Substansi Hukum ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PANCUNG DALAM FIQIH DAN HAM
namun penerapan hukuman mati sesungguhnya merupakan bentuk tindak pembunuhan yang telah direncanakan atas nama hukum negara.
64
Hukuman mati mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan, setidaknya bagi keluarga korban, dan akan membuat orang lain takut melakukan kejahatan serupa, namun hal itu
jelas tidak akan dapat memperbaiki diri si pelaku, karena kesempatan hidup sudah tidak ada lagi. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan dapat merasakan pembalasan
atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain, misalnya dihukum seumur hidup atau penjara.
65
Hukuman mati hanya akan dijatuhkan pada kasus tertentu, bukan pada kasus pembunuhan selayaknya hukum qishash dalam fiqih. Di Indonesia, hukuman mati sampai saat
ini masih diberlakukan pada kasus-kasus tertentu, seperti pada kasus kejahatan tentang terorisme, dalam undang-undang nomer 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme pasal 6 menyatakan
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun”. Namun, hukuman mati yang ada di Indonesia bukanlah merupakan hukuman qishash
seperti yang ada dalam fiqih, di mana hukuman mati yang ada di Indonesia hanya akan diterapkan pada kasus-kasus tertentu bukan pada kasus pembunuhan yang disengaja pada
perseorangang saja. Dalam hal ini, Indonesia memang masih menggunakan hukuman mati pada
64
Barda Nawawi Arief, Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: CV Ananta, 1994, h. 18.
65
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, h. 216-217.
kasus kejahatan terorisme, meski ada sebagian orang yang mengutuk hukuman mati dan ada pula yang mendukung hukuman mati, dengan catatan hukuman tersebut hanya berlaku pada kasus-
kasus tertentu seperti kejahatan tentang terorisme.
B. Tujuan Penghukuman atau Pemidanaan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa nilai-nilai hak asasi manusia telah tertanam sejak Rasulullah SAW mencetuskan piagam Madinah, di mana hak-hak asasi kaum
non-muslim dijamin kelangsungannya. Dan bila ditelaah lebih lanjut, tujuan penghukuman ataupun pemidanaan atas perbuatan membunuh menurut fiqih yaitu adanya hukuman dalam
Islam merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam, sebagai pembalasan atas perbuatan jahat, pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus, serta perlindungan terhadap hak-hak si
korban. Pemidanaan penghukuman dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah kezaliman atau kemudharatan.
66
Sementara menurut Abu Zahrah, hukuman dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah
perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap anggota masyarakat, baik berkenaan dengan jiwa, harta, maupun kehormatan.
Hukuman yang ditegakkan dalam syariat Islam mempunyai dua aspek, represif- preventive pencegahan dan represif-educatif pendidikan. Dengan diterapkan kedua aspek
tersebut akan dihasilkan satu aspek kemaslahatan utility, yaitu terbentuknya moral baik, dan menjadikan masyarakat aman, tentram, damai dan penuh keadilan, karena moral yang dilandasi
agama akan membawa perilaku manusia sesuai dengan tuntunan agama.
67
66
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 188
67
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 38
Sedangkan tujuan penghukuman menurut HAM dalam kasus pembunuhan adalah: berorientasi kepada suatu pembalasan yang ditunjukkan pada elemen kejahatan yang tercela dari
si pelaku.
68
Untuk mengamankan dan menenteramkan masyarakat dengan jalan prevensi umum, di samping untuk mencegah terulangnya kejahatan.
69
Hukuman dijatuhkan agar orang lain masyarakat takut untuk melakukan kejahatan serupa. untuk memperbaiki perilaku si pelaku
kejahatan agar kembali normal layaknya masyarakat yang baik. Hukuman digunakan untuk mengembalikan kekuatan nalar manusia agar bisa mengontrol tindakannya dalam kehidupan
bermasyarakat.
70
Memelihara ketertiban masyarakat dan memelihara tata tertib hukum. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada benturan yang signifikan antara fiqih dengan
hak asasi manusia. Yang ada hanya keegoisan masing-masing pihak yang terlibat dalam dinamika hukum internasional dan Indonesia menjadi bagiannya.
Bahwa ada sejumlah perbedaan memang tidak dapat diingkari. Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa perdebatan itu kemudian diliputi semangat saling membela diri dan bukan
semangat untuk menghasilkan sebuah titik temu atas berbagai perbedaan yang ada. Semangat ini kemudian menghilangkan kemauan untuk meneliti secara cermat tentang hukum asasi manusia
dengan hukum Islam, khususnya terkait dengan hukum pancung. Hal ini diperburuk oleh keadaan bahwa argumen yang muncul didasarkan lebih pada asumsi-asumsi dan praduga dan
bukan didasarkan pada sebuah kajian yang bersifat obyektif. Apabila ada rujukan, hal itu dibuat dengan mendasarkan pada praktik-praktik dibanyak negara-negara Islam, misalnya saja,
bagaimana hukuman pancung diterapkan di Arab Saudi yang sampai sekarang negara itu belum
68
Banding Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Cet. ke-2, h.22-23
69
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, h. 90
70
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakkan Syariah dalam Wacana dan Agenda, h. 51
mengakui adanya universalisme hak asasi manusia. Kita tahu, bahwa praktik-praktik itu lebih didasarkan pada penafsiran-penafsiran secara harfiah dan bukan hukum itu sendiri.
Seperti yang telah dijelaskan dalam beberapa bab sebelumnya, bahwa hukuman pancung masih dibenarkan ketika berbicara tentang fiqih. Namun, tidak serta merta hukuman pancung itu
dilaksanakan. Ada beberapa fase sebelum dilakukannya hukuman pancung terhadap terpidana. Hukum pancung dilaksanakan karena memang hukum pancunglah yang dianggap sebagai
hukuman matiqishash yang paling manusiawi. Sebab, hukuman pancung meminimalisir rasa sakit yang diderita oleh terpidana sebelum ajalnya. Berbeda dengan pegiat HAM secara umum,
yang melihat bahwa hukuman pancung adalah hukuman peninggalan masa jahiliyah yang dianggap kuno, tidak manusiawi dan barbar. Bahkan bagi para pegiat HAM, sampai sekarang
hukuman mati dianggap tidak lagi relevan dengan pranata sosial kekinian. Adanya ancaman hukuman mati dalam Islam, menurut Barda Nawawi Arief, pada
hakikatnya bukanlah sarana utama untuk mengatur, menertibkan, atau melindungi masyarakat, tetapi lebih merupakan jalan hukum terakhir, seperti halnya amputasi dalam kedokteran yang
sebenarnya bukan obat utama, tetapi sebuah pengecualian sebagai sarana pengobatan terakhir.
71
Dengan demikian, ada kriteria-kriteria tertentu yang diatur dalam hukum Islam yang memungkinkan suatu tindak kejahatan tersebut dapat dijatuhi hukuman mati. Tentu saja hal ini
yang tidak terlihat oleh perspektif hukum asasi manusia. Meskipun terdapat undang-undang yang mengatur tentang hukuman mati dalam kasus tindak pidana terorisme dalam sistem hukum
positifnya,
72
bahkan mencantumkannya dalam banyak undang-undang. Hanya saja, sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, negara Indonesia memberlakukan hukuman
71
Dengan kata lain, muncul semacam budaya masyarakat modern yang memandang hubungan seksual, yang dilakukan atas dasar suka sama suka, sebagai hal normal dan hak setiap individu yang tidak dapat
dipertentangkan dengan hukum. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya, 1996, h. 99.
72
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, h. 75
mati secara khusus, hati-hati, dan selektif.
73
Penerapan hukuman mati ini secara filosofis diakui dan diakomodasi oleh konsep negara hukum Pancasila, meski nantinya bisa saja hukuman mati
bersifat esepsional ataupun pidana bersyarat. Dalam hal ini, penetapan hukuman mati dalam beberapa UU di Indonesia pada dasarnya
telah melalui pembahasan di lembaga legislatif, yang notabene adalah para wakil rakyat, sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Jika hukuman mati tetap dipertahankan, maka itulah
pilihan bangsa Indonesia yang harus dihormati dan dipatuhi. Jika hukuman mati itu tidak disetujui lagi, maka rakyatlah yang harus menghapusnya, bukan para ahli, apalagi pihak negara
lain. Menurut Van Bemmelen, mengutip pendapat J.J. Rousseau, pada dasarnya hukum secara
menyeluruh bersandar pada suatu perjanjian masyarakat yang di dalamnya dinyatakan kehendak bersama. Jika terdapat tingkah laku yang menurut kehendak bersama tersebut harus dipidana,
maka hal itu sejak awal harus diuraikan atau ditulis dalam undang-undang. Penguraian yang rinci dimaksudkan untuk menghindari pelanggaran kebebasan individu, sebab dalam perjanjian
masyarakat, setiap orang hanya bersedia melepaskan sebagian kecil kebebasannya ke dalam wadah bersama itu.
74
Begitu pula dengan hukuman mati. Sekiranya hukuman mati tersebut masih layak diberlakukan dan diterima oleh kehendak bersama, maka hukuman tersebut harus
dituangkan dalam bentuk hukum tertulis undang-undang. Dengan demikian, perdebatan hukuman mati dalam konteks demokrasi hendaknya lebih
ditempatkan sebagai komoditas politik hukum ketimbang persoalan ideologis-keagamaan
73
Menurut Mardjono Reksodiputro, hukuman mati di Indonesia saat ini masih diperlukan tapi bukan pada pidana pokoknya. “Ia harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-hati, selektif dikhusus pada
kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan bulat oleh majlis hakim”. Lihat Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati; Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta: Gramedia Kompas, 2007, h.
335.
74
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I; Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bandung: Binacipta, 1987, Edisi Indonesia, h. 50.
tertentu Islam. Munculnya dukungan kuat dari kalangan masyarakat terhadap eksistensi penerapan hukuman mati di Indonesia harus ditempatkan dalam konteks demokrasi, bukan dalam
kerangka perjuangan ideologis. Artinya, hukuman mati yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah hasil dari proses-proses politik hukum dan demokrasi modern.