Kedudukan Mujtahid dan Hakim Dalam Sejarah

Hakim Pengadilan Agama dipandang oleh masyarakat banyak adalah tokoh masyarakat yang memiliki otoritas. Oleh karena itu, seorang hakim harus dapat membawa diri dan menjadi teladan sehingga dalam bekerja tidak direpotkan oleh tindakan masyarakat yang tidak bertanggung jawab baik langsung maupun tidak langsung. Tingkah laku seorang hakim dapat dinilai langsung oleh masyarakat. Jika masyarakat terlanjur menilai rendah seorang hakim maka penilaian tersebut akan sangat sulit untuk dipulihkan kembali. Karenanya hakim harus selalu dihormati dan menjadi teladan dalam hal tingkah laku. 6

B. Persamaan Dan Perbedaan Hakim Agama Dan Mujtahid

1. Kedudukan Mujtahid dan Hakim Dalam Sejarah

a. Mujtahid

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan secara terperinci dalam bab sebelumnya mengenai mujtahid. Di sini akan penulis jelaskan lebih lanjut mengenai bagaimana kedudukan mujtahid dalam masyarakat. Ijtihad pada awalnya dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri selama masa hidupnya untuk memecahkan berbagai persoalan yang tidak diatur dalam Al-Qur’an, dan semua yang diputuskan oleh Rasulullah SAW akan selalu diikuti oleh umat Islam karena akan selalu benar. Hal ini kemudian berlanjut pada masa Khulafaur Rasyidin, 6 Abdul Manan, Etika Hakim, h. 180 dan Khalifah Umar Bin Khattab adalah khalifah yang paling banyak melakukan ijtihad. Misalnya memisahkan mesjid utama dengan pusat jual beli atau membangun penjara sebagai salah satu tempat orang-orang melakukan kejahatan selain harus diqishash atau rajam atau yang lainnya. Ijtihad yang dilakukan oleh khalifah ini kadangkala diragukan atau dipertanyakan oleh sebahagian para sahabat karena tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah. Namun setelah menjelaskan maslahah mursalahnya dapat diterima oleh umat Islam. Istilah ijtihad semakin dikenal sejak semakin majunya Negara Islam dalam masa kejayaan dimana ilmu pengetahuan perkembang dengan cepat. Semakin maju masyarakat Islam maka semakin banyak pula persoalan yang timbul, sedangkan al- Qur’an dan Hadist tidak dapat memecahkannya. Maka umat Islam pun mencari solusi kepada ulama terkemuka. Dari sinilah muncul mujtahid-mujtahid handal dan terbuka pintu ijtihad. Terutama pada masa Empat Imam Mazhab yang terkenal yaitu Imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam Malik dan Imam Hanbali. Semakin berkembang dengan penyebaran yang dilakukan oleh para murid-murid Imam Mazhab tersebut. Dan semakin dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Berbeda dengan pada masa Khulafaur Rasyidin, pada masa ini ilmu semakin berkembang seperti fiqh dan ushul fiqh sehingga tidak perlu lagi pertanyakan ijtihad- ijtihad para ulama tersebut karena akan langsung difahami oleh umat Islam hanya dengan sedikit penjelasan. Dari sinilah muncul istilah “Mujtahid”. Selalu akan ada sisi negatif dari setiap perkembangan, semakin banyaknya para mujtahid bermunculan, semakin banyak pula orang-orang yang mengaku mujtahid dan seringkali memberikan fatwa yang tidak sesuai dengan syariat bahkan melanggar aturan syariat yang ditetapkan oleh Allah. Oleh karena itu, para ulama mulai menetapkan syarat-syarat khusus untuk bisa menjadi seorang mujtahid yang secara lengkap telah penulis jelaskan dalam bab sebelumnya. Seiring dengan ditetapkannya syarat-syarat tersebut, disebabkan oleh orang- orang yang tidak bertanggung jawab, muncul pula serangkaian pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad harusnya ditutup. Karena ilmu yang ada pada saat itu telah mencukupi bagi umat Islam. Dari masa inilah mulai berkurang ijtihad-ijtihad dari berbagai kalangan ulama bahkan hampir mati. Namun pada dasarnya ijtihad akan selalu diperlukan pada setiap waktu dan zaman. Masalah-masalah yang timbul akan selalu berbeda dan berkembang dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kita dapat memahami hukum syara’ dari seruan Syari’ melalui proses ijtihad yang benar. Jadi, ijtihad para mujtahid itulah yang memunculkan hukum syara’. Karena itu, hukum Allah bagi setiap mujtahid adalah apa yang dihasilkan melalui proses ijtihad dan menduga kuat kebenaran hukum tersebut. Seorang mukallaf yang telah mencapai derajat ahli ijtihad dalam masalah tertentu, apabila berijtihad dan mendapatkan hukum tentang masalah tersebut, maka dalam hal ini terdapat kesepakatan ulama, bahwa seorang mujtahid tidak diperkenankan ber taklid kepada mujtahid lain yang pendapatnya berlawanan dengan hasil ijtihadnya. Dia tidak boleh meninggalkan ijtihadnya walaupun berbentuk zhanny kecuali pada empat perkara: 1. Jika sudah jelas baginya bahwa dalil yang menjadi tempat sandaran ijtihadnya itu adalah lemah. Dan dalil mujtahid lainnya lebih kuat. Dalam kondisi semacam ini, ia wajib meninggalkan hukum –hasil ijtihadnya-, dan mengambil hukum yang dalilnya lebih kuat. 2. Jika sudah jelas baginya bahwa mujtahid lainnya itu lebih mampu dalam meramu ijtihadnya, atau lebih banyak mendalam informasi tentang fakta, atau lebih kuat pemahaman dalil-dalilnya, atau lebih banyak pengkajiannya tentang dalil-dalil sam’i, maka ia boleh meninggalkan hukum –hasil ijtihadnya-, kemudian bertaklid terhadap mujtahid lain yang lebih dipercaya bahwa proses ijtihadnya lebih terpercaya dibandingkan hasil ijtihadnya sendiri. 3. Jika terdapat pemikiran untuk menyatukan sikap kaum Muslim dalam rangka mencapai kemaslahatan bagi kaum Muslim. Dalam kondisi semacam ini boleh bagi seorang mujtahid meninggalkan pendapatnya, dan mengambil hukum yang dapat menyatukan sikap kaum Muslim. Seperti yang terjadi di masa pembai’atan Utsman ra. 4. Jika Khalifah telah memilih dan menetapkan salah satu hukum syara’ yang berbeda dengan hukum hasil ijtihad seorang mujtahid. Dalam kondisi semacam ini wajib atasnya tidak menjalankan hasil ijtihadnya. Ia harus mengamalkan hukum yang telah dipilih dan ditetapkan Khalifah. Para sahabat telah ijma’ bahwa ‘perintahkeputusan Imam Khalifah menghilangkan perselisihan’. 7 Perintah Imam harus dijalankan atas seluruh kaum Muslim. Jika seseorang tidak memiliki kemampuan berijtihad, maka dibolehkan baginya bertaklid kepada para mujtahid. Karena para sahabat telah sepakat tentang bolehnya seorang mujtahid bertaklid kepada mujtahid lainnya.

b. Hakim

Hakim di Indonesia adalah istilah yang memang telah ada sejak Islam datang ke Indonesia melalui para pedagang Arab dan Gujarat. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, posisi hakim dipegang langsung oleh para raja yang berkuasa sehingga jika ada pengaduan dari rakyat, rakyat bisa langsung menemui raja mereka. Namun seiring dengan perkembangan kerajaan yang semakin maju dan berkembang, sang raja akhirnya sibuk dengan urusan administrsi negaranya dan kedudukan sebagai hakim pun diberikan kepada orang lain. Kedudukan yang krusial ini tidak bisa diberikan kepada sembarang orang. Kebanyakan para hakim yang ditunjuk oleh raja adalah para ulama terkemuka di masyarakat yang menguasai ilmu- ilmu agama yang peradilannya disebut “Qhada”. Dengan demikian dapat menyelesaikan perkara perkara sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah 7 http:moebsmart.co.cc?p=590 Sesuai dengan perkembangannya dan banyaknya permasalahan yang timbul, persoalan tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengadu dan meminta putusan yang seadil-adilnya. Untuk itu, mulai dibentuklah suatu lembaga khusus peradilan Islam yang umumnya mengurusi perkara perkawinan, waris dan wakaf. Lembaga ini terus ada sampai masa penjajahan Belanda. Bahkan lembaga Peradilan Islam semakin dikokohkan dengan keluarnya Stbl 152 tahun 1882. Kedudukan hakim pada masa kerajaan sangat dimuliakan. karena putusannya akan selalu diikuti oleh semua orang. Ditambah dengan faktor bahwa untuk menjadi seorang hakim harus sudah mempunyai ilmu yang mumpuni dalam bidang agama. Sehingga semua putusan hakim akan sama dengan fatwa ulama dalam fiqh pada saat itu Pada masa Belanda, mulailah campur tangan pemerintah dalam bidang ini, efek sampingnya, kedudukan hakim dimata rakyat semakin menurun dan tidak punya nilai lagi dalam penetapan hukum, hal ini telah penulis jelaskan dalam bab sebelumnya. Fungsi hakim pada saat itu hanya lah sebagai labay yang menikahkan orang dan hanya di bidang perkawinan. Pada masa kemerdekaan, peradilan Islam mulai bangkit kembali karena tetap dipertahankan oleh pemerintah di bawah naungan Departemen Agama, yang telah penulis jelas denga terperinci pada BAB II.

2. Persamaan dan Perbedaan antara Hakim dan Mujtahid