Setelah aliran litrik dihentikan penyaluran listrik 15–30 detik dan suhu pesakitan mulai mendingin, maka dokter mulai memeriksa jantung sang terpidana mati tersebut, apakah
jantungnya sudah tidak berdenyut lagi alias telah tercabut nyawanya. Jika belum tuntas mati, maka hentakan listrik diberikan lagi, diulang sampai betul-betul detak jantungnya berhenti total.
Ketika arus mulai mengalir ke tubuh terpidana, para pesakitan mengalami kengerian luar biasa. Mereka berusaha melompat, meronta, dan melawan dengan sepenuh kekuatan. Tangan
menjadi merah, lantas berubah menjadi putih. Anggota badan, jari jemari tangan, kaki, dan wajah berubah bentuk. Bola mata sering melotot. Mereka juga sering buang air besar dan kecil, muntah
darah, serta mengeluarkan air liur. Pada suntik mati, hukuman mati dengan cara ini dilakukan dengan menyuntikkan cairan
yang merupakan kombinasi tiga obat. Pertama, sodium thiopental atau sodium pentothal, obat bius tidur yang membuat terpidana tak sadarkan diri. Lantas disusul dengan pancuronium
bromide, yang melumpuhkan diafragma dan paru-paru. Ketiga potassium chloride yang membikin jantung berhenti berdetak.
Pada saat eksekusi, terpidana dibawa ke ruangan khusus, ditidurkan, serta diikat pada bagian kaki dan pinggang. Sebuah alat dipasang di badan untuk memonitor jantung yang
disambungkan dengan pencetak yang ada di luar kamar. Ketika isyarat diberikan, 5 g sodium pentothal dalam 20 cc larutan disuntikkan lewat
lengan. Lalu diikuti oleh 50 cc pancuronium bromide, larutan garam, dan terakhir 50 cc potassium chloride. Kelihatannya mudah. Namun, banyak hal tak terduga bisa terjadi. Dalam
beberapa kasus pembuluh darah sukar didapat atau peralatan tidak pas menembus pembuluh darah.
Pada kasus Suntik mati, si terhukum tetap merasakan sakit dalam hitungan menit, yakni saat racun menghentikan detak jantung. Si jantung yang sebelumnya sehat tetap memaksa
bekerja keras memompa darah walaupun racun telah mencemarinya dalam hitungan menit. Sedangkan jika dibandingkan dengan hukum pancung bagi si terhukum, walau terlihat
kejam secara fisik namun ternyata jauh lebih manusiawi ketimbang jenis hukuman mati lainnya, karena mampu menghilangkan rasa sakit dari tubuh manusia dalam hitungan sepersekian detik
tanpa merasakan sakit sama sekali akibat terputusnya jutaan urat-urat saraf perasa dengan pusat syarafnya, yakni otak si terhukum. Oleh karena itu hukum pancung qishash yang ternyata jauh
lebih akurat dalam menghilangkan rasa sakit pada manusia si terhukum.
34
Parameter ataupun ukuran dalam menentukan apakah suatu tatacara pelaksanaan pidana mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, sebenarnya dapat dinilai
dari pelaksanaannya, yaitu: a. Jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan yang panjang disamping tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian; b. Bertentangan dengan ukuran
kesusilaan yang dianut dalam masyarakat; dan c. Tidak menjaga dan mempertahankan harkat dan mertabat terpidana sebagai manusia.
35
34
Dr. Fadli Ihsan, Perbedaan Hukum Pancung, Kursi Listrik atau Suntik Mati, http:kaahil.wordpress.com20110702perbandingan-metode-hukluman-mati-antara-hukum-pancung-suntik-mati-
dan-kursi-listrik, diunduh pada Tanggal 8 Desember 2011.
35
Lihat Putusan MK Nomor 21PUU-VI2008 tentang Pengujian Undang-undang tentang tatacara Pelaksanaan Eksekusi Mati
BAB III HUKUM PANCUNG DALAM HAM
A. Pengertian, Sejarah dan Nilai-nilai HAM
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
36
Jika dilihat dari segi konstitusi, melalui undang-undang Dasar 1945, Indonesia telah mempunyai landasan hukum yang cukup kuat untuk menegakkan dan melaksanakan HAM,
sebagai upaya penghormatan negara terhadap hak-hak rakyat. Tekad pemerintah untuk menegakkan HAM juga telah ditunjukkan dengan pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia
Komnas HAM pada tahun 1993. Pembentukan Komnas HAM dimaksudkan dalam upaya membantu pengembangan kondisi yang lebih kondusif bagi pelaksanaan HAM. Komnas HAM
dibentuk sesuai dengan keinginan dan kesepakatan masyarakat internasional pada konferensi internasional HAM sedunia II di Wina pada tahun 1992 yang secara konsensus mengesahkan
deklarasi dan program aksi Wina.
37
Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada
36
UU HAM No. 23 Tahun 1999, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. h. 3
37
Dirjen Perlindungan HAM, “Salinan Keputusan Presiden RI Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009, h.2-3
30
Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia,
melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup
bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.
Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang lain, maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat
kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
38
Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, and legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih
damai dan bebas dari ketakutan dan pennindasan serta perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang
mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut rechtsstaat. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, jaminan-jaminan hak asasi itu juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam
undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi konstitusional constitusional democracy, dan dianggap sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping
38
Niwayan Syta Diantri, Sejarah Hak Asasi Manusia, http:emperordeva.wordpress.comaboutsejarah- hak-asasi-manusia diunduh pada tanggal 20 Oktober 2011.
materi ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara dan mekanisme hubungan antarlembaga negara.
Namun, sebelum sampai ke tahap perkembangan yang sekarang, baik yang dicantumkan dalam berbagai piagam maupun dalam naskah undang-undang dasar berbagai negara, ide hak
asasi manusia itu sendiri telah memiliki riwayat yang panjang.
39
Sejak abad ke-13, perjuangan untuk mengukuhkan ide hak asasi manusia sudah dimulai. Penandatanganan Magna Charta pada
1215 oleh Raja John Lackland biasa dianggap sebagai permulaan sejarah perjuangan hak asasi manusia, meskipun sebenarnya, piagam ini belumlah merupakan perlindungan hak asasi manusia
seperti yang dikenal sekarang. Dari segi isinya, Magna Charta hanya melindungi orang-orang yang masuk kategori freeman sehingga kaum budak tidak termasuk di dalamnya. Akan tetapi,
jika dilihat dari segi perjuangan hak-hak asasi manusia, Magna Charta setidak-tidaknya menurut orang Eropa diakui sebagai yang pertama dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia seperti
yang dikenal sekarang.
40
Setelah Magna Charta 1215, tercatat pula penandatanganan Petition of Rights pada 1628 oleh Raja Charles I. Apabila pada 1215 raja berhadapan dengan kaum bangsawan dan
gereja sehingga lahirlah Magna Charta, pada 1628, Raja berhadapan dengan parlemen yang terdiri dari utusan rakyat House of Commons. Oleh karena itu, menurut Moh Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim, kenyataan ini memperlihatkan bahwa perjuangan hak-hak asasi manusia memiliki korelasi yang erat sekali dengan perkembangan demokrasi karena perjuangan hak-hak
asasi manusia itu pada akhirnya berkaitan dengan soal jauh dekatnya rakyat dengan ide demokrasi.
39
Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PSHTN- FHUI, h. 55
40
Mr. Suwandi, Hak-hak Dasar Dalam Konstitusi, Konstitusi Demokrasi Moderen, Djakarta: Pembangunan, 1957, h. 8.
Setelah itu, perjuangan yang lebih nyata terlihat pula dalam Bill of Rights yang ditandatangani oleh Raja Williem III pada 1689 sebagai hasil dari pergolakan politik yang
dahsyat yang bias disebut the Glorious Revolution. Glorious Revolution ini tidak saja mencerminkan kemenangan perlemen atas raja,
41
tetapi juga menggambarkan rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights itu
yang berlangsung tak kurang dari enam puluh tahun lamanya. Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia banyak
dipengaruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para sarjana, seperti John Locke dan Jean Jacques Rousseau. John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu.
Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J Rousseau, John Locke juga mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial.
Perbedaan pokok antara Hobbes dan Locke dalam hal ini adalah bahwa jika teori Thomas Hobbes menghasilkan monarki absolut, teori John Locke menghasilkan monarki konstitusional.
42
Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya homo homini lupus, bellum
omnium comtra omnes. Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut ‘Leviathan’ yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai judul
buku. Keadaan seperti itlak yang, menurut Hobbes, mendorong terbentuknya perjanjian
masyarakat dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Itu sebabnya
41
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Djakarta: Djambatan, 1959, h. 47
42
A. Appadorai, The Subtance of Politics, Oxford University Press: Oxford India Paperbacks, 2005, h. 24-26