Rumusan Masalah Manfaat Penelitian Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dibidang penelitian. Kriteria Inklusi Eksklusi 1 Kriteria Inklusi

1.2. Rumusan Masalah

Berapakah prevalensi pasien yang menderita kebutaan akibat retinopati diabetik di RSUP Haji Adam Malik Medan dari tahun 2008 – 2010 ? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui prevalensi kebutaan akibat retinopati diabetik di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui angka kejadian pasien yang menderita kebutaan akibat retinopati

diabetik berdasarkan karakteristik pasien yaitu usia dan jenis kelamin. 2. Mengetahui angka kejadian pasien yang menderita kebutaan akibat retinopati diabetik berdasarkan lama menderita diabetes melitus. 3. Mengetahui angka kejadian pasien yang menderita kebutaan akibat retinopati diabetik berdasarkan riwayat keluarga. 4. Mengetahui angka kejadian pasien yang menderita kebutaan akibat retinopati diabetik berdasarkan derajat retinopati diabetik. Universitas Sumatera Utara

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Bagi Rumah Sakit 1.1. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pendidikan dan rumah sakit yang sangat penting di Sumatera Utara jadi dengan terdeteksinya awal seseorang itu menderita diabetes melitus dapat mencegah dari berlanjutan ke tahap retinopati diabetik dan akhirnya kebutaan serta dalam mendukung saranan pemerintah mengenai perencanaan strategis nasional dan penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan untuk mencapai Vision 2020: The Right to Sight yang ditetapkan oleh WHO. 1.2. Sebagai sumber data bagi RSUP Haji Adam Malik Medan supaya dapat dibuat pemetaan kebutaan akibat retinopati diabetik untuk meningkatkan pelayanan kepada pasien ataupun masyarakat. 2. Bagi Peneliti 2.1. Bagi peneliti dari kalangan medis untuk menambah pengetahuan dalam ilmu medis mengenai diagnosa, terapi, prognosa.

2.2. Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dibidang penelitian.

Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mata

Gambar 2.1: Diambil dari Netter, 2003 Atlas of Human Anatomy yang menunujukkan gambaran anatomi mata. 2.1.1. Anatomi Retina Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan:

1. Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang

mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut.

2. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi

Universitas Sumatera Utara

3. Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang.

Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.

4. Lapis pleksiform luar, merupakan lapis aseluler dan merupakan tempat

sinapsis fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.

5. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel

Muller Lapis ini mendapat metabolisme dari ateri sentral.

6. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aseluler merupakan tempat sinaps

sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion. 7. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua. 8. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke arah saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.

9. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan

kaca Ilyas, 2005.

2.1.2. Fisiologi Mata Fungsi utama mata adalah untuk memfokuskan berkas cahaya dari

lingkungan ke sel-sel batang dan kerucut, sel fotoreseptor retina. Fotoreseptor kemudian mengubah energi cahaya menjad sinyal listrik untuk disalurkan ke SSP. Bagian retina yang mengandung fotoreseptor sebenarnya adalah perluasan dari SSP dan bukan merupakan suatu organ terpisah. Selama perkembangan masa mudiga, sel-sel retina ”mundur” dari sistem saraf, sehingga lapisan-lapisan retina, secara mengejutkan, dan menghadap ke belakang. Bagian saraf dari retina terdiri dari 3 lapisan: 1. Lapisan paling luar terdekat ke koroid mengandung sel batang dan sel kerucut yang ujung-ujung peka-cahayanya berhadapan dengan koroid yakni menjauhi cahaya yang datang Universitas Sumatera Utara 2. Sebuah lapisan tengan neuron bipolar 3. Lapisan bagian dalam sel ganglion Akson sel ganglion membentuk saraf optikus yang keluar dari retina sedikit keluar dari titik tengah. Titik di retina tempat keluarnya saraf optikus dan tempat lewatnya pembuluh darah adalah diskus optikus. Daerah ini sering disebut sebagai bintik titik buta; tidak ada bayangan yang dapat dideteksi didaerah ini karena daerah ini tidak mengandung sel batang dan sel kerucut. Dalam keadaan normal kita tidak menyadari adanya titik buta ini karena pengolahan di sentral sedikit banyak ”mengisi” bagian yang hilang ini Sherwood, 2001. Cahaya dapat melewati lapisan ganglion dan bipolar sebelum mencapai fotoreseptor disemua daerah retina, kecuali fovea. Di fovea, yaitu cekungan sebesar pangkal jarum pentul dan tepat di tengah retina, lapisan bipolar dan ganglion tertarik ke samping, sehingga cahaya secara langsung megenai fotoreseptor. Sifat ini, ditambah dengan kenyataan bahwa hanya sel kerucut yang memiliki ketajaman atau kemampuan diskriminatif lebih besar daripada sel batang yang dijumpai di tempat ini, menyebabkan fovea adalah titik untuk penglihatan tajam. Dengan demikian, kita memutar mata kita sehingga bayangan benda yang kita lihat jatuh terfokus di fovea. Daerah tepat di sekitar fovea, yaitu makula lutea, juga memiliki konsentrasi sel kerucut yang tinggi dan memilki ketajaman yang cukup besar. Namun, ketajaman makula lutea lebih rendah daripada ketajaman fovea karena adanya sel-sel ganglion dan bipolar di atas makula Sherwood, 2001. Fotoreseptor terdiri dari tiga bagian : 1.Sebuah segmen luar, yang terletak paling dekat dengan eksterior mata, menghadap ke koroid dan mendeteksi rangsangan cahaya. 2. Sebuah segmen dalam yang terletak di pertengahan panjang fotoreseptor dan mengandung perangkat metabolik sel. 3. Sebuah terminal sinaps, yang terletak paling dekat dengan interior mata, menghadap ke neuron bipolar; dan menyalurkan sinyal yang dihasilkan di fotoreseptor setelah mendapat rangsangan cahaya ke sel-sel berikutnya pada jalur Universitas Sumatera Utara penglihatan. Segmen luar, yang berbentuk seperti batang pada sel-sel batang dan seperti kerucut pada sel-sel kerucut, terdiri dari tumpukan lempeng-lempeng membranosa pipih yang banyak mengandung molekul-molekul fotopigmen. Lebih dari sejuta molekul fotopigmen mungkin terdapat di bagian luar setiap fotoreseptor. Fotopigmen mengalami perubahan kimiawi apabila diaktifkan oleh cahaya. Suatu fotopigmen terdiri dari proein enzimatik yang disebut opsin yang berikatan dengan retinen, suatu turunan vitamin A. Terdapat empat jenis fotopigmen, satu di sel batang dan satu di masing-masing dari ketiga jenis sel kerucut. Retinen identik di keempat fotopigmen, tetapi opsin fotoreseptor sedikit berbeda, sehinga fotopigmen dapat menyerap berbagai panjang gelombang cahaya secara berlebihan. Rodopsin, fotopigmen sel batang, tidak dapat membedakan berbagai panjang gelombang spektrum cahaya tampak; pigmen ini menyerap semua panjang gelombang cahaya tampak. Dengan demikian, sel batang hanya memberi gambaran bayangan abu-abu apabila mendeteksi berbagai intensitas cahaya, bukan memberi warna. Fotopigmen di tiga jenis sel kerucut--sel kerucut merah, hijau dan biru — berespons secara selektif terhadap berbagai panjang gelombang, sehingga penglihatan warna dapat terjadi Sherwood, 2001. Fototransduksi, yaitu mekanisme eksitasi, pada dasarnya sama untuk semua fotoreseptor. Ketika menyerap cahaya, molekul fotopigmen berdisosiasi mejadi komponen retinen dan opsin, dan bagian retinennya mengalami perubahan bentuk yang mencetuskan aktivitas enzimatik opsin. Melalui serangkaian reaksi, perubahan biokimiawi pada fotopigmen yang diinduksi oleh cahaya ini menimbulkan hiperpolarisasi potensial reseptor yang mempengaruhi pengeluaran zat perantara dari terminal sinaps fotoreseptor Sherwood, 2001.

2.1.3. Ketajaman Penglihatan

Penurunan ketajaman penglihatan dapat disebabkan oleh kelaianan yang timbul di sepanjang jaras optik dan jaras visual neurologik. Jadi, pemeriksa harus mempertimbangkan adanya kelainan refraksi fokus, ptosis, pengeruhan atau gangguan media mata misalnya edema kornea, katarak, atau perdarahan dalam Universitas Sumatera Utara vitreous atau ruang aqueous, dan gangguan fungsi retina makula, nervus optikus, atau jaras visual intrakranial Vaughan Asbury, 2010. 2.2. Kebutaan 2.2.1. Definisi Ketajaman penglihatan visus seseorang dapat diukur secara subjektif dengan optotype, yaitu lembar papan yang memuat gambar huruf atau tanda – tanda lain. Bila seseorang tidak mampu menyebutkan huruf atau gambar pada papan Optotype itu maka dinyatakan orang itu tergolong low vision. Pengukuran visusnya dengan cara mengenal jari finger counting dan tangan hand movement dari pemeriksa. Bila tidak dapat melihat jari dan tangan pemeriksa, maka diminta mengenal pacuan sinar yang biasanya digunakan lampu senter Wilardjo, 2001. Departemen Kesehatan telah menetapkan batasan dari kebutaan, ialah golongan social blind bila visusnya finger counting jarak satu meter visus = 160 dan medical ophthalmological blind bila tidak ada persepsi visus = nol Wilardjo, 2001. Terminologi kebutaan didefinisikan berbeda – beda ditiap negara seperti kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan sosial. Begitu banyak definisi kebutaan, ada sekitar 65 definisi yang tertera dalam publikasi WHO tahun 1966. Di dalam oftalmologi, terminologi kebutaan terbatas pada titik dapatnya melakukan aktifitas sampai tidak adanya persepi cahaya. Di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, kebutaan didefenisikan sebagai tajam penglihatan dengan koreksi terbaik kurang dari atau sama dengan 660. Supaya ada perbandingan secara statistik baik nasional maupun internasional, WHO pada 1972 telah mengajukan kriteria yang seragam dan definisi kebutaan sebagai suatu tajam penglihatan yang kurang dari 360 Snellen atau yang ekuivalen dengannya. Pada 1979, WHO menambahkan dengan ketidaksanggupan hitung jari pada jarak 3 meter di ruang terbuka dengan cahaya matahari Hutasoit, 2010. Universitas Sumatera Utara Menurut International statistical classification of diseases, injuries and causes of death, 10 th revision ICD-10: H54 9 definisi gangguan penglihatan, penurunan visus dan kebutaan adalah penurunan visus dan kebutaan yang merupakan pecahan dari ganguan penglihatan. Penurunan visus atau visual acuity adalah kurang dari 618, tetapi sama atau lebih baik dari 360 atau kehilangan lapangan pandang kurang dari 20 derajat di mata lebih baik dengan sebaik mungkin dikoreksi ICD-10 visual impairment categories 1 and 2 dan kebutaan adalah visual acuity kurang dari 360 atau kehilangan lapangan pandang kurang dari 10 derajat di mata lebih baik dengan sebaik mungkin dikoreksi ICD-10 visual impairment categories 3, 4 and 5 Resnikoff et al, 2002. 2.2.2. Epidemiologi Berdasarkan laporan WHO kebutaan terjadi akibat katarak 43, glaukoma 15, retinopati diabetik 8, trakoma 11, defisiensi vitamin A 6, dan onchocerciases 1 Ramanjit Sihota, 2007. Kecacatan sebagai akibat dari penyakit mata masih memerlukan perhatian dari berbagai pihak. Sejak tahun 1967 kebutaan telah dinyatakan sebagai bencana nasional berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan No.19 Birhub.1967. Tahun 1982, Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat Dit.Jen.Bin.Kes Mas Dep.Kes.RI pernah melakukan survei morbiditas mata dalam survei tersebut didapatkan hasil kebutaan dua mata di Indonesia 1,2. Dalam hal ini termasuk kebutaan yang dialami oleh penderita retinopati 0,03. Sebagian besar dari kasus retinopati didapatkan pada penderita diabetes melitus. Disamping itu didapatkan enam macam penyakit sebagai penyebab kebutaan, yang terbanyak adalah katarak sebesar 0,76 dan yang disebabkan oleh kelainan retina menempati urutan kelima Wilardjo, 2001. Dengan perubahan pola kehidupan ke arah moden diperkirakan pada tahun – tahun mendatang penyakit diabetes melitus juga sebagai penyebab utama kebutaan di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Berbeda dengan kebutaan yang disebabkan oleh katarak yang dapat ditanggulangi, kebutaan yang disebabkan oleh komplikasi diabetes melitus pada retina retinopati diabetik tidak Universitas Sumatera Utara dapat ditingkatkan tajam penglihatannya dengan upaya apapun, sehingga terjadi buta permanen Wilardjo, 2001. 2.2.3. Klasifikasi Tabel 2.1: Diambil dari International Statistical Classification of Disease and Related Health Problems, tenth revision. Geneva, World Health Organization, 1992 Ramanjit Sihota, 2007. Kategori gangguan penglihatanvisus Koreksi ketajaman penglihatanvisus terbaik pada mata yang terbaik O ‘Normal’ 66 hingga 618, yaitu visus 618 atau lebih baik 1 ‘Gangguan penglihatan’ 618 hingga 660 2 ‘Gangguan penglihatan berat’ 660 hingga 360 3 ‘Buta’ 360 hingga 160 4 ‘Buta’ 160 persepsi hanya terhadap cahaya 5 ‘Buta’ Tidak ada persepsi terhadap cahaya 9 ‘Tidak dapat ditentukan’ Pada tahun 1977 International Classification of Diseases ICD membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 618 Snellen, dimana kategori 1 dan 2 termasuk dalam low vision sedangkan kategori 3,4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan lapangan pandangan 5° - 10° ditempatkan pada kategori 3 dan lapangan pandangan kurang 5° ditempatkan pada kategori 4 Lihat table 2.2. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2: Berdasarkan International Classification Diseases ICD terhadap penurunan penglihatan. Kategori penurunan penglihatanvisus Tingkat ketajaman visus Snellen Visus normal 66 hingga 618 Visus rendah Low vision Kurang dari 618 hingga 660 Kurang dari 660 hingga 360 Kebutaan 1. Kurang dari 360 Hitung jari pada jarak 3 meter hingga 160 Hitung jari pada jarak 1 meter atau luas pandangan antara 5°-10° 2. Kurang dari 160 Hitung jari pada jarak 3 meter hingga 160 Hitung jari pada jarak 1 meter hingga persepsi terhadap cahaya atau luas pandangan kurang dari 5° 3. Tiada persepsi terhadap cahaya 2.3. Retinopati Diabetik 2.3.1. Definisi Diabetes Melitus Menurut WHO, Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang tinggi hiperglikemia akibat dari kerusakan sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya. Diabetes melitus bukan merupakan penyakit berpatogen tetapi sekelompok penyakit metabolik dengan etiologi yang berbeda Reinauer, 2002. Menurut American Optometric Association AOA, diabetes melitus DM adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat kerusakan sekresi insulin dan atau meningkatkan resistensi seluler terhadap insulin Cavallerano et al, 2009. Universitas Sumatera Utara Diabetes adalah penyebab utama keempat kematian di negara-negara industri. Diabetes merupakan suatu penyakit di bidang medis yang memerlukan perhatian yang cukup besar karena komplikasi parah jangka panjangnya, seperti termasuk gangguan kardiovaskular, retinopati, neuropati dan nefropati. Diabetik retinopati adalah penyebab paling tinggi menyebabkan kebutaan, dan merupakan satu masalah yang semakin berkembang di dunia ini Shrestha, 2007. 2.3.2. Definisi Retinopati Diabetik Retinopati Diabetik RD secara klasik telah dianggap sebagai penyakit mikrosirkulasi dari retina karena efek metabolik akibat hiperglikemia sendiri dan jalur metabolik dipicu oleh hiperglikemia jalur poliol, jalur hexosamine, jalur DAG-PKC, advanced glycation end-products dan stres oksidatif. Namun, neurodegeneration retina sudah ada sebelum kelainan mikrosirkulasi dapat dideteksi dengan pemeriksaan oftalmoskopi. Dengan kata lain, neurodegeneration retina adalah sebuah peristiwa awal patogenesis RD yang mendahului dan berpartisipasi dalam kelainan mikrosirkulasi yang terjadi pada RD Villarroel, 2010.

2.3.3. Epidemiologi Menurut Peter J. Watkins, diabetes adalah penyebab paling umum kebutaan

pada orang berusia 30 – 69 tahun. Dua puluh tahun setelah onset diabetes, hampir semua pasien dengan DM tipe I dan lebih dari 60 pasien DM tipe II akan memiliki beberapa derajat retinopati Watkins dalam Barceló, 2001. Bahkan pada saat diagnosis DM tipe II, sekitar seperempat pasien telah membentuk gejala retinopati Shrestha, 2007. Lebih dari 20 pasien dengan DM tipe II menderita retinopati diabetik dan sekitar 5 menjadi buta Barceló, 2001.

2.3.4. Klasifikasi Secara umum retinopati diabetik dibagi menjadi dua yaitu retinopati diabetik

non proliferatif atau dikenali juga dengan retinopati diabetik dasar dan retinopati diabetik proliferatif Lubis, 2007. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2: Retinopati diabetik non proliferatif Gambar 2.3: Retinopati diabetik proliferatif Gambar 2.1 dan 2.2: Berdasarkan klasifikasi oleh The International Classification of Diabetic Retinopathy, retinopati diabetik dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu Mild Nonproliferatif Retinopati Diabetik: Microaneurysm only, Moderate Nonproliferatif Retinopati Diabetik dan Severe Nonproliferatif Retinopati Diabetik Lubis, 2007. 2.3.5. Patofisiologi Bentuk patofisiologi retinopati diabetik yang paling umum dijumpai adalah cerminan klinis dari hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh darah yang terkena. Hal ini disebabkan oleh penyumbatan dan kebocoran kapiler, mekanisme perubahannya tidak diketahui tetapi telah diteliti adanya perubahan endotel vaskuler penebalan membran basalis dan hilangnya perisit dan gangguan hemodinamik pada sel darah merah dan agregasi platelet. Di sini perubahan mikrovaskuler pada retina terbatas pada lapisan retina intra retina. Karakteristik pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multipel yang dibentuk oleh kapiler – kapiler yang membentuk kantong-kantong kecil yang menonjol seperti titik – titik, vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, serta bercak perdarahan intra retina. Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyalaan api karena lokasinya di dalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Perdarahan dengan bentuk titik-titik atau bercak terletak di Universitas Sumatera Utara lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi vertikal Lubis, 2007. Edema makula merupakan stadium yang paling berat dari retinopati diabetik non proliferatif. Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler mikrovaskuler dan kebocoran plasma yang lanjut disertai iskemik pada dinding retina cotton wall spot, dan infark pada lapisan serabut saraf. Hal ini menimbulkan area non perfusi yang luas dan kebocoran darah atau plasma melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari edema makula adalah cotton wall spot, intra retina mikrovaskuler abnormal IRMA, dan rangkaian vena yang seperti manik-manik. Bila satu dari keempatnya dijumpai maka ada kecenderungan progresif Lubis, 2007. Retinopati diabetik non proliferatif dapat mempengaruhi fungsi penglihatan melalui dua mekanisme yaitu: perubahan sedikit demi sedikit dengan pembentukan kapiler dari intra retina yang menyebabkan iskemik makular dan peningkatan permeabilitas pembuluh retina yang menyebabkan edema makular Lubis, 2007. Gambar 2.4: Diambil dari Advances in Diabetic Retinopathy menunjukkan alur patogenesis berlakunya retinopati diabetik Feener, 2008. Universitas Sumatera Utara

2.3.6. Pemeriksaan Penunjang Untuk dapat membantu mendeteksi secara awal adanya edema makula pada

retinopati diabetik non – poliferatif dapat digunakan Stereoscopic Biomicroscopic dengan lensa +90 dioptri. Selain itu, Angiografi Fluoresens juga sangat bermanfaat dalam mendeteksi kelainan mikrovaskularisasi pada retinopati diabetik. Manakala dijumpai kelainan pada elektroretinografik juga memiliki hubungan dengan keparahan retinopati dan dapat membantu memperkirakan perkembangan retinopati Lubis, 2007. Gambar 2.5: Contoh gambar fundus berwarna. Dua yang pertama menunjukkan gambar mata yang sehat sementara dua terakhir gambar berisi eksudat, manifestasi dari retinopati Silberman, 2010. Gambar 2.6: Gambaran retina yang membingungkan. Gambar pertama berisi Patch dengan intensitas warna yang sama dengan diskus optik dan dapat menimbulkan kekeliruan dengan eksudatnya. Namun, komponen ini tidak berhubungan dengan retinopati diabetik. Gambar kedua berisi artefak besar Universitas Sumatera Utara oftalmoskopi yang digunakan untuk melihat retina dan hasilnya miriphampir sama dengan retinopati jika diperiksa dalam skala yang kecil Silberman, 2010. Tabel 2.3: Diagnosis tingkat klinis retinopati diabetik dan rujukan yang tepat untuk dokter spesialis mata, berdasarkan grading gambar JVN lebih baik dibandingkan dengan gradasi menggunakan Pengobatan Dini Retinopati Diabetika Study ETDRS tujuh standar lapangan 35-mm stereo warna slides dan pemeriksaan retina oleh dokter spesialis mata melalui saiz pupil yang melebar Cavallerano et al, 2005. 2.3.7. Penatalaksanaan Pasien retinopati diabetik non-proliferatif tanpa edema makula dilakukan pengobataan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemik yang lainnya. Terapi laser argon fokal terhadap titik – titik kebocoran retina pada pasien yang secara klinis menunjukkan edema bermakna dapat memperkecil resiko penurunan penglihatan dan meningkatkan fungsi penglihatan, sedangkan mata dengan edema makula diabetik yang secara klinis tidak bermakna maka biasanya hanya dipantau secara ketat terapi laser Lubis, 2007. Universitas Sumatera Utara Pasien retinopati diabetik proliferatif biasanya diindikasikan pengobatan dengan fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna menurunkan kemungkinan perdarahan massif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara menimbulkan regresi dan pada sebagian kasus dapat menghilangkan pembuluh – pembuluh darah yang baru tersebut. Diharapkan kemungkinan fotokoagulasi panretina laser argon ini berkerja dengan mengurangi stimulus angiogenik dari retina yang mengalami iskemik. Tekniknya berupa pembentukan luka – luka bakar laser dalam jumlah sampai ribuan yang tersebar berjarak teratur diseluruh retina, tidak mengenai bagian sentral yang dibatasi oleh diskus dan pembuluh vaskular temporal utama Lubis, 2007. Tabel 2.4: Diambil dari American Academy of Opthalmology menganjurkan beberapa manajemen yang umum. Terapi berbeda mengikut individu, derajat keparahan pasien, faktor resiko, penyakit sistemik lain dan lain – lain. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.5: Diambil dari Current Diabetes Reviews, 2009, Metabolic Control and Diabetic Retinopathy menunjukkan pengurangan atau penurunan resiko dengan terapi yang intensif dan convensional Rodriguez-Fontal, 2009. Universitas Sumatera Utara BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah: Kerangka Konsep Prevalensi Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik di RSUP Haji Adam Malik Medan dari Tahun 2008 – 2010 3.2. Variabel dan Definisi Operasional Sesuai dengan masalah, tujuan, dan model penelitian, maka yang menjadi variabel dalam penelitian berserta dengan definisi operasionalnya masing-masing sesuai dengan yang dicatat oleh petugas rumah sakit sebagai berikut: Prevalensi Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik - Karakteristik Penderita Usia Jenis Kelamin - Lama Menderita Diabetes Melitus - Riwayat Keluarga - Derajat Retinopati Diabetik Universitas Sumatera Utara Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Alat Ukur Hasil Ukur Skala Pengukuran Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik Visus terbaik pada kedua mata 360 Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Ketajaman Visus 1. Visus 360 2. Visus 360 Nominal Penderita Retinopati Diabetik Menderita retinopati diabetik Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Menderita RD 1. Penderita retinopati diabetik 2. Bukan penderita retinopati diabetik Nominal Usia Usia saat penderita pertama kali didiagnosis menderita retinopati diabetik Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Usia penderita 1. 20 – 40 tahun 2. 41 – 60 tahun 3. 60 tahun Ordinal Jenis Kelamin Jenis kelamin penderita Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Jenis Kelamin 1. Laki – laki 2. Perempuan Nominal Universitas Sumatera Utara Lama Menderita Diabetes Melitus Lama menderita DM pada saat penderita diagnosis menderita retinopati diabetik Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Onset 1. 10 tahun 2. 11 – 20 tahun 3. 20 tahun Ordinal Riwayat Keluarga Ada riwayat ahli keluarga yang menderita masalah yang sama Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Riwayat Keluarga 1. Ada riwayat keluarga 2. Tidak ada riwayat keluarga Nominal Derajat Retinopati Diabetik Derajat retinopati saat penderita didiagnosis menderita retinopati diabetik Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Tipe 1. Tipe Non Poliferatif Retinopati Diabetik

2. Tipe Poliferatif

Retinopati Diabetik Nominal Universitas Sumatera Utara BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif dengan desain cross sectional. Desain cross sectional adalah suatu desain penelitian dimana pengumpulan data atau variabel yang akan diteliti dilakukan secara bersamaan dengan melihat data rekam medis penderita retinopati diabetik yang tercatat selama periode 1 Januari 2008 – 31 Desember 2010. 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli–September 2011 di RSUP Haji Adam Malik Medan. Adapun pertimbangan memilih lokasi tersebut dengan beberapa alasan yaitu, RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pendidikan, pusat pelayan kesehatan pemerintah yang menjadi tempat rujukan di Sumatera Utara, dan jumlah penderita retinopati diabetik di RSUP Haji Adam Malik Medan relatif memadai untuk dijadikan sampel penelitian. 4.3. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medis penderita retinopati diabetik selama periode 1 Januari 2008–31 Desember 2010. Sampel penelitian adalah subyek yang diambil dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian yang diambil dengan metode total sampling. 4.4. Kriteria Inklusi Eksklusi 4.4.1 Kriteria Inklusi Semua penderita retinopati diabetik. 4.4.2. Kriteria Eksklusi Penderita retinopati diabetik yang menderita penyakit hipertensi dan data rekam medis yang tidak lengkap. Universitas Sumatera Utara 4.5. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dimulai dengan membawa surat pengantar dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ke Poliklinik Mata dan direktur RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan data sekunder yang diperoleh berdasarkan hasil diagnosis dokter yang tercatat dalam rekam medis RSUP Haji Adam Malik Medan di Poliklinik Mata. 4.6. Metode Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan empat tahapan yakni editing, coding, entry, cleaning data, saving dan analisis data. Pengolahan data dilakukan dengan langkah–langkah yaitu: 1 editing, dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data; 2 coding, data yang telah terkumpul kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer; 3 entry, data tersebut dimasukkan ke dalam program komputer; 4 cleaning data, pemeriksaan semula semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahan sewaktu dimasukkan data; 5 saving, penyimpanan data untuk siap dianalisis; dan 6 analisis data. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan bantuan sistem komputerisasi, dan kemudian disajikan dengan menggunakan tabel distribusi, frekuensi, dan dilakukan pembahasan dan analisis dalam bentuk narasi sesuai dengan pustaka yang ada. Universitas Sumatera Utara BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian 5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian