BAB IV PANDANGAN HAKIM AGAMA TERHADAP KONTEK IJTAHID
A. Faktor yang Menyebabkan Hakim Dianggap Sebagai Mujtahid di Indonesia
1. Kedudukan dan Kewenangan Hakim Agama di Indonesia
Pada bab sebelum penulis telah menjelaskan dengan terperinci mengenai ijtihad dan mujtahid. Sehingga paling tidak ada dua hal pokok yang harus
diperhatikan agar ijtihad dapat berperan dalam pembaharuan hukum Islam dan mendapat legitimasi dari para pakar hukum Islam, yaitu: pertama, pelaku
pembaharuan hukum Islam adalah orang yang memenuhi kualitas sebagai mujtahid. Kedua, pembaharuan itu dilakukan di tempat-tempat ijtihad yang dibenarkan oleh
syara’. Dengan melaksanakan ijtihad dalam menyelesaikan segala masalah hukum
yang timbul, diharapkan hukum Islam tetap eksis dan dapat mengikuti perkembangan zaman serta diperlukan oleh umat Islam dalam mengatur kehidupannya.
Sejak tiga puluh tahun terakhir telah terjadi perubahan yang signifikan terhadap hukum Islam di Indonesia. Perubahan ini terjadi sejak diberlakukannya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang kemudian selanjutnya banyak undang-undang mengenai hukum Islam diberlakukan diantaranya tentang
Haji, Wakaf bahkan Ekonomi Syariah. Perubahan terjadi karena telah bergesernya nilai-nilai baru yang kemudian diinterpretasikan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan dan putusan pengadilan agama.
Perubahan hukum Islam terjadi dalam bidang-bidang tertentu disebabkan oleh nilai-nilai yang terkandung dalam fiqh sudah tidak mampu lagi memberikan solusi
terhadap berbagai masalah baru. Sebagai contoh adalah perkawinan yang ijab qabulnya dilakukan melalui telepon, pemberian waris kepada ahli waris yang berbeda
agama. Perubahan terjadi akibat majunya teknologi, informasi, industri dan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya.
Dengan adanya ijtihad dalam rangka pembaharuan hukum, maka berbagai masalah dalam kehidupan dapat diselesaikan dengan segera. Cara inilah yang terbaik
agar hukum Islam tetap eksis sepanjang masa sesuai situasi dan kondisi. Ketentuan ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim al-
Jauziyah al-Hambali yang mengatakan bahwa hukum itu berubah karena ada perubahan waktu, tempat, keadaan, adat dan niat. Yang kemudian muncullah kaidah
“al-hukmu yadurru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman” hukum itu terkait ada tidaknya illat hukum.
Menurut Qadry Azizy ada beberapa keuntangan yang didapat jika menjadikan nilai-nilai fiqh menjadi peraturan perundang-undangan, antara lain:
a. Dalam bentuk peraturan perundang-undangan materi hukum lebih mudah didapatkan dan dijadikan pedoman karena bentuknya yang tertulis dan
terkodifikasi; b. Dalam banyak hal peraturan perundang-undangan yang telah terkodifikasi dan
berlaku nasional tidak lagi dibatasi oleh daerah, suku, dan golongan tertentu;
c. Lebih mudah difahami dan ditafsirkan karena telah tertulis dengan jelas daripada harus menafsirkan sesuatu yang masih banyak menimbulkan
perdebatan dalam penemuannya; d. Resiko penegak hukum lebih kecil dibandingkan mempergunakan hukum
yang tidak tertulis.
1
Hal ini lebih didasarkan pada bahwa setiap putusan yang diambil harus memenuhi kriteria yang memenuhi rasa keadilan yaitu merelisasikan maslahah untuk
kepentingan pihak-pihak terkait. Yang harus lebih diperhatikan adalah memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan yang dalam istilah fiqh disebut al-Kulliyat al-
Khamsah. Oleh karena itu, kedudukan seorang hakim yang dianggap sama sebagai
seorang mujtahid dapat penulis kemukakan dengan terlebih dahulu menjelaskan bagaimana peran seorang hakim Pengadilan Agama dalam memutus suatu perkara
sehingga menjadikan putusan tersebut selanjutnya dapat menjadikan yurisprudensi dan menjadi salah satu sumber hukum di Indonesia.
Membahas tentang peran berarti juga membahas fungsi dan kewenangan sesuai batas-batasnya yang tertera dalam undang-undang. Peran hakim tentunya harus
dititikberatkan pada tujuan dan tafsiran filosofis yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan. Bukan hanya menegakkan secara sempit suatu peraturan perundang-
1
A. Qodi Aziziy, Ekletisme Hukum Nasional, h. 231-232
undangan tertulis dengan mengabaikan sisi keadilan pada orang-orang yang tujuan awalnya justru mencari keadilan.
Sehubungan dengan hal tersebut peran seorang hakim peradilan agama harus mampu berperan menafsirkan undang-undang agar putusan-putusan yang diambil
sesuai dengan kebutuhan perkembangan kondisi, waktu dan tempat. Juga harus sesuai dengan kepentingan dan kemaslahatan masa kini. Namun tentunya setiap putusan
yang diambil tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yaitu 1 Syariat Islam, 2 Falsafah Bangsa Pancasila dan 3 Tujuan dilahirkannya peraturan
perundang-undangan tersebut. Ketika dalam memproses suatu putusan hakim tidak menemukan peraturan
dalam hukum positif, maka disinilah fungsi hakim sebagai penemu hukum berjalan. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dalam
masyarakat. Peran Peradilan Agama dalam proses pembaharuan hukum Islam dapat dilihat
dalam konstruksi proses Peradilan Agama dalam melaksanakan pembaharuan hukum Islam sebagaimana tercantum dalam skema:
2
2
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, h. 302
SKEMA KONSTRUKSI PERADILAN AGAMA DALAM MENCIPTAKAN HUKUM
BARU BERDASARKAN IJTIHAD
HUKUM HUKUM POSITIF
FIQH PUTUSAN PA
1. Sudah menampung nilai-nilai hukum
Islam tetapi belum lengkap. Oleh karena
itu, perlu dilengkapi supaya tidak terjadi
kekosongan hukum dan terpenuhi asas
manfaat, keadilan dan kepastian hukum.
2. Belum menampung sama sekali nilai-nilai
baru yang diperlukan seperti Bank Syariah,
Ekonomi Islam, perkembangan IPTEK
dan sebagainya. Nilai-nilai fiqh
sesuai dengan Surat Edaran Kepala Biro
Peradilan Agama Departemen Agama
No.17351958 dalam banyak hal
sudah tidak mampu lagi menyelesaikan
berbagai masalah kemasyarakatan
yang timbul saat ini. Oleh karena itu,
perlu dicari solusi terhadap berbagai
masalah yang timbul dalam masyarakat
Islam dengan hukum Islam Kontemporer
1. Pasal 22 AB; hakim tidak boleh menolak suatu perkara
yang diajukan kepadanya. 2. Pasal 14 UU No. 141970
ayat 1, pengadilan tidak boleh menolak untuk
memutus dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih hukum tidak atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadili.
3. Pasal 229 KHI; hakim dalam menyelesaikan perkara wajib
memperhatikan nilai yang hidup dalam masyarakat.
4. Hakim dapat mempergunakan ijtihad
dalam memutus perkara yang diadilinya.
Melihat skema diatas dapat diketahui bahwa fiqh tidak lagi dapat menampung dan memenuhi kebutuhan masyarakat karena adanya perubahan kondisi, situasi dan
perkemabangan zaman. Di samping itu, banyak pasal dalam hukum positif belum jelas dan masih harus diadakan penafsiran untuk dijadikan hukum secara konkret.
Untuk mengisi hal-hal tersebut, maka hakim harus berijtihad sehingga tidak terjadi kekosongan hukum.
Sebagaimana telah penulis jelaskan diatas dalam melaksanakan ijtihad hakim tidak boleh melanggar syariat Islam. Khususnya tidak boleh menyimpang dari
maqasid al-syariah yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia. Dari uraian di atas dapat diketahui betapa besarnya peran hakim Peradilan
Agama dalam dalam melaksanakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Karena hakim tidak hanya menerapkan hukum positif yang ada namun juga wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hasil ijtihad hakim dalam bentuk hukum baru terhadap suatu masalah yang
belum ada aturan hukumnya dalam hukum positif dapat dilihat dalam beberapa putusan Pengadilan Agama, antara lain:
a. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1751P1989 tentang pengesahan perkawinan lewat telepon, yang menyimpang dari ketentuan fiqh
dan belum ada peraturannya dalam hokum positif Indonesia; b. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51 KAG1999 yang memperbaiki
Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 831997YK tentang penetapan ahli waris yang bukan Islam berdasarkan wasiat wajibah;
c. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 419 KAG2000 tentang ahli waris pengganti yang membatalkan Putusan Pengadilan TInggi Agama Surabaya
Nomor 83Pdt.GPTA.Sby tanggal 10 April 2000.
2. Peran Hakim Agama Setelah Lahirnya UU No. 14 Tahun 1970