Kebebasan pindah agama dalam perspektif hukum islam dan HAM

(1)

KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HAM

Oleh :

Abdul Qodir NIM : 103043227980

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HAM

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :

Abdul Qodir NIM : 103043227980

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag NIP: 150 275 509

Dedy Nursyamsi, SH M.Hum NIP: 150 264 001

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 29 Mei 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH).

Jakarta, 29 Mei 2008 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. Drs.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag (………….)

NIP. 150 275 509

2. Sekretaris : H. Muhammad Taufiqi, M.Ag. (………….)

NIP. 150 290 159

3. Pembimbing I : Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag (………….)

NIP. 150 275 509

4. Pembimbing II : Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum (………….)

NIP. 150 264 001

5. Penguji I : Dr. JM. Muslimin, MA, Ph.D (………..) NIP. 150 295 489


(4)

6. Penguji II : Drs. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc.MA (………….)


(5)

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah Jakarta.

Jakarta: 7 Maret 2008 29 Shafar 1429 H


(6)

KATA PENGANTAR

Ungkapan rasa syukur tak terukur, tertutur dalam kata pengantar kepada Allah swt. Dia telah menuturkan ayat-ayat-Nya untuk dijadikan alat tafakur dan tadabur. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sesuai yang diharapkan.

Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah menuturkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk dijadikan bahan berfikir.

Selesainya penulisan skripsi ini, bagi penulis merupakan suatu kebanggaan dan kesenangan yang luar biasa, untuk mengungkapkan rasa tersebut, penulis merasa susah untuk menterjemahkannya dalam bahasa tulisan. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Yaitu Bapak Prof. Dr. Drs. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM.

2. Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH/PH) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Yaitu Bapak DR. H. Ahmad Mukri Aji, MA. 3. Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum(PMH/PH)Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Yaitu Bapak H. Muhammad Taufiqi, M.Ag. 4. Pembimbing Skripsi, Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag dan Dedy Nursyamsi,


(7)

5. Terkhusus Kepada Bapak Dosen Penasihat Akademik Prodi PMH/PH periode 2003-2008 yaitu Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag yang telah mengarahkan dan membimbing kami sehingga telah menyelesaikan program studi sampai selesai.

6. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum serta seluruh civitas akademika, yang telah memberikan sumbangsih wawasan keilmuan dan bimbingan selama penulis berada dalam perkuliahan.

7. Pimpinan Perpustakaan UIN “ Syarif Hidayatullah “Jakarta beserta para staff dan seluruh karyawannya yang telah melayani penulis selama studi dan khususnya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Kedua orang tuaku Ayahanda H.MA. Firdaus dan Ibunda Tercinta Hj. Siti Fatimah yang telah melahirkan, membesarkan, dan mendidik penulis untuk menggapai cita-cita.

9. Saudaraku yang tercinta, (Kakanda Hayatun Nufus, Suhlia, Agung Wahyudi, dan M. Rosyid) yang selalu memberikan motivasi bagi penulis.

10.Teman-teman yang berada di LKB-HMI, (Kanda Jalal, Isnur, Ainul Yaqin) dan semua yang berada di Komfaksya yang tidak saya sebutkan satu persatu terima kasih atas motivasi dan pinjaman buku-bukunya.

11.Teman-teman yang tergabung dalam IKBAS (Ikatan Keluarga Besar Alumni Sunanul Huda).

12.Secara Khusus penulis haturkan salam ta’zhim kepada guru-guruku, di pesantren Sunanul Huda Cikaroya Sukabumi. Terkhusus Al-mukarram al-ustadz Aa Buya


(8)

KH. Dadun Sanusi beserta keluarga. Serta guru-guru yang ada dalam lingkungan IKBAS korwil Cilebut, ( KH. Jaenudin, KH. Dimyati, KH. Firdaus ) yang telah membimbing dan mengarahkan penulis.

13.Sdr. Ali, STh.i, dan Sdr. Wildan Hasan Syadzily, STh.i, yang telah memberikan kontribusinya sebagai tempat konsultasi sekaligus minta pinjaman buku-buku.

Atas nama pribadi penulis memohon, semoga segala partisipasi, dan motivasi, dari semua pihak, senantiasa mendapatkan ridho Allah swt. Terakhir, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat berguna bagi agama, bangsa, dan khususnya bagi segenap pembaca.

Jakarta: 28 Maret 2008 M 20 Rabiul Awal 1429 H


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………i

DAFTAR ISI………...iv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………. 1 B. Identifikasi Masalah………..………. 7 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah………. D. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...

E. Metode Penelitian……….……….10

F. Sistematika Penulisan………....12

BAB II : HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT

A. Pengertian Hak Asasi Manusia………. 14 B. Sejarah dan lahirnya Konsep Hak Asasi Manusia……….... 19 C. Realitas HAM di dalam Masyarakat Barat dan Islam…………...22

BAB III : BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN

HAM

A. Konsep Beragama Menurut Islam dan HAM………... 29 B. Sumber dan dalil Hukum Islam……….34 C. Nilai Utama HAM dan Sumber-sumber Hukum HAM……….... 45


(10)

BAB IV : PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKRIF HUKUM ISLAM

DAN HAM

A. Kebebasan beragama menurut hukum Islam dan HAM…………60 B. Historitas pindah agama dalam Islam dan HAM………...84 C. Hukum Pindah Agama dalam Islam dan HAM ………86 D. Analisis Perbandingan Kebebasan Pindah Agama………....94

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan………97

B. Saran-saran………98


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Makna keberadaan agama dalam kehidupan manusia sering kali penuh dilema. Disatu sisi ia adalah sumber penting dari terbentuknya sebuah peradaban. Tapi disisi lain, agama pun akan menjadi titik api dari konflik sosial yang berkepanjangan.1 Agama tidak hanya menjadi inspirasi bagi persaudaraan sejati (sentripetal ), tapi ia pun dapat menjadi penyulut api permusuhan abadi (

Sentrifugal ).2

Wacana di sekitar HAM di Negara kita akhir-akhir ini termasuk tema yang paling banyak diperbincangkan berbagai kalangan. Seperti disoroti media massa, baik dalam maupun luar negeri, Indonesia termasuk negara yang banyak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Aspirasi dari berbagai pihak ditegagkan hukum yang setimpal bagi para pelanggar HAM kian menguat dan menampakkan dirinya dalam berbagai aksi dan tekanan. Tekanan tersebut terlihat semakin kental sejak runtuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998. Unjuk rasa atau demonstrasi baik yang dimotori oleh mahasiswa maupun masyarakat dari berbagai kalangan digelar dimana-mana sejak dari pusat sampai daerah.3

1

Zainudin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa: Konstruksi Tentang Realitas Agama dan Demokratisas, ( Yogyakarta: Yayasan Galang, 2000 ), h. xxi.

2

Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian Hermeneutik, ( Jakarta: Paramadina, 1996 ), Cet. Pertama, h.15.

3

Ahmad Kosasih. HAM Dalam Perspektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan Antara Islam dan Barat, (Jakarta, Salemba Diniyah, 2003), Cet. I. h. xv.


(12)

Dikalangan akademisi (Lembaga Pendidikan) tegasnya, Perguruan Tinggi masalah HAM sudah menjadi bahan perbincangan dan perdebatan sehari-hari, dengan diadakannya seminar atau Studium general. Pada tanggal 25 Maret 2007 Studium General dilaksanakan di gedung Auditurium UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Tema “Prospek Pembangunan Hukum, HAM dan Demokrasi di Indonesia”4 dengan nara sumber (Pemateri) H. Wiranto. S.ip, itu merupakan sebagian diantara Perguruan Tinggi yang haus akan wacana HAM demi terciptanya supremasi HAM.

Hingga kini, diskursus HAM dilaksanakan secara seragam dan menyeluruh diberbagai penjuru dunia (Universal approaches). Sementara yang lain menghendaki penegakan HAM dari sudut pandang yang lebih spesipik dan sesuai dengan kondisi budaya dan keyakinan masyarakat setempat (Local approaches).

Hanya saja, sampai sekarang belum ada solusi yang lebih memadai bagi kedua kutub tersebut. Bahkan yang terjadi sebaliknya, setiap upaya dari pihak terakhir di atas selalu dicurigai sebagai pembangkangan atas sesuatu yang universal. Padahal, demokrasi wacana kembar HAM mengabsahkan perbedaan pendapat dan meniscayakan penghargaan atas pendapat orang lain.5

4

fakultas Syariah dan Hukum, Studium General, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 25 Maret 2007.

5

Egi Sudjana. HAM dalam Perspektif Islam Mencari Universalitas HAM Bagi Tatanan Modernitas yang HAkiki, (Jakarta, Nuansa Madani, 2005), Cet. II, h. iii.


(13)

HAM dalam Perspektif Islam lebih cenderung bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta dokumen-dokumen HAM, seperti Piagam Madinah, Khutbah Wada’ pernyataan kairo tentang HAM Islam hingga Deklarasi HAM Universal PBB tahun 1948. maka sangat jelas bahwa hak asasi tersebut bukan berasal dari siapapun, termasuk raja atau Presiden sekalipun, tetapi berasal dari

Causa Prima alam semesta ini, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, atau yang lebih dikenal dengan istilah Theosentris.

Sedangkan HAM sendiri lebih bersumber kepada HAM barat seperti HAM yang dideklarasikan oleh badan tertinggi dunia (PBB) pada 10 Desember 1948 yang dikenal dengan piagam PBB tentang hak-hak asasi Manusia atau “The Universal Deklaration Of Human Right” yang terdiri dari 30 pasal. Magna Charta yang lahir pada tahun 1215 di Inggris, yang menyatakan bahwa raja yang tadinya berkekuasaan Absolute (Menciptakan Hukum) menjadi terbatas, dapat dimintai pertanggung jawabannya dimuka umum. Dari sinilah terlihat raja tidak kebal hukum lagi.

Lahirnya Magna Charta kemudian diikuti oleh peraturan sejenis yang lebih dikenal dengan Bill Of Right tahun 1689. Saat itu, timbul adigium Equality

before the law (persamaan kedudukan dimuka hukum). Kemudian, di tahun 1789

lahir he French deklaration. Adapun inti deklarasi itu adalah hak-hak asasi diperinci lagi sehingga melahirkan dasar the rule of law.

Sedangkan di Indonesia sendiri sebagai Negara demokrasi telah menjamin HAM, baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini secara formil


(14)

dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang terdapat pada batang tubuh yang mencantumkan 7 pasal di dalamnya: Sebelum amandemen ketentuan HAM di dalam UUD 1945 relatif sedikit, hanya 7 (tujuh pasal saja masing-masing pasal 27, 28, 29, 30, 31, 31 dan 34). Namun Sekalipun demikian, telah diusulkan juga untuk membuka kesempatan memasukkan pasal-pasal HAM ke dalam UUD 1945 melalui amandemen. Upaya amandemen terhadap UUD 1945 ini telah melalui 2 tahapan usulan. Usulan draft amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang kedua tanggal 18 Agustus 2000 telah menambahkan satu bab khusus yaitu Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia mulai pasal 28 A sampai dengan 28 J. Sebagian besar isi perubahan tersebut mengatur mengenai hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Pencantuman hak-hak asasi tersebut dalam UUD 1945 merupakan bukti adanya jaminan yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya, bukan dalam kaitannya dengan hukum positif. Serta Undang-undang HAM tahun 1999 No.39 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 “Tentang Pengadilan HAM”, serta undang-undang Dasar pasal 27 dan 29 tentang kehidupan yang layak dan Kebebasan Beragama. Maka sangat jelas bahwa hak asasi tersebut seolah-olah merupakan hak pemberian manusia atau ciptaan manusia itu sendiri.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani


(15)

kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tesebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.6

Sejalan dengan pandangan di atas, maka kita dapat menemukan adanya nilai kebebasan yang tertuang dalam undang-undang No. 39 Th. 1999. salah satu Nilai Kebebasan yang terkandung dalam undang-undang tersebut adalah Kebebasan beragama, yang mana termuat juga dalam deklarasi PBB pada 10 Desember 1948 yang terdiri dari 30 pasal. Yaitu pasal 18 yang berbunyi :

“Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertobat dan beragama, hak ini meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama dan kepercayaan dalam bentuk beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun sendiri”.

Begitupun di dalam undang-undang dasar tahun 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 menyatakan adanya kebebasan beragama bahwa Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut kepercayaannya itu.

Di dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya kebebasan menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu Islam melarang keras adanya pemaksaan

6

Redaksi Sinar Grafika, UU RI No. 30 Th. 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2000), Cet. I. h. 1.


(16)

keyakinan agama kepada orang yang telah menganut agama lain. Hal Ini senada dengan ayat suci al-qur’an:

!" #

%&'(

)

"*+ ,

( -.0 1

2346 7

8

9: # 1=>

?

8

,

*@AB + CD

 =>FG

8

)

H IJ3

K

L

AM .N

OPQ

0

R

=>

SST .'U

VWXS Y Z

Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya

Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut7 dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S.Al-Baqarah/2:256).

Kemudian dijelaskan juga di dalam al-qur’an tentang kerukunan antar umat beragama melalui toleransi, sebagai berikut:

[\ ]

,

4_

,

(2`

aD

=>

*+Kb

A2(

#cd

K =>

S @ef

(2Gg=4

=3g>d

(hG =>

-ij #

=4

*+ 8

k lN>d

R

" #

mY6 Cnb

2(

#cd=>

k

Xo

240=jF 8

R

=j[8=p

(240[8=p=>

=j

qGY6*+ >d

(240 =>

(2- GY6*+ >d

K

rstP

=j qF 8

240=jF 8=>

R

S*+ u v

=j qF

P T

=>

x nM*+

Artinya: ”Maka Karena itu Serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah8 sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan Aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara

7

Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT. 8


(17)

kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)". (Q.S. Assûra/42: 15).

Berdasarkan uraian di atas, Islam telah memberikan respon positif terhadap kebebasan beragama yang tercermin dalam bentuk kerukunan dan toleransi antar pemeluk agama dibatasi pada hal-hal yang bersifat mu’amalah

(Hubungan antar sesama untuk beragama) atau kemasyarakatan.

Sehingga dalam hal ini, (pasal 18 UDHR) sangat tidak sesuai dengan apa yang telah dilandasi oleh Islam. Karena pasal ini akan berbenturan dengan prinsip-prinsip akidah Islam. Adanya pertentangan tersebutlah yang melatar belakangi penulis membuat skripsi ini berjudul “Kebebasan Pindah Agama Dalam Perspektif Hukum Islam dan HAM”.

B. Identifikasi Masalah

Agar pembahasan masalah ini tidak rancu, maka perlu adanya identifikasi masalah. Pada dasarnya kebebasan pindah agama itu terletak pada kebebasan menjalankan agamanya masing-masing, kenyamanan, dan ketenteraman, karena kebebasan beragama dan menjalankan semua perintah dan ajarannya adalah bagian dari Hak Asasi Individu.

Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertaubat, dan beragama, hal ini meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama dan kepercayaan dalam bentuk beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik ditempat umum maupun sendiri.


(18)

Adapun yang dimaksud dengan perspektif Hukum Islam dan HAM dalam skripsi ini adalah Pertama tentang ma’na atau pengertian HAM dalam Islam dan Barat, latar belakang serta sejarah HAM yang nantinya akan mengarah kepada realitas HAM dalam masyarakat Islam dan Barat.kedua, penulis akan memfokuskan pada kerangka hukum yang nantinya akan mengarah kepada konsep beragama menurut Islam dan HAM.

Ketiga, pembahasan skripsi ini mengarah pada pandangan Islam dan HAM dalam kaitannya dengan kebebasan pindah agama dengan terlebih dahulu mengkaji konsep kebebasan, historis pindah agama, hukum pindah agama dalam perspektif Islam dan HAM serta berakhir dengan uraian analisis perbandingan kebebasan pindah agama.

Agar permasalahan skripsi ini lebih terarah dan terfokus, maka penulis akan mengidentifikasikan ruang lingkup penulisan skripsi ini hanya pada persoalan Islam dan HAM Barat. Namun apabila ada pembahasan HAM menurut konvensional, Nasional, Internasional itu hanya sebagai penguat saja.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Sebelum menguraikan batasan dan rumusan masalah dalam skripsi ini secara makro, penulis akan mengulas kata kunci dalam skripsi ini, yaitu Pindah Agama. Dalam Islam pindah agama lebih dikenal dengan sebutan murtad, yang mana orang yang murtad harus dibunuh, merupakan sebuah antitesis (Pertentangan yang menyolok) dikalangan pemikir Islam sendiri.


(19)

Agar pembatasan dan permasalahan ini lebih terarah dan terfokus berdasarkan latar belakang dari uraian di atas, maka penulis akan memberikan pembatasan ruang lingkup penulisan skripsi ini hanya pada persoalan pindah agama perspektif hukum Islam dan HAM, yang berhubungan dengan sanksi atau hukuman bagi pelaku pindah agama.

Untuk lebih memudahkan dalam skripsi ini penulis mencoba untuk merumuskan masalah ini sebagai berikut:

1. Bagaimana hukumnya pindah agama dalam Islam dan HAM ?

2. Bagaimana persamaan dan perbedaan tentang pindah agama menurut Islam dan HAM ?

Dengan pembatasan dan perumusan masalah seperti ini, diharapkan skripsi ini dapat mengupas konsep kebebasan pindah agama dalam perspektif Islam dan HAM.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang dimaksudkan penulis adalah: 1. Mengetahui hukum pindah agama dalam Islam dan HAM.

2. Mengetahui persamaan dan perbedaan tentang pindah agama menurut hukum Islam dan HAM.

Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan diharapkan bermanfaat bagi pihak yang mempunyai kepentingan dengan penelitian hukum ini sebagai berikut:


(20)

Sebagai bahan informasi pengetahuan dan keilmuan bagi para pembaca dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat yang hegemonis sehingga dapat meningkatkan hubungan beragama yang harmonis.

2. Manfaat Akademis

Sebagai kesempatan kepada peneliti untuk mengkaji dan membahas tentang persoalan agama yang terjadi dalam kehidupan beragama khususnya mengenai kebebasan pindah agama menurut hukum Islam dan HAM.

E. Metode Penelitian

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode:

1. Jenis dan Sifat Data

Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitan ini adalah jenis kualitatif yakni berupa uraian kata-kata, yang sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analisis yakni penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. Dengan kata lain penelitian ini untuk menjelaskan tentang kebebasan pindah agama di Indonesia.

Dan metode yang penulis pergunakan adalah metode deskriftif. Metode deskriftif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu secara factual dan cermat. Cara ini bertujuan mendeskripsikan keadaan kongkrit agama yang ada di Indonesia.


(21)

Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analisis yakni penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis secara mendalam tentang kebebasan pindah agama yang terkandung dalam hukum Islam dan HAM Barat serta perkembangannya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah : a. Sumber Data Primer

Pengambilan sumber data primer ini berpijak pada doktrin-doktrin pemikiran Islam dan Barat. Alur pembahasan dalam skripsi ini akan diawali dengan konsep agama yang ada dalam hukum Islam dan undang-undang

b. Sumber data skunder

Bahan data skunder ini diambil dari literature Islam (buku-buku Islam), maupun buku-buku yang bersifat umum, serta seluruh pustaka maupun media yang berkaitan dengan objek penelitian ini.

3. Tehnik Pengumpulan data

Adapun tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini: Dengan menggunakan referensi Primer, tentunya cara ini dengan mencari dan mengkaji buku-buku, serta literature yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas seperti pemikiran tokoh Islam al-maududi yang berbicara masalah hukum orang


(22)

murtad, zakiyuddin baidhawi tentang kredo kebebasan beragama dan studi perpustakaan lainnya yang berkaitan dengan HAM dalam hal Kebebasan Beragama.

4. Tehnik Analisis Data

Adapun tehnik analisis data yang penulis gunakan adalah tehnik analisis semantic relationship analysis (analisis domain) tehnik analisis domain adalah mencoba menggambarkan objek penelitian pada tingkat permukaan, namun relative utuh tentang objek penelitian di tingkat permukaan. Jadi dalam penelitian ini penulis hanya bersifat eksploratif. Artinya, analisis hasil penelitian ini hanya ditergetkan untuk memperoleh deskripsi objek penelitian secara general.

Alasan penulis menggunakan metode analisis ini adalah karena metode ini sangat relevan dengan objek yang akan diteliti, yaitu penulis mencoba menggambarkan secara umum mengenai keberagamaan dalam Hukum Islam maupun hukum positif yakni undang-undang yang berlaku di Indonesia.

5. Tehnik Penulisan

Adapun metode penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi tesis dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Agar pemahaman dalam naskah skripsi nanti teratur dan berurutan dengan baik, maka pembahasan proposal ini dibangun secara sistematis, sehingga


(23)

diharapkan dapat diperoleh kejelasan yang semaksimal mungkin dari informasi yang termuat dalam skripsi nanti.

Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I : Merupakan Bab Pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang

Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah,Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II : Membahas tentang HAM dalam perspektif hukum Islam dan Barat yang meliputi: pengertian Hak Asasi Manusia, sejarah dan lahirnya Konsep Hak Asasi Manusia yang berhubungan dengan kebebasan pindah agama, serta penjelasan tentang Realitas HAM dalam Masyarakat Barat dan Islam.

BAB III : Membahas Beragama dalam Perspektif Hukum Islam dan HAM, yang meliputi: Konsep Beragama Menurut Islam dan HAM, sumber dan dalil hukum Islam, serta Nilai Utama HAM dan sumber-sumber hukum HAM.

BAB IV : Membahas kebebasan pindah agama Perspektif Hukum Islam dan HAM. Yang dimulai dengan pembahasan mengenai kebebasan beragama menurut hukum Islam dan HAM, Historis pindah agama dalam Islam dan HAM, Hukum Pindah Agama dalam Islam dan HAM dan berakhir dengan uraian analisis perbandingan kebebasan pindah agama.


(24)

BAB V : Merupakan Penutup Yang Berisi Kesimpulan dan Saran-Saran, serta dilengkapi dengan Daftar Pustaka.


(25)

BAB II

HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT

A. Pengertian Hak Asasi Manusia

Pengertian segala sesuatu itu menjadi sangat penting. Begitu juga dengan pendefinisian Hak Asasi Manusia. Karena jika definisinya telah diketahui dengan jelas, maka akan memudahkan pembaca untuk mengetahui lebih jauh permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan kajian penulis tentang hak-hak asasi manusia.

Hak-hak asasi manusia terdiri dari tiga suku kata, yaitu Hak, Asasi dan Manusia. Untuk mendapatkan pengertian yang memadai tentang hak asasi manusia, akan diuraikan terlebih dahulu kata demi kata dibawah ini.Kata hak merupakan kata tunggal, mufrad atau singular, sedangkan hak-hak adalah jamak atau plural. Dengan kata lain hak-hak adalah kata jamak dari hak.

Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Hak Asasi menunjukan bahwa kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang tersebut bersifat mendasar, pemenuhannya bersifat imperatif (perintah yang harus dilakukan). Artinya hak-hak itu wajib dipenuhi karena hak-hak ini menunjukkan nilai subjek hak.

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia.


(26)

Haka Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya, atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir yang melekat pada esensinya sebagai anugerah Allah SWT (Mustafa Kemal Pasha).

Hak Asasi Manusia adalah seperangakat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia ( Undang-undnag Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).

Kata hak dalam bahasa Indonesia dapat diduga berasal dari atau merupakan pengaruh dari bahasa Arab, . Menurut Ensiklopedi Islam, hak secara semantik berarti milik, harta atau sesuatu yang ada secara pasti.9

Miriam Budiardjo mengatakan Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, dan karena itu bersifat azasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa

9

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 2, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 67.


(27)

manusia memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.10

Menurut Mr. L.J. Van Apeldoorn yang dikutip oleh C.S.T Kancil, hak ialah hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subjek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma suatu kekuasaan dan suatu hak timbul apabila hukum mulai bergerak. Kata hak dalam bahasa latin digunakan istilah ius,

dalam bahasa Belanda reight ataupun droit dalam bahasa Perancis, adalah izin atau kekuasaan yang diberikan oleh Hukum.11

Hak adalah keterkaitan yang tidak mungkin dipahami oleh hak individu tanpa individu lain yang terkait dengannya. Tatkala individu menjadi seorang yang berdiri sendiri ( mandiri), maka ia memiliki hak yang tidak boleh dilanggar.

Pada umumnya hak adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tindak-tanduk atau perilaku orang lain, tidak dengan cara mempergunakan kekuatannya sendiri, tetapi berdasarkan pendapat umum atau kekuatan umum. Dengan pengertian lain hak adalah suatu tuntutan ( Claim ) yang berkat adanya suatu kaedah hukum dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain, supaya orang lain itu berbuat atau bertindak menurut suatu kaedah tertentu.12

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Hak berarti: a). benar, b). milik kepunyaan, c). kewenangan, d). kekuasaan untuk berbuat sesuatu, e). kekuasaan

10

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), Cet. Ke-24, h.120.

11

CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 1989), Cet. Ke-8, h.120.

12

Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum. ( Bandung Citra Aditya Bakti, 1993), h.36-37.


(28)

yang benar atas sesuatu atau menuntut sesuatu, f). derajat atau martabat, g). hukum wewenang menurut hukum.13

Asasi, asas berarti dasar ( sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat). Asasi berarti bersifat dasar, pokok.14 Manusia, makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain: insan, orang).15

Dalam kamus politik, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia karena kelahirannya, bukan karena diberikan oleh masyarakat atau negara. Hak Asasi Manusia tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Hak Asasi ini antara lain : hak atas hidup, kemerdekaan, hak atas milik pribadi, hak atas keamanan, hak melakukan perlawanan terhadap penindasan dan hak untuk mencapai kebahagiaan.16

Menurut Frans Cauvin, hak dan padanannya dalam beberapa bahasa yang penting memiliki dua pengertian moral dan politik yang penting, yakni kejujuran dan keberkahan.17 Dalam arti kejujuran, kita berbicara mengenai hal melakukan sesuatu dengan benar, mengenai sesuatu yang berada dalam keadaan benar (atau salah). Menyangkut keberkahan dalam arti lebih sempit, kita secara khusus berbicara tentang seseorang yang memiliki hak.

13

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.292.

14

ibid, h. 52 15

ibid, h. 558 16

BN. Masbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), Cet.1, h.193. 17

Frans Cauvin, Hak Asasi Manusia:Pendasaran Dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik, (Flores: Ledorero,2004), Cet.1. h. 5.


(29)

Hak Asasi Manusia dengan demikian merupakan hak yang mesti dan harus diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Sebagai hak, HAM termasuk kedalam kelompok hak mutlak dan HAM ini merupakan hak alami setiap individu. Hak asasi ini dianggap mutlak dan alami bagi setiap individu karena hak dapat dipertahankan terhadap siapapun orangnya, sebaliknya siapapun harus menghormati hak asasi tersebut. Hak asasi yang disebut juga hak dasar manusia adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dipisahkan dari badannya dan tidak dapat diganggu gugat.18

HAM merupakan hak mutlak yang ada pada diri manusia semenjak ia dilahirkan dan merupakan anugerah terbesar yag Allah SWT berikan kepada hambanya. Dengan demikian maka, HAM merupakan hak yang kuat dan yang harus dilindungi dan dipertahankan dengan perlindungan dari sebuah negara. Hal tersebut dijelaskan dalam UU No. 39 tahun 1999 Tentang hak Asasi Manusia yang terdapat dalam pasal 2 dan pasal 8 yang berbunyi:

Pasal 2

Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkrit demi tegagnya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia.

18

Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), Cet. I. h.56


(30)

Pasal 8

Yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.

B. Sejarah dan Lahirnya Konsep Hak Asasi Manusia

Dalam sejarah umat manusia telah tercatat banyak kejadian, seseorang atau segolongan manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau golongan orang lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap sebagai haknya. Sering perjuangan ini menuntut pengorbanan jiwa dan raga. Juga didunia barat telah berulang kali ada usaha untuk merumuskan serta memperjuangkan beberapa hak yang dianggap suci dan harus dijamin. Keinginan ini timbul setiap kali terjadi hal-hal yang dianggap menyinggung perasaan dan merendahkan martabat seseorang sebagai manusia.

Menurut penyelidikan ilmu pengetahuan, sejarah Hak-Hak Asasi Manusia itu barulah tumbuh dan berkembang pada waktu HAM tersebut oleh manusia mulai diperhatikan dan diperjuangkan terhadap serangan-serangan atau bahaya yang timbul dari kekuasaan suatu masyarakat atau negara, pada hakikatnya persoalan mengenai HAM itu berkisar pada hubungan antara manusia sebagai individu dan masyarakat.

Ide HAM timbul pada abad ke tujuh belas dan abad ke delapan belas masehi, hak-hak ini timbul sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang dipekerjakan sebagai budak. Masyarakat manusia zaman silam terdiri dari


(31)

dua lapisan besar. Lapisan atas, minoritas yang mempunyai hak-hak dan lapisan bawah, mayoritas yang memiliki kewajiban-kewajiban.

Sebenarnya, HAM merupakan sebuah gagasan lama yang telah ada sebelumnya yaitu ketika Islam datang. Konsep ini berawal dari filsafat stoika di zaman kuno yang termaktub dalam yurisprudensi hukum kodrati (natural law)

Grotius dan Ius Naturale dari undang-undang Romawi. Kendati gagasan lama, istilah “hak asasi manusia” menjadi relative baru dan menjadi bahasa sehari-hari di sela-sela perang dunia II, dan dalam proses pembentukan PBB (perserikatan bangsa-bangsa) tahun 1945. Hak asasi manusia menggantikan istilah Natural right yang menjadi suatu kontroversi.19

Ide tentang HAM bersumber dari ide hak alamiah. Para pakar jurisprudensi Barat menegaskan bahwa ide tentang HAM pada asalnya merupakan campuran-campuran, dimana abad ke-18, sekolah-sekolah filsafat menjadi tempat rujukan dan merupakan ibu dari sekolah hak alami, seperti yang disodorkan dan dipelopori oleh filosuf Jhon Lock pada tahun 1690 M, yang menjabarkan ide-idenya sebagai ungkapan-ungkapan mengenai HAM dikemudian hari, yang dijabarkan oleh seorang ahli hukum inggris Philaxton, pada pertengahan abad ke delapan belas.20

19

Heru Susetyo, Hak Asasi Manusia : Sejarah Doktrin dan Kendala Implementasinya, dalam Majalah Sabili, edisi. IV, 13 November 2001, h. 1.

20

Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Salih al-Wakil, HAM Menurut Barat, HAM Menurut Islam,Ter. Yahya Abdurrahman, dari Huquq al-Insan Fi al Fikr as-siyasi al-gharbi wa asy-syar’I al-Islami, (Dirasah Muqaranah), (Bogor, Pustaka Thariqul Izah, 2005), Cet.1, h. 6.


(32)

Karenanya, para pemikir politik Barat kontemporer berpendapat menurut pandangan kaedah-kaedah serta pemahaman semata mengenai Hak Asasi Manusia. Pandangan hak asasi ini terfokus pada pembatasan kekuasaan penguasa, dan pengakuan atas hak-hak individu. Pemikiran tersebut bersandar pada apa yang disebut dengan hak alami yang dimiliki individu dan juga bersandar pada pemikiran-pemikiran undang-undang alami buatan manusia, yang merupakan rujukan tertinggi bagi hak-hak dan kewajiban yang digali dari alam.

Manusia pada tingkat pengetahuan itu dengan akalnya, dan akal merupakan anugerah yang paling besar yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Dengan akal, manusia melakukan penggalian hukum yang memadai untuk melindungi hak-hak individu yaitu berupa undang-undang alami yang bersifat tetap, kekal dan yang tidak berubah. Pemikiran undang-undang alami telah menghantarkan kepada dibangunnya substansi dan perspektif yang membatasi pokok-pokok fitriyah bagi sebagian pilar-pilar perundang-undangan, semisal perspektif tentang kontrak sosial yang menjadi visi bagi pengakuan hak-hak dasar individu yang lebih diprioritaskan atas pelaksanaan kekuasaan pemerintah, pandangan itu adalah berbagai perspektif yang berujung pada (ide) HAM.21

Konsep HAM dalam Islam telah lahir jauh sebelum semua bentuk deklarasi Barat disahkan, yaitu pada tahun pertama bulan hijriyah atau abad ke-7

21


(33)

masehi, sebagaimana yang telah terjadi pada masa Rasulullah SAW dengan dibentuknya sebuah deklarasi Piagam Madinah yang merupakan deklarasi yang pertama kali memuat akan HAM.

Konsep HAM dalam Islam lahir pada tahun pertama bulan hijriyah atau abad ke-7 masehi, jauh sebelum semua bentuk deklarasi Barat disahkan. Sebenarnya, agama-agama yang dibawa para Nabi dan Rasul tidak kurang perhatiannya dan upayanya dalam menegakkan HAM.

Dalam ajaran agama, HAM merupakan karunia Allah SWT yang diberikan kepada umat manusia begitu manusia itu dilahirkan, dengan kata lain sudah menjadi kodrat dan bawaan manusia. Sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dengan dibentuknya sebuah deklarasi pertama Piagam Madinah yang pertama kali memuat segala hak-hak manusia.

C. Realitas HAM di Dalam Masyarakat Barat dan Islam

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sosiologis perlindungan hak asasi manusia disetiap negara atau masyarakat tidak dapat dinilai dari pernyataan-pernyataan politis atau diplomatis suatu negara. Dengan demikian kita akan melihat bahwa negara yang paling vokal sekali pun bisa jadi tidak menerapkan sepenuhnya perlindungan hak asasi manusia atau tidak bebas sama sekali dari diskriminasi. Oleh karena itu melihat fakta bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya terjadi di negara-negara Dunia Ketiga, akan tetapi bisa juga


(34)

ditemukan di negara Barat yang paling liberal. Kita mengetahui insiden Los Angeles di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu atau diskriminasi terhadap penduduk pribumi (Aborigin) di Australia, atau berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia lainnya di negara-negara Barat. Dengan adanya politik luar negeri beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat, yang menerapkan standar ganda dan jelas-jelas melakukan pelanggaran HAM di Dunia Ketiga.

Namun, kita harus mengakui bahwa berbagai pelanggaran tersebut lebih sering terjadi di negara-nagara Dunia Ketiga, termasuk di negara-negar Islam, baik dilakukan oleh negara maupun masyarakat. Cukup disesali bahwa masih banyak negara Islam dan negara yang berpenduduk mayoritas Muslim yang belum mengakui dan meratifikasi berbagai konvensi, seperti Universal Deklaration of Human Right, Konvensi atas hak-hak sipil dan politik atau atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.22

Sehingga dapat diketahui bahwa HAM yang dijunjung tinggi oleh Barat ternyata bertolak belakang dengan apa yang selama ini diorasikan, pandangan Barat mengenai HAM yang ingin berusaha menjunjung tinggi nilai-nilai HAM ternyata dilanggar sendiri oleh Barat dengan melihat adanya Diskriminasi ras, Ekonomi dengan standar gandanya, dan dengan adanya terorisme yang mengatas namakan agama. dengan demikian negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Islam,

22

Elza Peldi Taher. Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. I h. 113.


(35)

berusaha untuk menolak gagasan HAM yang berakarkan Barat salah satunya yaitu dengan belum mengakui dan meratifikasi berbagai konvensi.

Gambaran realitas ini menjadi sesuatu yang menakutkan ketika tindakan-tindakan terorisme mulai muncul, khususnya selama dekade 70-an dan 80-an yang mengklaim bertindak atas nama atau sekurang-kurangnya berkaitan dengan gerakan Islam tertentu di Timur Tengah, terlepas dari latar belakang atau sebab apa yang mendasarinya. Sehingga hal itu menciptakan gambaran di mata Barat bahwa masyarakat Islam bersifat eksklusif dan menakutkan, dan dipandang sebagai “anti HAM”.

Ini disebabkan karena Sarjana-sarjana politik, seperti Hunington dan sebagian pengamat lainnya dengan pengetahuan yang dangkal mengenai Islam dan keaneka-ragaman masyarakat Islam, melihat Islam sebagai “sebuah realitas yang eksklusif dan menakutkan” dan pada saat bersamaan memandangnya sebagai suatu potensi “ancaman” bagi Barat.

Dengan demikian perlu kiranya kita melihat realitas HAM yang ada di Indonesia, ada tiga perbedaan tajam dan kontroversial di dalam Majelis Konstituante pada tahun 1950-an. Pertama, tentang pemisahan antara negara dan agama. Kedua, tentang larangan propaganda anti-agama. dan ketiga, Tentang kebebasan seseorang untuk berganti agama. Harus diakui bahwa pemikiran


(36)

tentang hak asasi manusia di Indonesia dalam empat puluh lima tahun terakhir mengalami kemunduran.23

Di Negara-Negara berkembang, usaha untuk meluaskan penerimaan akan ide-ide tentang hak asasi manusia sering mengalami hambatan. Salah satu hambatan itu datang dari argumen bahwa konsep hak asai manusia itu adalah buatan Barat, dengan konotasi sebagai sumber kejahatan kolonialisme dan imperialisme. Dalam retorika yang menyangkut masalah pandangan hidup, hak asai manusia yang merupakan konsep Barat itu adalah sama dengan sekulerisme, jika bukan ateisme sekalian. Maksudnya ialah adanya usaha untuk menegakkan hak asasi manusia dalam wacana budaya dan agama. dimana pandangan Barat mengenai HAM lebih berorientasi kepada Nilai-nilai kemanusian (Antroposentris), bukan Nilai-nilai Ketuhanan (teosentris).

Mendengar tanggapan semacam itu, biasanya kita langsung menolaknya, dan mencapnya sebagai keterbelakangan, konservatisme, atau bahkan mungkin kebiadaban. Kita mungkin akan segera mengasosiasikannya dengan kelompok tertentu, baik dalam kategori kedaerahan, kebangsaan, atau kesukuan, maupun dalam kategori keagamaan. Pengasosiasian itu disertai dengan penilaian langsung, bahwa kelompok tertentu memang pada dasarnya tidak dapat menerima ide

23


(37)

tentang hak asasi, karena pandangan hidup mereka yang secara inherent tidak mendukung.24

Jika kita ingat bahwa kenangan pahit dari kolonialisme dan imperialisme belum terlewatkan lebih dari dua generasi (sekitar 50 tahun), maka prasangka yang keras kepada Barat, yang ikut mengaburkan kepada hal-hal yang sebenarnya tidak murni Barat semata, seperti ide tentang hak asasi manusia, dapat sedikit banyak kita pahami. Persoalannya mungkin bukanlah bagaimana menghilangkan kenangan pahit atau negatif kepada Barat akibat pengalaman kolonialisme dan imperialisme, (yang memang masih banyak tersisa dan belum seluruhnya terhapus).25

Karena yang menjadi sasaran penjajahan dan imperialisme Barat ialah negara-negara Islam, maka kenangan yang pahit dan kekalahan oleh Barat itu menjadi sebab banyaknya kecenderungan pada kaum muslim untuk mendefinisikan dirinya berhadapan dengan Barat. Serta menegaskan keunikan mereka dalam sejarah, bahwa orang-orang Islam banyak mempunyai kompleks membedakan diri dari Barat, dan menolak sesuatu yang datang dari Barat. Bagaimanapun juga, kedamaian yang ditawarkan oleh Islam adalah pesan yang

24

Nurcholish Madjid. Hak Asasi Manusia “dalam perspektif Budaya Indonesia”.

Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1997 Cet. Ke-1. 25


(38)

paling berkedamaian di antara semua agama. diluar itu Islam datang menentang kita, kitalah yang lebih dahulu mengundangnya ke Iran.26

Secara lebih khusus lagi berkenaan dengan usaha-usaha pengakuan hak asasi manusia Chandra Muzaffar menunjuk kepada beberapa ironi dan sikap-sikap tidak konsisten dari para sponsor hak asasi itu di Barat. Sehingga perlu kiranya kita mengutif apa yang dikatakannya tentang hal ini ia katakan demikian:

“Sementara kebanyakan kelompok hak asasi manusia menaruh perhatian kepada otoritarianisme pada peringkat nasional, mereka jarang bereaksi terhadap penguasaan dan dominasi politik oleh suatu klik dari utara. Padahal otoritarianisme pada peringkat internasional, sebagaimana telah kita tunjukkan, memperlihatkan kesamaan yang mencolok dengan otoritarianisme pada peringkat nasional. Pada kedua peringkat itu misalnya, terdapat manipulasi media dan penyalahgunaan lembaga-lembaga politik dan proses-proses hukum untuk melayani kepentingan mereka yang memegang kekuasaan. Pada politik peringkat nasional dan internasional, penguasaan dan dominasi kaum elite telah mengakibatkan kemerosotan dan pengingkaran hak-hak asasi manusia. Karena itu orang pun bertanya-tanya, mengapa otoritarianisme pada peringkat internasional dapat luput dari sensor kelompok-kelompok hak-hak asasi konvensional di Utara maupun Selatan”?27

26

Ibid.44. 27


(39)

dari kutifan diatas dapat kita ketahui bahwa adanya pertentangan yang terjadi dalam hal Realitas HAM di Barat, salah satunya ialah tidak konsistennya para Sponsor hak asasi di Barat mengenai sistem yang ada pada tingkat Internasional dan sistem yang ada pada tingkat Nasional sehingga terjadi manipulasi dan penyalahgunaan lembaga politik dan proses hukum, yang merupakan sumber hukum HAM itu sendiri.


(40)

BAB III

BERAGAMA

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM

A. Konsep beragama Menurut Islam dan HAM.

1. Definisi Agama

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut agama. selain kata agama, dikenal juga istilah Religi dan Din. Menurut Sidi Gazalba, agama bukanlah istilah yang berasal dari Islam. Ia dipinjam dari bahasa Sansekerta untuk menunjuk sistem kepercayaan dalam Hinduisme/Budhisme.

Istilah lain bagi agama ialah Religi yang berasal dari bahasa latin. Menurut satu pendapat asalnya ialah Relegere yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Sedangkan kata Din dalam bahasa semit mempunyai arti Undang-undang atau Hukum. Sedangkan dalam bahasa Arab, kata din mengandung arti Menguasai, menundukan, patuh utang, balasan, dan kebiasaan.

Sedangkan istilah agama dapat didefinisikan sebagai berikut:

ﺏ " #

$% &' ( )* +,$

)

)- ./

" 0

Artinya: “Suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk mencapai kebaikan hidup dan kebahagiaan kelak di Akhirat.”1

1


(41)

Menurut Harun Nasution, Guru Besar Filsafat dan Teologi Islam berdasarkan analisisnya terhadap berbagai kata yang berkaitan dengan agama yaitu al-din dan religi dan kata agama itu sendiri sampai pada kesimpulan bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah ikatan. Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari, ikatan ini berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia.2

2. Konsep Beragama Menurut Islam

Konsep bergama menurut Islam terdiri dari 4 bidang, diantaranya: a. Bidang Aqidah.

Aqidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Aqidah dalam Islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah, ucapan dengan lisan dalam bentuk dua kalimah syahadat, yaitu menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan Allah.

b. Bidang Ibadah.

Secara harfiah Ibadah berarti bakti manusia kepada Allah. Karena didorong dan dibangkitkan oleh aqidah tauhid. Majlis Tarjih Muhammadiyah mendefinisikan ibadah sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan

2

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Pres, 1979), Cet. I h.10.


(42)

mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Sedangkan yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-Nya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.3

c. Bidang Munakahat (Perkawinan).

Perkawinan dalam literatur Fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu Nikah dan Zawaj. Kedua kata ini merupakan kata yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-qur’an dan hadist Nabi. Kata na-ka-ha terdapat dalam al-qur’an dengan arti kawin, seperti terdapat dalam surat An-Nis1 ayat 3:

y

=>

X4z .n!

{ >d

347nB

G

)p=f6 C=T

3

n0N

,

#

!|

240

!" ~#

4

AB ~q

)& •€ #

*•6 YGI=>

*S6 8Jp=>

y ‚ ,

Ia .n!

{ >d

34

G

ƒ *

]=3 ,

>>d

#

i 0 Y #

(240q6*+1>d

)

*@ ] „

…_>d

{ >d

34 3G

2 34

5

Artinya;”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil4, Maka

3

Nasruddin Razak, D nul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1977), Cet. II, h. 44 & 47. 4

Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.


(43)

(kawinilah) seorang saja5, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S. An-Nis / 4 : 3).

Demikian pula dengan kata zawaj terdapat dalam al-qur’an dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahz1b ayat 37:

=>

k3-l

!2*GN>d

R

P T Y 

Ai +*GN>d=>

P T Y 

@nB #>d

*@ T Y 

*@*•>*†

=>

nˆ 1c#=>

[\nB . N

#

R

P1

(@#

&*‰ 1>#=>

Š

j

R

=>

p‡*P>d

y>d

P ‹ 1>#

Œ+ Y ,

)&A&

& 1*†

r•• ~#

Ž

=>

*u 06 q • >*†

(

m

K

y340 1

j #

+

O

*P

:O]=> †>d

(2 u•

=T _>d

(3K•

Œ"•• #

Ž

=>

)

[% '

=>

#>d

?

j 3G . #

6 7ﺡ9

55

5:

Artinya; “Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia6 supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya7. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (Q.S. Al-ahz b / 33:37).

5

Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad saw. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

6

Maksudnya setelah habis idahnya. 7

Yang dimaksud orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammad pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh megawini bekas istri anak angkatnya.


(44)

Secara garis besar kata nikah atau zawaj dapat diartikan sebagai berikut:

;ﺡ ﺏ <=> % ?

@$7 $

A4 BCDﺏ 2E

Artinya “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz Na-ka-ha atau Za-wa-ja”.

d. Bidang Mua’amalat

Kata mu’1mal1t ("مG م" H yang kata tunggalnya mu’1malah ("مG م" yang berakar pada kata G م" mengandung arti saling berbuat atau berbuat secara timbal balik. Lebih sederhana lagi berarti hubungan antara orang dengan orang. Bila kata ini dihubungkan kepada lafaz fiqih, maka mengandung arti aturan yang mengatur hugungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup didunia. Ini merupakan imbangan dari fiqih ibadah yang mengatur hubungan lahir antara seseorang dengan Allah. Jadi secara khusus muamalat adalah hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan harta.

3. Konsep Beragama Menurut HAM.

Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi,


(45)

eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apapun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama, termasuk hak untuk pindah agama.

Konsep beragama yang ditawarkan HAM di atas, dapat kita ketahui dengan jelas karena tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti dokumen Right Of Man France (1789), Bill Of Right Of USA (1791), dan Internasional Bill Of Right (1966). Selanjutnya dapat kita ketahui beberapa pasal yang berkaitan dengan kebebasan beragama yang termuat dalam HAM:

Pasal 2

“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”

Pasal 18

“Setiap orang mempunyai hak kebebasan untuk berpendapat dan beragama, termasuk hak untuk pindah agama.”

B. Sumber dan dalil Hukum Islam

Struktur yuridis Islam dalam menentukan ibadah ritual maupun pola hubungan antara manusia dengan Allah, antar manusia dengan manusia maupun dengan makhluk lainnya, tidak lepas dari dua sumber hukum, yaitu Qur’an, al-hadist, dan dua dalil hukum ijmak dan qiyas. Pada prinsipnya struktur hukum tersebut mendasari pemikiran tentang ijtihad di masa sekarang.


(46)

Hal ini penting dikemukakan untuk menghindari salah faham terhadap ideologi Islam. Sementara ini, parameter tentang hak-hak manusia masih berkiblat ke ideologi Barat, sehingga nilai-nilai Islam yang banyak berbeda dengan ideologi Barat dipandang tidak berlaku universal.

Untuk memahami sistem nilai yang berlaku dalam Islam perlu kiranya kita lihat salah satu Firman Allah:

r•[ >’“6 1

”3q #

=4

3GT >d

3GT >d=>

k3 D•

–’>cd=>

—(˜ao

I40j #

y ‚ ,

X4z  l6=j

d4&'?

 >_

,

?

`k3 D•

=>

y

X4zq4

y3j # G

?

8

n!a*

š(3=T

=>›

)

*@ ] „

œx( *! "AB P>d=>

ƒ'1>,’

2 34

I

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Taatillah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (Q.S. An-Nisa/4:59).

Ayat ini menjelaskan tentang beberapa hal yang menurut Maududi bersangkutan dengan konstitusi dasar28. Sehingga undang-undang tertinggi bagi orang-orang mukmin, menurut al-qur’an adalah patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, bersumber dari syari’ah bukan hasil ijtihad manusia, bersifat tetap tidak berubah, berbeda dengan hasil ijtihad Fiqih. Dalam persepsi Maududi, tidak

28


(47)

seorang muslim pun berhak mengeluarkan suatu hukum dalam suatu perkara yang hukumnya telah dikeluarkan Allah dan Rasul-Nya. Menyimpang dari hukum Allah dan Rasul-Nya adalah kebalikan dari iman dan lawan baginya.9

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab samawi yang diturunkan paling terakhir oleh Allah swt, kepada Nabi Muhammad saw (571-632), sebagai penyempurnaan dan pelengkap dari kitab-kitab yang diturunkan Allah swt. Dengan jumlah ayat-Nya sebanyak 6236 ayat, ayat-ayat tentang hukum hanya sedikit. Soal-soal kehidupan kemasyarakatan hanya berjumlah 228 ayat atau 3 ½ persen. Abdul Wahab Khallaf10 merangkumnya sebagai berikut:

a. ayat-ayat mengenai soal sosial-kemasyarakatan: pembentukan keluarga,perkawinan, perceraian, hak waris dan sebagainya sebanyak 70 ayat.

b. ayat-ayat menegenai sosial-ekonomi: perdagangan/perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak dan sebagainya sebanyak 70 ayat.

c. ayat-ayat mengenai masalah yuridis, soal kriminal sebanyak 30 ayat.

9

Ibid. h. 74 10

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (al-Qahirah: Dar al-Qolam, 1978), Cet. VIII. h. 73.


(48)

d. ayat-ayat mengenai masalah yuridis: soal pengadilan, sumpah, perjanjian, persaksian dalam upaya menegakkan keadilan dan penegakkan hak-hak asasi manusia sebanyak 13 ayat.

e. ayat-ayat mengenai soal politik dalam negeri, perundang-undangan, konstitusi, soal kenegaraan sebanyak 10 ayat.

f. ayat-ayat mengenai soal politik luar negeri: mengenai hubungan kedaulatan Islam dan bukan Islam sebanyak 25 ayat.

g. ayat-ayat mengenai soal ekonomi: hubungan kaya dan miskin sebanyak 10 ayat.

Fazlurrahman menjelaskan : Semangat dari dasar al-qur’an adalah semangat moral, dari mana ia menekankan monotheisme serta keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi. Manusia tidak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral, tetapi ia harus menyerahkan diri kepadanya. Penyerahan ini dinamakan Islam dan Implementasinya (pengabdian kepada Allah) atau yang biasa disebut ibadah. Karena penekanan morallah hingga Al-qur’an tampak bagi banyak orang terutama sebagai Tuhan Keadilan. Tetapi hukum moral dan nilai-nilai spritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui.11

Al-qur’an merupakan sumber hukum yang melahirkan hukum-hukum kemanusiaan, bagi umat Islam fundamental mereka tidak perlu mengambil ideologi lain untuk mengambil hukum. Tetapi kaum demokrat menurut mereka

11

Fazlurrahman, Islam, alih bahasa ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Bandung, 1984), Cet. I, h. 34.


(49)

Islam membolehkan mereka untuk mengambil jalan ijtihad terhadap persoalan-pesoalan yang tidak menyangkut ibadah mahdah.

Al-Banna dengan teori Syumuliyahnya menyatakan bahwa Islam telah sempurna tanpa harus mengambil konsep Barat sebagai sandaran. Al-maududi sependapat dengan Al-Banna bahwa Islam telah lengkap, sebagai agam terakhir yang melengkapi ajaran Yahudi-Kristen. Rasyid Ridla meskipun dalam beberapa hal berbeda dengan Al-Banna tetapi ia setuju bahwa Islam mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Mu’tazilah memandang bahwa Tuhan memberikan daya kepada manusia untuk berbuat dan mengatur persoalan. Manusia bebas untuk menentukan masalahnya, dan bukan berarti lari dari wahyu Tuhan. Tuhan memberikan akal sebagai kekuatan yang harus dipakai untuk digunakan sepenuhnya bagi kepentingan manusia.

2. As-Sunnah

As-Sunnah adalah sumber kedua konstitusi Islam. “Kata sunnah” secara literatur (harfiah) bermakna cara dan kebiasaan hidup. Secara teknis sunnah dapat didefinisikan dengan segala perkataan Nabi Muhammad saw, dan tindakan-tindakan atau perbuatan pribadi beliau, dan tindakan-tindakan orang lain yang dengan bijaksana beliau setujui.

Sunnah merupakan cara Rasulullah saw, menerjemahkan ideologi Islam yang terdapat dalam cahaya tuntunan Al-Qur’an ke dalam bentuk praktik,


(50)

mengembangkan kedalam suatu susunan sosial yang positif dan akhirnya meningkat menjadi sebuah negara Islam penuh.12

Beberapa hadis mengenai berbagai masalah konstitusi:

a. Ketaatan kepada Allah adalah yang tertinggi dan tidak ada ketaatan kepada yang lain yang dapat melanggar ketaatan kepada Allah ini.

J D? K )Dﺹ M 4 <? MD? <? M=D3 <=ﺡ

% ? Mﺏ <? % ? <ﺏ %#( <?

NO$ 7? K ; /#ﻡ )-

DQ= ;? R 9 " S D($

%=ﺡ $

5

Artinya; “Dari Sa’ad binUbaidah dari Abi Abdul Rahman as-Sulami dari Ali dari Nabi saw, bersabda Tidaklah ada ketaatan kepada makhluk, jika di dalamnya melibatkan ketidaktaatan kepada Allah Ajja Wajala.” (HR. Ahmad).

b. ketaatan kepada Allah hanya dapat dilakukan melalui ketaatan kepada Rasulullah saw.

<ﻡ " S D($ J D? K )Dﺹ K " ( T J4? K ),

)ﺏ <?

G R % - M4? R

K

Q

$

Artinya; “Barang siapa mengikuti aku maka telah mengikuti Allah dan Rasulullah saw”. (HR. al-Bukhori,).

c. Orang yang memegang kekuasaan harus ditaati.

J D? K )Dﺹ K " ( " S =? <ﺏ <? +- ﻥ <? C#O Mﺏ <ﺏ K % ? <?

= )D? D($

V ; /#=ﺏ ﻡW T 9

X$ Yﺡ = - ;? Z $ +=3 D3= 2

; /#=ﺏ ;? R9$ +=( .- ; /#=ﺏ ﻡ

[ 34

$

12

Shalahuddin Hamid. HAM dalm Perspektif Islam, Jakarta, Amisco, 1994, Cet.I h. 80. 5

Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Maktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. III. H. 47.

Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, (al-Maktabah Al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. x. h. 114.


(51)

Artinya; “seorang muslim harus mendengarkan dan mematuhi penguasa baik dia menyetujui maupun membenci apa yang telah diperintahkan, asal dia tidak diperintah untuk melakukan dosa. Jika diperintahkan melakukan dosa, maka dia harus tidak mendengarkan atau mentaatinya”. HR. an-Nasaî).

d. Urusan-urusan pemerintahan tidak boleh diserahkan kepada mereka yang menginginkannya.

" S )( ﻡ Mﺏ <?

9 K $ ﻥ

J D? \ ﺡ %ﺡ $ J ( %ﺡ N=# ] ) ﻥ

D3ﻡ $

Artinya; “Dari Abi Musa berkata: Demi Allah kami tidak menugaskan urusan-urusan pemerintahan kepada siapapun yang mendambakannya atau yang serakah terhadapnya”. (HR.Muslimi).

e. Dewan permusyawaratan

V

N

#=O ﻡ

2 O

^

6 / %4? 7ﻥ$

$

( $ < =D3= <ﻡ _

*ﻥ ﺏ%4 *ﻥ Nﺏ *'

<ﻡ

`

J D? *ﻥ a0 $ b V )

D3ﻡ $

:

Artinya; “jika datang kepada mereka suatu masalah, mereka mengumpulkan para ahli dari kaum muslim. Kemudian mereka saling bermusyawarah dan mengambil yang benar dari rangkaian pendapat mereka. Bahkan, para ahli tadi mengajak dan menganjurkan kaum muslimin untuk berpegang kepada pendapat yang benar tadi”. (HR. Muslim).

f. Tanggung jawab kolektif.

( T J4? K ),

=? <ﺏ K % ? <?

ADX " S D($ J D? K )Dﺹ K "

J ? <? "$W3ﻡ ADX$ G

Q

$

c

Ahmad bin Suaib bin Ali bin Baher bin Sinan, Sunan an-Nasaî, (Maktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. xiii. h. 115.

Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an Naisaburi, Shoheh Muslim, (al-Maktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. IX. h. 344.

:

ibid, h. 345. c

Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, (al-Maktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. xvi. h. 187.


(52)

Artinya;“Dari Sayidina Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda, Tiap-tiap dari kalian adalah pemimpin dan semuanya bertanggung jawab terhadap yang dipimpin”. (HR. al-Bukhori).

g. Pengadilan yang independen dan tidak memihak

Berikan hukuman yang adil baik kepada keluarga yang jauh maupun yang dekat, dan janganlah takut akan cemooh orang demi pelaksanaan batas-batas yang telah digariskan oleh Allah.

" ( T )D? <?$

b

dDO V MD?

" S D($ J D? K )Dﺹ K

bﻥ - "$9 <ﻡ e#=( =X 9 <ﻡ +=3ﺕ ) ﺡ =*4 ﺏ g ﺕ .- T =/Q

2 > b < ﺕ b V eD#- V

]ﻡ

$ h$ h ﺏ $ %=ﺡ $

I

Artinya; “Dari Ali, Rasulullah saw bersabda,” Jika ada dua orang membawa perselisihan mereka kehadapanmu untuk kamu putuskan, janganlah dulu kamu mengadakan pengadilan itu kecuali telah kamu adakan pemeriksaan secara seksama terhadap keduanya”. ( HR. Ahmad, Abu Dauwud, dan Tirmidzi).

h. Tidak ada kewarganegaraan ekstra-teritorial.

?$

< X =

*i < ﺏ

D3ﻡ NX <ﻡ [ ﺏ ﻥ K " ( " S K % ? <ﺏ O <

]ﻡ

$ h$ h ﺏ $

j

Artinya; “Dari Zarib bin Abdillah telah bersabda Rasulullah Aku (Nabi sebagai kepala negara) tidak bertanggung jawab terhadap seorang muslim yang hidup diantara orang-orang musyrik.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

I

Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal, Musnad Ahmad, (al-Maktabah al-Syamilah; Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. II. h. 436.

j

Muhammad bin Ali bin Muhammad ash-Syaukan, Nailul athor, (Mesir: Syirkah Iqomah al-Dîn, 2000), Juz. V. h. 265.


(53)

Masih banyak hadits lain yang berhubungan dengan berbagai masalah konstitusi, dimana lebih lanjut Rasulullah sendiri telah mendirikan sebuah negara Islam. Aparat negara dan berbagai organnya yang berada di bawah kepemimpinan Rasulullah saw, merupakan As-Sunnah.

3. Ijma’

Ijmak adalah kesepakatan para mujtahid disetiap masa setelah wafatnya Rasulullah, mengambil istimbath (Kesimpulan) terhadap hukum syar’i (al-qur’an dan al-hadist). Hal ini terjadi karena al-qur’an dan hadist interpretable. Islam memberikan ruang bagi manusia untuk mempergunakan kebebasannya melakukan interpretasi. Ijma merupakan kumpulan legislasi yang mengambil sumber dari al-qur’an dan hadist. Karena ada ruang bagi kebebasan berinterpretasi maka kedudukannya merupakan dalil hukum, ia boleh disanggah, dikritik atau dirubah.

Ijmak merupakan sumber hukum dan konstitusi Islam yang ketiga. Menurut kata-kata Iqbal, ijmak adalah “merupakan gagasan hukum yang paling penting dalam Islam” secara literal, makna ijmak adalah “Konsensus”.

Menurut Imam Syafi’i, ada beberapa perbedaan mengenai definisi yang tepat bagi ijmak sebagai sebuah konsensus yang komplet dari ulama mengenai suatu poin hukum tertentu. Menurut beliau, haruslah terdapat sesuatu pendapat yang tunggal dalam konsensus. Sedangkan menurut Ibnu jabir dan Abu Bakar ar-Razi menganggap bahkan keputusan kesepakatan mayoritas itu adalah sebagai ijmak. Sementara menurut Ahmad Ibnu Hambal “Kami mengetahui bahwa tidak


(54)

ada posisi terhadap pandangan itu,’” dalam hal ini berarti bahwa beliau menganggap keputusan konsensus itu adalah ijmak.

Fazlurrahman menyatakan “Sesungguhnyalah, praktek-praktek yang bersesuain dan para sahabat juga dinamakan ijma’ para sahabat, dan istilah ijma’ bermula pada mereka juga. Tetapi tidak ada lagi generasi baru an sich yang dianggap mampu menghasilkan sunnah yang baru, namun titik hubungan antara para sahabat dan generasi selanjutnya, yakni generasi Tabi’in, menghasilkan timbunan materi yang aktual, dengan cara dedukasi langsung dan penerapan oleh pemikir-pemikir perseorangan, yang terkena aplikasi istilah Sunnah dan Ijma’.

Pada sisi lain, terdapat beberapa aturan tertentu yang disetujui oleh para ulama dari daerah tertentu, tetapi mereka tidak melaksanakan kekuatan konsensus masyarakat yang dikenal dengan ijmak para ulama. Ijmak ulama pada masa-masa awal keberadaan Islam merupakan sebuah mekanisme untuk membuat suatu bentuk integrasi ijtihad yang berlainan dari para ahli hukum.

Keputusan Khulafa ar-Rasyidin mengenai berbagai permasalahan konstitusi yang diambil melalui konsensus para sahabat bersifat mengikat bagi kaum muslim untuk segala zaman. Hal ini dikenal secara teknis dengan ijmak para sahabat.

Dalam perkembangannya ijmak berperan penting dalam penetapan-penetapan hukum sosial kemasyarakatan, ketatanegaraan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak sekali persoalan-persoalan sosial budaya yang menuntut ijtihad para ulama untuk memberikan hukum atas soal-soal


(55)

tersebut. Maka ijmak menjadi alternatif bagi soal-soal yang belum dikemukakan. Fazlurrahman menyebutnya sebagai bagaian yang tak terpisahkan dari fiqih moderen. Kedudukannya dalam konstitusi Islam berada dibawah al-qur’an dan hadist.

4. Qiyas (Analogi)

Secara etimologis berarti analogi. Qiyas dan Ra’yu dapat disebut sinonim karena kedudukannya yang sama. Namun secara tradisionil qiyas dipakai dengan arti penalaran analogy29 atau Mitsal dalam bahasa arab. Secara terminologis qiyas berarti suatu pengambilan kesimpulan analogis dimana hukum sebuah teks diterapkan pada kasus-kasus yang meskipun tidak tercakup oleh bahasa yang dipakai, namun tetap diatur oleh alasan dalam teks (Al-Qur’an dan Sunnah). Hanafi mendefinisikannya sebagai “sebuah perluasan hukum dari teks asli kedalam prosesnya yang diterapkan di dalam kasus tertentu dengan perantara sebuah sebab efektif (Ilahi) umum bahasa teks”.

Semakin meluas negara Islam pada era sahabat Nabi, masalah baru yang tidak termasuk dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah pun semakin bermunculan, sehingga terdorong oleh para ahli hukum untuk mencari pemecahan masalah hukum dengan bantuan sikap para sahabat ini berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Berilah keputusan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah jika terdapat hal itu di

29

Shalahudin Hamid. HAM dalam Perspektif Islam, Jakarta, Amisco, 1994, Cet. I h. 94.


(56)

dalamnya. Jika kamu tidak menemukan ketentuannya, maka carilah jalan lain dengan pendapat dan penafsiranmu”.

Fazlurrahman menjelaskan ketika menggunakan skema analisa Aristoteles tentang sumber hukum ini, “Menurut analogi ini, al-qur’an dan sunnah adalah prinsip-prinsip materil (sumber-sumber), kegiatan penalaran analogis (Qiyas) adalah prinsip yang dihasilkan dari prinsip yang pertama (efficient cause), dan ijma adalah prinsip formalnya (kekuatan Fungsional). Sehingga manusia dapat hidup dibawah kedaulatan Tuhan dan sesuai dengan kehendaknya.

C. Nilai utama HAM dan Sumber-sumber Hukum HAM

Dengan lahirnya Deklarasi HAM Sedunia pada 10 Desember 1948 diharapkan keadilan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di dunia ini dapat ditegakkan. Deklarasi tersebut mempunyai arti penting yang besar karena menjadi dasar untuk mengubah dan membebaskan peradaban manusia yang telah berabad-abad didominasi ketidak-adilan, di mana hak asasi manusia tidak mendapat perlindungan.30 Sebagai bahan diskusi, berikut ini disajikan Nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam HAM.

1. Nilai Utama HAM

a. Kebebasan /Kemerdekaan

30

Siti Musdah Mulia. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.Artikel diakses pada 10 April 2008, dari http://www.Geogle. Kebebasan beragama. Com/


(57)

Manusia dilahirkan dalam keadaan Merdeka. Karena itu menjadi harapan setiap manusia menjalani kehidupannya dalam keadaan merdeka. Misalnya merdeka memilih Negara, Tempat Tinggal, Berkeluarga, Bergerak, Memilih Pekerjaan, Berserikat Berkumpul, Berekspresi, Mengemukakan pendapat, Memperoleh dan mendayagunakan informasi dan lain-lain.

b. Kemanusiaan/Perdamaian

Manusia dalam menjalani kehidupannya sangat mendambakan ketenteraman, bebas dari rasa takut, terjamin keamanannya dan senantiasa dalam suasana yang damai.

c. Keadilan/kesederajatan/persamaan

Diperlakukan secara wajar dan adil, mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh hak, tidak dibeda-bedakan antara manusia yang satu dengan yang lain dengan alasan apapun merupakan keinginan setiap manusia. Sesungguhnya masih banyak nilai dasar HAM yang lain, tapi jika dicermati nilai-nilai yang lain merupakan pengembangan dari ketiga nilai-nilai dasar tersebut. Misalnya, tanpa diskriminasi dalah merupakan pengembangan dari nilai keadilan/kesederajatan/persamaan. Demokrasi oleh beberapa kalangan dianggap sebagai nilai HAM yang mendasar tapi bila ditelusuri demokrasi merupakan pengembangan dari nilai kebebasan atau kemerdekaan.31

31 Nieke Masruchiyah. Prosiding Seminar KMKG: Peranan Pemuda Dalam Penegakan HAM, 17 Juli 2007. Cisarua.


(1)

2. Kebebasan pindah agama adalah perwujudan nyata dari suatu kehendak yang luhur dari suatu yang maha semesta.

3. Kebenaran tentang kebebasan pindah agama adalah hakikat yang muncul dari kesadaran dan bahwa alam indrawi muncul secara hakiki dari kekuatan luar biasa yang maha tinggi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an- al-Karim.

Ali bin Muhammad bin Muhammad ash-Syaukan, Nailul athor, (Mesir: Syirkah Iqomah al-Dîn, 2000), Juz. V. h. 265.

Ahmad Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Maktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. III. H. 47.

Ahmad bin Suaib bin Ali bin Baher bin Sinan, Sunan an-Nasaî, (Maktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. xiii. h. 115.

Al-Din, Fakhr al-Razi, al-Tafsîr al-kab r, (Beirut:Dâr al-kutub al-‘ilmiyah, 1990), vol.30, hal.210-211.

Ahmad, Muhammad Mufti dan Sami Salih al-Wakil, HAM Menurut Barat, HAM Menurut Islam,Ter. Yahya Abdurrahman, dari Huquq Insan Fi al Fikr as-siyasi al-gharbi wa asy-syar’I al-Islami, (Dirasah Muqaranah), (Bogor, Pustaka Thariqul Izah, 2005), Cet.1, h. 6.

Adlabi,Muhammad Munir. Membunuh Orang Murtad. Jakarta: Niqos, 2002, Cet. Ke-1.

Asa, Syub’ah. Dalam Cahaya Al-qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Az-Zuhaili, Wahbah, Kebebasan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Al-Katsar, 2005, Cet. Ke-I.

Arrifa’I, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Cet. Ke-1.

Baidhawi, Zakiyuddin. Kredo Kebebasan Beragama. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), 2005, Cet. Ke-1.

Bisri, Ilhami. Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2004), Cet.I, h. 9.

Budiardjo, Mariam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, Cet. Ke-24, h.120.


(3)

CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Culla, Adi Suryadi. Masyarakat Madani. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002. Cet. Ke-III.

Cauvin, Frans Hak Asasi Manusia:Pendasaran Dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik, (Flores: Ledorero,2004), Cet.1. h. 5.

Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1995, Cet. Ke-II.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 2, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 67.

Fazlurrahman, Islam, alih bahasa ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Bandung, 1984), Cet. I, h. 34.

Hamid, Shalahuddin. HAM Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Amisco.

Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermanitik. Jakarta: Paramadina, 1996 Cet. Ke-I.

Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ III. Jakarta: Pustaka Panjinar, 1983.

Hartono, Sunaryati, Kapita selekta Perbandingan Hukum.Bandung:Citra Aditya Bakti, 1993.

Kosasih, Ahmad. HAM dalam Perspektif Islam “Menyikap Persamaan dan Perbedaan Antara Islam dan Barat. Jakarta: Salemba Diniyah, 2003, Cet. Ke-I. K. Lubis, Suhrawardi. Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), Cet. Ke-I. Litle, David. Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, 1997, Cet. Ke-I.

Madjid, Nurcholish. Hak Asasi Manusia “dalam perspektif Budaya Indonesia”. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1997 Cet. Ke-1.

Masbun,BN. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. Cet. Ke-I.

Muladi, Hak Asasi Manusia “Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat”. Bandung: PT. Refika Aditama, 2005, Cet. Ke-1.


(4)

Mahfudh, Sahal. Solusi Problematika Aktual. Surabaya: Lagnah Ta’lif Wan Nasyr cet. Ke-III. 2007.

Maliki, Zaenudin. Agama Rakyat Agama Penguasa “Kontruksi Tentang Realitas Agama dan Demokratis”. Yogyakarta: Yayasan Galang, 2000.

Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, (al-Maktabah Al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. x. h. 114.

Muhammad bin Ali bin Muhammad ash-Syaukan, Nailul athor, (Mesir: Syirkah Iqomah al-Dîn, 2000), Juz. V. h. 265.

Muslim Abu al-Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairi an Naisaburi, Shoheh Muslim, (al-Maktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. IX. h. 344.

Muzaffar, Chandra. Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru. Bandung: Mizan, Cet. Ke-1.

Masruchiyah, Nieke. Prosiding Seminar KMKG: Peranan Pemuda Dalam Penegakan HAM, 17 Juli 2007. Cisarua.

Musdah Mulia, Siti. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.Artikel diakses pada 10 April 2008, dari http://www.Geogle. Kebebasan beragama. Com/

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Pres, 1979), Cet. I h.10.

Putra Dalizar, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1995, Cet. Ke-II.

Peldi Taher, Elza. Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. I h. 113.

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an” surat Ali-Imran. Jakarta:Lentera Hati Ct. Ke-I.

Quthb, Sayyid. Tafsir fizhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Cet. Ke-1. Razak, Nasrudin. D nul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1977), Cet. II, h. 44 & 47. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Bandung: PT Alma’arif, 1984, Cet. I h. 175.


(5)

Sopyan Yayan. “Peran Masyarakat Dalam Penegakan HAM”. Prosiding Seminar: Sosialisasi HAM Bagi Masyarakat di Propinsi Jakarta, 17 Juli 2007. Cisarua. Hotel Ever Green, Puncak Jawa Barat

Sudjana, Eggi. HAM dalam Perspektif Islam “Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan Modernitas yang Hakiki”, Jakarta: Nuansa Madani, 2005, Cet. Ke-II. Susetyo, Heru. Hak Asasi Manusia : Sejarah Doktrin dan Kendala Implementasinya,

dalam Majalah Sabili, edisi. IV, 13 November 2001, h. 1.

Syaukat Hussain, Syekh. Hak Asasi Manusia dalam Islam.Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Sihab, Qurais. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, Cet. Ke-1.

Setiawan, Chandra. “Kebebasan Beragama dan Melaksanakan Agama /Kepercayaan Perspektif HAM”. Artikel diakses pada 2 Februari 2008 dari http://www. Geogle. Kebebasan beragama. Com/

Thahir, Taib abd. Muin. Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1986), Cet. VIII, h.121.

Teungku Hasbi al-Shidd, Islam dan HAM. Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,1999, Cet. Ke-1.

Taher, Elza Peldi. Agama dan Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Paramadina, Cet. Ke-1 1996.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.292.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1988), Cet. I, h. 867.

Tiena, Yulies Mariani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), Cet. I h. 13.

Undang-undang HAM 1999, “Tentang Hak Asasi Manusia”, Jakarta: Sinar Grafika,2000, Cet. Ke-I.

Wahab, Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (al-Qahirah: Dar al-Qolam, 1978), Cet. VIII. h. 73.


(6)

Yunus Mahfud, Tafsir Qur’an Karim.Jakarta: Sa’adijah Putra. 1971, Cet.Ke-I

Zainudin, A.Rahman. “Hak Asasi Manusia” Sebuah Bunga Rampai” . Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 1994.