1. Al-Qur’an
2. Sunnah
Hakim terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga. Yang masuk surga ialah yang
mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi tidak mengadili dengan hukum
tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui yang
haq dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia juga masuk neraka. HR. Abu Dawud dan Ath-Thahawi
Allah beserta seorang hakim selama dia tidak menzalimi. Bila dia berbuat zalim maka Allah akan menjauhinya dan setanlah yang selalu
mendampinginya. HR. Tirmidzi
Bila seorang hakim mengupayakan hukum dengan jujur dan keputusannya benar, maka dia akan memperoleh dua pahala. Tetapi bila keputusannya salah
maka dia akan memperoleh satu pahala. HR. Bukhari
Janganlah hendaknya seorang hakim mengadili antara dua orang dalam keadaan marah. HR. Muslim
Bila dua orang yang bersengketa menghadap kamu, janganlah kamu berbicara sampai kamu mendengarkan seluruh keterangan dari orang kedua
sebagaimana kamu mendengarkan keterangan dari orang pertama. HR. Ahmad
D. Tingkatan Mujtahid dan Hasil Ijtihad Mujtahid
1. Klasifikasi Mujtahid
Para ulama ushul fiqh telah mengklasifikasikan tingkat dan peringkat seorang mujtahid dari yang tertinggi sampai yang terendah, sebagai berikut:
27
27
Ibid, h. 34-35
a. Mujtahid al-Mutlaq yaitu seorang mujtahid yang mampu menggali hukum- hukum syari’at dari sumber pokok al-Qur’an dan Sunnah. Metodologi yang
digunakan oleh mujtahid al-mutlaq ini adalah metode ijtihad secara mandiri, tidak berpedoman kepada usul al-istinbath mujtahid lain.
b. Mujtahid al-Muntasib yaitu seorang mujtahid yang melakukan ijtihadnya dengan memilih metodologi istinbath hukum seorang Imam Mazhab mutlak,
sekalipun dalam masalah furu’ ia berbeda pendapat dengan imam atau gurunya.
c. Mujtahid Mazhab yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhabnya, baik dalam masalah usul maupun furu’. Kalaupun dia melakukan ijtihad, ijtihadnya
terbatas dalam lingkup masalah yang ketentuan hukumnya tidak diperoleh dari imam mazhab yang dianutnya.
d. Mujtahid Murajjih ialah mujtahid yang melakukan tarjih di antara beberapa pendapat mujtahid sebelumnya, dengan tujuan untuk mengetahui pendapat
mana yang didukung oleh riwayat yang lebih shahih atau pendapat mana yang didukung oleh dalil dan argument yang lebih kuat.
2. Hasil Ijtihad Mujtahid
a. Ijtihad Umar Bin Khattab Mengenai Penanggalan Hijriyah
28
Sebelum datangnya Islam, orang Arab tidak memiliki penanggalan resmi yang diakui oleh seluruh kabilah dan suku-suku Arab. Yaitu penanggalan yang berfungsi
28
Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar Bin Khattab Dar As-Salam, Cairo: 2003, h. 390-395
untuk mengingat peristiwa-peristiwa yang dilalui, sesuai dengan aturan dan metode yang jelas, yang dapat membantu mengetahui kelahiran dan kematian seseorang atau
hal-hal yang menimpa mereka. Karena itu, para tokoh Islam kesulitan memastikan hari kelahiran mereka,
bahkan kelahiran Rasulullah pun hanya disebut dengan Tahun Gajah. Secara umum, aturan penanggalan Arab Pra Islam belum ada aturan pasti dan masih berbeda setiap
sukunya. Penanggalan Hijriyah mulai dipikirkan dengan serius pada Masa Khalifah
Umar yang mempermasalahkan bahwa setiap surat yang datang harus ada penanggalannya. Untuk itu, Khalifah Umar mengumpulkan para sahabat dan
memutuskan bahwa penanggalan dimulai saat hijrahnya Rasulullah ke Madinah. Dan bulan pertama adalah Muharram serta penghitungannya ditetapkan
bahwa permulaan bulan Muharram pada tahun pertama Hijriyah jatuh pada hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M. Dengan semakin canggihnya teknologi dan
kemampuan manusia semakin memudahkan kaum muslimin untuk menentukan penanggalan hijriyah dan semakin mempermudah menentukan hubungan antara tahun
Hijriyah Qamariyah dan tahun Syamsiyah Masehi. b. Ijtihad Ibnu Taimiyah Mengenai Menjatuhkan Tiga Talak Sekaligus
Hukumnya Jatuh Talak Satu
29
29
Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fiqh Islam, INIS, Jakarta: 1991, h. 118-122
Yang dimaksud tiga talak sekaligus ialah baik satu kalimat, seperti “Engkau tertalak tiga” maupun kalimat yang diulang-ulang, contoh “Engkau tertalak, engkau
tertalak, engkau tertalak”. Ibnu Taimiyah menganggap ini jatuh talak satu saja. Pendapat ini sama
dengan Kaum Ahl Az-Zahir, Zubair ibn Awwam, Abd Rahman ibn ‘Auf, Ali ibn Abi Thalib, Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas r.a.
Ibnu Taimiyah merujuk pada surat Al-Baqarah ayat 229:
⌧ …
Artinya: “Talak yang dapat dirujuki dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
maruf atau menceraikan dengan cara yang baik… .” QS: Al-Baqarah: 229
Kata
ق ﻟا نﺎ ﺮ
ialah talak raj’i yang diartikan dua kali dalam pengertian sekali demi sekali marrah ba’da marrah. Ungkapan ath-thalaq marrataani juga
mengandung maksud untuk tidak menjatuhkan tiga talak sekaligus, akan tetapi sekali demi sekali.
Ibnu Taimiyah juga mendasarkan pendapatnya pada Hadist berikut:
ﻦﺑا ﻦ سووﺎ ﻦ و ﻴ ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر ﺪﻬ ﻰ ق ﻟا نﺎآ لﺎ سﺎ
ﺪ سﺎ ﻟا نإ ﺮﻤ لﺎ ةﺪﺣاو ث ﻟا ق ﺮﻤ ﺔ ﻦ ﻦﻴ و ﺮﻜﺑ ﻰﺑأ و ﻢ
ﻢ ﻤﻟ ﺔ اور ﻰ و ﻢﻬﻴ ﺎﻤﺿﺄ ﻢﻬﻴ ﺎ ﻴﻤﺿأ ﻮ ةﺎ أ ﻴ ﻢﻬﻟ ﺎآ ﺮ أ ﻰ اﻮ ا
أ سﺎ ﻦﺑ لﺎ ،ءﺎ ﻬ ﻟا ﺎﺑأ نأ سووﺎ ﻦ ﺮﻴﻏ و ث ﻟا ﺎآ ﺎﻤ إ ﻢ
Artinya: “Dari Tawus, dari Ibn Abbas r.a., ia berkata: “Talak tiga pada masa Rasulullah
saw., masa Abu Bakar, dan dua tahun pada masa Umar itu hanya dianggapsatu.” Kemudian Umar berpendapat, “Sesungguhnya orang-orang itu terlalu tergesa-gesa
dalam masalah talak yang sesungguhnya membutuhkan kesabaran. Kalau hal yang demikina itu kami biarkan terhadap mereka, maka tentu mereka akan terus menerus
melakukannya.” Dalam riwayat Muslim dan lain-lain dari Tawus, sesungguhnya Abu as-Sahba’ bertanya kepada Ibnu Abbas, “Tahukah kamu kalau tiga kali talak itu
dijadikan satu pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar dan tiga tahun pada masa pemerintahan Umar?” Ibn Abbas menjawab “Ya saya tahu
.” Menurut pemahaman Ibnu Taimiyah, talak itu rukkhsah hukumnya. Talak
pada dasarnya dilarang dan tidak diizinkan oleh Allah kecuali dalam waktu dan bilangan yang dimaklumi. Al-Qur’an telah menerangkan jumlah bilangan talak 3 kali
dan sekaligus juga menerangkan tentang cara menyampaikan yaitu sekali demi sekali.
30
Al-Ashimi, Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam Ahmad Ibn Taimiyah, h. 40
BAB III GAMBARAN UMUM PERADILAN AGAMA
DKI JAKARTA
A. Sejarah Pengadilan Agama
Bermula dari surat ketetapan Komisaris Jendral Hindia Belanda tanggal 12 Maret 1828 nomor 17, khusus untuk Batavia dibentuk satu majlis distrik yang
berwenang menyelesaikan semua sengketa keagamaan, soal perkawinan dan warisan. Memang sangat mungkin Pengadilan Agama sudah ada jauh sebelum itu, namun
pengakuan pertama secara resmi oleh pemerintah kolonial Belanda adalah pada tahun 1828 tersebut. Majlis distrik ini dipimpin oleh Komandan Distrik sebagai Ketua
dibantu oleh para Penghulu dan Kepala Wilayah sebagai anggota. Majlis Distrik ini pulalah yang menandai awal berdirinya Pengadilan Agama
Jakarta sebagai badan peradilan yang terkait dan berada dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan secara formal dengan yurisdiksi meliputi seluruh wilayah Batavia,
Meester Cornelis Jatinegara, Bekasi dan Cikarang. Pada masa-masa ini keberadaan dan kewenangan Pengadilan Agama
khususnya Pengadilan Agama Batavia berada dalam ketidakpastian karena masih saja dipersoalkan oleh para politisi dan ahli hukum Belanda tentang perlu dan tidaknya
untuk dipertahankan. Atas perjuangan para penghulu dan ulama, maka pada tanggal 19 Januari 1882 Raja Williem II mengeluarkan Konninklijk Besluit Keputusan Raja
Belanda nomor 24 tanggal 19 Januari 1882 yang dinyatakan berlaku sejak dimuat