Pengertian, Sejarah dan Nilai-nilai HAM

Setelah itu, perjuangan yang lebih nyata terlihat pula dalam Bill of Rights yang ditandatangani oleh Raja Williem III pada 1689 sebagai hasil dari pergolakan politik yang dahsyat yang bias disebut the Glorious Revolution. Glorious Revolution ini tidak saja mencerminkan kemenangan perlemen atas raja, 41 tetapi juga menggambarkan rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights itu yang berlangsung tak kurang dari enam puluh tahun lamanya. Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia banyak dipengaruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para sarjana, seperti John Locke dan Jean Jacques Rousseau. John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu. Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J Rousseau, John Locke juga mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial. Perbedaan pokok antara Hobbes dan Locke dalam hal ini adalah bahwa jika teori Thomas Hobbes menghasilkan monarki absolut, teori John Locke menghasilkan monarki konstitusional. 42 Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya homo homini lupus, bellum omnium comtra omnes. Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut ‘Leviathan’ yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai judul buku. Keadaan seperti itlak yang, menurut Hobbes, mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Itu sebabnya 41 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Djakarta: Djambatan, 1959, h. 47 42 A. Appadorai, The Subtance of Politics, Oxford University Press: Oxford India Paperbacks, 2005, h. 24-26 pandangan Thomas Hobbes disebutkan sebagai teori yang mengarah kepada pembentukkan monarki absolut. 43 Sebaliknya, John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Yang diserahkan, menurutnya, hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu. John Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang disebutnya sebagai second Treaties if Civil Government yang juga menjadi judul bukunya. Dalam instansi pertama the First trearty adalah perjanjian antara individu dengan individu warga yang ditunjukkan untuk terbentunnya masyarakat politik dan negara. Instansi pertama ini disebut oleh John Locke sebagai Pactum Unionis. Dalam instansi berikutnya yang disebutkan sebagai “Pactum Subjectionis” Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap persetujuan antar individu tadi pactum unionis terbentuk atas dasar suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak-hak yang tak tertanggalkan, yakni life, liberty serta estate, logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada masing-masing individu. Dasar pemikiran John Locke inilah yang kemudian harus dijadikan landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Sebagaimana yang kemudian terlihat dalam Declaration of Independence Amerika Serikat yang pada 4 Juli 1776 telah disetujui oleh Congres yang mewakili 13 negara baru yang bersatu. Di Amerika Serikat perjuangan hak-hak asasi manusia itu disebabkan oleh karena rakyat Amerika Serikat yang berasal dari Eropa sebagai imigran merasa tertindas oleh pemerintahan Inggris. Hal itu berlainan dengan apa yang dialami oleh bangsa Perancis yang pada abad ke-17 dan ke-18 dipimpin oleh pemerintahan raja yang bersifat absolut. Sebagai reaksi terhadap 43 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h.345 absolutism itulah, Montesquieu merumuskan teorinya yang dikenal dengan istilah “Trias Politica” yang dikemukakannya dalam buku L’esprit des Lois 1748. 44 Montesquieu berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga bagian, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga bagian tersebut harus dipisahkan baik dari segi organnya maupun dari fungsinya. Pemisahan itu menurutnya sangat penting untuk mencegah bertumpuknya semua kekuasaan di tangan satu orang. Dengan terpisahnya kekuasaan negara dalam tiga badan yang mempunyai tugas masing-masing dan tidak boleh saling mencampuri tugas yang lain, dapatlah dicegah terjadinya pemerintahan yang absolut. Sementara itu, Jean Jacques Rousseau melalui bukunya Du Contrat Social menghendaki adanya satu demokrasi, di mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Pandangan Rousseau ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke. Ketika itu, berkembang pernyataan tidak puas dari kaum borjuis dan rakyat kecil terhadap raja, yang menyebabkan Raja Louis XVI memanggil Etats Generaux untuk bersidang pada 1789. Akan tetapi, kemudian utusan kaum borjuis menyatakan dirinya sebagai “Assemble Nationale” yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili seluruh bangsa Prancis. Pada 20 Juni 1789 mereka bersumpah untuk tidak bubar sebelum Perancis mempunyai konstitusi. Selanjutnya, Assemble Nationale tersebut menyatakan dirinya sebagai Badan Konstituante. Pada 26 Agustus 1789 ditetapkanlah pernyataan Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara Declaration des droit de I’homme et du citoyen. Sesudah itu, yaitu pada 13 Desember 1789 lahirlah konstitusi Prancis yang pertama. 45 Pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga negara Prancis tersebut dapat dikatakan banyak dipengaruhi oleh Declaration of Independence Amerika Serikat, terutama berkat jasa, antara lain seorang warga negara Prancis yang bernama La Fayette yang pernah ikut berperang di 44 A. Appadorai, The Subtance of Politics, h. 516-517 45 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, h.347 Amerika Serikat. Setelah rakyat Amerika berhasil mencapai kemenangan dan American Declaration of Independence di tandatangani pada 1776, La Fayette kembali ke Prancis dengan membawa salinan naskah deklarasi tersebut. Pada waktu Prancis menyusun Declaration des droit de I’homme et du citoyen 1789, Declaration of Independence Amerika Serikat 1776 itu banyak ditiru. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya deklarasi tersebut banyak ditiru pula oleh negara-negara Eropa lainnya. Oleh karena itu, kedua naskah deklarasi, yaitu Declaration of Independence Amerika Serikat 1776 dan Declaration des droit de I’homme et du citoyen 1789 sangat berpengaruh dan merupakan peletak dasar bagi perkembangan universal perjuangan hak asasi manusia. Kedua deklarasi ini, kemudian disusul oleh The Universal Declaration of Human Rights 1948 menjadi contoh bagi semua negara yang hendak membangun dan mengembangkan diri sebagai negara demokrasi yang menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia. Kejadian lain yang juga penting yang juga terjadi dalam perkembangan hak-hak asasi manuisa adalah kemenangan demokrasi dalam pemerintahan diktator dan fascist Jerman, Italia dan Jepang pada perang Dunia II. Setelah perang Dunia II berakhir dengan kemenangan berada di pihak sekutu, melalui perserikatan bangsa-bangsa disepakatilah satu universal declaration of Human Rights di Paris pada 1948, dengan perbandingan suara 48 setuju dan 8 blanko. Meskipun Declaration of Human Rights itu tidak mengikat bagi negara-negara yang ikut menandatanganinya, diharapkan agar negara-negara anggota PBB dapat mencantumkan Undang- undang Dasar masing-masing atau peraturan perundang-undangan lainnya sehingga norma hukum yang terkandung di dalamnya dapat diberlakukan sebagai hukum domestic di masing- masing negara anggota. Undang-undang Dasar yang secara lengkap memuat ketentuan yang terdapat dalam The Universal Declaration of Human Rights tersebut adalah undang-undang dasar sementara Republik Indonesia tahun 1950 dan Konstitusi RIS. Namun demikian, dikukuhkannya naskah Universal Declaration of Human Rights ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan di semua negara. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila PBB terus berupaya mencari beberapa landasan yuridis, dengan maksud agar naskah tersebut dapat mengikat seluruh negara di dunia. Akhirnya, setelah 18 tahun kemudian, PBB berhasil juga melahirkan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights perjanjian tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya dan Covenan on Civil and Political Rights perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik. Kedua kovenan tersebut, dapat dipandang sebagai peraturan pelaksanaan atas naskah pokok Universal Declaration of Human Rights. Dengan demikian, secara yuridis meratifikasikan kedua kovenan ini, bukan saja menyebabkan negara anggota terikat secara hukum, akan tetapi juga merupakan sumbangan terhadap perjuangan hak-hak asasi manusia di dunia. Apabila diingat bahwa kedua kovenan tersebut baru dapat berlaku mengikat secara yuridis segera setelah diratifikasikan oleh sedikitnya 35 negara anggota PBB. 46 Setelah kedua kovenan ini, berbagai instrumen hukum internasional diadopsikan oleh perserikatan bangsa-bangsa untuk melengkapinya lebih lanjut. Sampai sekarang, instrumen- instrumen PBB dimaksud dapat disusun secara berturut-turut sebagai: 1. Universal Declaration of Human Rights, 1948; 2. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948; 3. International Convention on the Eliminationof All Forms of Racial Discrimination, 1965; 4. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966; 46 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, h.348-349 5. International Covenant on Civil and Political Rights, 1966; 6. Convention on Emlimination of All Forms of Disrimination against Women, 1979; 7. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, and Degrading Treatment or Punishment, 1984; 8. Convention on the Rights of the Child, 1989. Sementara itu, ada pula instrumen hak asasi manusia yang bersifat khusus di kawasan tertentu. Misalnya, dikalangan negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab Arab League telah pula berhasil menyepakati Arab Charter on Human Rights yang disahkan oleh Council of the League of Arab States pada 15 September 1994. Satu-satunya kawasan yang dikenal paling majemuk dan karena itu belum dapat memliki instrument regional hak asasi manusia yang tersendiri, yaitu kawasan benua Asia. Di kalangan tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat NGO’s, tentu sudah banyak prakarsa yang dilakukan untuk membicarakan mengenai hal ini. Dalam rangka peringatan 50 tahun Universal Declaration of Human Rights 1948, pernah diadakan suatu Euro- Asian Dialogue di antara Uni Eropa dan negara-negara ASEAN. Juga pernah diadakan dialog antara Uni Eropa dengan Cina. Akan tetapi, forum yang bersifat resmi belum pernah diadakan. Mungkin komisi hak asasi manusia Indonesia sebagai negara demokrasi yang terbesar bersama India di kawasan Asia dapat mengambil prakarsa mengenai hal ini di masa yang akan datang. 47 Berbicara tentang Hak Asasi Manusia, berarti berbicara tentang hak manusia yang paling dasar dan fundamental. Setiap manusia di muka bumi berhak atas hak ini dan di mana pun tempat mereka tinggal seharusnya Hak Asasi Manusia harus dijunjung tinggi. Walaupun konteks praktis dari Hak Asasi Manusia ini tidak bisa seragam dan sama di setiap negara, tetapi setiap 47 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, h.351-352 negara setidaknya mempunyai pikiran ideal yang sama mengenai Hak Asas Manusia ini. Manusia sebagai pribadi maupun sebagai rakyat warga negara, dalam mengembangkan diri, berperan dan memberikan sumbangan dalam kehidupan, ditentukan oleh pandangan hidupnya sesuai dengan kepribadian bangsa. Pandangan dan kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, telah menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabat makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan juga makhluk sosial, tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat itulah yang dirumuskan menjadi dasar negara. Hak Asasi Manusia yang dijunjung tinggi oleh setiap negara termasuk Indonesia, harus memiliki landasan yang kuat baik dalam ideologi maupun konstitusi. Hal ini karena permasalahan tentang hak asasi manusia sangat rentan terjadi. Jadi perlu adanya ketegasan dan ketetapan yang betul-betul bisa mengatur Hak Asasi Manusia tersebut. 48 Maka dibentuklah konstitusi yang memuat pula hal-hal yang ideal atau yang dicita-citakan. Dengan demikian kehidupan ketatanegaraan menuju atau mengejar cita-cita atau sesuatu yang dinilai tinggi dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Apa yang dinilai tinggi ini akan membentuk suatu tata nilai yang terperinci dan terkait pada tatanan-tatanan kehidupan yang “membentuk” kehidupan kenegaraan. Di dalam menjelaskan 48 Wahyu Purnomo, Nilai-Nilai HAM Dalam Ideologi Negara, http:wahyouforlife.blogspot.com201005nilai-nilai-ham-dalam-ideologi-negara.html, diunduh pada Tanggal 13 Oktober 2011. perihal tujuan bernegara juga telah diuraikan bahwa masyarakat adil dan makmur yang menjadi tujuan bernegara perlu lebih dikonkretkan agar dapat dicapai dengan nyata. Secara ideal tatanan kehidupan diberi petunjuk idealismenya sesuai dengan ideologi Pancasila, dengan demikian kita akan berhadapan dengan nilai-nilai dasar. Nilai-nilai dasar ini yang akan dijabarkan ke dalam nilai-nilai instrumental di dalam garis-garis besar haluan negara. Undang-Undang Dasar 1945, menggunakan dua cara di dalam menentukan petunjuk- petunjuk tentang nilai-nilai dasar tersebut. Pertama, dengan jelas diberikan petunjuk tentang suatu tatanan dasar; Kedua, nilai suatu tatanan dasar diserahkan pada undang-undang untuk merumuskannya, artinya dengan persetujuan wakil rakyat pula. 49

B. HAM di Indonesia

a. Muatan Dalam konstitusi Berdasar sejarah sejak dari persiapan sampai berdiri dan pelaksanaan pemerintahan dapat ditegaskan bahwa Indonesia menganut sistem konstitusional sehingga masalah hak asasi manusia HAM menjadi hal yang sangat penting, sebab esensi konstitusionalisme itu sendiri pada dasarnya ada dua yakni, adanya perlindungan terhadap HAM dan adanya pembagian kekuasaan negara dengan sistem chek and balances agar pemerintahan dapat memberi perlindungan terhadap HAM. Di dalam UUD 1945 ditemukan adanya rumusan-rumusan HAM yang baik di dalam Pembukaan maupun di dalam Batang Tubuhnya. Di alinea I Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa sehingga setiap penjajahan di atas dunia harus 49 C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, h. 99 dihapuskan dari muka bumi. Bunyi alinea pertama ini jelas merupakan pernyataan mendasar tentang penerimaan dan dukungan bangsa Indonesia atas prinsip perlindungan HAM. Jika dilihat dari tujuan dan dasar negara seperti yang dimuat di dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tampak juga bahwa Indonesia sangat menekankan pentingnya perlindungan HAM. Di dalam tujuan negara disebutkan bahwa negara harus melindungi HAM dengan memfungsikan dirinya sebagai pelindung bagi segenap bangsa bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia; sedangkan dasar negara Pancasila menekankan pentingnya perlindungan bagi kemerdekaan untuk beriman kepada Tuhan dan memeluk agama Ketuhanan Yang Maha Esa, memperlakukan manusia secara adil dan beradab Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dan membangun keadilan sosial bagi rakyat Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 50 Di dalam batang Tubuh UUD 1945 terdapat sedikitnya lima butir yang diurai dalam empat pasak yang menggariskan tentang pengakuan dan perlindungan HAM, yaitu: 51 1 Kesamaan di depan hukum dan pemerintahan Ketentuan ini dimuat di dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini mengkritalisasikan pandangan bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negara dalam menegakkan hukum dan memberi kesempatan untuk aktif di dalam urusan pemerintahan dengan syarat-syarat yang berlaku bagi setiap orang. 2 Pekerjaan dan penghidupan yang layak 50 Mahfuf MD, Dasar Struktur Ketatangeraan Indonesia, Cet. Kedua, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, h. 131-132. 51 Mahfuf MD, Dasar Struktur Ketatangeraan Indonesia, Cet. Kedua, h. 132-133 Setiap warga negara juga harus mendapat kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan sebagai makhluk yang bermatabat dan tidak boleh ada pemerasan, eksploitasi, apa lagi perbudakan. Hal ini disebutkan di dalam pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Perumusan yang seperti ini menimbulkan konssekuensi bahwa setiap warga negara bukan hanya diberi peluang untuk mendapat pekerjaan tetapi juga harus dengan ketentuan tentang upah yang menjamin dapat hidup layak. 3 Berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat UUD 1945 mengatur juga tentang perlindungan HAM yang menyangkut hak berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat seperti yang dituangkan di dalam pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal 28 ini secara tegas menyatakan bahwa warga negara mempunyai hak dan kebebasan untuk berkumpul atau berorganisasi dan mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat baik secara lisan maupun secara tertulis seperti pers, namun dalam pelaksanaannya harus diatur dengan undang-undang. 4 Kebebasan Beragama Masalah kebebasan memeluk dan melaksanakan ajaran agama bagi warga negara diatur di dalam pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Seperti diketahui kebebasan untuk memeluk agama ini merupakan hak yang sangat fundamental, ketentuan ini tercantum baik di dalam the Four Freedom maupun di dalam Univeral Declaration of Human Rights yang dikeluarkan oleh PBB. 5 Mendapat pengajaran Setiap warga negara Indonesia juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan agar dapat meningkatkan taraf hidupnya. Hal ini tertuang di dalam pasal 31 yang berbunyi Bahkan dijadikan“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Kata pengajaran di sini harus diartikan sebagai pendidikan yang merupakan istilah yang lebih luas dari sekedar pengajaran. Pengambilan arti pendidikan untuk istilah pengajaran ini telah dituangkan di dalam UU yang menjadi produk hukum pelaksanaannya yakni UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. b. Pelanggaran HAM Meskipun di dalam UUD 1945 telah dicantumkan beberapa ketentuan mendasar mengenai pengakuan dan perlindungan HAM, bahkan dijadikan isi dari staatsfundamentalnorm Pembukaan, namun dalam kenyataannya dalam sepanjang berlakunya UUD 1945 telah banyak terjadi pelanggaran HAM bahkan tidak sedikit di antaranya yang dilakukan secara massif oleh aparat pemerintah. Marilah kita bahas beberapa catatan sekilas tentang pelanggaran HAM ini. Banyak sekali orang yang diduga melakukan tindak pidana ditangkap tanpa surat perintah untuk kemudian dianiaya di dalam tahanan dan dipaksa untuk mengakui perbuatannya dengan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. Terhadap mereka yang ditahan ini pun seringkali tidak diberi kesempatan untuk mendapat bantuan hukum bahkan untuk bertemu dengan penasihat hukumnya saja kadangkala dipersulit. Azas praduga tidak bersalah diperlakukan secara tidak proporsional. Adakalanya orang yang menurut rasa keadilan di dalam masyarakat harus ditahan tetapi kenyataannya tidak ditahan, sebaliknya orang yang menurut kewajaran tidak perlu ditahan tetapi kenyataannya ditahan. Tidak jaranng juga masyarakat melihat tertahan lamanya nasib suatu