Kedua, dalam hukum pidana Islam, metode penemuan hukumnya deduktif-kasuistik. Setiap peristiwa hukum diatur menurut aturan-aturan pokok yang ada dalam sumber-sumber
hukum Islam. Adanya aturan hukum terlepas dari ada tidaknya masyarakat. Hukum diberlakukan kepada siapa saja, meskipun ia tinggal sendirian di suatu pulau terpencil. Jelas berbeda dengan
metode yang digunakan oleh hukum pidana positif modern yang bersifat induktif, yaitu penciptaan aturan-aturan umum yang didasarkan pada pengamatan terhadap perbuatan-perbuatan
dan sikap anggota masyarakat. Dalam pidana positif modern hukum baru muncul apabila ada suatu komunitas masyarakat, minimal dua orang manusia. Jadi, dalam hukum positif modern,
orang yang hidup sendirian di suatu tempat tidak dibebani hukum apalagi hukuman.
25
Ketiga, konsep keadilan yang menjadi prioritas hukum pidana Islam adalah keadilan didasarkan dan ditentukan oleh keadilan Tuhan. Keadilan yang lebih mengedepankan naluri
keimanan dari pada sekedar nalar logika manusia semata. Sedangkan keadilan yang ditentukan oleh hukum pidana positif adalah keadilan yang didasarkan pada penalaran manusia logika,
yaitu keadilan yang ada dalam pikiran masyarakat.
26
C. Hal-hal Yang Menyebabkan Seseorang Dihukum Pancung
Hal-hal yang menyebabkan seseorang dihukum pancung adalah karena telah melakukan pembunuhan yang disengaja, yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia. Apabila
diperhatikan, dari sifat perbuatan seseorang dan atau beberapa orang dalam melakukan pembunuhan, maka dapat diklasifikasikan atau dikelompokkan menjadi: disengaja amad, tidak
25
Sofjan Satrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Peniadaan Pidana, h. 34
26
Sofjan Satrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Peniadaan Pidana, h. 35
disengaja khata, dan semi disengaja syibhu al-amad. Ketiga klasifikasi pembunuhan dimaksud, akan di uraikan sebagai berikut.
1. Pembunuhan Sengaja Pembunuhan sengaja amad adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
denngan tujuan untuk membunuh orang lain dengan menggunakan alat yang dipandang layak untuk membunuh.
2. Pembunuhan tidak disengaja Pembunuhan tidak disengaja khata adalah perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Sebagai contoh dapat ditemukan bahwa seseorang melakukan
penebangan pohon yang kemudian pohon yang ditebang itu, tiba-tiba tumbang dan menimpa orang yang lewat lalu meninggal dunia.
3. Pembunuhan semi sengaja Pembunuhan semi sengaja adalah perbuatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang
kepada orang lain dengan tujuan mendidik. Sebagai contoh, seseorang guru memukulkan penggaris kepada kaki seorang muridnya, tiba-tiba murid yang
dipukulnya itu meninggal dunia, maka perbuatan guru tersebut dinyatakan sebagai pembunuhan semi sengaja syibhu al-amad.
27
Sanksi hukum bagi pembunuhan adalah sebagai berikut: a. Pelaku pembunuhan yang disengaja, pihak keluarga korban dapat memutuskan salah satu dari tiga pilihan, yaitu 1
qishash, yaitu hukuman pembalasan yang setimpal dengan penderitaan korbannya, 2 diyat, yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor unta, atau 200 ekor sapi atau 1000
27
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h. 24
ekor kambing, atau bentuk lain senilai harganya. Diyat tersebut diserahkan kepada keluarga korban, 3 pihak keluarga memaafkannya apakah harus dengan syarat atau tanpa syarat. b.
Pelaku pembunuhan yang tidak disengaja, pihak keluarga diberikan pilihan, yaitu 1 pelaku membayar diyat; 2 membayar kifarah memerdekakan budak mukmin; 3 jika tidak mampu
pelaku diberikan hukuman moral, yaitu berpuasa selama dua bulan berturut-turut. c. Pelaku pencederaan dalam bentuk menusukkan bandik atau parang ke bagian perut korban maka
pelakunya dikenakan sanksi hukuman, yaitu ditusuk perutnya dengan bidik atau parang sesuai perbuatannya yang membuat korban menderita. Selain itu, dapat juga tidak dikenakan hukuman
bila pihak korban memaafkan orang yang melukainya. Dalil hukum dalam hal ini mengungkapkan bahwa mata dibalas dengan mata, telinga dibalas dengan telinga, hidung dibalas
dengan hidung, dan seterusnya.
28
D. Hal-hal Yang Dapat Menyebabkan Gugurnya Hukuman Pancung
Dalam hukum Islam, hukuman mati yang telah dijatuhkan kepada seorang pelaku tindak pidana bisa tidak berlaku daluarsa atau gugur karena beberapa sebab, misalnya pelaku
meninggal dunia sebelum dieksekusi, pelaku dimaafkan ahli waris, adanya perdamaian antara dua belah pihak serta belum balighnya pelaku atau ahli waris.
a. Pelaku meninggal dunia sebelum dieksekusi Bila pelaku kejahatan, baik membunuh atau melukai yang telah divonis mati lalu
meninggal dunia sebelum sempat dieksekusi, maka qishash yang akan dilimpahkan kepada dirinya menjadi gugur, karena sesungguhnya tempat qishash adalah pada diri pelaku kejahatan,
dan tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya. Islam tidak membebankan dosa seseorang
28
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, h. 35
kepada orang lain yang tidak bersalah. Terkait dengan persoalan, jika pelaku pembunuhan telah meninggal sebelum dihukum mati, apakah ahli waris korban boleh mengambil diyat dari harta
pembunuh tersebut atau tidak, para ulama kebanyakan jumhur ulama menjawab tidak boleh. Dikarenakan hukuman hanya berlaku bagi si pembunuh, sehingga bila ia telah meninggal dunia,
maka dengan sendirinya semua hukumannya gugur, termasuk pula diyatnya.
29
b. Pelaku dimaafkan ahli waris Hukuman mati dianggap daluarsa atau gugur jika ahli waris korban pembunuhan
memaafkan pelaku. Pemberian maaf oleh ahli waris korban dalam hukum Islam dibolehkan, bahkan dianggap sebagai perbuatan yang mulia, sebagaimana dalam firman Allah dalam Surat
Al-Baqarah ayat 178
ﺒﻟا ﻘ
ةﺮ 2
: 178
dan Surat Al-Maidah ayat 45. Makna maaf dalam qishash adalah ahli waris korban tidak meminta sedikitpun kompensasi berupa materi atau lainnya dari si pembunuh maupun dari ahli
waris pembunuhnya. Namun, bila si pembunuh maupun keluarganya memberikan sesuatu sebagai tanda kebaikan dan sama-sama ridha, maka itu tidak terlarang dalam syariat. Tidak
dilarang pula menerima diyatnya jika setelah dimaafkan lalu pembunuh membayar diyatnya.
29
Abdurrahman Madjrie, Qishash:Pembalasan yang Hak, Jakarta: Khairul Bayan, 2003, h. 15