Hal-hal Yang Menyebabkan Seseorang Dihukum Pancung

kepada orang lain yang tidak bersalah. Terkait dengan persoalan, jika pelaku pembunuhan telah meninggal sebelum dihukum mati, apakah ahli waris korban boleh mengambil diyat dari harta pembunuh tersebut atau tidak, para ulama kebanyakan jumhur ulama menjawab tidak boleh. Dikarenakan hukuman hanya berlaku bagi si pembunuh, sehingga bila ia telah meninggal dunia, maka dengan sendirinya semua hukumannya gugur, termasuk pula diyatnya. 29 b. Pelaku dimaafkan ahli waris Hukuman mati dianggap daluarsa atau gugur jika ahli waris korban pembunuhan memaafkan pelaku. Pemberian maaf oleh ahli waris korban dalam hukum Islam dibolehkan, bahkan dianggap sebagai perbuatan yang mulia, sebagaimana dalam firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 178                                          ﺒﻟا ﻘ ةﺮ 2 : 178 dan Surat Al-Maidah ayat 45. Makna maaf dalam qishash adalah ahli waris korban tidak meminta sedikitpun kompensasi berupa materi atau lainnya dari si pembunuh maupun dari ahli waris pembunuhnya. Namun, bila si pembunuh maupun keluarganya memberikan sesuatu sebagai tanda kebaikan dan sama-sama ridha, maka itu tidak terlarang dalam syariat. Tidak dilarang pula menerima diyatnya jika setelah dimaafkan lalu pembunuh membayar diyatnya. 29 Abdurrahman Madjrie, Qishash:Pembalasan yang Hak, Jakarta: Khairul Bayan, 2003, h. 15 c. Kedua Belah Pihak Berdamai Dalam hukum Islam, adanya kesepakatan damai antara ahli waris korban dengan pelaku pembunuhan dapat menggugurkan hukuman mati qishash, baik kesepakatan damai tersebut terkait soal diyat atau tidak, atau juga terkait dengan kompensasi tertentu yang bisa menghasilkan perdamaian. Semua jenis perdamaian untuk menggugurkan hukuman mati dibolehkan asalkan tidak menyalahi aturan hukum Islam. Terkait persoalan diyat, maka jumlah diyatnya tidak boleh melebihi ketentuan hukum. Dengan kata lain, damai yang disyariatkan adalah menerima kompensasi atau diyat yang sewajarnya, sesuai kemampuan pelaku pembunuhan. Damai yang dianjurkan oleh hukum Islam adalah agar qishash berkenaan dengan darah kaum muslimin itu digugurkan, dan itu bisa dilaksanakan apabila kedua belah pihak menyepakatinya. d. Belum Baligh atau Hilang Akal Jika pembunuhan dilakukan oleh orang yang belum baligh, belum berakal, ataupun tidak berakal, maka qishash atau hukuman matinya menjadi tidak dapat dilaksanakan daluarsa. Sebagaimana hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah Gugurnya suatu hukum disebabkan oleh tiga hal: Anak yang masih kecil sampai ia baligh, orang yang gila sampai ia sembuh, dan orang yang tidur sampai ia bangun sadar.

E. Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Pancung

Hukum Islam telah membimbing dan mengarahkan tatacara ataupun etika dalam melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan yang diancam hukuman mati, yaitu: Menghukum mati dengan cara yang paling baik, eksekusi yang tidak menimbulkan rasa sakit yang berlebihan, agar si terhukum segera meninggal, misalnya dengan pedang yang sangat tajam. Hal ini didasarkan pada hadis: dari Syadad bin Aus bahwasannya Rasulullah Saw bersabda, “Apabila kalian membunuh, maka baguskanlah cara membunuhnya dan apabila kalian menyembelih, maka yang baiklah cara menyembelihnya”. 30 Bagian yang dipenggal adalah leher atau tengkuk bagian belakang kepala. Hal ini didasarkan pada hadis yang meriwayatkan tentang beberapa orang sahabat Rasulullah Saw, apabila mereka mengetahui ada seseorang yang hendak dihukum mati, maka mereka saling berkata, “Ya Rasulullah, biarkanlah aku saja yang memenggal lehernya”. Apabila si terhukum sedang hamil, eksekusinya ditunda hingga ia melahirkan dan menyusui bayinya maksimal sampai dua tahun setelah melahirkan. Hal ini juga didasarkan pada hadis Rasulullah saw. 31 Eksekusi mati tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, seperti dengan mencincangnya atau membakarnya. Hal ini didasarkan hadis Rasulullah saw, “Janganlah kalian menyiksa dengan azab Allah. Dari Abdullah bin Yazid al-Anshari, ia berkata, “Rasulullah saw melarang kita merampas dan mencincang”. 32 Eksekusi mati tidak boleh dilakukan jika si korban dalam keadaan sakit atau belum sembuh dari luka yang ditimbulkannya. Dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi si korban apakah memaafkan si pelaku atau tidak. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, ia berkata, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki dicederai dilukai, kemudian ia minta diqishashkan, maka Nabi saw melarang atau menunda qishash tersebut hingga orang yang dianiaya itu sembuh dari lukanya”. 30 Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Turmudzi dan Al-Thabrani. Lihat Muhammad Nashiruddin al- Albani, Sunan al-Turmudzi, t.t.p: al-Maktabah al-Islami, 1998, Jilid I-III 31 Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab shaheh mereka 32 Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Abi Syaibah. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.