BAB IV ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH
A. HAKIKAT ZUHUD
Ibn Qayyim al-Jawziyyah memiliki kemampuan untuk memakmurkan hatinya dengan keyakinannya kepada Allah, selalu merasa fakir dan di hadapan
Allah kembali dan bersimpuh. Di samping itu ia memiliki kekayaan yang cukup besar, serta kedudukan yang cukup tinggi di antara para ulama yang berkomitmen.
Ia memiliki kerinduan dan cinta yang memenuhi seluruh hatinya, ia memakmurkan hatinya dengan ketergantungan kepada Allah baik dalam kondisi
sepi ataupun ramai, dengan berdzikir sehingga ibadahnya menduduki posisi sebagai pengobatan dan penyembuhan serta olah raga bagi jiwa.
Maka tidak terlalu mengherankan jika beliau hidup zuhud di dunia serta rendah hati. Baginya fenomena dunia yang menipu telah sirna dalam dirinya
setelah nyata bahwa hakekatnya adalah kebinasaan.
70
70
Syaikh M. Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Besar Imam, terj. Khalid Musleh, Imam Awaluddin, Jaakarta: Pustaka Al-Kautsar 2005, cet. ke-1, h. 230
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir; Salah satu muridnya berkata, ”Bacaan dan etikanya sangat baik, banyak berlemah lembut, tidak pernah hasad dan dengki
kepada siapapun, tidak pula menyakiti dan mencela mereka. Secara umum kepribadiannya dipenuhi oleh kebaikan dan akhlak yang mulia.” Al-Imam Ibn
Katsir juga sangat bangga bisa bergaul sdengan beliau, dan dapat mencintainya, hingga suatu ketika ia berkata, ”saya termasuk teman beliau yang paling akrab dan
paling ia senangi.”
71
Makna zuhud menurut Ibn Qayyim adalah ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya. Syarat
sesuatu yang tidak disukai haruslah berupa sesuatu yang memang tidak disukai dengan pertimbangan tertentu. Sehingga zuhud bukanlah sekedar meninggalkan
harta dan mengeluarkannya, tetapi zuhud ialah meninggalkan dunia karena didasarkan pada pengetahuan tentang kehinaannya.
72
Beliau berpandangan bahwa cinta kepada akhirat tidak akan murni kecuali dengan zuhud terhadap dunia, dan zuhud terhadap dunia tidak akan terwujud
kecuali setelah memiliki dua pandangan sebagai berikut: 1.
Memandang dunia sebagai sesuatu yang rendah, cepat sirna dan fana. Selain dunia adalah tempat berbagai keletihan dan perjuangan
sehingga si pencari dunia selalu dikungkung kesusahan. 2.
Memandang akhirat sebagai suatu yang abadi dan mengandung aneka ragam kebaikan dan kenikmatan.
73
71
Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 229
72
Imam Ahmad bin Hanbal, Zuhud Cahaya Kalbu, terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Darul Falaf,2003, cet. Ke-2, h. xvi.
73
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Al-Fawa’id; Menuju Pribadi Takwa, terj. Munirul Abidin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000, cet. ke-3, h.102
Pembagian yang ada ini bersifat keharusan, seorang hamba tidak akan terlepas dari pembagian tersebut. Memilih dunia daripada akhirat jelas berasal dari
iman yang rusak. Ibn Qayyim berkata: ”bahwa Rasul dan para sahabt meletakkan dunia di belakang punggung, mereka tidak antusias padanya, lalu dilemparkannya
dan tidak disenanginya lagi dan mereka tidak condong padanya. Bila kedua pandangan ini telah dimiliki oleh seorang hamba, maka ia akan
mendahulukan apa yang di prioritaskan oleh akalnya dan akan bersikap zuhud terhadap sesuatu dunia yang memang semestinya ia harus berzuhud
terhadapnya. Setiap orang cenderung untuk mengambil kehidupan dunia dan kesenangan hari ini yang bersifat temporer dan tidak mempedulikan kehidupan
akhirat dan kesenangan hari esok yang kekal. Kecuali jika ia mengetahui bahwa kehidupan akhirat lebuh baik daripada kehidupan dunia dan kecendrungan
cintanya terhadap kesenangan abadi lebih kuat daripada cintanya kepada kesenangan sementara.
74
Manakala seseorang mengutamakan dunia atas akhirat, berarti ia tidak mengetahui hakikat keduanya mungkin juga ia mengetahui hakikat keduanya,
namun kecintaannya kepada dunia telah mendominasinya. Jika demikian berarti iman dan akalnya lemah. Malah orang yang tidak meyakini bahwa akhirat itu
lebih baik dan lebih afdal daripada dunia dapat dikatakan pula bahwa orang yang demikian itu tidak memiliki Iman.
75
Orang-orang yang paling terpedaya adalah mereka yang tertipu oleh kesenangan hidup di dunia yang mereka rasakan, sehingga mereka lebih
74
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Pesan-Pesan Spiritual Ibn Qayyim, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. ke-2, h. 85
75
Al-Jawziyyah, Pesan-Pesan Spiritual Ibn Qayyim, h. 85
mementingkan kehidupan dunia daripada kesenangan akhirat. Mereka merasa lebih senang di dunia daripada di akhirat.
Dengan tutur katanya yang baik lagi bijak, Ibn Qayyim berkata dengan perkataan yang hikmah, “Seseorang yang mencintai dunia, maka dunia akan
menjadi tuan baginya sehingga ia akan dijadikannya sebagai budak dan hambanya serta dihinakannya. Sebaliknya, jika seseorang memusuhi dunia akan
melihat kebesarannya, sehingga dunia akan mengabdikan diri dan tunduk kepadanya.
76
Jika hati berzuhud terhadap kenikmatan dunia, maka ia akan mencari kenikmatan akhirat. Dan jika ridha terjadap kenikmatan dunia ia akan
meninggalkan akhirat.
77
Dari pada itu, sehingga sebagian mereka ada yang mengatakan, “Kesenangan dunia adalah sekarang, sedangkan kesenangan akhirat ditangguhkan.
Yang sekarang itu lebih baik daripada yang ditangguhkan. Sebagian lagi mengatakan, “Kenikmatan di dunia itu suatu yang pasti, sedangkan kenikmatan di
akhirat itu masih diragukan.
78
Jika orang-orang merasa kaya dengan dunia, maka hendaklah merasa kaya dengan Allah, dan kalau orang lain bangga denga harta yang melimpah, maka
hendaklah bangga dengan Tuhanmu. Jika manusia tenang dengan kekasih mereka, maka hendaklah tenang dengan Allah. Seorang zahid berpesan; ”Tinggalkanlah
dunia sebagaimana mereka telah meninggalkan akhirat, dan jadilah engkau di dunia ini laksana lebah yang hanya memakan yang baik-baik dan hanya memberi
76
Al-Jawziyyah, Al-Fawa’id; Menuju Pribadi Takwa, h. 109
77
Al-Jawziyyah Al-Fawa’I; Menuju Pribadi Takwa, h. 107
78
Ibn Qayyim Al-Jawziyah, Siraman Rohani Bagi yang mendambakan Ketenangan Hati, terj. Arif Iskandar, Jakarta: Lentera Basritama, 2000, cet. ke-1, h.
yang baik-baik, jika hinggap pada sesuatu, ia tidak merusak atau menghancurkannya.
79
Berbeda dengan orang-orang yang bertakwa. Mereka tidak tergoda oleh cinta kedudukan dan dunia sehingga mereka tidak memprioritaskan atas akhirat.
Mereka tetap berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunah. Selain beristi’anah meminta bantuan dengan sholat dan kesabaran serta selalu berpikir tentang
kefanaan dunia serta kerendahannya.
80
Inilah gambaran terhadap lemah dan kuatnya iman. Dalam hal berzuhud, seorang zahid haruslah terlebih dahulu menanamkan dalam dirinya akan keimanan
yang kuat. Sehingga dalam melaksanakannya tidak akan ragu. Seseorang yang dapat dikatakan zahid sebenarnya bukanlah yang
meninggalkan seluruh hartanya. Melainkan bagaimana seseorang dapat bersikap balance di antara dunia dan juga akhirat. Inilah hakikat zuhud yang sesungguhnya
menurut beliau. Tidaklah benar seseorang yang hanya mementingkan akhiratnya saja
lebih-lebih mementingkan keduniawiannya. Dalam hal ini memang sangatlah di perlukan keimanan dan juga ketakwaan kita. Sebenarnya, dunia diciptakan
sebagai tempat cobaan bagi manusia. Sehingga akal manusia amatlah diperlukan. Ibn Qayyim pun berkata: “Akhirnya aku menyadari bahwa yang paling baik
adalah yang di tengah-tengah. Lebih tidak, kurang pun tidak.”
81
Ibn Qayyim beranggapan bahwa tidaklah baik terlalu berlebih-lebihan dalam berzuhud. Karena sikap yang demikian ini hanya akan membawanya
79
Al-Jawziyyah, Al-Fawaaid, Pesan-pesan Spiritual Ibn Qayyim, h.109
80
Al-Jawziyyah, Pesan-Pesan Spiritual Ibn Qayyim, h. 85
81
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menag Dalam Hidup, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2005, cet. ke-2, h. 86
kepada sifat yang riya. Di mana sikap seperti ini adalah suatu kesalahan dan telah keluar dari jalan yang telah dituntunkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat
beliau baik secara nagli maupun secara akal sehat. Dalam melakukan kezuhudannya, di antara orang-orang zuhud ada yang
merasa kuat baik berada di masjid atau hanya duduk-duduk dan berdzikir di zawiyyah ‘tempat persemedian’. Mungkin juga mereka beralasan tentang
kesendiriannya itu, “ia khawatir jika keluar akan melihat berbagai kemunkaran.” Sebagian dari mereka ada juga yang tidak pernah mengunjungi orang lain atau
pun teman-temannya.
82
Sebagian dari mereka pun ada yang tidak mau memakan makanan adonan segar. Yang lainlagi hanya memakan makanan yang sedikit sehingga ia tidak
memperdulikan kondisi badannya, dan juga ada yang memakai pakaian yang seadanya dengan menggunakan pakaian yang sudah kumel dan lain sebagainya.
Dalam hal ini ada sebuah kisah, di mana ketika Farqad as-Sabkhi datang ke rumah Hasan al-Bashri yang pada saat itu sedang makan ‘faludzaj’.
83
Hasan kemudian berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang makanan ini? Aku tidak
makan karena aku tidak menyukainya.” Hasan al-Bashri berkata: apakah makanan yang seperti ini tidak disukai oleh seorang muslim diharamkan?”
Ada pula seorang pria yang datang menemui Hasan al-Bashri, kemudian berkata: Aku mempunyai seorang tetangga yang tidak mau makan ‘faludzaj’.
Hasan bertanya kenapa? Ia menjawab, “Tetanggaku mengatakan ia tidak mampu mensyukuri kenikmatan dari makanan mewah seperti itu.” Lalu Hasan
82
Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menag Dalam Hidup, h. 458
83
Sejenis makanan yang istimewa. Makanan ini berasal dari campuran madu dengan gandum dan ditambah minyak sapi.
berkomentar, “Tetanggamu itu adalah orang yang bodoh dan tidak tahu. Jika demikian apakah ia juga tidak mampu untuk mensyukuri nikmat yang didapatnya
dari segelas air yang dingin.?
84
Ibn Qayyim menanggapi kejadian tersebut dengan mengatakan bahwa sebenarnya, bagi orang yang seperti itu telah tertutup jalan kebenaran bagi dua
arah. Sebab utamanya adalah kebodohan mereka sendiri. Mereka tidak mengetahui bahwa Nabi saw dan para sahabatnya tidak pernah melakukan hal
yang seperti itu. Rasulullah ,makan daging ayam, menyukai yang manis-manis dan madu.
85
Jika hal-hal tersebut dianggap sebagai cara hidup zuhud. Maka sesungguhnya semua itu sangat bertentangan dengan cara hidup Rasulullah dan
para sahabatnya. Pertentangan terjadi secara sisi syari’at dan cara hidup bijak. Jika ada sebagian orang yang hendak memprotes dan mengatakan: “Bahwa sikap
seperti ini menentang kebaikan dan sifat zuhud itu sendiri.” Padahal tidaklah demikian adanya. Karena, sikap zuhud mereka itu sudah melampaui batas. Di
mana Rasulullah saw sendiri pernah bersabda: “Setiap amal yang tidak dilandaskan pada perintah kami syari’at, maka
amalan itu tersebut tertolak.” Ibn Qayyim pun menegaskan janganlah terpesona dengan cara ibadah
yang dilakukan oleh banyak orang yang mengaku zahid, namun sebenarnya amalan mereka jauh menyimpang dari jalan yang digariskan Rasulullah dan tidak
juga para sahabatnya. Misalnya dengan cara berpura-pura khusyuk yang berlebihan, berpura-pura menjalani hidup dengan amat sederhana yang luar biasa
84
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Bisikan Hati Ibnu Jauzi, terj. Ibnu Ibrahim, Jakarta: Pustaka Azzam, 1998, cet. ke-1, h. 78
85
Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup, h. 87
dan hal-hal yang mungkin dianggap oleh orang-orang awam sebagai sesuatu yang sangat baik.
86
Hal yang demikian inilah yang ditakutkan oleh Ibnu Qayyim. Beliau khawatir dengan berzuhud yang terlalu over atau berlebihan hanya akan
mendatangkan sikap takabur dan menjadi riya. Sehingga seorang zahid harus lebih mengetahui lagi makna apa yang terkandung atau hakikat yang bagaimana
sebenarnya yang terkandug di dalam kezuhudan itu sendiri. Sikap zuhud yang demikian itu muncul karena kurangnya ilmu
pengetahuan yang mereka miliki. Sehingga mereka merasa benar dengan apa yang dilakukannya. Maka dari itu menurutnya, memohonlah kepada Allah akan
ilmu yang bermanfaat. Sebab, ilmu itu adalah dasar. Apabila ilmu itu dapat diraih, maka dengan ilmu kita dapat mengenal Allah dengan sebaik-baiknya dan berbakti
kepada-Nya sesuai dengan apa yang diajarkan dan disenangi-Nya. Dan dengan ilmu pun kita dapat merasakan suatu keikhlasan dalam menjalani hidup.
Dalam ungkapan bijaknya beliau berkata: “Beberapa keinginan dunia laksana permainan dan hayalan saja. Sedangkan pandangan orang awam terbatas
hanya pada lahiriahnya dan orang yang berakal akan melihat dari balik tabir.
87
Ibn Qayyim pun pernah menjalani kehidupan zuhud yang pada waktu itu beliau hampir meninggalkan keluarganya. Ibn Qayyim mulai menjauh dari dunia
dan beliau pun mulai mengganti pakaiannya dengan pakaian lusuh dan makan dengan cara yang sangat sederhana. Namun yang terjadi adalah beliau merasakan
tubuhnya tak berdaya.
86
Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup, h. 89-90
87
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, AlFawa’id, terj. Mahrus A’li, Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2000, cet. ke-1, h.48
Ibn Qayyim kembali larut dalam khalwatnya. Beliau pun berkata: ”Saya ingin seperti para ulama, namun badanku tak kuasa untuk menuntut ilmu. Aku
ingin seperti para zahid, namun badan tak lagi mampu untuk berzuhud.” Beliau merasa hal yang demikian hanyalah bisikan setan. Kemudian beliau berkata: ”Jika
aku berzuhud dalam caramu, maka habislah apa yang ada dalam genggamku dan apapun yang menjadi hajat keluargaku.” Uzlah yang benar adalah menghindarkan
diri dari keburukan bukan dari hal-hal yang baik. Kisah ini diambil dari karya beliau yang berjudul Shaidul Khathir; cara manusia cerdas menang dalam hidup.
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, banyak sekali orang berbicara tentang zuhud. Semua berbicara tentang pengalamannya, kondidi dan keadaannya. Orang-
orang lebih mengunggulkan berbicara mengenai kondisi pengalamannya. Padahal, berbicara atas dasar ilmu lebih luas dan lebih tepat daripada berbicara dengan
dasar pengalaman. Selain itu, lebih tepat dari sisi penjelasan. Sebenarnya bukanlah dunia itu yang harus kita hindari. Melainkan yang
layak dihindari adalah segala hal yang tidak dihalalkan dan segala sesuatu yang sifatnya berlebihan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang
zahid bukanlah meninggalkan segala hal yang mubah dalam arti baik melainkan dapat meninggalkan segala hal yang merugikan dan seorang zahid haruslah bisa
membedakan di antara keduanya. Pada hakikatnya bukanlah dunia yang tercela, tetapi yang tercela adalah
perbuatan hambanya. Dunia adalah jembatan yang akan menghantarkan hamba menuju surga atau neraka. Namun ketika kehidupan dunia ini didominasi oleh
hawa nafsu, keinginan untuk meraih keberuntungan, kelalaian, kehidupan jauh dari Allah dan juga kehidupan akhirat. Sehingga keadaan yang seperti inilah yang
akan meliputi para penghuni dunia dan kehidupannya di sana, dengan demikian dunia akan tercela dalam keadaan bagaimanapun.
88
Riwayat Ad Dailami menegaskan, “Tinggalkanlah dunia untuk ahli- ahlinya, karena barangsiapa menambil dunia melebihi kapasitas kegunaannya,
maka ia telah mengambil kematiannya tanpa ia sadari.”
89
Apabila ada seseorang yang mengaku dirinya sebagai orang yang zahid, kemudian ia menolak untuk berusaha dan mengatakan, “Aku tidak akan makan,
tidak akan minum dan tidak akan menghindar dari panas matahari disaat terik dan tidak akan menghangatkan disaat dingin menggigil, maka orang semacam ini
secara ijma’ sudah dianggap berbuat maksiat atau membuat kesalahan kepada Allah dan dirinya sendiri.”
90
Begitu pula jika ia mengatakan, “Aku tidak akan mencari rizki dan aku serahkan rizki keluargaku kepada Allah semata, lalu keluarganya ditimpa musibah
kelaparan seperti sakit dan lainnya, maka ia telah berbuat dosa kepadaAllah.”
91
Janganlah tergoda dengan omongan kacau mereka yang berpura-pura zuhud yang selalu mengurangi makan secara tidak wajar. Hal itu dapat
mengakibatkan dirinya tidak mampu melakukan pekerjaan yang wajib. Sebenarnya hal yang demikian itu tak pernah dicontohkan Rasulullah dan para
sahabat-sahabatnya. Jika Rasulullah tidak makan dan mereka lapar itu seringkali
88
Al-Jawziyyah, Uddatu Ash-Shabiriin Wa Dzakiratu asy-Syakiriin; Indahnya Sabar, Jakarta: Magfirah Pustaka,2007, cet. Ke-2, hal.257
89
Syaikh Zainuddin Al-Malibary, Irsyadul ‘Ibad; Panduan Ke Jalan Kebenaran, terj. Moh. Zuhri, Ibnu Muchtar, Semaramg: Cv Asy-Syifa, TT , h.155
90
Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Bisikan Ibnu Jauzi, h.77
91
Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Bisikan Ibnu Jauzi, h.77
disebabkan mereka selalu mendahulukan orang lain, kemudian mereka bersabar karena darurat.
92
Ibn Qayyim menegaskan bahwa generasi Islam yang pertama itu adalah para sahabat Rasulullah, dimana mereka itu bekerja dan mencari nafkah serta
cenderung untuk meninggalkan harta benda yang banyak bagi ahli waris mereka. Oleh karena itu kembalilah kepada generasi Islam pertama yang masih murni.
Dan hendaknya kita tidak mengikuti ajaran-ajaran yang didasarkan pada pandangan yang salah.
Sebenarnya anjuran untuk zuhud di dunia merupakan teguran agar tidak selalu mementingkan kehidupan duniawi, sehingga mengabaikan urusan akhirat.
Semua itu dimaksudkan agar manusia berada pada derajat yang terbaik di sisi Allah sebagai balasan dari apa yang telah mereka kerjakan di dunia.
Sungguh amatlah disayangkan jika seorang zahid, demi kezuhudannya harus menelantarkan keluarganya dan menyiksa dirinya sendiri. Karena yang
demikian itu hanya akan membuat kerugian pada dirinya. Memang berzuhud itu di haruskan tapi tidak dengan hal yang berlebihan.
Adakalanya sebelum berzuhud terlebih dahulu memahami akan hakikat zuhud itu sendiri. Yang mana Ibn Qayyim telah menjelaskan, pada hakikatnya zuhud itu
adalah yang dapat mengimbangi antara kehidupan dunia dan akhirat. Berlebihan dalam hal kehidupan dunia tidak dibenarkan, lebih mementingkan akhirat pun
adalah tidak benar.
92
Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup, h.194.
B. TINGKATAN ZUHUD