Tinjauan Yuridis Mengenai Pelaksanaan Ekspor Impor Yang Menggunakan Letter Of Credit

(1)

Farid Chairmawan : Tinjauan Yuridis Mengenai Pelaksanaan Ekspor Impor Yang Menggunakan Letter Of Credit, 2008.

IMPOR YANG MENGGUNAKAN

LETTER OF CREDIT

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

O l e h :

NIM : 04 02 00 177

FARID CHAIRMAWAN

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PELAKSANAAN EKSPOR

IMPOR YANG MENGGUNAKAN

LETTER OF CREDIT

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

PROF.DR.H.TAN KAMELLO,SH.MS NIP. 131 764 556

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

SINTA ULI, S.H, M.Hum PUSPA MELATI HSB, S.H, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah dan segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Adapun judul skripsi ini adalah : “Tinjauan Yuridis Mengenai Pelaksanaan Ekspor Impor yang Menggunakan Letter of Credit (L/C)”. skripsi ini meninjau tentang pelaksanaan transaksi ekspor impor yang menggunakan letter of credit. Disamping itu, skripsi ini juga akan mengangkat beberapa permasalahan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan transaksi ekspor impor tersebut. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam hal ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang penulis sampaikan dalam skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan, pengalaman, serta kemampuan ilmiah penulis, sehingga dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sebagai bahan perbaikan dan demi kesempurnaan penulisan sripsi ini.

Demikian penyusunan skripsi ini penulis usahakan dalam bentuk yang sederhana, baik dalam pemilihan judul, isi dan ruang lingkupnya, serta susunan kalimat dan tata bahasanya.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum


(4)

2. Bapak Prof. DR. Tan Kamello, S.H, M.S, selaku ketua Departemen Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Sinta Uli Pulungan, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah

bersedia memberikan pengarahan, bimbingan, serta petunjuk bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah

banyak mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membantu penulis manyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh jajaran Dosen dan pegawai akademik Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara Medan.

6. Kedua orangtua, ayah dan ibu tercinta Ir. H. Anshar M. Noor, M.M dan Dra. Asnaita,

yang dengan ikhlas memberikan kasih sayang, pengertian, semangat, doa, serta dukungan serta pengorbanan baik secara moril dan materiil. Terima kasih atas didikan yang telah ditanamkan kepada penulis hingga saat ini.

7. Adikku tersayang, Anissa Chairudea, yang telah memberikan dorongan, semangat,

dan doa kepada penulis selama ini.

8. Ardhya Putri Mahardhika, yang telah memberikan dukungan, semangat, dan doa

kepada penulis dalam penulisan skrispi ini.

9. Teman-teman yang telah memberikan dukungan, bantuan, serta doa kepada penulis

(Karina, Nola, Riska, Bedul, Inggit, Arga, Budi, Dhira, Chairul ‘ajo’, Darma, Putra, Fica, Abram, Iyel, Amie, Miranty, Liza, Ririn, Laksa ‘caca’, Urie, Arip ‘hartop’, Ibal ‘botol’, Imam ‘gatot’, Bonok, Epoh, Doni), juga teman-teman lain yang namanya tidak cukup bila disebutkan satu persatu, yang telah ikut membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.


(5)

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung ataupun tidak langsung. Akhir kata penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, September 2008

Hormat Saya,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………... i

DAFTAR ISI ………... iv

ABSTRAK ………..… vi

BAB I : PENDAHULUAN ……….… 1

A. Latar Belakang Masalah ….….………... 1

B. Rumusan Masalah ………….……….… 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………... 4

D. Tinjauan Kepustakaan ……….………... 5

E. Metode Penelitian ………... 14

F. Keaslian Penulisan ……….….…….… 15

G. Sistematika Skripsi ………... 15

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI LETTER OF CREDIT ……… 17

A. Pengertian dan Dasar Hukum Letter of Credit ……….… 17

B. Jenis-Jenis Letter of Credit ………... 20

C. Dokumen-Dokumen yang Terdapat di Dalam Letter of Credit ... 26

D. Pihak-Pihak yang Terlibat Dalam Pembukaan Letter of Credit ... 30

E. Syarat-Syarat Dalam Mengajukan Pembukaan Letter of Credit .. 33

F. Hubungan Hukum Antara Eksportir, Importir, dan Pihak Bank .. 34

BAB III : PELAKSANAAN EKSPOR IMPOR DI INDONESIA …………. 36

A. Tinjauan Umum Mengenai Pelaksanaan Ekspor Impor ………... 36

B. Peraturan Hukum yang Mengatur Tentang Ekspor Impor ……... 38

C. Bank Devisa Sebagai Media Antara Eksportir dan Importir …… 42


(7)

BAB IV : PELAKSANAAN EKSPOR IMPOR YANG MENGGUNAKAN LETTER OF CREDIT (L/C) DIKAITKAN DENGAN PP NO. 1

TAHUN 1982 ………...….. 56

A. Prosedur Pembayaran Dengan Menggunakan Letter of Credit Dalam Pelaksanaan Ekspor Impor ………. 56

B. Faktor-Faktor yang Menjadi Pertimbangan Eksportir dan Importir Dalam Menggunakan Letter of Credit ……… 61

C. Penyimpangan-Penyimpangan di Dalam Dokumen Letter of Credit ……… 64

D. Akibat Hukum Pada Importir yang Tidak Melakukan Pembayaran Kredit …...………... 69

BAB V : PENUTUP ……….... 75

A. Kesimpulan ………... 75

B. Saran ……….… 77


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada mulanya hubungan perdagangan hanya terbatas pada satu wilayah negara tertentu, tetapi dengan semakin berkembangnya arus perdagangan maka hubungan dagang tersebut tidak hanya dilakukan antara para pengusaha dalm satu wilayah negara saja, tetapi juga dengan para pedagang dari negara lain, tidak terkecuali Indonesia. Bahkan hubungan-hubungan dagang tersebut semakin beraneka ragam, termasuk cara pembayarannya.

Harus diakui cara pembayaran dengan uang tunai dianggap kurang begitu aman, maka sebagai pengganti uang tunai dipergunakan sistem pembayaran dengan menggunakan surat berharga dalam transaksi-transaksi perdagangan internasional. Hal ini terjadi diakibatkan pemikiran para pengusaha bahwa dengan menggunakan surat berharga maka akan menghemat waktu dan biaya para pengusaha yang berdomisili dilain negara. Disamping itu pembayaran dengan menggunakan uang tunai dianggap rentan mengalami gangguan seperti perampokan ataupun kehilangan, dan surat berharga dianggap cukup memberikan jaminan untuk pemenuhan pembayaran atas barang-barang yang mereka jual.

Untuk lalu lintas perdagangan di dalam negeri , maka cara pembayarannya cukup dilakukan dengan pembayaran cek, giro, ataupun wesel. Tetapi sudah menjadi kenyataan yang tidak dapat disangkal lagi bahwa untuk lalu lintas perdagangan internasional agar lebih efisien dan efektif diperlukan peranan dari pihak Bank sebagai perantara untuk melakukan pembayaran atas perjanjian jual beli yang telah disepakati. Sehingga wajar bila dewasa ini, Bank tidak lagi hanya dianggap sebagai tempat untuk menyimpan atau meminjam uang saja, tetapi juga


(9)

merupakan pihak perantara dalam memecahkan masalah pelaksanaan pembayaran apabila para pengusaha mengadakan transaksi perdagangan antar negara.

Di dalam perkembangan perhubungan perdagangan yang sifatnya internasional, seorang penjual dalam negeri (eksportir) yang melaksanakan penjualan barang kepada seorang pembeli diluar negeri (importir) untuk memudahkan pembayaran atas barang tersebut, maka mereka dapat meminta jasa dari Bank, yakni dengan pembukaan kredit berdokumen atau yang dikenal dengan Letter of Credit (L/C).

Secara sederhana, dalam pembukaan kredit berdokumen ini terdapat empat pihak, yaitu:

1. Eksportir/penjual/benefeciary, yaitu pihak yang melakukan penjualan barang, dimana

L/C dibuka untuk kepentingannya untuk pelaksanaan pembayaran transakasi yang telah disepakati dengan pihak pembeli.

2. Importir/pembeli/applicant, yaitu pihak pembeli barang, dimana L/C dibuka atas

permintaan darinya kepada pihak Bank penerbit untuk melakukan pembayaran kepada eksportir melalui Bank koresponden.

3. Bank pembuka/Issuing Bank, yaitu suatu Bank yang melakukan pembukaan L/C

setelah adanya permintaan dari pihak importir untuk membuka L/C.

4. Bank penerus/Advising Bank, yaitu suatu Bank yang meneruskan L/C kepada pihak

eksportir. Jika Bank ini dikuasakan untuk membeli wesel-wesel yang ditarik oleh pihak eksportir, maka pihak ini dinamakan negotiating Bank. 1

Mengenai jenis-jenis L/C, maka akan dijumpai banyak jenis L/C tergantung dari segi apa kita meninjau. Jenis L/C dapat dibedakan menurut bentuk, cara pembayaran, syarat-syarat, sifat, ataupun yang mengeluarkan L/C. Selain itu masih dijumpai banyak lagi beberapa bentuk dari L/C, dimana mengenai masalah ini akan dikemukakan lebih lanjut nantinya.

)

1

Munir Fuady, 1996, Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Impor, PT Pustaka


(10)

Kiranya sangat menarik untuk mengetahui dan mempelajari secara mendalam tentang hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembayaran ekspor impor dengan menggunakan kredit berdokumen (L/C) ini, untuk memperoleh gambaran yang jelas sehingga akan menambah manfaat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang akan menjadi pembahasan dalam pelaksanaan ekspor impor dengan menggunaka L/C ini antara lain:

1. Bagaimana prosedur pembayaran dengan menggunakan L/C dalam pelaksanaan

ekspor impor?

2. Faktor – faktor apa sajakah yang menjadi pertimbangan ekpsortir dan importir dalam

menggunakan L/C?

3. Bagaimana bentuk-bentuk penyimpangan – penyimpangan yang terjadi di dalam

dokumen L/C?

4. Bagaimana akibat hukum pada importir yang tidak melakukan pembayaran kredit?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Bahwa penulisan skripsi ini mempunyai beberapa tujuan, antara lain:

1. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pembayaran dengan menggunakan L/C dalam


(11)

2. Untuk mengetahui faktor – faktor apa sajakah yang menjadi pertimbangan ekpsortir dan importir dalam menggunakan L/C.

3. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk penyimpangan – penyimpangan yang

terjadi di dalam dokumen L/C.

4. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum pada importir yang tidak melakukan

pembayaran kredit.

Disamping itu, penulisan skrpisi ini memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Bagi Masyarakat

Pembukaan L/C yang merupakan salah satu cara pembayaran efisien dalam transaksi ekspor impor diharapkan semakin memasyarakat luas dan semakin awam dipergunakan di dalam transaksi perdagangan lintas negara atau perdagangan internasional.

2. Bagi Fakultas

Dapat memberikan atau menambah perbendaharaan pustaka, terutama dalam bidang surat berharga.

3. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dapat memberikan sedikit sumbangan bagi perkembanagn ilmu pengetahuan, dan sebagai bahan pemikiran atau pedoman dalam rangka pembuatan peraturan perundang-undangan yang baru dalam ekspor impor, khususnya, dalam bidang hukum surat berharga dan mengenai cara pembayaran dengan pembukaan kredit berdokumen.

D. Tinjauan Kepustakaan

Seorang pengusaha, dalam menjalankan perusahaan yang dipimpinnya selalu berpegang pada prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekcil-kecilnya. Dengan demikian seorang pengusaha akan memilih cara yang


(12)

dipandangnya paling baik dan memberikan manfaat yang besar bagi perusahaannya, baik itu cara memilih tenaga kerja, letak perusahaan, cara pemasaran, alat angkutan, ataupun mengenai cara pembayaran.

Cara pembayaran secara tunai dirasa kurang praktis jika digunakan untuk lalu lintas perdagangan internasional. Oleh karena itu muncul cara-cara pembayaran yang lain. Hal ini tidak dapat dipungkiri lagi di dalam kenyataannya, seperti yang dikemukakan oleh Emmy Pangaribuan Simanjutak : “Adalah menjadi suatu kenyataan bahwa pada jaman sekarang ini di dalam lalu lintas perdagangan terdapat suatu kemajuan dalam cara–cara pembayaran dengan mempergunakan alat-alat pembayaran kredit dan pembayaran kontan selain dengan mata uang”. 2

1. Sebelum saat terjadi penyerahan, atau sering disebut dengan cara pembayaran kredit.

)

Oleh karena dalam perjanjian jual beli para pihak bebas untuk menentukan sendiri apa yang diinginkan berdasarkan persetujuan para pihak, seperti diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, demikian pula mengenai cara pembayaran, seperti yang diatur dalam Pasal 1513 KUHPerdata yang mengatakan bahwa “kewajiban utama si pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan di dalam persetujuan”. Sehingga pada dasarnya pembayaran dalam perjanjian jual beli dapat dilaksanakan sebagai berikut:

2. Pada saat terjadi penyerahan barang, atau sering disebut dengan pembayaran tunai.

3. Sesudah saat terjadi penyerahan barang, atau sering disebut dengan pembayaran wesel

inkaso.

Sedangkan pihak penjual, menurut Pasal 1474 KUHPerdata, mempunyai dua kewajiban

utama, yaitu menyerahkan barang dan menanggungnya. 3

2

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Dagang Surat Berharga, Fakultas Hukum UGM, 1982, hal. 45

)

3

Subekti R dan Tjitrosudibio R, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,


(13)

Cara pembayaran yang sudah umum dipergunakan dalam perdagangan ekspor impor adalah dengan pembukaan letter of credit (L/C), karena pihak eksportir maupun importir dapat merasa aman bahwa hak-hak mereka ada kepastiannya. Kemudian dengan dikeluarkannya PP No. 1 tahun 1982 tentang Ekspor Impor dan Lalu Lintas Devisa, maka cara pembayaran yang lain pun dapat dipergunakan di dalam transaksi ekspor impor. Dalam hal ini Pemerintah mengadakan perluasan cara pembayaran untuk meningkatkan frekuensi ekspor impor.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 PP No. 1 tahun 1982 jo. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 27/1/1982, tata cara pembayaran dalam transakasi ekspor impor dapat dilaksanakan dengan :

1. Pembayaran di muka (advance payment)

2. Letter of Credit (L/C)

3. Wesel inkaso (Collection Draft)

a. Document Against Payment (D/P)

b. Document Against Acceptance (D/A)

4. Perhitungan kemudian (Open Account)

5. Konsinyasi

6. Cara Pembayaran lain yang lazim dalam perdagangan luar negeri sesuai dengan

kesepakatan antara penjual dan pembeli. 4

Dalam hal cara pembayaran dimuka, importir berpeluang untuk memperoleh kerugian, sebaliknya hal ini dapata mendatangkan keuntungan bagi pihak eksportir. Hal ini disebabkan karena dalam cara pembayaran ini importir melakukan pembayaran terlebih dahulu sebelum eksportir mengirimkan barangnya. Untuk cara pembayaran yang seperti ini sebaiknya

)

4

Ramlan Ginting, 2000, Letter of Credit Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, Salemba Empat, Jakarta, hal. 29


(14)

dilakukan antara importir dan eksportir yang sudah saling kenal dan saling percaya, ataupun untuk jumlah impor barang yang relatif kecil. 5

1. Pihak penjual merasa berkeberatan untuk melepaskan barangnya sebelum menerima

pembayaran, sedangkan pembeli merasa berkeberatan untuk melakukan pembayaran atas barang sebelum memperoleh penyerahan atas barang.

)

Cara pembayaran dengan letter of credit merupakan sistem yang sering dipergunakan. Disini bank penerbit, atas permintaan dan atas beban importir mengeluarkan alat atau surat untuk kepentingan eksportir. Bank penerbit melakukan pembayaran kepada pihak eksportir melalui bank di negara eksportir. Sistem pembayaran dengan menggunakan L/C ini merupakan sistem yang paling aman dan memberikan kepastian kepada kedua belah pihak, baik pihak importir ataupun pihak eksportir. Pembukaan L/C ini menimbulkan hak dan kewajiban dari pihak yang terkait yaitu eksportir, importir, dan bank, yakni eksportir tidak dapat mengambil uang di bank jika ia tidak dapat menunjukkan dokumennya, sebaliknya pihak importir tidak dapat mengambil barangnya apabila ia tidak dapat menunjukkan dokumennya terhadap bank. Seperti diketahui bahwa latar belakang sistem ini dipakai karena situasi alam yang menyebabkan munculnya cara pembayaran seperti ini, yaitu:

2. Melaksanakan kebersamaan antara pembayaran atas harga barang dengan penyerahan

nyata barang sangat sukar untuk dilaksanakan karena tempat (negara) antara satu pihak dengan yang lainnya jaraknya begitu jauh. Oleh karena itu timbul suatu usaha dengan dilakukannya pembayaran harga atas dokumen-dokumen atas hak, yang dinamakan dengan penyerahan yuridis.

5

Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek Buku Keempat, PT


(15)

Pengaturan mengenai sistem pembayaran dengan menggunakan L/C ini telah diusahakan kearah kesatuan dan bersifat internasional, yakni dengan dikeluarkannya suatu peraturan baku.

Di dalam bahasa Inggris namanya adalah Unidits, dalam bahasa Belanda namanya adalah Uniforme regelen en Usances met Betrekking tot Dokumentaire Credieten, sedangkan di dalam bahasa Perancis namanya adalah Regles et Usances Uniformes Relatives au Credits Documenteires. Setelah beberapa kali dilakukan peninjauan (revisi) oleh I.C.C (International Chamber of Commerce), yaitu kantor internasional untuk perdagangan, maka peraturan yang berlaku saat ini adalah U.C.P No. 500 tahun 1993.

Di dalam sistem pembayaran dengan menggunaka wesel inkaso, maka bank atas perintah dari eksportir melakukan penagihan pembayaran tas harga barang. Apabila penagihan ini disertai dengan pengiriman dokumen-dokumen kepada importir, maka oleh karena itu disebut juga dengan Documentary Collection / Documentary Draft. Sedangkan apabila penagihan pembayaran atas harga barang tanpa disertai dengan pengiriman dokumen pada importir, maka dinamakan dengan Clean Collection / Clean Draft. Eksportir dapat meminta kepada bank yang meneruskan dokumen-dokumen tersebut kepada iportir atas dasar pembayaran ataupun kondisi:

1. Document against Payment (D/P), yaitu apabila importir telah melakukan pembayaran

maka akan menerima penyerahan dokumen.

2. Document against Acceptance (D/A), yaitu apabila importir telah melakukan

akseptasi terhadap wesel maka akan menerima penyerahan dokumen.

Cara pembayaran dengan perhitungan kemudian, yaitu pembayaran dilakukan di kemudian hari pada tanggal yang telah ditentukan, atau dengan cara memindahkan rekening importir kedalam rekening eksportir. Cara pembayaran ini dapat menimbulkan keuntungan sepihak bagi importir, karena ia dapat mengambil barang setelah menerima dokumen-dokumen dari


(16)

eksportir. Sebaliknya sistem ini dapat menimbulkan kerugian bagi eksportir karena ia masih menunggu pembayaran yang tergantung pada importir. Biasanya sistem ini dilakukan antara importir dan eksportir yang sudah saling percaya atau berada dibawah satu perusahaan induk. 6

Cara pembayaran dengan konsinyasi, yaitu pembayaran yang dilakukan oleh importir kepada eksportir apabila barang tersebut sudah terjual, dimana eksportir mengirimkan barangnya telebih dahulu kepada importir.

)

7

Walaupun dewasa ini letter of credit bukanlah merupakan satu-satunya cara pembayaran dalam kegiatan ekspor impor, namun peranan L/C tetap penting karena dengan cara pembayaran ini dapat memberikan rasa aman, baik bagi pihak eksportir, maupun bagi pihak

)

Sistem pembayaran dapat dilakukan dengan cara pembayaran lain yang dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang akan mengadakan transakasi perdagangan ekspor impor, baik yang menggunakan jasa perantaraan bank ataupun tidak.

Dengan demikian eksportir maupun importir yang akan melakukan transakasi perdagangan ekspor impor dalam melaksanakan pembayaran dapat memilih salah satu cara pembayaran yang ada yang dipandang sesuai dan memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan yang dipimpinnya.

Pada dasarnya Pemerintah tidak akan membatasi penggunaan cara pembayaran yang lain berdasarkan kesepakatan bersama, bahkan memberikan kelonggaran-kelonggaran agar frekuensi kegiatan perdagangan internasional khususnya ekspor non migas semakin meningkat untuk menambah devisa negara dan berguna bagi jalannya pembangunan nasional. Inilah sebenarnya yang menjadi tujuan utama adanya kebijaksanaan untuk membebaskan penggunaan cara-cara pembayaran yang digunakan dalam kegiatan perdagangan internasional.

6

Ibid, hal. 130

7


(17)

importir. Eksportir merasa aman karena pembayaran atas barang-barang yang dikirimkan kepada importir ada kepastiannya. Hal ini disebabkan pengiriman atas barang baru akan dilaksanakan oleh pihak penjual apabila ia telah memperoleh pemberitahuan dari pihak bank tentang adanya pembukaan kredit yang diperuntukkan baginya. Sedangkan pihak eksportir dapat merasa aman karena pembayaran terhadapa jual-beli tersebut baru akan direalisir oleh bank apabila penjual telah menyerahkan dokumen-dokumen atas barang yag dimaksud sesuai dengan perjanjian. 8

Hartono, mengatakan Letter of Credit adalah suatu alat atau surat yang dikeluarkan oleh suatu bank atas permintaan pihak pembeli. Dengan adanya L/C, bank tersebut menyetujui, bahwa wesel-wesel tersebut, jika memenuhi syarat yang tercantum dalam L/C nya, maka akan dibayar sebagaimana mestinya dengan akseptasi dan atau pembayaran yang terakhir ini

)

Pasal 13 huruf a U.C.P 500 thn 1993 menyebutkan : “Bank-bank harus memeriksa semua dokumen dengan ketelitian yang selayaknya untuk memastikan bahwa dokumen-dokumen tersebut secara lahiriah telah sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan kredit. Dokumen-dokumen lahiriah yang tidak sesuai satu sama lain akan dianggap sebagai dokumen yang tidak sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan kredit”.

Pada dasarnya pihak yang berkepentingan langsung dalam perdagangan antar negara adalah eksportir dan importir, namun karena adanya berbagai kesulitan teknis dalam hal pembayaran perdagangan antar negara, maka salah satu cara untuk mengatasi hambatan tersebut adalah dengan membuka Letter of Credit.

Ada beberapa pendapat dari para sarjana yang mengemukakan tentang pengertian atau defenisi dari Letter of Credit, antara lain yaitu:

8


(18)

bergantung kepada jenis-jenis wesel yang ditentukan dalam letter of credit, yaitu apakah wesel-wesel itu “time bills exchange” atau “bill of exchange payable on demand”. 9

Sedangkan Amir, memberi batasan bahwa L/C adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh suatu bank atas permintaan importir langganan bank tersebut yang ditujukan kepada eksportir luar negeri yang menjadi relasi importir itu, yang memberi hak kepada eksportir untuk menarik wesel-wesel atas importir bersangkutan untuk sejumlah uang yang disbutkan dalam surat kesepakatan tersebut.

)

10

1. Bill of Lading (B/L)

)

Dari pengertian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Letter of Credit adalah suatu perintah atau order yang biasanya dilakukan oleh pembeli atau importir kepada bank, untuk membayar sejumlah uang kepada penjual atau eksportir. Pada umumnya, sebelum seorang importir membuka L/C di suatu bank, importir tersebut telah membuat perjanjian jual-beli (sale contract) terlebih dahulu dengan pihak eksportir. Berdasarkan kontrak jual-beli tersebut importir membuka L/C di suatu bank di tempat ia berdomisili. Hal ini dilakukannya tidak lain untuk mempermudah cara pembayaran atas jual-beli yang dilakukannya dengan pihak eksportir, dimana masing-masing pihak berdomisili di lain negara, disamping juga untuk memenuhi isi perjanjian jual-beli yang diperkuat oleh kedua belah pihak yang menjadi dasar pembukaan L/C tersebut. Pemenuhan atas isi perjanjian antara kedua belah pihak ini sudah tentu pula didasarkan kepada dokumen-dokumen yang harus ada di dalam L/C. adapun dokumen-dokumen tersebut antara lain sebagai berikut:

2. Invoice (faktur)

3. Polis Asuransi

9

Hartono Hadisoeprapto, 1984, Kredit Berdokumen Cara Pembayaran Dalam Jual

Beli Perniagaan, Liberty, Yogyakarta, hal. 12

10

Amir M.S, 1996, Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Impor, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, hal. 10


(19)

4. Packing List

5. Dokumen-dokumen lainnya 11

Bill of Lading (B/L) biasanya disebut dengan “cognossement” atau “surat muatan kapal laut”, yang berfungsi sebagai surat bukti perjanjian pengangkutan dan tanda bukti barang.

Dokumen lain yang harus dilengkapi adalah Invoice (faktur). Invoice merupakan suatu nota yang dibuat oleh eksportir mengenai barang-barang yang dijaul kepada importir.

Sedangkan polis asuransi adalah perjanjian asuransi atau pertanggungan atas barang yang dijual dalam bentuk sepucuk akta. Dengan adanya polis asuransi, maka pihak eksportir akan merasa aman bahwa barang-barang yang dikirimkannya akan memeperoleh tanggungan bilamana terjadi sesuatu atas barang-barang tersebut yang merugikannya.

Dokumen selanjutnya yang harus dilampirkan adalah packing list. Dokumen ini memuat daftar atau perincian lengkap mengenai barang-barang yang akan dikirimkan oleh eksportir, yang terdapat dalam setiap peti kemas.

Sedangkan dokumen-dokumen lainnya, yang juga memiliki arti penting dalam L/C adalah sertifikat asal barang (certificate of origin), faktur konsuler (consuler factur), keterangan ukuran berat (certificate of weight), keterangan kualitas barang (certificate of inspection), dan sertifikat perincian barang (certificate of analysis). Dengan adanya dokumen-dokumen ini, maka jelaslah bahwa keastian hukum dan rasa aman dalam pembayaran dengan menggunakan L/C dapat dirasakan oleh para pihak yang terlibat dalam transakasi perdagangan internasional tersebut.

)

Untuk memberikan kemudahan pada para pihak yang terlibat dalam transaksi perdagangan, maka diadakan berbagai macam L/C sesuai dengan kebutuhannya. Pada umumnya dikenal Revacable L/C, Irrevacable L/C, dan Confirmed L/C. Sedangkan bila dilihat dari segi yang

11

Abdulkadir, Muhammad, 1998, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, PT


(20)

mengeluarkan L/C, dikenal Banker L/C dan Merchant L/C. Letter of Credit dapat pula dibagi tas bermacam bentuk bila dilihat dari syarat-syaratnya, seperti Documentary L/C, dan Open L/C. Dapat pula dilihat dari segi pembayarannya yang dikenal dengan Sight L/C, dan Usance L/C. Menurut hak eksportir, dikenal pula dua macam L/C yaitu Transferable L/C dan Non-Transferable L/C. Non-Transferable L/C merupakan L/C yang mengijinkan pihak penerima L/C memindahkan L/C tersebut sebagian atau seluruhnya kepada penjual eksportir kedua yang berada dalam satu negara ataupun berada dalam negara yang berbeda. Sedangkan Non-Transferable L/C merupakan L/C yang tidak dapat dipindah tangankan.

Untuk mempermudah para pihak dalam hal biaya atau cara pembayaran, maka dikenal beberapa jenis L/C khusus, misalnya Revalving L/C yang memungkinkan untuk melakukan lebih dari satu kali transaksi sebelum L/C tersebut jatuh waktunya. Kemudian dikenal pula Back to Back Credit, Red Clause Credit, Negocierings Credit, Confirmed Negocierings Credit, dan Standby L/C.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya letter of credit mempunyai peranan yang sangat penting dalam dunia perdagangan internasional, meskipun L/C bukanlah merupakan satu-satunya alat pembayaran dalam kegiatan perdagangan internasional (ekspor impor). Hal ini semata-mata disebabkan karena L/C merupakan alat pembayaran yang dapat memeberikan rasa aman bagi pihak eksportir ataupun importir.

E. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan hasil penulisan yang baik, maka penulis menggunakana metode penelitian Studi Kepustakaan

Dengan melakukan studi kepustakaan, penulis berusaha menemukan sumber-sumber yang berupa tulisan dari para ahli dan peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan obyek


(21)

penelitian. Disamping itu penulis juga berusaha mencari sumber dengan mempelajari dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan obyek penelitian ini.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Mengenai Pelaksanaan Ekspor Impor yang Menggunakan Letter of Credit” yang diajukan ini adalah dalam rangka memenuhi tugas dan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulisan skripsi mengenai ekspor impor, menurut sumber dari perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, memang telah ada yang mengangkat dan membahasnya, namun penulisan skripsi “Tinjauan Yuridis Mengenai Pelaksanaan Ekspor Impor yang Menggunakan Letter of Credit” berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1982 belum pernah diangkat dan dibahas dalam skripsi. Akan tetapi bila skripsi ini ada persamaan dengan milik orang lain, maka bukanlah suatu kesengajaan, dan pasti memiliki isi, pembahasan, dan permasalahan yang berbeda. Dengan demikian penulisan skripsi ini tidaklah sama dengan penulisan skripsi yang pernah ada,karena skripsi ini dibuat sendiri dengan menggunakan berbagai literatur, sehingga penulisan skripsi ini masih asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan akademik.

G. Sistematika Skripsi

Untuk memberikan gambaran secara garis besar tentang skripsi ini dalam hal penulisannya, maka penulis membagi kedalam 4 (empat) bab agar penulisan skripsi ini tersusun secara sistematis, yaitu sebagai berikut :


(22)

Bab I : PENDAHULUAN

Berisi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika skripsi.

Bab II : TINJAUAN UMUM MENGENAI LETTER OF CREDIT

Berisi uraian tentang uraiian dan penjelasan mengenai pengertian letter of credit beserta dasar hukumnya, jenis-jenis letter of credit, dokumen-dokumen yang terdapat di dalam letter of credit, pihak-pihak yang terlibat di dalam pembukaan letter of credit, syarat-syarat dalam mengajukan letter of credit, serta hubungan hukum antara para pihak yang terlibat di dalam pembukaannya.

Bab III : TINJAUAN UMUM PELAKSANAAN EKSPOR IMPOR DI INDONESIA

Berisi uraian dan penjelasan mengenai pelaksanaan ekspor impor, peraturan mengenai pelaksanaan ekspor impor, bank devisa yang menjadi media antara eksportir dan importir, serta tata cara pelaksanaan ekspor impor.

Bab IV :PELAKSANAAN EKSPOR IMPOR YANG MENGGUNAKAN LETTER OF CREDIT DIKAITKAN DENGAN PP NO. 1 TAHUN 1982

Berisi uraian dan penjelasan mengenai prosedur pembayaran dengan menggunakan letter of credit dalam pelaksanaan ekspor impor, factor-faktor yang menjadi pertimbangan eksportir dalam menggunakan letter of credit, penyimpangan-penyimpangan di dalam dokumen letter of credit, dan akibat hukum pada eksportir yang tidak melakukan pembayaran kredit ekspor.

Bab V : PENUTUP


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI LETTER OF CREDIT (L/C)

A. Pengertian dan Dasar Hukum Letter of Credit

Di dalam tinjauan umum ini penulis akan memberikan beberapa pengertian tentang Letter of Credit, dengan maksud agar kita dapat melihat gambaran betapa banyaknya pendapat para sarjana tentang L/C yang berbeda. Hal ini mungkin terjadi karena setiap sarjana ingin mengemukakan atau memberikan pandangan yang dianggap paling tepat. Memang sangat sulit untuk untuk memberikan pengertian tentang L/C yang lengkap dan sempurna, sehingga akan lebih baik bila kita membandingkan beberapa pengertian untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas.

Pengertian Letter of Credit menurut ketentuan di dalam The Uniform and Practice for Documentary Credit Revision 1993 adalah:

“Setiap perjanjian dengan nama apapun atau bagaimanapun perumusan, dimana suatu bank (issuing bank) yang bertindak atas permintaan dan amanat pemohon pembuka kredit (applicant)”.

Amir mengatakan, “L/C adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh suatu bank atas permintaan importir langganan bank tersebut yang ditujukan kepada eksportir di luar negeri yang menjadi


(24)

relasi importir itu, yang memberi hak kepada eksportir tersebut untuk menarik wesel-wesel atas importir bersangkutan untuk sejumlah uang yang disebutkan di dalam surat itu”. 12

Emmy Pangaribuan Simanjuntak mengatakan, “L/C adalah suatu surat perintah membayar kepada seseorang atau beberapa orang yang dialamati untuk melakukan pembayaran sejumlah uang tertentu yang disebutkan dalam surat perintah itu kepada seorang tertentu”.

)

13

Djauhari Ahsjar mengatakan, “L/C adalah sebuah instrumen yang diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabahnya, yang menguasakan seseorang atau suatu perusahaan penerima instrumen tersebut menarik wesel atas bank berdasarkan persyaratan dalam instrumen tersebut”.

)

14

1. Merupakan suatu surat atau alat

)

Dari defenisi-defenisi diatas, maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan, bahwa suatu L/C harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:

2. Diterbitkan oleh suatu bank

3. Atas permintaan atau perintah dari importir

4. Mengandung sejumlah uang untuk diberikan kepada eksportir

5. Syarat-syarat tertentu lainnya

Pengertian tentang L/C sendiri yang kita jumpai dewasa ini di dalam peraturannya tidaklah sama dengan pada saaat permulaan cara pembayaran dengan L/C dikenal. Pada mulanya, L/C dibuka oleh para pedagang bukan oleh suatu bank, dan inilah yang dinamakan dengan Merchant’s Credit.

Dalam suatu merchant’s credit, pihak bank sama sekali tidak terikat kepada pihak eksportir dalam pembukaan kredit tetapi hanya meneruskan surat pemberitahuan daripembeli kepada

12

Amir M.S, 1996, Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Impor, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, hal. 15

13

Amir M.S, 1991, Seluk Beluk dan teknik Perdagangan Luar Negeri, hal. 37 14


(25)

penjual bahwa telah dibuka suatu kredit pada bank tersebut dan akan dibayar apabila penjual menerbikan sepucuk wesel atas pembeli dengan menyerahkan beberapa dokumen. Dapat dilihat disini bahwa pihak penjual tidak mendapatkan jaminan dari pembeli atau piahk bank bahwa akan dilaksanakan suatu pembayaran. Yang terpenting dalam merchant’s credit adalah unsur kepercayaan dan kejujuran antara pihak pembeli dan penjual.

Kemudian merchant’s credit berkembang kearah dikenalnya Banker’s Credit, dimana pembeli sudah melibatkan pihak bank untuk terikat kepada penjual. Bank menguatkan pernyataan bahwa pembeli akan melakukan pembayaran kepada penjual melalui bank tersebut, sehingga dalama hal ini kedudukan penjual menjadi terjamin.

Yang menjadi dasar hukum dari Letter of Credit adalah Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP). International Chamber of Commerce (ICC) melakukan upaya untuk memenuhi kebutuhan akan adanya kesesuaian mengenai cara pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional. Untuk itu ICC menyusun suatu peraturan yang bersifat internasional yang dikenal dengan nama Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP). UCP itu sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan akibat adanya pengaruh yang besar terhadap teknis maupun mekanisme pelaksanaan pembayaran dengan L/C, dan disempurnakan yang terakhir dengan UCP No. 500 tahun 199315). International Chamber of Commerce (ICC) selalu berusaha mnyesuaikan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UCP dengan perkembangan-perkembangan yang ada. UCP mulai berlaku di Indonesia sejak tanggal 13 April 1975, yaitu sejak Indonesia menyatakan bergabung menjadi anggota ICC dan tunduk pada ketentuan UCP.

15

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 93


(26)

B. Jenis – Jenis Letter of Credit

Mengenai jenis-jenis letter of credit, terdapat beberapa jenis L/C jika ditinjau dari beberapa sudut pandang berbeda. Untuk itu penulis akan mengemukakan beberapa jenis L/C berdasarkan beberapa sudut pandang yang berbeda. 16

1. Dari segi kekuatan berlaku

)

a. Revocable L/C

Yaitu suatu L/C yang dapat ditarik atau dirubah atau dibatalkan kembali setiap waktu oleh pihak-pihak yang bersangkutan sepanjang belum terjadi pelaksanaan pembayaran. Dengan kata lain Revocable L/C merupakan L/C yang dapat dibatalkan setiap saat tanpa memerlukan persetujuan pihak lainnya.

Mestinya Revocable L/C dapat dibatalkan kapan saja tanpa perlu pemberithuan terlebih dahulu kepada pihak penjual. Namun demikian, di dalam praktek pembatalan hanya boleh dilakukan apabila Revocable L/C belum dinegosiasi. Apabila pembatalan terjadi setelah L/C dinegosiasi, maka L/C tersebut akan dibayar oleh Bank Pembuka.

Namun Revocable L/C ini dalam praktek jarang sekali dipergunakan, karena sifatnya yang dapat dicabut sewaktu-waktu tanpa persetujuan dapat menimbulkan kerugian bagi pihak penjual.

b. Irrevocable L/C

Yaitu suatu L/C yang merupakan kebalikan dari Revocable L/C, dimana kredit hanya dapat ditarik atau dirubah atau dibatalkan di dalam masa berlakunya, dengan persetujuan pihak pembeli, bank pembuka, bank penerus, dan penjual.

16


(27)

Irrevocable L/C ini banyak dipergunakan dalam praktek karena sifatnya yang tidak dapat dicabut tanpa persetujuan para pihak tersebut tidak akan menimbulkan kekhawatiran bahwa L/C tersebut akan ditarik atau diubah atau dibatalkan.

c. Irrevocable and Confirmed L/C

Yaitu suatu L/C yang tidak dapat dibatalkan atau diubah kecuali ada persetujuan dari para pihak. Dalam L/C jenis ini yang bertanggungjawab adalah bank pembuka selama jangka waktu berlakunya L/C, dan bank kedua juga bertanggung jawab atas pembayaran tersebut. Untuk setiap pembukaan L/C, harus disebutkan secara tegas dan jelas apakah L/C tersebut Revocable L/C atau Irrevocable L/C. menurut ketentuan Pasal 6 c UCP 500 1993, bahwa jika tidak terdapat petunjuk demikian, maka kredit tersebut akan dianggap sebagai Irrevocable L/C.

2. Dari segi pihak yang mengeluarkan L/C

a. Banker’s L/C

Yaitu suatu L/C yang pembukaannya dilakukan oleh suatu bank atas permintaan dari pembeli dan bertanggung jawab atas pembayarannya apabila syarat yang ditentuka telah dipenuhi. L/C jenis ini paling banyak dijumpai dalam praktek, karena memberi jaminan akan dilaksanakannya suatu pembayaran.

b. Merchant’s L/C

Yaitu suatu L/C yang dikeluarkan oleh seorang pedagang atau suatu perusahaan, sedangkan bank hanya meneruskan pemberitahuan kepada penjual bahwa telah dibuka suatu kredit pada bank tersebut, dan akan dibayar apabila penjual menerbitkan sepucuk wesel atas pembeli dengan menyerahkan beberapa dokumen. L/C jenis ini jarang dipergunakan karena pihak bank tidak bertanggung jawab, dan tidak menjamin akan adanya pelaksanaan pembayaran.

3. Dari segi persyaratan L/C


(28)

Yaitu suatu L/C yang syarat pembayarannya di dalam penarikan wesel harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang disebutkan di dalam L/C tersebut. Dokumen-dokumen tersebut antara lain:

(i) Bill of Lading / Konosemen

(ii) Commercial Invoice / Faktur Perdagangan

(iii) Insurance Certificate / Serifikat Asuransi

(iv) Packing List / Daftar Pembungkus

(v) Brochure / Brosur

b. Open atau Clean L/C

Yaitu suatu L/C yang syarat pembayarannya di dalam penarikan wesel tidak memerlukan adanya dokumen-dokumen. Bahwa untuk pengambilan kredit hanya dengan menyerahkan kuitansi atau rekening saja.

4. Dari segi cara pembayaran

a. Sight L/C

Yaitu suatu L/C yang cara pembayarannya dilakukan oleh negotiating bank pada saat wesel ditunjukkan oleh eksportir, dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang sesuai dengan kondisi dan syarat yang disebutkan di dalam L/C

b. Usance L/C

Yaitu suatu L/C yang cara pembayarannya dilaksanakan pada saat jatuh tempo wesel berjagka. Hal ini dilakukan apabila penjual dan pembeli sudah merupakan langganan dan saling percaya. Usance L/C harus memenuhi syarat-syarat antara lain:

(i) Wesel berjangka ditarik dan diaksep oleh bank pembuka

(ii) Tanggal pembayaran wesel berjangka tersebut selambat-lambatnya dilakukan 180 hari

setelah tanggal pengapalan


(29)

a. Transferable L/C

Yaitu suatu L/C yang memberikan hak kepada penjual untuk memberikan memberikan instruksi kepada bank yang diamanatkan untuk melakukan pembayaran atau akseptasi kepada setiap bank yang berhak melakukan negosiasi untuk menyerahkan hak atas kredit itu seluruhnya atau sebagian kepada pihak ketiga (penjual kedua). Transferable L/C tidak dapat dipindah-tangankan lebih dari satu kali.

Hal ini ditentukan dalam Pasal 48 e UCP 500 1993, yang menyatakan “bahwa suatu transferable L/C hanya dapat dipindah-tangankan untuk satu kali saja. Menurut Hartono Hadisoeprapto, alasan ketentuan L/C transferable L/C dapat dipindah-tangankan untuk sekali adalah:

(i) Faktor politik

(ii) Faktor harga

(iii) Faktor kerugian

(iv) Faktor barang dan kualitas rendah 17

b. Non Transferable L/C

)

Yaitu suatu L/C yang merupakan kebalikan dari transferable L/C, yang mana tidak dapat dipindahtangankan, sehingga yang berhak hanya penjual yang namanya tercantum pada L/C tersebut.

6. Jenis-jenis L/C khusus

Selain jenis-jenis L/C yang telah dikemukakan, masih ada beberapa jenis L/C lain yang merupakan jenis dari L/C khusus. Ada beberapa jenis L/C khusus, yaitu:

a. Revolving L/C

17

Hartono Hadisoeprapto, Kredit Berdokumen Cara Pembayaran Dalam Jual Beli


(30)

Yaitu suatu L/C yang dibuka untuk beberapa transaksi sehingga dapat dibayar beberapa kali. Dengan demikian pembayaran kredit itu bersambung hingga mencapai jumlah maksimum yang diperjanjikan.

Revolving L/C terbagi atas:

(i) Revolving L/C yang kumulatif

Pada L/C jenis ini, penjual diperbolehkan untuk menambah kekurangan pengiriman barang dari periode yang lalu untuk dihimpun di dalam pengiriman berikutnya.

(ii) Revolving L/C yang non kumulatif

Pada L/C jenis ini, penjual tidak diperbolehkan untuk menambah kekurangan pengiriman barang periode yang lalu untuk dihimpun di dalam pengiriman berikutnya.

b. Back to Back L/C

Yaitu suatu L/C yang pembukaannya terpisah tetapi masih didasarkan atas data-data kredit yang semula. L/C yang telah dibuka sebelumnya menjadi dasar bagi dibukanya back to back L/C. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kedua L/C tersebut memiliki persyaratan yang sama, baik dalam jumlah dan jenis barang maupun jenis dokumen yang diperlukan, tetapi terdapat perbedaan harga dalam faktur dan wesel dari L/C semula dengan yang baru.

c. Red Clause L/C

Yaitu suatu L/C yang dapat dibayar oleh bank terlebih dahulu sebelum dokumen-dokumen yang disyaratkan diserahkan. L/C ini mengandung syarat bahwa atas beban dan tanggungan pembuka L/C, bank pembayar dapat membayarkan uang muka sebagian maupun seluruh jumlah L/C walaupun eksportir belum melaksanakan pengiriman barang.

Red clause L/C dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

(i) Secured atau Covered Red Clause L/C

Yaitu suatu L/C yang mengandung syarat bahwa bank pembayar dapat membayar uang muka kepada eksportir, walaupun eksportir belum melaksanakan pengiriman barang. Pembayaran


(31)

hanya dapat dilakukan apabila eksportir menyerahkan wesel atau kuitansi disertai surat jaminan serta surat-surat lainnya sesuai dengan persyaratan L/C, seperti surat gudang, polis asuransi, dan lain-lain.

(ii) Clean atau Unsecured Red Clause L/C

Yaitu suatu L/C yang mengandung persyaratan bahwa pembayaran dapat dilakukan oleh bank kepada eksportir, walaupun eksportir belum mengirimkan barang, yang pembayarannya dapat dilakukan berdasarkan kuitansi tanpa disertai jaminan.

d. Green Clause L/C

Yaitu suatu L/C yang mirip dengan Red Clause L/C, hanya saja dalam red clause L/C pembayaran uang mukanya merupakan perintah dari pihak pembeli, sedangkan dalam green clause L/C pembayaran uang mukanya dilakukan oleh bank atas kepercayaannya terhadap pedagang perantara.

e. Negocierings L/C

Yaitu suatu L/C yang mengharuskan penjual menerbitkan wesel kepada pembeli, yang akan dinegosiasi oleh bank pembuka. Bentuk L/C seperti ini membebankan tanggung jawab kepada bank pembuka, sedangkan bank penerus tidak bertanggung jawab sedikitpun.

f. Standby L/C

Yaitu suatu L/C yang dipergunakan sebagai alat pembayaran terhadap pembelian barang-barang dalam perdagangan dengan mengkaitkannya dengan dokumen-dokumen perkapalan. Standby L/C ini seperti Clean L/C, karena untuk terlaksananya pembayaran tidak memerlukan penyerahan dokumen-dokumen, hanya saja digunakan untuk masalah-masalah garansi.


(32)

Dokumen–dokumen yang diperlukan di dalam L/C adalah dokumen-dokumen yang diperoleh pihak eksportir pada saat pengapalan barang-barang yang hendak dikirimkan kepada pihak importir, serta dokumen pengawasan dari pihak yang berwenang,dimana harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang disebutkan di dalam perjanjian kredit. Dokumen-dokumen tersebut antara lain: 18

1. Bill of Lading (B/L)

)

Disebut juga sebagai konosemen atau Surat Muatan Kapal Laut, merupakan suatu tanda bukti penerimaan barang yang dikeluarkan oleh maskapai pelayaran untuk diangkut dengan kapal dan diserahkan kepada pemilik barang di tempat yang telah ditentukan.

Menurut ketentuan Pasal 23 a – UCP 1993, menyatakan syarat-syarat suatu konosemen, bahwa kecuali ditentukan hal lain di dalam kredit, bank akan menerima B/L yang:

a. Diterbitkan oleh perusahaan pengangkutan

b. Menyatakan bahwa barang telah dimuat di dalam kapal atau sudah dikapalkan

c. Terdiri dari seperangkat lengkap dokumen asli yang diterbitkan untuk pengiriman

barang

d. Memenuhi semua ketentuan lainnya yang terdapat di dalam kredit

Oleh sebab itu, menurut ketentuan Pasal 23 a – UCP 1993, Bank akan menerima jenis-jenis B/L antara lain sebagai berikut:

a. Combined Transport B/L atau Combined Transport Document, atau konosemen dari

pengangkutan berangkai yang dikeluarkan oleh perusahaan yang sama.

b. Short Form B/L atau Blank Back Transport, atau konosemen yang dikeluarkan oleh

perusahaan pengangkutan atau cabangnya.

c. B/L untuk penguasaan tempat yang berbeda dari pelabuhan muat dan atau tempat

tujuan terakhir yang berbeda dengan tujuan muat.

18


(33)

d. B/L untuk Unitired Cargoes, atau konosemen yang dikeluarkan untuk muatan dalam peti kemas atau semacamnya.

Sedangkan menurut ketentuan yang sama, Bank akan menolak jenis-jenis B/L antara lain sebagai berikut:

a. B/L yang tunduk pada Charter Party, karena bank tidak mau berurusan dengan

masalah perjanjian charter sebagaimana yang tercantum di dalam charter party.

b. B/L yang dikeluarkan oleh perusahaan kapal layar, karena pengangkutan jenis ini

mempunyairesiko yang lebih besar.

c. B/L yang dikeluarkan oleh agen ekspedisi, karena agen ekspedisi bukan merupakan

pihak yang berwenang untuk mengeluarkan B/L.

2. Faktur Perdagangan (Commercial Invoice)

Merupakan suatu nota yang dibiuat oleh pihak eksportir mengenai barang-barang yang dijual kepada pihak importir. Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UCP 1993, faktur perdagangan ini memuat hal-hal sebagai berikut:

a. Nama dan alamt lengkap pihak importir

b. Jenis, kualitas, merek, dan jumlah barang

c. Cara pengepakan barang

d. Nama kapal yang mengangkut barang

e. Syarat-syarat menyerahkan barang

f. Harga satuan dan jumlah yang harus dibayar oleh pembeli

3. Polis Asuransi atau Dokumen Pertanggungan

Pengertian dari asuransi dapat kita jumpai dalam Pasal 246 KUHD, yang berbunyi: “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dimana seorang penanggung mengikatkan dirinya terhadap tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian


(34)

kepadanya karena suatu kehilangan, kerugian, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita olehnya karena disebabkan suatu kejadian yang tidak pasti”. Menurut ketentuan Pasal 255 KUHD: “pertanggungan harus diadakan secara tertulis dengan sepucuk akta yang bernama polis”. Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai asuransi adalah apa yang terdapat dalam Pasal 34 sampai 36 UCP 1993, antara lain:

a. Dokumen asuransi harus ditandatangani oleh perusahaan asuransi atau agennya.

b. Tanggal pembuatan dokumen asuransi selambat-lambatnya sama dengan tanggal

pengapalan.

c. Valuta dalam asuransi harus sama dengan yang dinyatakan di dalam kredit. Jumlah

minimum yang tercantum di dalam dokumen asuransi harus ,enunjukkan penutupan asuransi yang mencakup nilai barang (Cost Insurance Freight).

d. Penegasan jenis asuransi yang diminta, juga resiko yang harus ditutup.

Daftar pembungkus memperinci barang kedalam kemasan serta kode. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pemeriksaan oleh pabean serta memudahkan pengenalan oleh pemilik barang.

Selain yang telah dikemukakan, masih ada beberapa dokumen lain yang ditentukan di dalam Pasal 38 UCP 1993, antara lain:

a. Certificate of Origin, atau sertifikat negara asal barang, yaitu suatu dokumen yang

menunjukkan negara asal barang ekspor.

b. Consular Invoice atau Faktur Konsuler, yang dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Commercial Invoice, merupakan faktur yang dipergunakan oleh penjual kepada

pembeli.

2) Official Invoice, merupakan faktur yang dikeluarkan atau disahkan oleh suatu instansi umum seperti kedutaan atau untuk keperluan pabean.


(35)

c. Cerificate of Weight atau Weight List atau Sertifikat Berat, merupakan suatu sertifikat yang menerangkan perincian timbangan dan ukuran dari suatu barang.

d. Certificate of Inspection, merupakan suatu sertifikat yang menerangkan bahwabarang

tersebut telah diperiksa oleh pihak pemeriksa barang.

e. Certificate of Analysis, yaitu suatu sertifikat yang menerangkan kadar dan

unsur-unsur dari barang.

Menurut ketentuan Pasal 42 b UCP 1993 disyaratkan bahwa dokumen-dokumen harus diajukan pada atau sebelum tanggal berakhirnya kredit. Pengecualian daripada itu adalah yang ditentukan di dalam Pasal 44 a UCP 1993, dimana tanggal berakhirnya kredit diperpanjang sampai hari kerja pertama berikutnya sampai bank buka dalam hal tanggal berakhirnya kredit itu jatuh pada hari dimana bank tutup dengan alasan atau sebab lain yang ditentukan dalam Pasal 17 UCP 1993, yaitu:

1. Bencana alam

2. Kerusuhan

3. Huru-hara

4. Pemberontakan

5. Perang, atau sebab-sebab lain diluar batas kemampuannya

6. Pemogokan

7. Larangan kerja


(36)

Dalam pelaksanaan pembukaan Letter of Credit, dalam bentuknya yang paling sederhana, ada beberapa pihak yang berkepentingan, yaitu: 19

1. Importir/Pembeli

)

Merupakan pihak yang melaksanakan transaksi jual beli dengan penjual/eksportir. Pihak Importir mengajukan permintaan pembukaan L/C kepada bank pembuka atas nama eksportir, setelah memenuhi syarat-syarat yang berlaku untuk melakukan transaksi ekspor impor. Kewajiban-kewajiban importir, antara lain:

a. Mengirim surat kepada eksportir di luar negeri.

b. Menerima surat balasan dari eksportir berikut brosur.

c. Menyiapkan permintaan pembukaan L/C.

d. Menyiapkan uang pembayaran tunai kepada bank pembuka L/C.

2. Bank Pembuka L/C atau Opening Bank atau Issuing Bank

Tugas dari bank pembuka adalah melayani importir yang mengajukan permintaan pembukaan L/C. sedangkan tugas-tugas yang lain adalah:

a. Menerima, mencatat, dan meneliti pembukaan L/C.

b. Menyediakan devisa yang diperlukan oleh importir.

c. Melaksanakan permintaan perubahan L/C.

d. Menerima setoran uang tunai dari importir sebagai pelunasan harga barang sesuai

nilai L/C.

3. Bank Penerus L/C atau Advising Bank

Merupakan bank yang meneruskan L/C kepada eksportir. Apabila bank ini dikuasakan untuk membeli wesel-wesel yang ditarik oleh eksportir atas L/C tersebut, maka disebut dengan Negotiating Bank. Jika bank ini diminta untuk ikut menjamin pembayaran, maka disebut dengan Confirming Bank.

19

Amir M.S, Pengetahuan Bisnis Ekspor Impor, PT Pustaka Binaman Pressindo,


(37)

Tugas-tugas dari bank penerus L/C antara lain:

a. Meneruskan L/C kepada eksportir

b. Menerima dokumen yang disyaratkan dalam L/C dari eksportir.

c. Membayar harga barang kepada eksportir sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan

di dalam L/C.

4. Eksportir/Penjual

Merupakan pihak yang untuk mana suatu L/C dibagi transaksi tersebut. Merupakan pihak yang mengadakan transakasi jual beli dengan importir atau pembeli. Kewajiban-kewajiban eksportir, antara lain:

a. Menerima surat dari importir.

b. Membalas surat tersebut berikut brosur.

c. Menerima L/C dari bank penerus L/C.

d. Menyiapkan barang yang akan dikirimkan.

e. Menyerahkan dokumen-dokumen yang disyaratkan di dalam L/C.

f. Menerima uang pembayaran dari pembeli melalui bank penerus L/C.

Suatu perjanjian, agar dapat terwujud, lazimnya ada suatu kesepakatan tentang harga dan barang antara pembeli dan penjual. Demikian juga di dalam pembukaan suatu L/C, pihak eksportir dan importir sebelumnya sudah harus mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian jual-beli atau kontrak jual-beli.

5. Pihak-pihak yang lain

Selain pihak-pihak yang telah dikemukakan, masih ada beberapa pihak yang secara tidak langsung terkait dalam transaksi ekspor impor, dimana pihak-pihak ini merupakan badan usaha yang bergerak dibidang jasa tertentu, antara lain:


(38)

(i) Membuat cover note

(ii) Membuat polis asuransi

(iii) Menagih pembayaran premi asuransi

(iv) Menyelesaikan klaim apabila terjadi suatu kerugian

b. Ekspedisi Muatan Kapal Laut, tugasnya antara lain:

(i) Menyiapkan angkutan untuk pengiriman barang

(ii) Membantu importir mengeluarkan barang dari pelabuhan

(iii) Membayar bea masuk

c. Superintending Company

Untuk memastikan atas kebenaran barang yang diimpor, maka importir dapat meminta jasa dari superintending company untuk meneliti barang yang akan diimpor. Objek penelitian didasarkan atas permintaan pemberi amanat, dapat berupa penelitian atas keaslian barang, kelengkapan barang, dan lain sebagainya.

E. Syarat – Syarat Dalam Mengajukan Pembukaan Letter of Credit

Letter of Credit merupakan suatu alat pembayaran yang memungkinkan importir untuk melakukan pembayaran dalam suatu transaksi ekspor impor kepada eksportir, dan sebaliknya pula importir akan berusaha agar penyediaan pembayaran ini tidak akan disalahgunakan oleh eksportir penerima L/C tersebut. Untuk maksud ini, di dalam L/C perlu ditentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh eksportir untuk menarik wesel dan menerima pembayaran atas L/C yang berssangkutan. Syarat-syarat yang harus ditetapkan tersebut anatara lain sebagai berikut:

1. L/C yang akan dibuka harus merupakan Commercial Documentary of Credit. Dalam

hal eksportir mendapat fasilitas kredit bank, maka L/C yang diterima harus bersifat Irrevocable L/C atau Irrevocable and Confirmed L/C.


(39)

2. Dokumen-dokumen yang dimaksud sekurang-kurangnya harus terdiri dari dokumen-dokumen sebagai berikut:

a. Bill of Lading (B/L)

b. Commercial Invoice ( Faktur perdagangan)

c. Dokumen Asuransi, dan dokumen-dokumen ini harus disertai dengan wesel.

3. Dalam hal transaksi ekspor impor yang sudah memperoleh Seritifikat Ekspor, maka

diperlukan dokumen lain yaitu Laporan Kebenaran Pemeriksaaan (LKP) yang dikeluarkan oleh SGS.

4. Dokumen-dokumen tambahan yang lain, antara lain:

a. Packing List

b. Certificate of Inspection

c. Consular Invoice

d. Certificateof Origin

e. Measurement List

f. Weight Certificate List

g. Certificate of Analysis

h. Cerificate of Quality, dan sebagainya

F. Hubungan Hukum Antara Eksportir, Importir, dan Pihak Bank

Hubungan hukum antara para pihak yang terlibat dalam pembukaan Letter of Credit dapat dijelaskan sebagai berikut: 20

A. Hubungan Hukum antara Importir dan pihak Bank

)

20

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek Buku Kedua, PT Citra Aditya Bandung, 1999, hal. 91


(40)

Menurut pendapat Molengraaf, ”bahwa hubungan hukum antara importir dan pihak bank itu timbul akibat adanya perjanijan pemberian kuasa dan perjanjian melakukan beberapa pekerjaan. Dari hubungan hukum itu terdapat adanya hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang bersangkutan”.

Hubungan hukum yang demikian itu di dalam pembukaan suatu L/C, pihak bank mempunyai kewajiban antara lain:

a. Meneliti apakah dokumen-dokumen yang diserahkan kepadanya sudah memenuhi

persyaratanyang harus dipenuhi di dalam suatu pembukaan L/C, dan bank berkewajiban meneruskan dokumen-dokumen itu kepada importir.

b. Membayar kepada eksportir sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh importir. Hal

ini berarti bahwa bank berhak mengajukan penuntutan penggantian atas apa yang telah dibayarkan kepada eksportir tersebut, sehingga importir haruslah menyediakan dana kepada bank untuk kepentingan pelaksanaan pembayaran daripada L/C tersebut.

B. Hubungan Hukum antara Eksportir dan Importir

Perjanjian antara eksportir dan importir sebagaimana telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian jual-beli, atau kontrak jual-beli, merupakan dasar dari hubungan hukum antara eksportir dan importir.

C. Hubungan Hukum antara Eksportir dan pihak Bank

Hubungan hukum antara eksportir dan pihak bank dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

a. Untuk suatu kredit yang Revocable, yaitu suatu kredit yang dapat ditarik atau diubah

atau dibatalkan setiap saat tanpa persetujuan para pihak, maka pada prinsipnya antara eksportir dan bank terdapat suatu hubungan hukum.

b. Untuk suatu kredit yang Irrevocable, yaitu suatu kredit yang hanya dapat ditarik atau diubah dengan persetujuan para pihak, maka bank terikat untuk melakukan pembayaran


(41)

kepada eksportir dengan syarat telah dipenuhi semua syarat-syarat yang terdapat di dalam L/C tersebut.

BAB III

PELAKSANAAN EKSPOR IMPOR DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Mengenai Pelaksanaan Ekspor Impor

Dewasa ini hampir tidak ada lagi suatu negara didunia yang dapat memenuhi kebutuhannya dari hasil produksi negaranya sendiri. Baik negara kecil ataupun negara besar, negara yang perekonomiannya sudah maju ataupun masih terbelakang, secara langsung atau tidak langsung membutuhkan pelaksanaan pertukaran barang dan atau jasa antara satu negara dengan negara lainnya. Maka dari itu antara negara-negara yang terdapat didunia perlu terjalin suatu hubungan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan tiap-tiap neara tersebut. Transakasi perdagangan luar negeri yang lebih dikenal dengan istilah ekspor impor, pada hakikatnya adalah suatu transaksi sederhana yang tidak lebih dari membeli dan menjual barang antara pengusaha-pengusaha yang bertempat tinggal atau berdomisili di negara-negara yang berbeda. Namun dalam pertukaran barang dan jasa yang menyeberangi laut ataupun


(42)

darat ini tidak jarang timbul berbagai masalah yang kompleks antara para pengusaha yang mempunyai bahasa, kebudayaan, adat istiadat, dan cara yang berbeda-beda.

Pengaruh keseluruhan dari perdagangan ekspor impor ini adalah untuk memberikan keuntungan bagi negara-negara yang mengimpor dan mengekspor. Transaksi ekspor impor secara langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dari negara-negara yang terlibat di dalamnya. Bagi perekonomian negara berkembang seperti Indonesia, transaksi ekspor impor merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang paling penting. Dalam situasi perekonomian dunia yang masih belum terlalu menggembirakan saat ini, berbagai usaha telah dilakukan pemerintah Indonesia yang diharapkan dapat meningkatkan sumber-sumber devisa lain dengan cara meningkatkan produksi dalam negeri dan menarik investor asing ke Indonesia.

Untuk mendapatkan hasil seperti yang diharapkan, pemerintah merasa perlu untuk mengambil kebijaksanaan serta tindakan dengan jalan menyederhanakan ketentuan-ketentuan yang menyangkut kegiatan di bidang lalu-lintas devisa dan ekspor impor. Penyederhanaan ketentuan-ketentuan itu antara lain mengenai:

1. Syarat-syarat sebagai eksportir

2. Syarat-syarat sebagai importir

3. Pajak ekspor

4. Pajak impor

5. Kebijaksanaan tentang devisa

6. Kredit ekspor dan jaminan ekspor

7. Tata niaga barang ekspor

8. Tata niaga barang impor 21

21

Alfred Hutauruk, 1983, Sistem dan Pelaksanaan Ekspor Impor dan Lalu Lintas

Devisa di Indonesia, Erlangga, Jakarta, hal. 68


(43)

Penyederhanaan tersebut pada umumnya menitikberatkan pada penggunaan devisa dengan tanpa mengurangi pengawasan untuk mencegah hal-hal yang tidak diharapkan. Kebijaksanaan pemerintah tersebut perlu mendapat dukungan dari pihak-pihak yang bersangkutan dalam pelaksanaan ekspor impor. Jadi hendaknya para pengusaha dapat memanfaatkan kesempatan dan kelonggaran-kelonggaran yang telah diberikan oleh pemerintah tersebut dengan sebaik-baiknya, dan para pengusaha diharapkan tidak menyalahgunakan kesempatan dan kelonggaran-kelonggaran tersebut untuk tujuan yang hanya menguntungkan pribadi dan merugikan perekonomian negara Indonesia.

Untuk memberi gambaran yang lebih jelas, maka penulis akan mengemukakan beberapa kebijaksanaan pemerintah yang berhubungan dengan lalu-lintas devisa dan ekspor impor, yang tertuang dalam beberapa peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaannya.

B. Peraturan Hukum yang Mengatur Tentang Eskpor Impor

Setiap negara memiliki peraturan serta sistem perdagangan yang berbeda-beda. Karena itu mereka yang terlibat dalam transaksi ekspor impor, misalnya para pengusaha atau para petugas bank, sangat perlu mengikuti perkembangan-perkembangan peraturan serta sistem perdaangan internasional, baik yang berlaku di Indonesia, ataupun di negara lainnya.

Setelah dilakukan beberapa kali perubahan, maka peraturan umum tentang pelaksanaan ekspor impor dan lalu-lintas devisa yang berlaku dewasa ini di Indonesia adalah PP No. 1 tahun 1982, tentang pelaksanaan ekspor impor dan lalu-lintas devisa.

Untuk menjalankan peraturan pemerintah tersebut, maka ditetapkan beberapa peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang untuk itu, antara lain:

1. Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 118/MPP/Kep/II/2003 junto No.

558/MPP/Kep/XII/1998 junto No. 27/KP/I/1982, tentang ketentuan-ketentuan umum dibidang ekspor.


(44)

2. Keputusan Menteri Perdagangan No. 131/MPP/Kep/I/2003, tentang penyederhanaan ketentuan-ketentuan dibidang ekspor.

3. Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 299/MPP/Kep/VII/1997 junto No.

28/KP/I/1982, tentang ketentuan-ketentuan umum dibidang impor.

4. Keputusan Menteri Perdagangan No. 789/MPP/Kep/XII/1997 junto No.

79/Mpp/Kep/XII/2002 junto SK No. 230/MPP/Kep/VII/1997, tentang penyederhanaan ketentuan-ketentuan tata niaga impor barang. 22

Sebelum berlakunya PP NO. 1 tahun 1982 tentang pelaksanaan ekspor impor dan lalu lintas devisa, telah berlaku beberapa peraturan pemerintah yang mengatur tentang pelaksanaan ekspor impor serta lalu lintas devisa. Namun dengan semakin berkembangnya masyarakat dan semakin meningkatnya kegiatan ekspor impor, maka peraturan-peraturan lama tersebut dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan.

Pertimbangan pemerintah untuk mengeluarkan PP No. 1 tahun 1982, adalah dalam rangka usaha pemerintah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi serta memperlancar perdagangan luar negeri, perlu disusun tata cara pelaksanaan ekspor impor yang mudah dan praktis.

Kebijaksanaan dan tindakan pemerintah dalam bidang ekspor impor dan lalu lintas devisa tersebut mempunyai tujuan sebagai berikut:

)

1. Mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk memperkuat daya saing ekspor

Indonesia yang mengalami kemerosotan akibat dari pengaruh resesi dunia, diskriminasi tarif, dan saingan dari negara-negara produsen lainnya.

2. Menciptakan suatu suasana agar dapat melakukan suatu usaha penerobosan pasar

serta siap menghadapi saingan dari negara-negara produsen lainnya.

22


(45)

3. Membebaskan para eksportir dari kewajiban menjual devisa yang diperolehnya kepada Bank Indonesia, agar devisa tersebut dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, baik untuk pembelian bahan atau barang modal guna menunjang ekspornya, maupun untuk mendapatkan hasl yang maksimal dari penggunaan devisanya.

4. Menyempurnakan cara pembayaran transaksi ekspor impor, dengan memperluas cara

pembayaran dari yang telah ada sebelumnya hingga cara pembayaran yang sesuai dengan yang lazim digunakan dalam perdagangan internasional.

5. Menyediakan fasilitas kredit ekspor, jaminan kredit ekspor dengan syarat yang lunak.

Ditinjau dari sifatnya, kebijakan pemerintah mengenai devisa menurut ketentuan Pasal 1 dan 2 PP No. 1 tahun 1982 adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang dapat dengan bebas menguasai atau mempergunakan devisanya dengan

tidak membedakan dari mana asal devisa diperoleh.

2. Devisa yang diperoleh atau dimiliki tidak diwajibkan untuk dijual kepada Bank

Indonesia, sehingga dapat dipergunakan untuk barang yang diperlukan.

3. Jika devisa tersebut akan dijual kepada Bank Indonesia ataupun Bank Devisa, maka

bank tersebut wajib membeli dengan harga kurs yang terjadi dalam bursa valuta asing, disamping itu devisa tersebut dapat dijual bebas kepada pihak yang memerlukan.

4. Jika memerlukan devisa, maka dapat diperoleh dengan cara membelinya dari Bak

Indonesia, Bank Devisa, ataupun pihak lain yang menjualnya.

Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1982 merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 32 tahun 1964 tentang devisa. Secara garis besar, devisa dapat dibagi atas dua jenis, yaitu:


(46)

Yaitu devisa yang berasal dari hasil ekspor, atau dari hasil penjualan jasa, atau transfer masuk dari luar negeri.

2. Devisa Kredit

Yaitu devisa yang berasal dari bantuan luar negeri, baik yang berupa pinjaman maupun donor dari luar negeri yang oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam cal devisa di bursa valuta asing. 23

1. Pembayaran dimuka (Advance Payment)

)

Mengenai tata cara pembayaran ekspor impor, menurut Pasal 3 PP No. 1 tahun 1982, dapat dilakukan dengan tunai maupun kredit, yaitu:

2. Letter of Credit (L/C)

3. Wesel Inkaso (Collection Draft), dengan kondisi:

a. Document against Payment (D/P)

b. Document against Acceptance (D/A)

4. Perhitungan kemudian (Open Account)

5. Konsinyasi

6. Cara pembayaran lain yang lazim dalam perdagangan luar negeri sesuai kesepakatan

pihak penjual dan pembeli

Dengan PP No. 1 tahun 1982, pemerintah berusaha memperluas cara pembayaran dalam transaksi ekspor impor untuk memberi kebebasan pada eksportir dan importir dalam memilih cara pembayaran. Dengan demikian para eksportir dan importir tidak hanya harus mempergunakan L/C saja di dalam pembayaran transaksi ekspor impor, tetapi juga dapat mempergunakan cara pembayaran lain yang lazim dipergunakan dalam perdagangan internasional, sesuai dengan kesepakatan antara pihak eksportir dan importir.

23


(47)

Kebijaksanaan pemerintah mengenai kredit ekspor, jaminan kredit ekspor, dan asuransi ekspor, diatur di dalam Pasal 4 PP No. 1 tahun 1982, dimana untuk peningkatan ekspor dibidang selain minyak dan gas bumi disediakan persyaratn yang lunak. Sedangkan fasilitas kredit ekspor dan asuransi disediakan oleh pemerintah. Untuk beberapa jenis barang tertentu dikenakan pungutan ekspor yang disebut dengan pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 PP No. 1 tahun 1982. Untuk pelaksanaan transaksi ekspor impor, Menteri Perdagangan dan Koperasi menetapkan harga patokan untuk barang-barang ekspor secara berkala. Hal ini diatur dalam Pasal 6 PP No. 1 tahun 1982. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 7 PP No. 1 tahun 1982, Menteri Perdagangan dan Koperasi menetapkan barang-barang tertentu yang dilarang untuk diimpor, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi nasional serta kepentingan negara pada umumnya. Dengan berlakunya PP No. 1 tahun 1982, maka seluruh peraturan yang bertentangan yang berlaku sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 PP No. 1 tahun 1982 tersebut.

C. Bank Devisa Sebagai Media Antara Eksportir dan Importir

Melakukan suatu pembayaran merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh bank dalam pelaksanaan transaksi ekspor impor, baik itu bank yang berada di dalam negeri ataupun bank yang berada di luar negeri. Pembayaran dalam negeri, pada umumnya dapat dilakukan oleh semua bank, tetapi untuk pembayaran keluar negeri maka bank tersebut harus memiliki ijin sebagai Bank Devisa.

Pembayaran di dalam negeri lazimnya mempergunakan mata uang rupiah, karena mata uang tersebut merupakan alat pembayaran yang sah di dalam negeri. Sebaliknya untuk pembayaran keluar negeri tidak dapat dilakukan dengan menggunakan mata uang rupiah, karena belum


(48)

diterima sebagai alat pembayaran yang sah diluar negeri, sehingga harus menggunakan mata uang tertentu yang diakui sebagai alat pembayaran dalam transaksi internasional. Maka dari itu pembayaran transaksi perdagangan internasional merupakan suatu transaksi yang berkaitan erat dengan mata uang asing, hal ini lazim karena perdagangan internasional melibatkan dua negara atau lebih.

Suatu badan usaha dalam melaksanakan kegiatannya memerlukan ijin dari pemerintah, terlebih jika kegiatan tersebut menyangkut wewenang untuk melakukan sesuatu, misalnya bertindak sebagai Bank Devisa. Tidak semua bank dapat bertindak sebagai bank devisa karena untuk menjadi bank devisa harus memiliki ijin dari pemerintah, yang dalam hal ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, yaitu Bank Indonesia. Untuk dapat menjadi bank devisa suatu bank harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, antara lain:

1. bank tersebut harus memiliki tenaga kerja yang memiliki pengetahuan khusus tentang

perdagangan internasional, peraturan tentang transaksi ekspor impor, dan prosedur pelaksanaan transaksi ekspor impor.

2. Bank tersebut dinilai mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.

Tugas bank devisa antara lain sebagai berikut:

a. Melayani importir dalam melakukan pembayaran

b. Melayani eksportir untuk memperoleh pembayaran

c. Mengusahakan valuta asing yang diperlukan oleh nasabah

d. Melayani eksportir dalam merealisir hasil ekspornya

e. Melayani jual-beli traveller check

f. Melayani transfer valuta asing ke luar negeri


(49)

h. Turut menjaga dan mengawasi berlakunya peraturan pemerintah

i. Memberikan surat jaminan bank atas valuta asing dan steamship guarantee. 24

Bank devisa selain mempunyai tugas-tugas seperti yang telah disebutkan diatas, juga berfungsi seperti bank pada umumnya, seperti melayani nasabah yang akan menyetor dan menarik uang, dan juga memberikan pinjaman uang kepada nasabah yang mengajikan permohonan kredit.

Suatu bank devisa tidak dapat menjadi eksportir ataupun importir, melainkan hanya sebagai media antara pihak eksportir dan importir. Hal ini disebabkan karena bank devisa semata-mata berurusan dengan penelitian dokumen ekspor ataupun dokumen impor, serta mengatur pelaksanaan pembayaran atas permintaan eksportir ataupun importir.

)

D. Tata Cara Pelaksanaan Ekspor Impor a) Tata Cara Pelaksanaan Ekspor

Dalam PP No. 1 tahun 1982 tentang Ekspor Impor dan Lalu Lintas Devisa, telah diatur secara garis besar tentang pelaksanaan ekspor impor dan lalu lintas devisa. Namun dalam rangka pelaksanaan kegiatan ekspor, pemerintah merasa perlu untuk menetapkan ketentuan hukum lain yaitu Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 558/MPP/Kep/XII/1998 junto No. 27/KP/I/1982 tentang ketentuan-ketentuan umum dibidang ekspor. Disamping itu, dalam rangka meningkatkan dan melancarkan pelaksanaan ekspor, maka pemerintah mengeluarkan SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 118/MPP/Kep/II/2003 junto No. 558/MPP/Kep/XII/1998 tentang penyederhanaan ketentuan-ketentuan dibidang ekspor.

Pemerintah senantiasa berusaha untuk menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang dipandang menghambat usaha peningkatan kegiatan bidang ekspor, yaitu dengan

24


(50)

mengeluarkan kebijaksanaan yang disebut dengan deregulasi, yang berarti penataan peraturan, dimana peraturan yang dianggap tidak perlu akan dicabut untuk diperbaiki dengan peraturan yang baru. Demikian pula mengenai pengurusan ijin pelaksanaan ekspor impor yang terkesan berbelit-belit yang cenderung mengurangi minat para pengusaha untuk melakukan kegiatan ekspor, pemerintah juga mengusahakan penyederhanaan dengan mengeluarkan kebijaksanaan yang disebut dengan debirokratisasi.

1. Syarat-syarat Eksportir

Tidak semua pengusaha dapat melaksanakan kegiatan ekspor. Seperti halnya bank devisa, maka pengusaha yang berupa badan usaha, dapat bergerak atau berperan sebagai eksportir harus memperoleh ijin dari Kantor Wilayah Perdagangan di daerah masing-masing, setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk bergerak dibidang ekspor. Untuk itu calon eksportir harus memenuhi beberapa syarat administrasi, antara lain:

a. Ijin Usaha Dagang / Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP)

b. Akte Pendirian Perusahaan dan peraturan-peraturannya

c. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)

d. Menyerahkan surat fisikal atau surat yang telah memenuhi kewajiban membayar

pajak

e. Surat keterangan bank

Berdasarkan ketentuan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 558/MPP/Kep/XII/1998 junto No. 27/KP/I/1982, maka setelah persyaratan administrasi disetujui, pengusaha kemudian mengajukan Angka Pengenal Eksportir (APE), atau Angka Pengenal Eksportir Smenetara (APES), atau Angka Pengenal Eksportir Terbatas (APET). Dengan diperolehnya APE, APES, atau APET, maka pengusaha yang bersangkutan telah memiliki wewenang untuk melaksanakan ekspor.


(51)

Tetapi dengan dikeluarkannya keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 188/MPP/Kep/II/2003 junto No. 558/MPP/Kep/XII/1998, pemerintah melonggarkan peraturan dengan mempermudah ijin untuk menjadi eksportir. Tujuan pemerintah mengeluarkan kebijksanaan ini adalah untuk menarik minat para pengusaha untuk melaksanakan kegiatan ekspor, sehingga akan meningkat pula pendapatan pemerintah yang diperoleh dari kegiatan ekspor. Maka dari itu, kegiatan ekspor tidak hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah memiliki APE, APES, atau APET, tetapi juga dapat dilakukan oleh:

a. Setiap pengusaha yang memiliki Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP)

b. Setiap pengusaha yang telah mendapat ijin udara dari departemen teknis / lembaga

pemerintah non departemen berdasarkan peraturan perundang-undangna yang berlaku.

Berdasarkan hal tersebut, maka pada dasarnya ada dua jenis eksportir, yaitu:

a. Eksportir umum,

yang terdiri dari:

1) Setiap pengusaha yang memegang angka pengenal eksportir (APE/APES) umum,

yang nantinya jika sudah habis masa berlakunya tidak diperlukan lagi mengajukan permohonan APE/APES, tetapi cukup dengan SIUP saja

2) Setiap pengusaha yang telah memiliki surat ijin usaha perdagangan (SIUP)

3) Setiap pengusaha yang mendapat ijin usaha dari departemen teknis / lembaga

pemerintah non departemen berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

b. Eksportir terdaftar,

yaitu pengusaha yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Perdagangan untuk mengekspor barang-barang yang diatur oleh tata niaga ekspor


(52)

Pembayaran Ekspor diperluas tidak hanya dengan menggunakan L/C saja, tetapi juga dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:

a. Pembayaran di muka

b. Letter of Credit (L/C)

c. Wesel Inkaso, dengan kondisi:

1) Document against Payment (D/P)

2) Document against Acceptance (D/A)

d. Perhitungan kemudian

e. Konsinyasi

f. Cara pembayaran lain yang lazim digunakan dalam perdagangan internasional,

berdasarkan kesepakatan antara eksportir dan importir

3. Devisa

Devisa yang diperoleh eksportir dari ekspor barang atau jasa tidak diwajibkan untuk dijual kepada Bank Indonesia. Eksportir dapat menjual devisanya kepada Bank Indonesia melalui Bank Devisa dengan harga berdasarkan kurs yang berlaku di bursa valuta asing. Eksportir dapat pula menjual sebagian atau seluruh devisanya kepada Bank Devisa, Importir, dan pihak-pihak lain yang memerlukan devisa. Bank Indonesia mengatur tata cara penjualan devisa yang diperoleh dari hasil ekspor kepada Bank Devisa, serta penjualan lebih lanjut kepada Bank Indonesia, sehingga eksportir diberi kebebasan untuk menjual devisa yang diperolehnya.

4. Dokumen Ekspor

Dokumen utama yang dipergunakan untuk pencatatan ekspor adalah Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), yang wajib diisi oleh eksportir dengan sebenar-benarnya, dan kemudian


(53)

diajukan kepada Bank Devisa yang akan menelitinya untuk kemudian ditandatangani. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh Bank pada saat akan menandatangani formulir PEB, antara lain:

a. APE/APES/APET atau SIUP harus masih berlaku

b. Barang yang akan diekspor bukan merupakan barang yang dilarang untuk diekspor

c. Tidak menyimpang dari ketentuan umum UCP (Uniform Customs and Practice fo

Documentary Credit)

d. Harga FOB barang yang akan diekspor yang tercantum dalam PEB harus sama

dengan patokan kontrak jual-beli.

Dokumen PEB tersebut selanjutnya disampaikan kepada instansi bea cukai (pabean) yang akan memeriksa kebenaran barang-barang yang akan diekspor, kemudian mensahkan dokumen tersebut. Selanjutnya dokumen tersebut dikirim kembali kepada bank devisa, kecuali lembar arsip untuk pihak bea cukai. Lembar asli PEB dengan dokumen ekspor lainnya yang diminta importir dipergunakan oleh bank devisa untuk menyelesaikan pembayaran.

5. Barang Ekspor

Dalam hal pelaksanaan kegiatan ekspor, pemerintah memprioritaskan barang ekspor non minyak dan gas bumi yang memiliki pasaran baik dalam lalu lintas perdagangan internasional. Selain itu pemerintah juga memperhatikan faktor-faktor lainnya, seperti manfaat bagi kesejahteraan rakyat, menyerap tenaga kerja, serta bahan-bahan yang banyak dan mudah ditemukan di alam Indonesia.

Untuk barang-barang yang akan diekspor, pemerintah menetapkan 2 jenis penggolongan, yaitu:

a. Penggolongan berdasarkan dilarang atau tidaknya barang ekspor, dibagi menjadi


(54)

1) Barang-barang yang boleh / bebas diekspor

2) Barang-barang yang diatur tata niaga ekspornya, yaitu barang-barang yang dapat

diekspor oleh eksportir terbatas

3) Barang-barang yang diawasi ekspornya, yaitu barang-barang yang ekspornya hanya

dapt dilakukan dengan persetujuan Menteri Perdagangan atau pejabat berwenang

4) Barang-barang yang dilarang ekspornya, yaitu barang-barang yang ekspornya tidak

boleh dilakukan

b. Penggolongan berdasarkan pajak ekspor, digolongkan sebagai berikut:

1) Barang-barang ekspor yang penting bagi pemerintah negara yang belum diolah dan

memiliki pasaran yag baik diluar negeri, dikenakan pajak sebesar 10%

2) Barang-barang ekspor yang sudah diolah, namun belum dapat diklasifikasikan sebagai

barang jadi, dikenakan pajak sebesar 5%

3) Barang-barang ekspor yang berdasarkan strategi menaikkan perekonomian negara,

menyerap tenaga kerja, serta menyangkut kehidupan rakyat didaerah, dikenakan pajak sebesar 0%

4) Barang-barang ekspor hasil industri dan kerajinan rakyat, serta barang-barang lemah

ditinjau dari penghasilan devisa negara, dikenakan pajak sebesar 0%

Harga patokan untuk barang-barang ekspor ditentukan secara berkala oleh Menteri Perdagangan. Harga patokan adalah harga barang ekspor dalam valuta asing berdasarkan syarat POB minimal yang harus diserahkan kepada pemerintah. Dengan ditetapkannyaharga patokan, maka akan dapt ditentukan pulaberapa besar pajak ekspor untuk barang-barang tertentu.

Eksportir yang melanggar ketentuan-ketentuan tentang ekspor yang dikeluarkan oleh pemerintah, dapat dikenakan sanksi tindakan hukum yang berdasarkan peraturan


(55)

perundang-undangan yang berlaku dan dapat dicabut APE/APES/APET atau SIUP oleh Menteri Perdagangan. 25

b) Tata Cara Pelaksanaan Impor )

Bahwa dalam rangka pelaksanaan PP No. 1 tahun 1982, tentang ekspor impor dan lalu lintas devisa, pemerintah memandang perlu untuk menetapkan ketentuan hukum lainnya tentang pelaksanaan impor, yaitu SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 229/MPP/Kep/VII/1997 junto No. 28/KP/I/1982 tentang ketentuan-ketentuan umum dibidang impor. Disamping itu dalam rangka melancarkan penyediaan barang-barang tertentuuntuk kebutuhan di dalam negeri dan sekaligus memberikan perlindungan yang wajar dan menyeluruh bagi usaha-usaha produksi, pemerintah menetapkan SK Menteri Perdagangan No. 789/MPP/Kep/XII/2002 junto No. 790/MPP/Kep/XII/2002 junto No. 230/MPP/Kep/VII/1997 tentang penyederhanaan ketentuan tata niaga impor barang.

Berbeda dengan ekspor yang selalu diusahakan peningkatan pelaksanaannya oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan pendapatan negara yang dapat dipergunakan untuk membiayai pembangunan, maka dalam hal impor pemerintah berusaha menaikkan sekecil mungkin pelaksanaan kegiatan impor yang disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi negara. Impor terutama dilakukan untuk jenis-jenis barang yang amat sulit diperoleh atau diproduksi di dalam negeri. Impor atas barang-barang yang sudah dapat diproduksi dan sudah dapat dicukupi kebutuhan menghambur-hamburkan cadangan devisa, juga dapat menghambat atau mengurangi produksi dalam negeri.

1. Syarat-syarat Importir

25

Alfred Hutauruk, 1983, Sistem dan Pelaksanaan Ekspor, Impor, dan Lalu Lintas


(1)

2. Terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan di dalam transaksi ekspor impor yang menggunakan L/C sebagai alat pembayaran. Kelebihan-kelebihan yang terdapat dalam L/C antara lain adalah, pihak eksportir mendapat jaminan atas pemenuhan pembayaran yang segera setelah dokumen-dokumen yang diberikan kepada bank penerus sesuai dengan syarat yang ditentukan di dalam L/C, dan pihak importirjuga akan merasa aman bahwa bank akan menolak pemenuhan pembayaran terhadap eksportir kecuali eksportir telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di dalam L/C. disamping itu baik pihak eksportir dan importir mendapat bantuan fasilitas kredit dari pemerintah. Sedangkan kekurangan-kekurangan dari L/C adalah cukup besarnya biaya bank yang dikenakan dalam penanganan L/C, namun pihak bank tidak ada campur tangan dalam urusan barang. Disamping itu, waktu yang dibutuhkan untuk memproses dokumen-dokumen melalui perantaraan bank tidaklah singkat

3. Penyimpangan-penyimpangan (discrepancies) yang terjadi di dalam dokumen L/C dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu correctable discrepancies, dan uncorrectable discrepancies. Correctable discrepancies adalah penyimpangan kecil yang disebabkan oleh kekeliruan pada saat penyiapannya, dan dapat diperbaiki oleh eksportir selama waktu berlaku L/C masih memungkinkan. Sedangkan yang dimaksud dengan uncorrectable discrepancies adalah penyimpangan besar yang tidak dapat diperbaiki langsung oleh eksportir.

4. Penggolongan terhadap suatu kredit untuk dikatakan macet atau tidak, dapat ditentukan dengan memperhatikan kredibilitas dari kredit tersebut. Untuk itu, kredibilitas kredit terbagi atas empat jenis, yaitu lancar, kurang lancar, diragukan, dan macet. Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pihak bank bila menghadapi kredit bermasalah adalah upaya penyelamatan kredit, berupa penjadwalan kembali, persyaratan kembali, dan penataan kembali. Apabila usaha tersebut tidak menunjukkan hasil, maka bank dapat mengambil tindakan hukum. Tindakan hukum yang khusus dibahas di skripsi ini adalah penyelesaian


(2)

melalui Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). BUPLN hanya bertindak atas nama bank pemerintah yang dirugikan, karena piutang dari bank pemerintah dianggap sebagai piutang negara. Sedangkan untuk bank swasta, penyelesaian piutang akibat kredit macet dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata melalui pengadilan ataupun dengan menempuh penyelesaian sengketa diluar jalur pengadilan dengan cara mediasi, konsiliasi, ataupun arbitrase.

B. Saran

Dalam praktek pembukaan Letter of Credit (L/C) masih banyak terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berusaha untuk memberikan saran yang perlu diperhatikan oleh para pihak yang terlibat dalam pembukaan L/C, yaitu sebagai berikut:

1. Pihak eksportir dan importir sebaiknya saling mengetahui kredibilitas masing-masing untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan transaksi ekspor impor

2. Untuk mengatasi kemungkinan adanya penyimpangan di dalam dokumen-dokumen L/C, maka perlu diadakan suatu peningkatan pengetahuan dan keterampilan pegawai yang menangani pembukaan L/C dan pemeriksaannya

3. Seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi perdagangan, pemerintah hendaklah memberlakukan kebijakan-kebijakan baru yang berpengaruh pada kemajuan perekonomian di Indonesia.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Muhammad, 1998, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.


(4)

Alfred Hutauruk, 1983, Sistem dan Pelaksanaan Ekspor, Impor, dan Lalu Lintas Devisa di Indonesia, Erlangga, Jakarta.

Amir M. S, 1992, Pengetahuan Bisnis Ekspor Impor, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

______, 1993, Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri, PT Pustaka Binaman

Pressindo, Jakarta.

______, 1996, Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Impor, PT Pustaka Binaman Pressindo,

Jakarta.

______, 1999, Kontrak Dagang Ekspor, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1995, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.

Ahsjar, Djauhari, 2007, Pedoman Transaksi Ekspor Impor, Prestasi Pustaka Raya, Jakarta.

Dirdjosisworo, Soedjono, 2006, Pengantar Hukum Dagang Internasional, PT Refika Aditama, Bandung.

Djauhari, Amirullah, 2002, Teori dan Praktek Ekspor Impor, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980, Pembukaan Kredit Berdokumen, Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

Faisal Salam, Mochammad, 2001, Pertumbuhan Hukum Bisnis di Indonesia, Penerbit Pustaka, Bandung.

Hartono Hadisoeprapto, 1984, Kredit Berdokumen Cara Pembayaran Dalam Jual Beli Perniagaan, Liberty, Yogyakarta.

Mahadi, 1989, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fuady, Munir, 1999, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.


(5)

______, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Keempat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rahmat M.Z, 1994, Tanya Jawab Kredit Berdokumen, Remadja Karya, Bandung.

Ramlan Ginting, 2000, Letter of Credit, Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Roselyne Hutabarat, 1997, Transaksi Ekspor Impor, Erlangga, Jakarta.

Salim H.S, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUHPerdata, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Satrio J, 1992, Hukum Perjanjian, PT.Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Setiawan R, 1990, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta.

Peraturan perundang-undangan :

Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1982, tentang Ekspor Impor dan Lalu Lintas Devisa.

Subekti R dan Tjitrosudibio R, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.

Subekti R dan Tjitrosudibio R, 2002, Kitab Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, Pradnya Paramita, Jakarta.

Surat Edaran Direksi BI No. 16/4/BPPP tahun 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif.

Surat Edaran BI No. 26/4/BPPP tahun 1993 tentang Penggolongan Kredibilitas Kredit.

Undang-Undang No. 32 tahun 1964 tentang Devisa. .


(6)