Peran Hakim Mediasi Dalam Perkara Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)

(1)

PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN

(Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SITI NURJANAH NIM: 1110044100044

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)

Oleh: SITI NURJANAH NIM: 1110044100044

Di Bawah Bimbingan:

W"

Hotnidah Nasution. S.Ae.. MA.

NIP: 197106301997032002

KONS

ENTRA

SIPERADILANAGAMA

PROGRAM

STT]DI

HUKT]M

KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

TJNIVERSITAS

ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 rV2015

M


(3)

SURAT

PERI\YATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

l.

Skripsi ini merupakan hasil karya asii saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata

I

di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan

ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri

Of$

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika kemudian hari terbukti bahwa karya

ini bukan

hasil karya asli saya atau merupakan hasil jeplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku

di

Universitas Islam Negeri Jakarta

(UIN)

Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 02Marct2015

Siti Nurjanah


(4)

Skripsi yang berjudul "Peran Hakim Mediasi Dalam Perkara Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)" telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Hukum Keluarga Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakartapada tanggal 19 Maret2015.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah.

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1.

Kctua Prodi Kamarusdiana. S.Ag.. MH.

NIP. 1 972 0 22 4199 803t0 03

Sri Hidayati" S.Ag.. M.As NIP" 1 971 0215t997 032002

:... )

3"

Pembimbing Hotnidah Nasution" S..Ag.. MA.

NIP. 19710 6301997 032002

Dr" I{i" dzizah. MA. l{IP. 19630409198902200 X

4.

Penguji

I

Abdurrauf" Lc."

MA"

*

NIP. 19731215200s01 1002

2,

Sekretaris Prodi

xv

J akarta, 1 9 Maret 20 I 5

NIP. 19691


(5)

v

ABSTRAK

Siti Nurjanah, NIM 1110044100044, dengan judul PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014), Konsentrasi Akhwal Syakhsiyah, Program Studi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; proses dan penerapan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, tingkat keberhasilan mediasi, faktor penghambat dalam mediasi, dan juga untuk mengetahui apakah hakim yang ditunjuk sebagai mediator telah menjalankan upaya mediasi tersebut dengan optimal.

Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan cara mengumpulkan data-data baik secara langsung turun kelapangan tentang objek yang diteliti. Sumber data yang didapat yaitu, data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui wawancara, data sekunder adalah data yang diperoleh melalui buku-buku, dan dokumen-dokumen resmi. Dan teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi dan interview.

Kesimpulan penelitian ini adalah pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah dilakukan sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2008. Namun, tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat masih belum menunjukan hasil yang maksimal dalam menekan angka perceraian. Sedangkan kendala dalam pelaksanaan mediasi adalah: a) terbatasnya waktu yang digunakan mediator dalam melaksanakan mediasi, b) terbatasnya kepiawaian atau keterampilan hakim dan mediator dalam melaksanakan mediasi, c) kurangnya respon dari para pihak yang melakukan mediasi untuk terciptanya perdamaian diantara mereka, sehingga mediasi sangat sulit untuk dilakukan.

Kata Kunci: Peran Hakim, Mediasi, Perceraian Pembimbing: Hotnidah Nasution. S. Ag., MA. Daftar Pustaka: Tahun 1954 s.d 2014


(6)

vi

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, shalawat seiring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan Khatamul anbiya’i wal mursalin Muhammad SAW.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang di temui. Banyak hal yang tidak dapat di hadirkan oleh penulis di dalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu.

Tanpa penulis lupakan banyak yang terlibat dalam menyelesaikan studi penulis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam menyelesaikan skripsi ini.

Untuk itu penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak, Bapak dan Ibu:

1. Bapak Dr.Phil. JM. Muslimin, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.H. dan ibu Sri Hidayati, M.Ag. Ketua dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga.

3. Ibu Hotnidah Nasution, S.Ag., MA. Sebagai dosen pembimbing yang begitu peduli dan senantiasa meluangkan waktu serta telah banyak memberikan berbagai saran, nasehat, semangat dan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.


(7)

vii

4. Seluruh staf pengajar bapak dan ibu dosen lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mentransfer sebagian ilmu pengetahuannya kepada penulis sebagai landasan dasar dalam penyusunan skripsi ini.

5. Segenap pengelola perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk bapak Ruslan, SH., MH. serta bapak dan ibu hakim mediator sebagai narasumber yang telah meluangkan waktu dan memberikan informasi kepada penulis seputar permasalahan yang penulis angkat.

7. Teristimewa ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Warto dan Ibunda Surati tercinta yang telah memberikan banyak bantuan terutama dari segi keuangan dan dukungan, terima kasih juga atas do’a dan pengorbanan ayah dan ibu yang tak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan baik, terutama motivasi untuk meyelesaikan skripsi ini. Tiada kata yang pantas selain ucapan do’a dan terima kasih, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan.

8. Kakak-kakakku Waryanti dan Ahmad Nurcholik serta keponakanku tercinta Queenta Afkaha Syakur dan Syifa Kainati Syakur yang juga ikut memberikan motivasi serta doa yang tiada hentinya kepada penulis, yang tidak pernah lelah


(8)

viii terselesai nya skripsi ini.

9. Teman-teman seperjuangan ku keluarga besar mahasiswa Peradilan Agama angkatan 2010 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu khususnya Sahabat baikku Nurkhofifah Syarif dan Siti Rachmah. Dan juga teruntuk sahabat terbaikku, Ryzkiana Riedho, Nurfitriana, Arwinda, Windri Wulandari, Tri Prisca Amiyudo. Dan teman-teman semasa kecilku Selly Muliani dan Fauzah Hasan, terima kasih banyak atas bantuan doa dan semangat serta inspirasinya, kalian banyak membantu penulis selama penulis studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

10. Seluruh pihak/instansi terkait yang tidak penulis sebutkan yang ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini

Semoga segala kebaikan dan sumbangsih kalian semua di catat oleh Allah SWT sebagai amal untuk bekal di akhirat nanti, Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Jakarta, 02 Maret 2015


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian ... 10

E. Penelitian Terdahulu ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II UPAYA MEWUJUDKAN MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN A. Perceraian ... 16

B. Mediasi ... 27

C. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian ... 34

D. Mediasi Dalam Hukum Islam ... 41


(10)

x

A. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 59

B. Fasilitas Pengadilan Agama Jakarta Pusat... 61

C. Bagan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 63

D. Visi Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 65

E. Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 65

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 73

B. Tingkat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 82

C. Faktor-faktor Penghambat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 87

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan dalam bahasa arab berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Al-Nikah mempunyai arti al-wath’i, al-dhommu, al- jam’u atau ibarat „an al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh, hubungan badan, berkumpul, jima’ dan akad. Secara terminologis perkawinan (nikah) yaitu akad yang membolehkan terjadinya istimta’ (persetubuhan dengan seorang wanita,

selama seorang wanita tersebut bukan dengan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sebab susuan. 1

Menurut sebagian ulama Hanafiah “nikah adalah akad yang memberikan

faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan

kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah

sebuah ungkapan (sebutan) atau title bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata”. Oleh mazhab Syafi’iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwiji; atau turunan

1

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu,


(12)

(makna) dari keduanya”. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan nikah tangan “akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang).2

Ulama muta’ akhirin mendefinisikan nikah sebagai berikut3 :

“Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing.”

Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan. 1. Perkawinan dilihat dari segi hukum.

Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian. Oleh Al-Qur’an surat An-Nisa: 21, dengan istilah “perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaliizhaan”.

2. Segi sosial dari suatu perkawinan

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.

3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting, dalam Agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara

2

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2005), h. 45

3

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta:Graha Ilmu,


(13)

3

perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.4

UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia merumuskannya dengan:

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

Pasal 2

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3

Perkawina bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Tujuan dari perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya

4

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta:Graha Ilmu,

2011), Cet. 1, h. 4

5


(14)

keperluan hidup lahir dan batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.

Adapun tujuan dari perkawinan tersebut adalah: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. 4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.6

Adapun asas-asas dan prinsip-prinsip yang dianut oleh UU perkawinan adalah sebagaimana yang terdapat pada penjelasan Umum UU perkawinan itu sendiri, sebagai berikut:

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

6


(15)

5

kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu telah harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.

4. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alas an-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding pengadilan. 5. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami

baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.7

Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya dua suami-istri penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dirawat bias menjadi pudar, bahkan bisa hilang berganti dengan kebencian. Kalau kebencian sudah datang, dan suami-istri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak keturunannya. Oleh karena itu, upaya memulihkan kembali kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu

7

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta:Graha Ilmu,


(16)

dilakukan. Memang benar kasih sayang itu bisa beralih menjadi kebencian. Akan tetapi perlu diingat bahwa kebencian itu kemudian bisa pula kembali menjadi kasih sayang. 8

Perkawinan merupakan konsep hukum (legal conceptal) di mana perbuatan tersebut menimbulkan sejumlah hak dan kewajiban antara para pihak yang membuat perjanjian yaitu suami-istri. Akad perkawinan merupakan sumber yang menyebabkan lahirnya hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban suami istri berlangsung selama mereka terikat dengan akad, dan putusnya perkawinan menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban suami istri dalam suatu rumah tangga.

Perkawinan juga bertujuan membentuk keluarga yang bahagia, mawadah dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah. Allah menyatakan: “Diantara

tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, diciptakan kepadamu pasangan dari dirimu agar kamu cenderung kepadanya, dan kami jadikan diantara kamu mawadah wa rahmah …” (QS. Ar-Rum: 21). Perkawinan juga akan melahirkan keturunan yang merupakan pelanjut generasi manusia di muka bumi. Perkawinan menjadi kebutuhan naluriah manusia, karena manusia cenderung untuk hidup berpasang-pasangan yang melahirkan keturunan yang sah, sehingga kedudukan manusia sebagai makhluk mulia dan bermartabat akan tetap terjaga.9

8

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, (Jakarta: Kencana

Prenada Media, 2010), Cet. 3, h. 96

9

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,


(17)

7

Islam mengharapkan perkawinan yang akadnya bernilai sakral dapat dipertahankan untuk selamanya oleh suami istri. Namun, Islam juga memahami realitas kehidupan suami istri dalam rumah tangga yang kadang-kadang mengalami persengketaan dan percekcokan yang berkepanjangan. Perselisihan antara suami istri yang memuncak dapat membuat rumah tangga tidak harmonis, sehingga akan mendatangkan kemudaratan. Oleh karena itu, Islam membuka jalan berupa perceraian. Perceraian merupakan jalan terakhir yang dapat ditempuh suami istri, bila rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian dalam Islam memiliki proses panjang. Persengketaan suami istri tidak serta-merta menjadi alasan yang memutuskan hubungan perkawinan, tetapi mengandung proses mediasi dan rekonsiliasi, agar rumah tangga mereka dapat dipertahankan.10

Terkadang juga dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu mulus, pasti ada kesalahfahaman, kekhilafan, dan pertentangan. Percekcokan dalam menangani permasalahan keluarga ini ada pasangan yang dapat mengatasinya. Terkadang percekcokan itu perlu ada di tengah dinamika keluarga sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga, tentunya dalam porsi yang tidak terlalu banyak.11

Pada setiap perkawinan tentunya diharapkan adanya keharmonisan dalam berumah tangga dan menjadikan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah,

10

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.

181

11

Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum


(18)

namun adakalanya perkawinan ini tidak mencapai kebahagiaan. Maka demi kebaikan bersama terbukalah pintu perceraian. Dalam menyelesaikan perkara perceraian di pengadilan agama di awali dengan mediasi.

Mediasi adalah merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Mediasi dari sisi kebahasaan lebih menekankan pada pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk menyelesaikan perselisihan. Pihak ketiga ini disebut mediator.

Mediator berada pada posisi di tengah dan netral antara para pihak yang bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa.12

Peran hakim Pengadilan Agama dalam proses persidangan pertama dan utama, tujuannya adalah untuk mendamaikan para pihak yang berperkara, karena mendamaikan itulah sebagai prioritas utama. Termasuk dalam hal ini perkara perceraian pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, disebutkan “selama pekara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”.

Karena itu penulis berkeinginan meneliti mediasi dalam perkara perceraian dalam bentuk skripsi dengan judul “PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)”

12

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,


(19)

9

B. Batasan dan Perumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi masalahnya pada masalah peranan Mediator dalam memediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang di batasi dari tahun 2012-2014

2. Perumusan Masalah

Dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak adalah bersifat imperatif, karena itu upaya mendamaikan haruslah dilaksanakan dengan baik oleh hakim secara optimal. Namun pada prakteknya mediasi dalam perkara perceraian dilakukan hanya sekedar formalitas.

Karena itu pertanyaan penelitiannya adalah :

1. Bagaimana proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ?

2. Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara perceraian ?

3. Faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara perceraian ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.


(20)

2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara perceraian.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan mediasi perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para Hakim dan praktisi

hukum dalam melakukan mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan Agama.

2. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi kajian yang akan dibahas pada permasalahan tersebut.

3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Penelitian ini adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuruidis sosiologis adalah: suatu penelitian didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang dilapangan.13 Dalam penelitian ini yang akan dicari perihal pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama dengan

13

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normartif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja


(21)

11

berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, sehingga dapat diperoleh kejelasannya di persidangan pengadilan.

2. Jenis Penelitian

Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat maka dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang atau perilaku orang.

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini ialah secara spesifik lebih bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang objek yang diteliti, dalam hal ini untuk menggambarkan peraturan mediasi berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008.

3. Sumber Data

Jenis data dalam penulisan skripsi ini terdiri dari data primer dan data sekunder, dengan teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi dan interview.

a. Data primer

Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama yaitu, yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian terutama hakim mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.


(22)

b. Data sekunder

Data sekunder, antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, makalah umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul peneliti.14

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut:

a. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, notulen, agenda, dan sebagainya.

b. Metode Interview

Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Dalam penulisan skripsi ini penulis akan melakukan wawancara dengan pakar hukum, seperti hakim dan pengamat hukum lainnya.

5. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

14


(23)

13

E. Penelitian Terdahulu

Pada kenyataannya kehidupan berkeluarga tidaklah selalu harmonis seperti yang diinginkan. Bahwa memelihara untuk hidup bersama suami istri bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Dari beberapa penelitian yang penulis teliti terdapat beberapa penelitian dari tulisan yang relefan. Di antaranya sebagai berikut :

1. Nur Hidayat, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi

Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama (Studi Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi). Skripsi tahun 2012, dari perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini menguraikan tentang mediasi faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat mediasi dan faktor-faktor yang mendukung proses mediasi tersebut.

2. Siti Umu Kulsum, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi

Efektifitas Mediasi Dalam Perceraian Perspektif PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi (Studi Pasca Pemberlakuan Perma No. 1 Tahun 2008 di Pengadilan Agama Jakarta Timur). Skripsi tahun 2011, dari perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini membahas sejarah lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan mediasi; pengertian, dasar hukum,


(24)

prinsip-prinsip dan prosedurnya mulai tahap pramediasi, proses, hingga putusannya.

Perbedaan skripsi ini Penulis lebih menjelaskan tentang proses pelaksanaan mediasi, tingkat keberhasilan mediasi, dan faktor-faktor yang penghambat mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang saling berkaitan merupakan suatu bahasan dari masalah yang diteliti. Maka masing-masing dengan sistematikanya sebagai berikut:

Bab pertama pendahuluan, bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua bab ini menjelaskan tentang perceraian, pengertian mediasi, proses mediasi dalam perkara perceraian, mediasi dalam hukum Islam, dan mediator.

Bab ketiga yang terdiri dari dari sejarah singkat berdirinya Pengadilan Agama Jakarta Pusat sampai lokasinya, fasilitas Pengadilan Agama Jakarta Pusat bagan struktur organisasi Pengadilan Aagama Jakarta Pusat, visi misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat, dan yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Pusat.


(25)

15

Bab keempat hasil penelitian dan pembahasan, bab ini akan menjelaskan tentang proses mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, dan faktor-faktor penghambat dalam keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian.


(26)

16

UPAYA MEWUJUDKAN MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN

A. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Menurut bahasa Arab perceraian berasal dari kata talaq atau itlaq yang artinya lepas dari ikatan, berpisah menceraikan, pembebesan.1 Perceraian menurut kamus bahasa Indonesia disebut “cerai” yang artinya pisah, perpisahan antara suami dan istreri.2 Menurut Al-Jaziry “talak” ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu. Sedangkan menurut Abu Zakaria Al-Anshari “talak” ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.3

Secara garis besar, talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk memutuskan atau menghentikan berlangsungnya suatu perkawinan. Talak merupakan hak cerai suami terhadap istrinya, talak dapat dilakukan apabila suami maupun istri merasa sudah tidak dapat lagi dipertahankan perkawinannya tersebut.

1

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:

Pustaka Progresif, 1997), h. 861

2

Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia

PustakaUtama, 2008), edisi ke-4, h. 261

3


(27)

17

Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Dari definisi talak diatas, dijelaskan bahwa talak merupakan sebuah institut yang digunakan untuk melepas sebuah ikatan perkawinan.4

Dasar Hukum Perceraian

Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah dan sunnah Rasul tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warahmah.

Meskipun demikian, bila hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian.pada dasarnya perceraian atau talak itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah Ushul Fiqh disebut makruh. Hukum makruh ini dapat dilihat dari adanya usaha pencegahanterjadinya perceraian atau talak itu dengan berbagai pebahapan.5

4

Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

Prenada Media, 2004), h. 207

5


(28)

Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang merupakan jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, pada dasarnya, ajaran Islam tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu, Allah Swt memandang talak yang terjadi antara suami-istri sebagai perbuatan halal yang sangat dimurkai-Nya.

Hadits Ibnu Umar menyatakan, Rasulullah Saw bersabda:

“Talak merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah Swt.”(HR. Abu Daud dan Hakim).

Untuk menjaga agar pintu darurat itu benar-benar hanya dipergunakan pada situasi gawat darurat dalam kehidupan suami istri, maka Al-Qur’an menetapkan, wewenang talak hanya berada pada tangan suami, yang pada umumnya, tidak seemosional seorang istri dalam berbuat dan menentukan sikap.

Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 231:























































“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula).” (QS. Al-Baqarah: 231


(29)

19



































“Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. (QS. At-Talaq: 2)

Berdasarkan sumber hukumnya, maka hukum talak ada empat:

a. Wajib, atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakannya itu memudaratkan istrinya.6

b. Sunnat, apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya (nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.

c. Haram, dalam dua keadaan: pertama; menjatuhkan talak sewaktu si istri dalam keadaan haid, kedua; menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.7

d. Mubah, atau boleh dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya juga ada kelihatannya.8

6

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 201

7

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), h. 380

8


(30)

Di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan.9

2. Rukun dan Syarat Perceraian

Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada empat, sebagai berikut:

a. Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.

Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak diisyaratkan:

1) Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk ke dalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan karena syaraf otaknya.

2) Baligh. Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah menyatakan bahwa talak oleh anak yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan mengetahui akibatnya, talaknya dipandang jatuh.

9

Lihat, Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan


(31)

21

3) Atas kemauan sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain.10

b. Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. Untuk sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut:

1) Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalin masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, di pandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal talak bai’in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas istrinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak ba’in itu bekas istri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas suami.

2) Kedudukan istri yang talak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah. Jika ia menjadi istri dengan akad nikah yang batil, seperti akad nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah dengan perempuan saudara istrinya (memadu antara dua perempuan bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya padahal suami

10


(32)

pernah menggauli ibu dan anak tirinya itu dan anak tiri itu berada dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian tidak dipandang ada.

c. Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain.

Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap istrinya menunjukan kemarahannya, semisal suami memarahi istri, memukulnya, mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka demikian itu bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan, tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami tentang talak tetapi tidak ditunjukan terhadap istrinya juga tidak dipandang sebagai talak.11

d. Qashdu (Sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak, seperti suami memberikan sebuah salak

kepada istrinya, semestinya ia mengatakan kepada istrinya itu kata-kata:

11


(33)

23

“Ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini sebuah talakuntukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh.12

3. Alasan-Alasan Perceraian

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai wujud kodifikasi hukum Islam, telah mengklasifikkasikan penyebab atau alasan terjadinya perceraian. Di dalam pasal 38 UU Perkawinan disebutkan yakni perceraian terjadi dengan sebab:

a. Kematian salah satu pihak,

b. Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat, c. Keputusan Pengadilan.13

Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil dalam mendamaikan kedua belah pihak.14

Ketentuan ini dijelaskan kembali di dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dengan menyebutkan bahwasannya alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:

12

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 201

13

H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 74

14


(34)

a. Salah satu pihak berbuat zina, atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.15

4. Akibat-Akibat Perceraian

Perkawinan dalam hukum Islam adalah ibadah atau perjanjian suci antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi perceraian, tidak begitu saja selesai urusannya. Akan tetapi ada akibat-akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Terlebih akibat hukum perkawinan yang terputus tersebut, bukan saja karena perceraian namun karena kematian salah satu pihak, juga memiliki kosekuensi hukum tersendiri.

15

H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.


(35)

25

Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai dan perceraian yang diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian itu sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada pasal-pasal berikut ini, yaitu :

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlakukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bekas istri.16

b. Kompilasi Hukum Islam (KHI)17

Pasal 149

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istri baik berupa uang atau benda kecuali bekas istri tersebut Qobla al-Dukhul.

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila Qobla al-Dukhul.

16

Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

Prenada Media, 2004), h. 219

17


(36)

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun

Pasal 150

Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas istrinya yang masih dalam masa iddah.

Pasal 151

Bekas istri selama dalam masa iddah wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

Pasal 152

Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyyuz.

Pasal 156

a. Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh:

1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu; 2) Ayah;

3) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah; 4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;

6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).


(37)

27

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.18

Dalam Al-Qur’an tidak ada yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang menyuruh melakukannya.

Suatu kejadian pastilah terdapat hikmah yang akan didapatkan, begitu juga pada permasalahan perceraian aka ada hikmah yang akan kita dapatkan baik bagi sang suami atau istri. Talak pada dasarnya sesuatu perbuatan yang halal tetapi hal yang paling di benci oleh Allah SWT, hikmah dibolehkannya talak itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan mudharat bagi kedua belah pihak baik itu sang suami atau istri bahkan juga kepada anak itu sendiri.19

B. Mediasi

1. Pengertian Mediasi

Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata Inggris, yaitu mediation. Para penulis sarjana Indonesia kemudian lebih suka mengindonesiakan menjadi “mediasi” seperti halnya istilah-istilah lainnya,

18

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 74-75

19

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.


(38)

yaitu negotiation menjadi “negosiasi”, arbitration menjadi arbitrase, dan

litigation menjadi litigasi”. Orang awam yang tidak menggeluti ranah penyelesaian sengketa tidak jarang salah sebut atau menyamakan antara mediasi dan “meditasi” yang berasal dari kosakata Inggris meditation yang berarti bersemedi. Sudah pasti keduanya amat berbeda karena mediasi berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa bernuansa sosial dan legal, sedangkan meditasi berkaitan dengan cara pencarian ketenangan batin atau bernuansa spiritual.20

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare

yang berarti ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaian sengketa antara para pihak. „berada ditengah’ juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa.21

Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan yang menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).22

20

Takdir Rahmadi, Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2011), Cet-2, h. 12

21

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,

(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 1-2

22

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.


(39)

29

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.

Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak-pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.23

Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya. Mediator berada pada posisi di tengah dan netral antara para pihak yang bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa. Penjelasan kebahasaan ini masih sangat umum sifatnya dan belum menggambarkan secara konkret esensi dan kegiatan mediasi secara menyeluruh. Oleh karenanya, perlu di kemukakan pengertian mediasi secara terminologi yang diungkapankan para ahli resolusi konflik.24

23

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.

3

24

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.


(40)

Mediasi sebagaimana dicantumkan pada pasal 1851 Bab ke Delapan Belas Tentang Perdamaian KUHPerdata adalah, suatu perjanjian dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.25

2. Prinsip-Prinsip Mediasi

Prinsip dasar (basic principles) adalah landasan filosofis dari diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip atau filosofi ini merupakan kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator, sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi lahirnya institusi mediasi.

David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima prinsip dasar mediasi, yaitu26 :

Prinsip pertama, mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality.

Kerahasiaan yang dimaksudkan disini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik dan pers oleh masing-masing pihak. Demikian juga sang mediator harus menjaga kerahasiaan

25

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradyana

Paramitha, 2004), h. 468

26

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,


(41)

31

mediasi tersebut.27 Pada pasal 6 PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediasi dalam asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.28

Prinsip kedua, mediasi ini bersifat volunteer atau sukarela. Masing-masing pihak yang terkait datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak-pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang yang akan mau berkerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka, bila mereka dating ke tempat perundingan atas pilihan mereka sendiri.

Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini di dasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegoisasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan.

Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya menfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau

27

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.

29

28


(42)

benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.

Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasannya solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai standar legal, tetapi dapat di hasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak.

Dari uraian di atas bahwa mediasi memiliki karakteristik yang merupakan ciri pokok yang membedakan dengan penyelesaian sengketa yang lain. Karakteristik tersebut dirumuskan dalam setiap proses mediasi terdapat metode, dimana para pihak dan perwakilannya, yang di bantu pihak ketiga sebagai mediator berusaha melakukan diskusi dan perundingan untuk mendapatkan keputusan yang dapat disetujui oleh para pihak.29

3. Tujuan dan Manfaat Mediasi

Tujuan dilakukan mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral. Mediasi dapat mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenagkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution). Dalam mediasi para pihak yang bersengketa proaktif dan memiliki kewenangan penuh dalam

29

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,


(43)

33

pengambilan keputusan.30 Mediator tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam menjaga proses mediasi guna mewujudkan kesepakatan damai mereka. Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, karena para pihak telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan mereka secara adil dan saling menguntungkan. Bahkan dalam mediasi yang gagal pun, dimana para pihak belum mencapai kesepakatan, sebenarnya juga telah dirasakan manfaatnya. Kesediaan para pihak bertemu dalam suatu proses mediasi, paling tidak telah mampu mengklarifikasikan akar persengketaan dan mempersempit perselisihan diantara mereka.31

Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga. Mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan antara lain:

a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara tepat dan relatif murah.

b. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka. c. Mediasi memberikan kesepakatan para pihak untuk berpartisipasi secara

langsung dan secara informal dalam menyelesaikan permasalahan mereka.

30

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.

24

31

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.


(44)

d. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya.

e. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa. f. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang terjadi

antara para pihak.32

C. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian

Proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, yaitu tahap pramediasi, tahap pelaksanaan mediasi, dan tahap akhir implementasi hasil mediasi. Ketiga tahap ini merupakan jalan yang akan ditempuh oleh mediator dan para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka.

1. Tahap Pramediasi

Tahap pramediasi adalah tahap awal di mana mediator menyusun sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Tahap pramediasi merupakan amat penting, karena akan menentukan berjalan tidaknya proses mediasi selanjutnya. Pada tahap ini mediator melakukan beberapa langkah antara lain; membangun kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi, fokus pada masa depan, mengoordinasikan pihak bertikai, mewaspadai perbedaan budaya, menentukan siapa yang hadir, menentukan tujuan pertemuan,

32

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.


(45)

35

kesepakatan waktu dan tempat, dan menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak untuk bertemu dan membicarakan perselisihan mereka.33

Dalam membangun kepercayaan diri seorang mediasi tidak boleh terlalu berambisi, seolah-olah ia mampu menyelesaikan semua hal dalam waktu singkat, tanpa mempertimbangkan kendala yang akan dihadapi ketika ia menghubungi para pihak yang bersengketa, Seorang mediator harus menyadari bahwa dirinya belum tentu diterima oleh kedua belah pihak, sebagai mediator yang memediasi sengketa mereka.

Kesadaran ini penting agar tidak menimbulkan kekecewaan bila mediasi mengalami kegagalan.

Mediator harus menggali sejumlah informasi awal tentang persoalan utama yang menjadi sumber sengketa. Informasi yang diinginkan mediator bersifat menyeluruh, sehingga memudahkan bagi dirinya untuk menyusun strategi dan memosisikan persoalan tersebut dalam kerangka penyelesaian konflik melalui jalur mediasi. Mediator harus menginformasikan sejelas mungkin tentang mediasi, langkah-langkah kerja dalam mediasi, manfaat mediasi, dan menjelaskan situasi-situasi yang dialami para pihak.34

Tahap-tahap perdamaian yang dilakukan oleh Pengadilan dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan: pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh kedua

33

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.

36

34

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.


(46)

belah pihak yang berperkara, hakim mewajibkan para pihak agar terlebuh dahulu menempuh mediasi, dan pada hari itu juga atau paling lama 2 hari kerja berikutnya para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib berunding untuk memilih mediator dengan alternatif pilihan sebagaimana Pasal 8 Perma ini lalu menyampaikan mediator pilihan kepada Ketua Majelis. Dan jika hal ini juga tidak dapat disepakati oleh para pihak, maka Ketua Majelis yang akan menunjuk mediator dari daftar mediator dengan suatu penetapan.35

Dalam tahap pramediasi ini, langkah selanjutnya yang di tempuh mediator adalah memformulasikan sejumlah pertanyaan yang secara tidak langsung mengajak para pihak untuk memikirkan masa depan mereka, dan tidak larut memikirkan faktor-faktor yang menyebabkan mereka terseret dalam konflik atau persengketaan. Mediator harus mampu mengarahkan mereka untuk mengambil sikap, untuk sama-sama menuju masa depan yang lebih baik dan damai.

Dalam tahap terakhir pramediasi, mediator harus mampu menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak sebelum proses mediasi dimulai. Para pihak bersedia mengambil mediasi sebagai jalan penyelesaian konflik, karena mereka berharap keadaan akan berubah kepada situasi yang lebih baik. Namun, kadang-kadang mereka datang ke pertemuan mediasi menunjukan sikap yang sama sekali tidak mencerminkan bahwa mereka menaruh harapan

35

Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,


(47)

37

besar pada proses mediasi. Seringkali para pihak cemas, curiga kepada pihak lain, khawatir keprihatinan mereka tidak didengarkan, serta tidak memiliki penjelasan mengenai mediasi dan apa yang bias diharapkan dari seorang mediator. Untuk menghindari hal tersebut, seorang mediator harus bmenciptakan rasa aman. Ronald S. Kraybill mengemukakan empat langkah yang dapat ditempuh oleh mediator untuk menciptakan rasa aman,36 yaitu: a. Berusahalah tiba ditempat yang sudah disepakati sebelum kedatangan para

pihak-pihak yang bertikai

b. Aturlah tempat agar terasa nyaman dan mendukung interaksi c. Buatlah rencana pengaturan ruang dan,

d. Ciptakan rasa aman melalui pengendalian situasi dalam memimpin pertemuan, sehingga tidak menimbulkan keraguan para pihak siapa yang bertanggung jawab pada pertemuan tersebut.

2. Tahap Pelaksanaan Mediasi

Pada tahap pelaksanaan mediasi ini dimana para pihak yang bersengketa satu sama lain dipertemukan untuk dilakukan mediasi. Tahap mediasi dalam Pasal 13 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang proses mediasi di Pengadilan, disebutkan: Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, para pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. Selanjutnya mediator menentukan jadwal pertemuan, dimana para pihak dapat

36

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,


(48)

didampingi kuasa hukumnya. Proses mediasi pada dasarnya bersifat rahasia dan berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator (Pasal 13 ayat 3) dan dapat diperpanjang paling lama 14 hari kerja sejak berakhirnya masa 40 hari tersebut dengan syarat bahwa kesepakatan akan tercapai.37

Tahap pelaksanaan mediasi merupakan tahap dimana pihak-pihak yang bertikai sudah berhadapan satu sama lain dan memulai proses mediasi. Ada beberapa langkah dalam tahap ini yaitu sambutan pendahuluan mediator, presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan menjernihkan permasalahan, berdiskusi dan negoisasi masalah yang disepakati, menciptakan opsi-opsi, menentukan butir kesepakatan dan merumuskan keputusan, mencatat dan menuturkan kembali keputusan, dan penutup mediasi.38

Perdamaian dalam sengketa perceraian mempunyai nilai keluhuran tersendiri. Dengan dicapainya perdamaian antara suami istri dalam sengketa perceraian, bukan keutuhan rumah tangga saja yang dapat diselamatkan tetapi juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Agar fungsi mendamaikan dalam perkara perceraian ini dapat dilakukan oleh hakim secara efektif dan optimal, maka sedapat mungkin hakim menemukan hal-hal yang melatarbelakangi dari persengketaan yang terjadi.39

37

Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h. 73

38

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,

(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 44

39

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,


(49)

39

Dalam hal sengketa perceraian karena alasan percekcokan pertengkaran secara terus menerus, peranan hakim sangat diharapkan untuk mencari faktor-faktor penyebab dari perselisihan dan pertengkaran itu. Apabila hal ini telah diketahui oleh hakim, maka dengan mudah para hakim tersebut mengajak dan mengarahkan para pihak yang berselisih itu untuk berdamai dan rukun kembali.40

Dengan dicapai perdamaian antara suami istri dalam sengketa perceraian, bukan hanya keutuhan perkawinan saja yang dapat diselamatkan. Sekaligus dapat diselamatkan kelanjutan pemeliharaan dan pembinaan anak-anak secara normal. Kerukunan antara kedua belah pihak dapat berlanjut. Harta bersama dalam perkawinan dapat lestari menopang kehidupan rumah tangga. Suami-istri dapat terhindar dari gangguan pergaulan sosial kemasyarakatan. Mental dan pertumbuhan kejiwaan anak-anak terhindar dari perasaan terasing dan rendah diri dalam pergaulan hidup. Upaya mendamaikan dalam sengketa perceraian, merupakan kegiatan terpuji dan lebih diutamakan dibanding dengan upaya mendamaikan persengketaan di bidang yang lain.41

Khusus dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak adalah bersifat imperatif. Usaha mendamaikan para pihak adalah beban yang diwajibkan oleh hukum kepada para hakim dalam setiap memeriksa,

40

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 164

41

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT.


(50)

mengadili dan memutuskan perkara perceraian. Oleh karena itu, upaya mendamaikan dalam perkara perceraian atas dasar perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus haruslah dilakukan oleh para hakim secara optimal.42

Tindakan hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa adalah untuk menghentikan persengketaan dan mengupayakan agar perceraian tidak terjadi. Apabila berhasil dilaksanakan oleh hakim yang menyidangkan perkara tersebut, maka gugatan perceraian yang diajukan ke Pengadilan oleh para pihak itu, dengan sendirinya harus dicabut. Terhadap ketentuan ini tidak dibuat akta perdamaian karena tidaklah mungkin dibuat suatu ketentuan yang melarang satu pihak meninggalkan tempat tinggal bersama, melarang salah satu pihak melakukan penganiayaan dan sebagainya. Apabila perjanjian itu disepakati oleh para pihak dilanggar oleh salah satu pihak, maka akta perdamaian itu tidak dapat dieksekusi, karena akibat dari perbuatan itu tidak mengakibatkan putusan perkawinan maka salah satu pihak mengajukan gugatan baru.43

3. Tahap Akhir Implementasi Hasil Mediasi

Tahap ini merupakan tahap di mana para pihak hanyalah menjalankan hasil-hasil kesepakatan, yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu

42

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 164

43


(51)

41

perjanjian tertulis. Para pihak menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukan selama proses mediasi.44

D. Mediasi Dalam Hukum Islam

Dalam hukum Islam mediasi lebih dikenal juga istilah islah dan hakam.45 Ishlah atau Sulhu menurut bahasa adalah perbaikan.46 Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Karena dengan perdamaian akan terhindar dari kehancuran tali silaturahmi dan permusuhan di antara para pihak yang bersengketa dapat diakhiri. Dasar hukum perdamaian dapat dilihat dalam QS. An-Nisa ayat 35 yang berbunyi:

                                      Artinya :

Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.Hakam ialah juru pendamai. (QS. An-Nisa: 35).

Dalam ajaran Islam istilah Ishlah adalah memutuskan suatu persengketaan, sedangkan menurut istilah Ishlah adalah suatu akad dengan

44

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum

Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011) h. 53

45

Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,

(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2011), h. 119.

46

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:


(52)

maksud mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang. Yang maksud disini adalah mengakhiri suatu persengketaan dengan perdamaian karena Allah mencintai perdamaian. Dengan demikian, pertentangan itu apabila berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu maka Ishlah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah pertentangan.47

Kewajiban hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang berperkara adalah sejalan dengan tuntutan ajaran Islam. Ajaran Islam memerintahkan agar menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi diantara manusia sebaiknya diselesaikan dengan jalan perdamaian (islah).48

Peran dalam mendamaikan para pihak-pihak yang bersengketa itu lebih utama dari fungsi hakim yang menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yang diadilinya. Usaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara itu merupakan perioritas utama dan dipandang adil dalam mengakhiri suatu sengketa, sebab mendamaikan itu dapat berakhir dengan tidak terdapat siapa yang kalah dan siapa yang menang, tetap terwujudnya kekeluargaan dan kerukunan.49

Tentang hal yang berhubungan dengan perceraian dikemukakan dalam Pasal 65 dan 82 undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 39

47

Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan Agama, (Jakarta:

Pusat Studi Hukum Dan Ekonomi, 2010), Cet-1, h. 31

48

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 151

49


(53)

43

undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam Pasal-Pasal ini dikemukakan bahwa hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha hakim mendamaikan para pihak-pihak yang berperkara itu dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Dalam upaya mendamaikan itu hakim wajib menghadirkan pihak keluarga atau tetangga dekat pihak-pihak yang berperkara untuk didengar keterangannya dan meminta bantuan mereka agar pihak-pihak yang berperkara rukun kembali.50

E. Mediator

1. Peran dan Fungsi Mediator

Mediator memiliki peran menentukan dalam suatu proses mediasi. Gagal tidaknya mediasi juga sangat ditentukan oleh peran yang ditampilkan mediator. Ia berperan aktif dalam menjembatani sejumlah pertemuan antara para pihak. Desain pertemuan, memimpin dan mengendalikan pertemuan, menjaga keseimbangan proses mediasi dan menuntut para pihak mencapai suatu kesepakatan merupakan peran utama yang harus dimainkan oleh mediator. 51

Mediator sebagai pihak ketiga yang netral melayani kepentingan para pihak yang bersengketa. Mediator harus membangun interaksi dan

50

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

(Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 151

51

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,


(54)

komunikasi yang positif. Tindakan seperti ini amat penting dilakukan mediator dalam rangka mempertahankan proses mediasi. Komunikasi dan interaksi dapat dilakukan mediator secara terbuka dan dihadiri bersama oleh para pihak.

Dalam memimpin pertemuan yang dihadiri kedua belah pihak, mediator berperan mendampingi, mengarahkan dan membantu para pihak untuk membuka komunikasi positif dua arah, karena lewat komunikasi yang terbangun akan memudahkan proses mediasi selanjutnya. Pada peran ini mediator harus menggunakan bahasa-bahasa yang santun, lembut dan tidak menyinggung para pihak, sehingga para pihak terkesan rileks dalam berkomunikasi satu sama lain. 52

Menurut Fuller, mediator memiliki beberapa fungsi yaitu, katalisator, pendidik, penerjemah, narasumber, penyandang berita jelek, agen realitas. Fungsi sebagai katalisator diperlihatkan dengan kemampuan mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi dialog atau komunikasi diantara para pihak dan bukan sebaliknya, yakni menyebar terjadinya salah pengertian dan polarisasi di antara para pihak. Mediator berperan sebagai penerjemah, mediator juga juga harus berusaha dalam menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa, atau ungkapan yang enak di dengar oleh pihak lainnya, tetapi tanpa mengurangi maksud dan sasaran yang hendak dicapai.53

52

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.

78

53

Takdir Rahmadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: PT.


(55)

45

Dalam praktik sering ditemukan sejumlah peran mediator yang muncul ketika proses mediasi berjalan. Peran tersebut, antara lain:

a. Menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan diri antara para pihak; b. Menerangkan proses dan memndidik para pihak dalam hal komunikasi

dan menguatkan suasana yang baik;

c. Membantu para pihak untuk menghadapi situasi atau kenyataan; d. Mengajar para pihak dalam proses keterampilan tawar-menawar; dan e. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan

pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.54

Dengan adanya kewajiban untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa yang berada di pengadilan tingkat pertama, maka peran hakim sebagai mediator sangat menentukan. Hakim mediator tidak saja harus menguasai norma-norma yang tertulis dalam PERMA tentang mediasi.

Hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif, namun dalam tugas mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, selama ini hakim bersifat pasif. Tanggung jawab hakim yang tadinya hanya sekedar memutuskan perkara, namun dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung tentang Mediasi tersebut, kini berkembang menjadi mediator yang mendamaikan pihak-pihak yang berperkara sebagai penengah.55

54

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,

(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 79

55

Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan Agama, (Jakarta:


(56)

Dalam rangka mewujudkan proses sederhana, cepat dan murah sesuai dengan asas Hukum Acara Perdata, pasal 130 HIR menyebutkan apabila pada hari sidang yang ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim berkewajiban untuk mendamaikan mereka.

Pasal 130 HIR yang mengatur upaya perdamaian masih dapat diintensifkan. Caranya dengan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur perkara. Dalam pasal 2 Ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mewajibkan hakim sebagai mediator dan para pihak mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi.Peran hakim dalam pemeriksaan di Pengadilan tidak hanya harus menguasai norma-norma yang tertulis dalam PERMA, tetapi jiwa PERMA itu sendiri.Hakim pemeriksa harus bertanggung jawab menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam PERMA, tidak hanya sekedar memenuhi syarat formal.56

Tugas hakim yang menjalankan fungsi sebagai mediator berdasarkan PERMA, sebagai berikut: mediator wajib mempersiapkan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati. Kemudian, mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi. Selanjutnya, apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus dan mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri, menggali, kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Tujuan tersebut menjelaskan tugas-tugas

56


(1)

107 dilaksanakan dan tidak boleh dilanggar.

8. Bagaimana pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA No. 1 Tahun2008 ?

Untuk pelaksanaanya sudah sesuai dengan tahapan mediasi itu sendiri, untuk waktu mediasi perkara perceraian yang dilakukan itu relatif sesuai dengan kehendak para pihak, biasanya 10-15 menit sudah selesai mediasi.

9. Bagaimana peran mediasi dalam perkara perceraian ?

Sangat bermanfaat, terutama untuk tercapainya perdamaian tersebut.

10.Apakah proses mediasi dilakukan tertutup ? Berapa lama biasanya proses mediasi berlangsung ?

Ya, untuk perceraian mediasi dilakukan secara tertutup, dan proses mediasi itu berlangsung ya itu tadi 10 sampai 15 menit biasanya sudah selesai paling lama 1 jam.

11.Tindakan apa saja yang biasanya Bapak/Ibu lakukan dalam usaha mendamaikan, jika antara kedua belah pihak menemui jalan buntu ?

Apabila kita menemui jalan buntu kaukus akan dilakukan oleh para pihak.

12.Dalam pasal 15 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedu rmediasi di pengadilan disebutkan bahwa dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan sepihak, apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut ? Jika ya, apakah ada pengaruhnya terhadap para pihak ?

Ya pernah, dan pengaruhnya terhadap para pihak adalah para pihak itu sendiri bisa menjelaskan semua masalah yang dihadapi secara terbuka.

13.Menurut Bapak/Ibu faktor apa saja yang mendukung dalam proses mediasi ?

Yang mendukung proses mediasi adalah itikad baik dan adanya sikap kooperatif dari para pihak dalam memediasi.

14.Menurut Bapak/Ibu Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam memediasi sehingga tercapainya perdamaian ?

Yang menjadi penghambat dalam memediasi adalah ego masing-masing dari para pihak.

15.Bila proses mediasi berhasil apa saja yang mendukung keberhasilan tersebut ?

Proses yang mendukung keberhasilan mediasi adalah: 1. Itikad baik dari para pihak.


(2)

108 2. Adanya kesadaran dari mereka bahwa penting adanya perdamaian.

3. Keterampilan dari mediator juga dapat mempengaruhi dalam melakukan mediasi.

16.Bila proses mediasi gagal, apa yang menyebabkan kegagalan tersebut ?

Sudah tidak ada titik temu untuk berdamai.

17.Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempa mediasi yang ideal ?

a. Bilaya, fasilitas apa saja yang ada di ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ?

b. Bila belum cukup baik, apa alasannya ?

Kalau ideal belum, namun untuk standar minimal sudah terpenuhi.


(3)

\'-I

j

I a e j = p .,1f ;'f iu;

ii{:6

A-L,2 (r) 5 N o :1 ,* Ci{'z' -.,(sr./

= | <tr l4z

EiuPT.lJ\A-\lJ

CJ "\:9,

L-g'bih

gEF

G o, g ct o Y q (! -, a 1r)

(0 ao (\lt\ (0ro g, r0g) (.oF ro@ @t @co (')co N(D q)@

z s d UJ U u IJJ A 6

-x. ttJ F o l/.J z uJ I x. o F X lr v. o F v L

ulPl - u!E-l N

uPsluouJeqal epP Iepll o na$ FN N o) t-N G}o oN NN o(\l roF' t\g, N N m

eOrlal IEqrd uen66ueg (o (\t 6 o @ N @ @ if (') (t) o

sllllod

l6ololq leoe3 0

unlnq!o s c t! E o t! .= .v, (! C) E

leluohl ueuelaloy

!uEqou ueuBfolay o

.rnurn qel^eqrp u!A ey o

i v F q o c E

e^ ef 6un66uEl EpB IBp|I 6 o) lf, NGI oN 6N oN oN € at oN N 6 (0

r)

N

!urouoIS N G' at(\a co t- NN (oN co tt co F N o Nol

ESXed Ul/v\ey a

;

o

=

nJnqur9c t !t N r0 6 N rt N ro \t (., tat

t

{elqIe slsuy o

leqos Iepll lurE6llod

NV'tn8

N d f -, tr f u o ul tr F uJ x, E J a o. llJ = z

:) Jf .n f F o D o a tr tu o =uJ F o-IU U' x, tlJ o o F V o

t

ul t0 E IJJ o-o t lrJ o E ul o IU o J F o

o N gt t 6 (l) F GO o) o N

tr) Y t

z

t

LU o tr

ll.' T:

o-6 mf <o-c0<

ulb

:3t

UJ AF

o. 1d * 4tt)

X =to

v

<=

E 3H

f

rH

t

J-e

?5

v or

<

fi2

tJ- o-.;

F

a

f

0-s

.'j

E2

(=

Y ee

gEI

< =0. E Sc

6 *E

<- f 6

z

i--< 6q) O 9!

<

+<

-z =9

.6 O-


(4)

v o N (E. G U) (g L 0) 0) Y o 6 E -) a @

F Fro o)F. N ttao (tF. t-<0 or+ N N(r, @o m 6c{N

z x. UJ o tr tiJ o-z o -) t lJl F o o lu z ul o u o F Y TL u o F v t!

utel - u!s-l N rt

c) c\| () <tt o o tN ro la, o rt @

uEs!uouueqal EpE IEpII o F. o{ @ N C.) t @ ro ttb

eOrlal leqld uen66uEg () o) (r)N

{

@ tflr,

s!lllod

r6ototq lEceO

ulnlnq!0 N (! o (! .v6 0) =

leluol/\l ueulelalax

ruEqou ueu,lefalay o

Jn urn qE/v\Eqlp ul/v\Ey o o

o ; I

o

E

B/Y\e[ 6un66uEl BPE XePll € tlN NCt otN 1..(.t o.') $o @ N (t @ @ N rt

(\a

!urouolf N o @ ao N o (0 GO (r' co llt g)o)

EsIed ul/$ey o

r!

L

o

=

nJnqula3 c) N v

IelqIE slslry (o v o

leq06 IBpll lulE6llod

Nv'1 ns

N

& t z 5 t :' tr o LIJ I F ut x. = J e, o- ul

E -)D

-J D o f F U) o E u.l gl E IJJ F (L ul U' t l! o o F Y o g. lrJ t0 E uJ I o z t uJ d) = lrJ .n lrJ o J F o F

(\l s t t{) (l, F @ o) o N L1 Y d

z

t lrl o tr

lu t:

^<. -a c0f, <G m< UJb

>

t.

fi

XR

o_ 1E

e 4vJ .

= =lo y <E F t'1 til

Y A(/)

4 rH

' oa J-P RT

q lild tL o.-i

F U) l L <d F.; t-z

(=

v

_<!s

< =0. 5 {o

fi

<E

JEK

?

€€ O =E

7

=E.6 O =F


(5)

r

a

d

J I

\< o

z

-f

-4

cD o

(\I

L

o) a E (,

ar,

o o

;(f

.s

b.

:- N .:i

E-:o

-l [L

th L

o

+.-J-HVAI,UVAS ll'IONOYI F

(t<

=o

FJ 3 O- c.r

D-z-6FR

oEe

z>w

s3g

4=ft

*6?

fi<p

='<

3

#de

PS-5fr

.L

F U)

:)

oaE F=

cro-{*s

-o(E

s=i

(96i

<E'E

zv>=

{'cO-i3o

I-I (JJ

(960. zct=


(6)

q

E I

a

{

o c{

L

o ic

E

Q)

o

.o rl

e o.

}}-o

z

3

rl

it

U

o? z, :)s,

F3

fC-!i fL;-oF-;i

o*

v

ZJUJ

f=g

S=E

3eH

=(9,

fi<;

:<3

<=z

do<

?6-Jfr

d

F

u)

)€

o-(6 Eo-S*c =rn+.

-A(E

g:*

1c-<6 (,filj

-O)f ZU1 = {'cI

d

f;E

<>aE r9ftO-z.d.tr

H-b