Mahkamah Agung dalam penyusunan Yurisprudensi Indonesia menetapkan kriteria seleksi dalam memilih putusan-putusan hakim yang dipublikasikan: pertama,
putusan yang menarik perhatian masyarakat. Kedua, putusan yang mencerminkan pendekatan baru terhadap suatu masalah hukum. Ketiga, putusan yang melibatkan
berbagai masalah hukum complexitas yuridis. Keempat, putusan yang mempertegas suatu aspek hukum. Kelima, putusan yang mencerminkan arah perkembangan hukum
nasional. Keenam, putusan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Ketujuh, putusan yang mencerminkan konsistensi pendirian Mahkamah Agung sebagai suatu
lembaga tinggi Negara.
16
Yurisprudensi telah menjadi bagian dari pertumbuhan dan pembentukan hukum di Indonesia. Bahkan ketika situasi politik dan perkembangan sosial bergerak
dalam akselerasi yang cepat, pembentukan hukum melalui yurisprudensi menjadi keniscayaan untuk secara bersama-sama menyertai pembentukan hukum melalui
legislasi. Jadi, pembentukan hukum melalui yurisprudensi menjadi kebutuhan hukum masyarakat, di samping telah menjadi bagian dari politik hukum nasional.
B. Pengertian Ijtihad, Mujtahid dan Persyaratan Menjadi Mujtahid
1. Pengertian Ijtihad
16
Ibid., h. 29
Ijtihad berasal dari kata
ﺪﻬ
artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Bentuk kata yang mengikuti wazan ifti’al
لﺎ ا
menunjukkan arti berlebih Mubalaghoh dalam perbuatan. Menurut Imam al-Ghazali ijtihad secara bahasa artinya “mencurahkan segala
kekuatan dan kemampuan dalam mengerjakan sesuatu yang sulit dan mengandung beban”.
Dari pengertian kebahasaan terlihat dua unsur pokok dalam ijtihad: 1 daya dan kemampuan, 2 objek yang sulit dan berat. Ijtihad sebagai terminologi keilmuan
dalam Islam juga tidak terlepas dari dua unsur tersebut. Akan tetapi, karena kegiatan keilmuan lebih banyak bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian ijtihad
lebih banyak mengacu kepada pengarahan kemampuan intelektual dalam memecah berbagai bentuk kesulitan yang dihadapi, baik yang dihadapi oleh individu maupun
umat secara menyeluruh.
17
Para ahli Ushul Fiqh memberikan arti yang berbeda-beda dari sisi terminologi. Menurut Imam as-Syaukani dalam bukunya Irsyad al-Fuhul
18
, beliau mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
طﺎ ﻹا ﺔ ﺮ ﺑ ﱢ ﻤ ﱟ ﺮ ﻢﻜﺣ ﻴ ﻰ ﻮﻟا لﺬﺑ .
Artinya:
17
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia
, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, cet I, h. 74-75
18
Irsyad al-Fuhul, h. 250
“Mencurahkan kemampuan guna mendapatan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbath mengambil kesimpulan hukum.”
Imam as-Syaukani menjelaskan definisi ijtihadnya sebagai berikut:
19
a. Mencurahkan kemampuan adalah sampai dirinya merasa sudah tidak mampu lagi untuk menambah usaha.
b. Hukum syara’ mengecualikan hukum bahasa, akal dan indera. Oleh karena itu, orang yang mencurahkan kemampuannya di bidang tersebut tidak disebut
mujtahid dalam ushul fiqh. c. Begitu juga pencurahan kemampuan guna mendapatkan hukum ilmiah tidak
disebut ijtihad menurut Fuqaha walaupun menurut ahli ilmu kalam hal yang demikian disebut ijtihad.
d. Dengan cara mengambil istinbath mengecualikan pengambilan hukum dari nash yang zhahir atau penghafalan beberapa permasalahan, atau menanyakan
pada seorang mufti ataupun dengan cara mencari hukum permasalahan dari buku-buku. Karena yang demikian ini tidak termasuk dalam ijtihad menurut
istilah kendatipun termasuk dalam ijtihad menurut bahasa. Menurut Abi Ishaq Ibrahim as-Syairazi w. 476H dalam al-Luma’ fi Ushul
al-Fiqh :
20
ﻰ ﺮ ﻟا ﻢﻜ ﻟا ﻰ دﻮﻬ ﻤﻟا لﺬﺑ و ﻮﻟا غاﺮ ا ءﺎﻬ ﻟا فﺮ ﻰ دﺎﻬ
ا
19
Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad Dalam Syariat Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1987, h. 4
20
Abu Ishaq Ibrahim Ibn Ali ibn Yusuf al-Syairazi, al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 2003, cet II, h. 129
“Ijtihad menurut tradisi ahli fiqh diartikan dengan mengerahkan kemampuan mujtahid dalam mencari hukum-hukum syara’.”
Al-Amidi w. 631H lebih mempertajam definisi ijtihad dengan ungkapan:
21
ﻦ ءﻰ ﺑ ﻦﻈﻟا ﻰ ﻮﻟا غاﺮ ﺎﺑ صﻮ
ﻤ ﻦﻴﻴﻟﻮ ﻷا ح ا ﻰ ﺎ أ
ﻴ ﺪ ﺰﻤﻟا ﻦ ﺰ ﻟا ﻟا ﻦ
و ﻰ ﺔﻴ ﺮ ﻟا مﺎﻜﺣﻷا
“Adapun dalam terminologi ahli ushul fiqh kata ijtihad digunakan khusus dalam arti mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum syar’i yang bersifat
zhanny , sampai batas dirinya merasa tidak mampu lagi melebihi usahanya tersebut.”
Penambahan kata al-Faqih dalam definisi ijtihad menurut al-Syaukani merupakan keharusan, sebab pencurahan kemampuan bukan oleh seorang faqih tidak
disebut ijtihad secara istilah. Namun menurut Yusuf al-Qardhawi “Ahli ushul yang tidak menyebutkan kata al-Faqih dalam definisinya, sebenarnya kata itu telah tersirat
dalamnya, sebab tidak mungkin seorang yang mampu mengambil hukum dengan cara istinbath
kecuali ia adalah seorang faqih ”.
22
Menurut Abdul Wahab Khallaf ijtihad adalah pencurahan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum berdasarkan dalil-dalil syara’ yang detail. Dan menurut
Muhammad Abu Zahrah ijtihad adalah pencurahan daya upaya dari seorang faqih ahli hukum Islam dalam rangka mengistinbathkan hukum yang berkait dengan
hukum ‘amaliyah berdasarkan argumentasi yang detail.
21
Saif al-Din Abi al-Hasan Ali ibn Ali ibn Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983, juz IV, h. 218
22
Yusuf al-Qardhawi, al-Ijtihad, h. 5
Pengertian ijtihad diatas, mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Upaya optimal oleh orang yang berkualifikasi mujtahidfaqih
Ijtihad tidak mungkin terlaksana tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh dan optimal. Sebagai aktifitas daya nalar dalam usaha merumuskan hukum yang
berkaitan dengan perbuatan manusia, seseorang yang hendak berijtihad dituntut untuk menguasai berbagai ilmu yang dibutuhkan.
2. Objek ijtihad adalah hukum syara’ yang bersifat amaliyahpraktis Ijtihad dalam pengertian diatas hanya dibatasi pada masalah-masalah hukum
syara’ yang bersifat praktisamaliyah yaitu bidang fiqh. Oleh karena itu, masalah seperti akidah, filsafat, tasawuf yang bukan merupakan fiqh tidak termasuk objek
ijtihad. 3. Status hukum dari hasil ijtihad adalah zhanni bersifat dugaan kuat
Karena pelaksanaan ijtihad dilakukan melalui cara istinbath terhadap masalah hukum yang dalilnya belum dapat dipahami secara tegas dan jelas, baik dalam Al-
Qur’an dan al-Sunnah, maka kebenaran yang dihasilkan dari ijtihad tidak bersifat mutlak. Sebab apa yang diperoleh melalui proses ijtihad merupakan produk akal yang
tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan. Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan dapat dipahami ada beberapa
komponen dari hakikat ijtihad, yaitu: Pertama
: Subyek pelaku dari ijtihad itu, yang adalah al-faqih yang kemudian disebut al-mujtahid.
Kedua : Mekanisme dan proses berlangsungnya ijtihad. Yaitu adanya pengerahan dan
pencurahan daya upaya serta kemampuan maksimal yang dimiliki oleh seorang mujtahid, baik dalam bentuk penggalian hukum istinbath al-hukm maupun
penerapan dan aktualisasinya tatbiq al-hukm. Ketiga
: Objek kajian yang akan dicapai dan diperoleh mujtahid. Yaitu status hukum syar’i yang bersifat praktis ‘amali, dan yang bersifat zhanny. Ketiga komponen ini
menurut al-Ghazali disebut “Arkan al-Ijtihad”.
2. Persyaratan Mujtahid