8. “Miftâh Dâr Al-Sa’âdah.” Buku ini memuat informasi dan
keutamaannya, tentang hikmatullah dalam penciptaan makhluk dan penurunan syari’atnya, serta tentang kenabian dan urgensinya. Serta
pembahasan-pembahasan lainnya seputar masalah ini. 9.
“Madārij al-Sâlikîn Baina Manazila Iyyaka Na’budfu wa Iyyaka Nasta’in.” Ini merupakan buku terbaik dari karya Ibn Qayyim untuk
membina jiwa dan akhlak, agar berperilaku seperti orang-orang bertakwa yang jujur, yang bersih jiwanya dengan takwa dan bersinar
hatinya dengan hidayah Allah Swt.
36
BAB III LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN ZUHUD
A. Pengertian Zuhud Menurut Para Pakar
Secara etimologi zuhud arab; berasal dari akar kata
الزﻩادة - الزﻩذ
yang berarti meninggalkan, menjauhi, tidak memperhatikan, tidak menyukai dan
36
Al-Jamal, Biografi 10m Imam Besar, h. 242
memandang hina, remeh, rendah. Sedangkan makna kata dari
زﻩد - يذﻩد - زﻩدا
adalah
ترك لدنيا للعبادة
: meninggalkan kesenangan dunia untuk beribadah.
37
Kata zuhud z,h dan d sendiri, menurut Abû Bakr Muhammad al-Warrâq w.290 H903 M, mengandung arti tiga hal yang mesti ditinggalkan. Huruf z
berarti zinah perhiasan, kehormatan huruf h berati hawa keinginan dan huruf d menuju kepada dunia dunia materi.
38
Zuhud pada hakikatnya ialah menjauhkan dunia dari hati dan pikiran sehingga ia tampak kecil dan tak berarti. Ketika itu seorang hamba akan
merasakan ketiadaan dunia, ia hanya mencintai dan mengutamakan yang sedikit saja daripadanya, dan hal ini apabila ditinjau dari aspek batiniahnya. Adapun
apabila ditinjau dari segi lahiriahnya, maka seorang yang berzuhud hendaknya berpaling dari urusan harta benda dunia, meski ia mampu dan kuasa
mengumpulkannya. Apa yang diambilnya dari harta benda hanyalah sekedar pencukupan kebutuhan dirinya.
39
Dalam tasawuf, zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepaskan ikatan hati dengan dunia. Maka di dalam
tasawuf zuhud diberi pengertian dan diamalkan secara bertingkat. Pada dasarnya zuhud dibedakan pada tingkat awal biasa dan zuhud bagi ajaran sufi. Misalnya
Abu Sulaiman al-Darani mengatakan bahwa “sufi itu suatu ilmu dari ilmu-ilmu
37
A.W Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif,1997, cet. ke-14, h. 588
38
Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya; Mengurai Maqâmat dan Akhwal Dalanm Tradisi Sufi, Jakarta; Prenada, 2005, cet. Ke-1, h.60.
39
Habib Abdullah Haded, Nasehat Agama dan Wasiat Islam, Bandung: Gema Risalah Press,1993, hal.457.
tentang zuhud. Maka tidak pantas mengenakan kain Suff dengan uang tiga dirham ditangannya tetapi di dalam hatinya menginginkan lima dirham.
40
Pada tempat lain Abu Sulaiman al-Darani mengatakan bahwa “ zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang melalaikan hati dari Allah”. Menurut al-
Junaidi zuhud ialah “mengosongkan tangan dari harta dan mengosongkan hati dari pencarian mencari sesuatu. Sejalan dengan itu pula Ruwaim Ibn Ahmad
mengatakan bahwa “zuhud adalah memandang kecil arti dunia dan menghapus pengaruhnya dari hati.
41
Syibli mengatakan bahwa: “zuhud itu engkau berzuhud terhadap apa selain Allah.” Dan Malik bin Dinar berkata: “kebanyakan manusia mengatakan bahwa
Malik bin Dinar adalah seorang zahid , sedangkan zahid yang sebenarnya adalah Umar bin Abdul Aziz, dimana dunia ada di tangannya tapi tidak
mempedulikannya.” Akan tetapi Syibli kembali berpandangan dan mengatakan: “zuhud yang sebenarnya tidak ada, lantaran adakalanya dia berzuhud karena tidak
punya sesuatu, itu bukan zuhud. Atau adakalanya dia zuhud sedangkan dunia ada padanya. Bagaimana mungkin bisa berzuhud kalau seandainya dunia ada
padanya.
42
Tampak sekali dari cuplikan pengertian zuhud tersebut, ada sedikit perbedaan kesan yang dikandungnya. Pendapat Malik bin Dinar nampaknya lebih
“moderat” dibanding dengan pendapat yang lainnya, karena bisa saja orang yang dilimpahi kekayaan dunia di tangannya bisa disebut seorang zahid. Tapi dengan
syarat dia tidak terlena dengan kemewahan dunia. Tidak merasa bangga atas
40
simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, cet. Ke-1, h.58
41
Amin Syukur,
Zuhud Di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, cet. Ke-1, h.2
42
Simuh, Tasawuf Dan Perkembangan Dalam Islam,
h.58-59
kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan di tangannya. Hartanya digunakan sebagai alat untuk lebih
taat istiqomah dalam beribadah kepada Allah, semakin rajin menolong sesama dan akhlaqnya semakin mulia.
Pandangan tersebut kelihatannya sejalan dengan pandangan Abu al-Wafa al-Taftazani, yang berpendapat bahwa: “zuhud bukanlah kependetaan terputusnya
kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi. Mereka tetap
bekerja dan berusaha. Namun kehidupan duniawi tidak menguasai kecendrungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari
Tuhan.
43
Kaum Sufi yang lain memandang zuhud sebagai sebuah sikap yang tidak dikuasai dunia, bukannya memusuhi dunia. Secara lebih luas, zuhud dalam
pandangan al-Syiblî berarti menjauhkan diri dari segala susuatu selain Allah. Jadi dalam pandangan kaum sufi ini, zuhud adalah sebuah hikmah pemahaman yang
membuat mereka memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak
menguasai kecenderungan kalbu mereka serta membuat mereka lalai apalagi ingkar kepada Allah.
44
Menurut Abû Hasan al-Syâdzili w.658 H1258 M, meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebihan dalam
memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya
43
Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997, cet. ke-1, h. 3
44
Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, h.60
menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaiki-baiknya sesuai petunjul Allah dan rasul-Nya.
45
Secara eksplisit kata zuhud hanya disebut sekali dalam al-Qur’an yaitu dalam surat Yusuf ayat 20:
☺
Adapun penjelasan ayat-ayat yang lain di dalam al-Qur’an tentang zuhud diantaranya adalah sebagai berikut :
Firman Allah dalam surat Asy-Syura ayat 20:
⌧ ⌧
“ Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginyadan barangsiapa menghendaki keuntungan di
dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.”
Dalam surat al-Anfal ayat: 28,
☺ ☺
“Dan ketahuilah hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.”
Kemudian dalam surat Yunus ayat: 7
45
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarak di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005, cet. Ke-2, h.74.
☺ ⌧
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan tidak percaya akan pertemuan dengan kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia
serta merasa tentram dengan kehidupan itu an orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami.”
Di lanjutkan dengan ayat:8
☺
“Mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka
kerjakan.” Masih dalam pemahaman tentang zuhud, Imam al-Ghazali berpendapat
bahwa “zuhud merupakan kesimpulan menghindarkan diri dari segala keinginan jiwa yang tidak patut apalagi terlarang dan beralih kepada sesuatu yang lebih baik
dan lebih utama, karena menyadari bahwa yang harus ditinggalkan tadi adalah sesuatu yang hina dan tercela sedang yang dipakai adalah yang mulia dan
terpuji.
46
Riwayat At-Turmudzi menjelaskan bahwa: Berzuhud di dunia bukanlah dengan cara mengharamkan segala yang halal atau menyi-nyiakan harta kekayaan.
Tetapi berzuhud di dunia artinya, kamu mengencangkan genggaman tangan terhadap apa-apa yang dikuasai Allah, dan menjadikan balasan musibah jika kamu
ditimpanya lebih kamu sukai, sekalipun musibah itu datang terus menerus.
47
46
Imam al-Ghazali, Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mu’min,terj. Abdai Rathomy, Bandung: CV Dipongoro, 1996, h.965
47
Syaikh Zainuddin Al-Malibary, Irsyadul ‘Ibad; Panduan Kejalan Kebenaran, terj. Muhammad Zuhri, Ibnu Muchtar Semarang: Cv Asy-Syifa, TT, h. 155
Sementara itu Hamzah Ya’qub juga berpendapat bahwa: “zuhud bila diartikan sesuai dengan syariat semangat Islam dapat diformulasikan sebagai
berikut: Menghindari perbudakan harta benda, menerima nikmat Allah dengan qana’ah, cenderung dan mengutamakan ganjaran pahala akhirat, memilih hidup
sederhana karena percaya bahwa khazanah rezeki yang tidak terkira ada di tangan Allah, rajin bekerja, dan berderma, sabar , menjauhi syubhat dan tidak meminta-
minta.
48
Imam Ahmad bin Hambali, yang terkenal sebagai faqih yang “formalistis” beranggapan bahwa: “Zuhud bukan asketisisme dalam artian keadaan atau corak
kehidupan yang dijalani oleh orang yang menolak masalah-masalah duniawi atau mazhab pemikiran yang meletakkan semua tekanan pada segi-segi bendawi
kehidupan manusia. Tetapi zuhud adalah asketisisme dalam artian hidup sederhana berdasarkan motif keagamaan.
49
Itulah berbagai macam pandangan dan pengertian zuhud menurut para pakar pakar tasawuf. Jadi jelas hidup zuhud bukan berarti hidup miskin atau
enggan bekerja, sehingga hidup melarat. Hidup zuhud harus dipahami secara benar dan mendalam. Sehingga zuhud tidak melemahkan etos kerja. Seorang
zahid boleh saja kaya raya asalkan hatinya tidak terlena dan tejerat oleh kemewahan dunia. Tegasnya seorang zahid baik itu dalam keadaan kaya atau
dalam keadan miskin, hatinya tetap terpaut kepada Allah, kekayaan ataupun kemiskinan tidak menjadi halangan untuk tetap taat dan mengabdi pada Allah
SWT.
48
Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mu’min, Jakarta: AV. Atisa, 1992, cet. Ke-4, h.288
49
Jalaluddin Rahmat, Islam Al-Ternatif; Ceramah-Ceramah Di Kampus, Bandung: Mizan, 1991, cet. Ke-4, h. 99
B. Asal-Usul Zuhud