikel 15 UCP 500 ditentukan bahwa bank tidak bertanggung jawab terhadap adanya pemalsuan, tetapi dalam prakteknya bank tetap bertanggung jawab jika ada pemalsuan dokumen. Akibatnya, bank pembayar akan menolak pembayaran atas penyerahan dokumen-dokumen palsu yang dilakukan pihak penjual dan jika bank pembayar terlanjur


(3)

membayar kepada penjual atas penyerahan dokumen-dokumen palsu yang diserahkan pihak penjual, maka bank akan menuntut pembayaran yang telah dilakukannya kepada penjual. Hal ini dilakukan untuk melindungi kepentingan pihka pembeli dan menjaga nama baik bank serta good will pihak bank itu terhadap nasabahnya yang dalam hal ini adalah pihak pembeli.

B.SARAN

1. Untuk kelancaran transaksi ekspor impor yang menggunakan L/C sabagai cara pembayarannya, diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai seluk-beluk L/C terutama mengenai pemeriksaan dokumen. Hal ini ditujukan khusus kepada pihak bank yang sangat besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan L/C.

2. Pihak pembeli harus berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan rekan dagangnya (penjual) yang terletak di luar negeri. Pembeli disarankan untuk mengetahui kredibilitas rakan dagangnya terlebih dahulu sebelum melakukan hubungan perdagangan.

3. Perlu dibuat ketentuan mengenai L/C yang dikeluarkan pihak legislatif di Indonesia agar dapat menjadi dasar hukum pelaksanaan l/C di Indonesia sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

4. Perlu adanya peningkatan kemampuan sumber daya manusia terutama dalam hal pelasanaan transaksi ekspor impor kepada para pengusaha maupun praktisi hukum melalui kursus, seminar-seminar maupun pelatihan-pelatihan agar dapat dicapai suatu konsepsi dan pemahaman


(4)

yang sama bagi para pelaku dan prakstisi L/C dan pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan L/C.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, M.S. Seluk Beluk dan teknik Perdagangan Luar Negeri : Suatu Penuntun Ekspor Impor. Jakarta : PT. Pustaka Binaman Pressindo, 1995.

Bank Indonesia. Metode Pembayaran Internasional L/C dan non L/C. Bank Indonesia, 1995.

Berger, Steven R.The Effect of Issuing Bank Insolvensyon Letter of Credit. Harvard : International Law Journal, vol. 21, Num. 1, Winter, 1980. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta : Balai Pustaka, 1988.

Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Hukum Dagang Internasional. Bandung : Refika Aditama, 2006.

Ellinger, E.P. Standby Letter of Credit. International Business Law, 6nd, 1978. Ginting, Ramlan. Letter of Credit Tinjauan aspek Hukum dan Bisnis. Jakarta:

Salemba Empat, 2000.

Hadisoeprapto, Hartono. Kredit Berdokumen. Yogyakarta : Liberty, 1986. Hutabarat, Roselyne. Transaksi Ekspor Impor. Jakarta : Erlangga, 1991.

Jack, Raymond. Documentary Credits. London, Dublin, Edinburgh : Butterworths, 1993.

Kamus Hukum. Semarang : CV. Aneka, 1980.

Kozolchyk, B. The Emerging Law of Standby Letter of Credit and Bank Guarantee. Arizona : Law Review, Vol. 24, 1982.

Moerjono dan Jamal Wiwoho. Transaksi Perdagangan Luar Negeri Dokumen Kredit dan Devisa. Yogyakarta : Liberty, 1992

Pardede, Maruluk. Kejahatan di Bidang Perbankan. Yogyakarta : Liberty, 1990. Sarna, Lazar. Letter of Credit-The Law and Current Practice. Toronto :

Calgary,Vancouver : Carswell, 1986.

Schmittof, Clive M. Export Trade-The Law and Practice of International Trade. London : Stevens and Sons, 1990.

Sianipar, J.T. Asuransi Pengangkutan Laut, bagian pertama. Jakarta : PT. Asuransi Jasa Indonesia, 1980.


(6)

Simanjuntak, Emmy Pangaribuan. Hubungan Hukum Bank dan Penjual dalam Pembukaan Letter of Credit. Yogyakarta : Bahan Penataran Dosen Hukum Dagang UGM, 1992.

. Hukum Dagang Surat Berharga. Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang,

Fakultas Hukum UGM, 1982.

. Pembukaan Kredit Berdokumen. Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang,

Fakultas Hukum UGM, 1980.

Sjahdeni, Sutan R. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta : IBI,1993.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1992. Subekti, R. Pokok-pokok Hukum Perdata. Yogyakarta : Liberty, 1985.

Wheble, Bernard S. Problem Children Standby Letter of Credit and Simple First Demand Guarantee. Arizona : Law Review, Vol.24, No. 1, 1982. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor

Impor & Imbal beli). Jakarta : Rajawali pers, 2001.

Wunnicke. Standby Letter of Credit. New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapura : Jhon Wiley and Sons, 1989.