terdahulu, sehingga memaksa hakim untuk membuat putusan yang bijaksana. Putusan-putusan hakim mengenai hal-hal yang baru inilah yang kemudian setelah
mempunyai kekuatan hukum tetap akan menjadi yurisprudensi di Indonesia. Artinya, akan menjadi rujukan hukum bagi hakim-hakim selanjutnya jika menemukan perkara
yang sama. Kedudukan hakim agama seperti ini, secara tidak langsung mempunyai
kedudukan yang sama sebagai seorang mujtahid. Namun bedanya, dalam fiqh seseorang dapat dikatakan atau menjadi mujtahid dengan berbagai persyaratan yang
belum tentu dipenuhi oleh seorang hakim agama di Indonesia. Karena itulah, berdasarkan deskripsi di atas, penulis hendak mengangkat suatu
tema yang akan ditulis sebagai bahan skripsi, yaitu membahas tentang “Batasan Hakim Agama Dalam Berijtihad Di Wilayah Dalam Yurisdiksi Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta” .
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mujtahid adalah seseorang yang mencurahkan segenap kemampuannya dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni dugaan kuat, dalam batas sampai
dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu. Sedangkan di Indonesia putusan seorang hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bisa dianggap sebagai
hasil ijtihad dan menjadi yurisprudensi bagi hakim setelahnya jika terdapat perkara yang sama.
Oleh karena itu, agar pembahasan dalam skripsi ini terfokus pada permasalahan yang ingin dipecahkan, maka penulis membatasi kajian dalam
penelitian ini hanya pada penelitian mengenai bagaimana seorang hakim senior yang telah berkarier lebih dari 20 dua puluh tahun berijtihad dalam putusannya ketika
menangani perkara yang belum ada peraturan perundang-undangannya atau terhadap perkara yang bersifat substansial yang memerlukan pertimbangan khusus dalam
memutus perkara yang seadil-adilnya.
2. Perumusan Masalah
Hakim dalam beracara perkara di pengadilan yaitu menerima, memeriksa, meneliti, dan eksekusi tidak boleh memutus perkara jika tidak diatur dalam Undang-
Undang, khususnya hakim peradilan agama yang kebanyakan merujuk pada Kompilasi Hukum Islam. Namun, pada kenyataannya para hakim agama sering kali
memutus perkara yang belum diatur oleh UU dan KHI disebabkan perkara tersebut belum diatur secara sah oleh Negara dan kadang kala bersifat substansial.
Selanjutnya untuk lebih memfokuskan permasalahan dalam latar belakang masalah tersebut di atas, akan dibuat rumusan masalah dalam skripsi ini adalah
“Hakim diwajibkan menemukan hukum dalam proses peradilan sebagai ijtihad”. Bila rumusan itu dijadikan pertanyaan dapat diajukan sebagai berikut:
1. Apa instrumen dasar batasan hakim dalam memutus suatu perkara kontemporer?
2. Dimana letak persamaan dan perbedaan antara hakim Pengadilan Agama di Indonesia dengan seorang mujtahid dalam fiqh?
3. Bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama di wilayah yurisdiksi PTA Jakarta tentang batasan seorang mujtahid dalam berijtihad kaitannya dengan
putusan hakim dalam sebuah perkara yang belum ada peraturan perundang- undangan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk merealisasikan beberapa tujuan, antara lain: 1. Untuk mengetahui sejauhmana batasan hakim di Indonesia dalam memutus
suatu perkara kontemporer dan kaitannya dengan efektifitas hasil ijtihad seorang mujtahid dalam Fiqh.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan kekuatan hasil putusan hakim peradilan agama dengan ijtihad seorang mujtahid.
3. Untuk mengetahui pandangan hakim peradilan agama mengenai ijtihad seorang mujtahid dan kaitannya dengan putusan hakim dalam sebuah perkara
yang belum ada peraturan perundang-undangannya. 4. Untuk memenuhi syarat-syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Syariah
S.Sy dalam program strata 1 S1 Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan sebagai berikut:
1. Masyarakat