Classification of Coral Reef Lifeform using Hydroacoustic Instrument Simrad EY 60 in Pari Island

(1)

KLASIFIKASI LIFEFORM TERUMBU KARANG

MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD

EY 60 DI PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU

JAFRY FERDINAN MANUHUTU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Klasifikasi Lifeform Terumbu Karang menggunakan Instrumen Hidroakustik Simrad EY 60 di Pulau Pari Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Jafry Ferdinan Manuhutu NIM C552070011


(3)

ABSTRACT

JAFRY FERDINAN MANUHUTU

.

Classification of Coral Reef Lifeform using Hydroacoustic Instrument Simrad EY 60 in Pari Island. Supervised JAYA INDRA and MANIK M. HENRY

In Indonesia, hydroacoustic methods has been used in variuous marine research and development, however, it’s vast potensial application has not been fully explored. This thesis describes an attempt to classify coral reef lifeform using hydroacoustic method. Data collection was carried out in Pari Island, Jakarta day 13 from 17 july 2009, and the analysis of volume backscattering strength (SV) and surface backscattering strength (SS) values obtained from SIMRAD EY 60 Instrument on several category of coral reef lifeform. Data validation of the coral reef lifeform was performed using Line Intercept Transect Method (LIT) and Visual Observation, which was recorded using under water video. Results show that the average value of surface backsacttering strength (SS) range from -25dB until -40dB, depend on the lifeform. The strength of first echo (E1) varied from -17,75dB to -34,99dB, while for the second echo (E2), it varied from -22,81dB to -43,25dB. The E1 E2 map shows that the acoustic method successfully cluster the lifeform at observation site into three groups.

Keywords: Coral reef lifeform, volume backscattering strength, surface backscattering strength, hydroacoustic method.


(4)

RINGKASAN

JAFRY FERDINAN MANUHUTU

.

Klasifikasi Lifeform Terumbu Karang Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY 60 di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan HENRY M. MANIK.

Terumbu karang sering disebut sebagai rain forest di laut sebab luar biasa diversity dari kehidupan mereka. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan tropik terbesar di dunia. Saat ini luasan terumbu karang diperkirakan ± 81% dalam kondisi terancam keberadaannya. Fenomena ini terjadi seiring dengan kemajuan kegiatan manusia terutama bidang industri yang menimbulkan berbagai akses serta berkaitan dengan limbah dan aktivitas penangkapan ikan dan juga global climate change.

Upaya pelestarian karang telah dilakukan dengan menggabungkan beberapa program secara terpadu, diantaranya pemantauan eksosistim secara berkala, rehabilitasi ekosistim terumbu karang yang rusak dengan pembuatan artificial reef dan tranplantasi karang. Konservasi ekosistim yang masih baik dan pemanfaatan secara berkelanjutan, serta studi – lain yang terus dikembangkan.

Didasari oleh adanya masalah klasifikasi terumbu karang maka ada dua kategori metode pemetaan habitat terumbu karang yaitu: berdasarkan observasi atau pengukuran langsung (visual sensus) dan metode tidak langsung melalui peralatan penginderaan jauh yaitu airbone dan satellite remote sensing, Selanjutnya, berkembang dua metode tidak langsung (indirect) berdasarkan instrumen penginderaan jauh yang digunakan, baik berdasarkan penginderaan jauh optik (optical remote sensing) atau penginderaan jauh akustik (acoustical remote sensing).

Metode akustik dianggap mampu memberikan solusi dalam pendugaan karakteristik dasar perairan, sejumlah penelitian lanjutan mengenai dasar perairan pun dilakukan. Tingginya variasi yang terjadi pada dasar perairan membuat banyak hal yang masih belum jelas dalam pendugaan karakteristik dasar perairan menggunakan metode akustik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai hambur balik atau volume backscattering strength (SV) dan surface backscattering strength (SS) beberapa jenis lifeform terumbu karang serta mengembangkan pengklasifikasian nilai tersebut untuk survei cepat terumbu karang.

Pengambilan data akustik dilakukan di perairan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta pada tanggal 13-17 Juli 2009. Data yang diperoleh dari pengukuran dilapangan berupa data akustik (seperti kedalaman, posisi geografis dan parameter akustik antara lain SV dan echo time travel sedangkan data visual terumbu karang yang dilakukan dengan cara pemotretan setiap lifeform terumbu karang Analisis Data akustik dilakukan di Balai Riset Perikanan Tangkap menggunakan perangkat lunak Matlab.

Survey awal untuk menentukan lokasi terumbu karang dilakukan dengan penyelaman. Lokasi yang dipilih merupakan perairan pantai yang mempunyai penutupan karang yang baik dengan kedalaman 2 sampai 2,5 meter. Transek dibuat menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) sepanjang 50 meter melintasi daerah terumbu karang. Pelampung (botol aquades) diletakkan pada setiap lifeform terumbu karang untuk sebagai tanda pada saat proses perekaman


(5)

akustik sehingga proses perekaman akustik tepat berada diatas lifeform terumbu karang. Setelah lokasi dan transek ditandai, dilanjutkan dengan pengambilan data lifeform terumbu karang yang didukung dengan foto, kemudian dianalisis lebih lanjut. Survei akustik dilakukan dilokasi berdasarkan pelampung sebagai tanda, kapal dalam keadaan diam dan digerakkan menggunakan dayung.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini terlihat bahwa dari hasil ekstrak data maka nilai volume backscattering strength (SV) sangat tinggi dari tiap lifeform karang berkisar antara -10dB sampai -20dB yang berada pada kedalaman 2 dan 2,5 meter. Berdasarkan nilai mean surface backsacattering strength (SS) untuk kedelapan lifeform terumbu karang berkisar antara -27,5dB sampai -32,5dB. Dari hasil proses pengolahan data dan pemetaan antara E1 dan E2 dari tiap kategori lifeform karang, dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai E1 dan E2. Jenis terumbu karang yang termasuk dalam klasifikasi yang tinggi adalah lifeform Foliose (CF), Branching (CB) dan Acropora Branching (ATB) yang mempunyai nilai E1 berkisar antara -15dB sampai -23dB, sedangkan yang termasuk klasifikasi sedang adalah lifeform Masive (CM), Acropora Tabular (ACT) dan Acropora Digitale (ACD) yang mempunyai nilai E1 berkisar antara -20dB sampai -29dB dan klasifikasi yang rendah adalah lifeform Mushroom (CMR) dan Sponge (SP) yang mempunyai nilai E1 berkisar antara -30dB sampai -35 dB.

Kata kunci: klasifikasi, lifeform terumbu karang, instrumen akustik, volume backscattering strength, surface backscattering strength


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta Dilindungi Undang – Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya


(7)

KLASIFIKASI LIFEFORM TERUMBU KARANG

MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD

EY 60 DI PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

JAFRY FERDINAN MANUHUTU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

Judul Tesis : Klasifikasi Lifeform Terumbu Karang menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY 60 di Pulau Pari, Kepulauan Seribu

Nama : Jafry Ferdinan Manuhutu NIM : C552070011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Dr. Ir. Henry M. Manik, MT

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan

Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(9)

(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena begitu besar kasih Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Klasifikasi Lifeform Terumbu Karang Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY 60 di Pulau Pari Kepulauan Seribu.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya. M Sc dan Dr. Ir Henry M. Manik, MT selaku Ketua dan Anggota pembimbing yang dengan kesabaran dan ketulusan hati membimbing sehinga penyusunan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan saran bimbingan, arahan dan masukan bagi penulisan ini.

3. Ketua Mayor Teknologi Kelautan dan staf pengajar Program Studi Teknologi Kelautan, atas segala ilmu yang diberikan selama ini.

4. Staf pengajar Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua buat dukungan dan semangat yang terus diberikan.

5. Ditjen Dikti yang telah memberikan dana BPPS, Program Mitra Bahari-Coremap II yang telah membantu dana bantuan penulisan skripsi.

6. Ir. Tati Purwati, M.Si atas segala bantuan fasilitas dan ijin pengunaan peralatan echosounder dilapangan selama penelitian berlangsung.

7. Teman-teman TEK angkatan 2007, khususnya Muhamad Iqbal, S.pi yang membantu penulis selama penulisan tesis ini.

8. Kedua orang tua, istri terkasih Netje dan ketiga anak Fernando, Jesica dan Marxel atas dukungan doa, material, waktu dan kasih sayang mereka. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan tesis ini.

Bogor, Agustus 2010


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahir di Ambon pada tanggal 29 Januari 1973 dari Ayah Dominggus dan Ibu Ina Maria Nanlohy. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura dan menamatkannya pada tahun 2000.

Selanjutnya pada tahun 2000-2001, penulis mengabdi sebagai dosen luar biasa pada Diploma (D3) Budidaya Perairan, Universitas Negeri Papua. Dan semenjak tahun 2002 penulis diangkat sebagai staf pengajar pada Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Papua (UNIPA).

Pada tahun 2007 penulis diberi kesempatan mengikuti program Magister Sains di Program Studi Teknologi Kelautan (TEK) atas bantuan dana dari BPPS. Tulisan berjudul Klasifikasi Lifeform Terumbu Karang menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY 60 di Pulau Pari Kepulauan Seribu.


(12)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

... xii

DAFTAR GAMBAR

... xiii

DAFTAR LAMPIRAN

... xiv

1

PENDAHULUAN

... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Kerangka Pemikiran ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

2

TINJAUAN PUSTAKA

... 6

2.1 Terumbu Karang... ... 6

2.2 Bentuk Pertumbuhan Karang ... 7

2.3 Karang Lunak ... 14

2.4 Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang ... 14

2.5 Kondisi Terumbu Karang Kepulauan Seribu ... 15

2.6 Metode Akustik ... 15

2.7 Transmisi Gelombang Akustik ... 16

2.8 Time Varied Game ... 17

2.9 Hambur Balik Akustik pada dasar perairan ... 17

2.10 Bottom Scattering Pada Dasar Perairan ... 19

2.11 Echosounder Split Beam ... 21

3

METODE PENELITIAN

... 22

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 22

3.2 Alat dan Bahan ... 23

3.2.1 SIMRAD EY 60 Scientific Echosounder System ... 23

3.2.2 Kapal ... 23

3.3 Metode Pengumpulan Data... 24

3.3.1 Observasi Visual... ... 24

3.3.2 Metode Pengukuran Akustik Lifeform Terumbu Karang... ... 24

3.4 Pemrosesan dan Analisis Data ... 25

3.4.1 Ekstrak Data ReadKraw(Rick Towler-NASA Alaska,2005) .... 25


(13)

xi

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

... 27

4.1 Data Lapangan ... 27

4.2 Data Akustik ... 27

4.3 Komputasi Echo Life form Terumbu Karang... 28

4.4 Pola Puncak Echo Lifeform Terumbu Karang ... 30

4.5.Puncak Echo (Peak) Surfacebackscattering Strength (SS) Lifeform Terumbu Karang . ... 31

4.6 Pengelompokan Kekasaran/E1 dan Kekerasan/E2 ... ... 33

4.6 Pengklasifikasian Lifeform Terumbu Karang ... ... 34

5

KESIMPULAN DAN SARAN

... 35

5.1 Kesimpulan ... 35

5.1 Kesimpulan ... 35

DAFTAR PUSTAKA

... 36


(14)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Klasifikasi komunitas terumbu karang ... 6

2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian... ... 23

3 Setting alat SIMRAD EY 60 scientific echosounder sistem ... 25

4 Hasil pengamatan visual dilapangan ... ... 27

5 Nilai surface backscattering strength (dB) lifeform terumbu karang dan Sponge ... 32


(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ... 4

2a Beberapa tipe pertumbuhan karang batu (Stony Coral )... .. 8

2b Beberapa tipe pertumbuhan karang batu (Stony Coral ) ... 9

2c Beberapa tipe pertumbuhan karang batu (Stony Coral ) ... 10

3 Prinsip pengoperasian alat akustik ... 16

4 Bentuk echo yang berbeda dari dasar yang keras dan lunak (a) amplitudo sinyal echo dan (b) kurva akumulasi energi ... 18

5 Bentuk suara saat ditransmisikan pada dua medium yang berbeda impedansi dan kekasarannya ... 19

6 Variasi nilai backscattering yang dihasilkan oleh berbagai frekuensi ... 20

7 Lokasi Penelitian ... ... 22

8 Contoh Echogram kategori lifeform terumbu karang... .. 28

9 Echogram SV (dB) tiap kategori lifeform terumbu karang dan Sponge ... .. 29

10 Nilai rata – rata SV dasar (dB) lifeform terumbu karang dan Sponge ... .. 31


(16)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Dokumentasi survei,peralatan instrumentasi akustik

yang digunakan dalam penelitian ... 41 2 Jenis lifeform terumbu karang yang ditemukan pada lokasi

penelitian penelitian ... ... 42 3 Uraian Listening program Rick Towler (Purnawan 2009) ... 43


(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terumbu karang sering disebut sebagai rain forest di laut sebab luar biasa diversity dari kehidupan mereka. Sebagai satu dari kehidupan kompleks di dunia, terumbu karang merupakan rumah untuk lebih dari 4000 species ikan yang berbeda, 700 species dari coral, ribuan tumbuhan-tumbuhan dan hewan – hewan lain (ICRAN 2006).

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan tropis terbesar di dunia dengan garis pantai sepanjang lebih dari 95.000 km2 mengelilingi ±17.000 pulau serta mempunyai luasan terumbu karang ± 51.020 km2 (Burk et al. 2002). Saat ini luasan terumbu karang diperkirakan ± 81% dalam kondisi terancam keberadaannya (Spelding et al. 2001), Fenomena ini terjadi seiring dengan kemajuan kegiatan manusia terutama bidang industri yang menimbulkan berbagai akses serta berkaitan dengan limbah, aktivitas penangkapan ikan dan global climate change.

Untuk pengelolaan khususnya sumber – sumber terumbu karang, yang pertama penting mengidentifikasi terumbu karang yang akan dikelola. Sebuah program monitoring dapat menyediakan informasi dari tempat diversity, kondisi dari syarat habitat – habitat dan perubahan dalam lingkungan.

Salah satu cara untuk mengetahui bagaimana karateristik dari lautan itu sendiri adalah dengan mempelajari bentuk/karateristik dari dasar perairan yang antara lain berupa tipe substrat atau sedimen beserta organisme yang hidupnya didasar perairan. Perkembangan penelitian mengenai dasar perairan telah banyak dilakukan dimana para peneliti berusaha untuk mencari hubungan antara parameter di dasar perairan (organisme bentos, vegetasi perairan dan ikan demersal) berupa hubungan korelasi antara tipe substrat dengan organismenya.

Penelitian – penelitian mengenai habitat terumbu karang telah banyak dilakukan seperti metode klasifikasi habitat menggunakan satelit dan pemotretan udara telah diterapkan untuk pemetaan habitat terumbu karang (Mumby et al. 1997, diacu dalam Walker B.K et al. 2008), metode–metode bathymetri, seperti side-scan sonar atau survei multibeam tetapi hanya mengungkapkan kehadiran dari biota terumbu karang. Diskriminasi menggunakan single beam acoustic


(18)

2

sistim dasar laut seperti menggunakan QTC View, telah sukses untuk membedakan antara tipe dasar (Hamilton 2001; Anderson et al. 2002, diacu dalam Walker BK et al. 2008).

Penggunaan metode hidroakustik merupakan salah satu alternatif yang dewasa ini telah dikembangkan untuk mendapatkan informasi tentang klasifikasi substrat dasar dan vegetasi bawah air, karena keuntungannya yang lebih efektif dan efisien untuk pemantauan dan pemetaan ekosistim air dibandingkan metode

lain seperti pemanfaatan citra satelit dan pemantauan secara konvensional (visual sensus).

Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk melakukan penelitian mengklasifikasikan lifeform karang menggunakan Instrumen Hidroakustik Simrad EY 60.

1.2 Perumusan Masalah

Upaya pelestarian karang telah dilakukan dengan menggabungkan beberapa program secara terpadu, diantaranya pemantauan eksosistim secara berkala, rehabilitasi ekosistim terumbu karang yang rusak dengan pembuatan artificial reef (Clark & Edward 1999) dan tranplantasi karang (Birkeland. 1997). Konservasi ekosistim yang masih baik dan pemanfaatan secara berkelanjutan, serta studi – studi lain yang terus dikembangkan.

Airbone dan teknologi remote sensing semakin banyak digunakan untuk monitoring habitat - habitat terumbu karang. Untuk semakin akurat dan peta–peta dapat diandalkan, kalibrasi dari alogaritma pemetaan dan validasi dari hasil peta-peta adalah penting (Green et al. 2000). Bermacam metode – metode survei bentik telah digunakan untuk validasi seperti visual checks (Mazel et al. 2003) Line Intercept (Andrefouet et al. 2003), Video (Louchard et al. 2003) dan survey digital (Joyce et al. 2004).

Banyak teknik efektif untuk implementasi tidak selalu jelas dan banyak metode-metode survei bentik yang dapat dipilih (English et al. 1997; Hill & Wilkinson 2004, diacu dalam Walker BK et al. 2008). Metode-metode tersebut memiliki banyak kekurangan dalam survei, hal ini disebabkan kebutuhan sampling yang mencakup daerah yang luas serta biaya yang besar.


(19)

3

Di Indonesia teknologi hidroakustik telah diterapkan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan kelautan, namun penerapan tersebut hingga saat ini masih sangat terbatas. Misalnya dalam dunia perikanan penerapannya baru sampai pada tahap inventarisasi awal sumberdaya ikan, sedangkan penelitian dan penerapan teknologi hidroakustik pada daerah terumbu karang sampai saat ini relatif sangat sedikit dilakukan.

Metode akustik dianggap mampu memberikan solusi dalam pendugaan karakteristik dasar perairan, sejumlah penelitian lanjutan mengenai dasar perairan pun dilakukan. Tingginya variasi yang terjadi pada dasar perairan membuat banyak hal yang masih belun jelas dalam pendugaan karakteristik dasar perairan menggunakan metode akustik. Padahal seperti yang diketahui bahwa metode akustik sangat efektif pada penyediaan informasi tentang laut dalam dan dasar laut dan telah digunakan pada laut baltik untuk klasifikasi dasar (Tegowski 2005).

1.3 Kerangka Pemikiran.

Hewan bentik memiliki hubungan erat dengan jenis dasar perairan yang mereka tempati. Oleh karena itu bidang perikanan membutuhkan klasifikasi sediment dan dasar perairan untuk memetakkan habitat bagi hewan bentik (Orlowski 2007). Bermacam metode–metode konvensional survei bentik telah digunakan untuk validasi terumbu karang seperti visual checks, line intercept transect, video dan survei–survei digital dalam melakukan klasifikasi terhadap terumbu karang. Tetapi masih banyak kelemahannya disebabkan pengamatan cenderung tidak dapat dilakukan secara bersamaan karena sampling mencakup daerah yang luas, serta membutuhkan waktu dan biaya yang sangat besar.

Didasari oleh adanya masalah klasifikasi terumbu karang maka ada dua kategori metode pemetaan habitat terumbu karang yaitu: berdasarkan observasi atau pengukuran langsung (visual sensus) dan metode tidak langsung melalui

peralatan penginderaan jauh yaitu airbone dan satelite remote sensing (Green at al. 2000). Karena membutuhkan waktu dan tenaga, metode ini dinilai

tidak efektif. Selanjutnya, berkembang dua metode tidak langsung (indirect) berdasarkan instrumen penginderaan jauh yang digunakan, baik berdasarkan penginderaan jauh optik (optical remote sensing) atau penginderaan jauh akustik


(20)

4

(acoustical remote sensing). Lokasi penelitian dipilih pada perairan digugusan Pulau Pari yang memiliki habitat terumbu karang. Sounding akustik dilakukan untuk mendapatkan nilai volume backscattering strength (SV) beberapa jenis lifeform terumbu karang. Untuk pengambilan sampel terumbu karang dilakukan dengan observasi visual (pemotretan) sebagai groundtruth sampling pada lokasi tersebut. Pengambilan sampel tersebut untuk memperoleh data klasifikasi terumbu karang pada daerah tersebut.

Secara diagramatik kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini seperti ditunjukkan pada Gambar 1

Gambar 1 Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian. Masalah klasifikasi substrat dasar terumbu karang

Survei akustik Observasi visual & Optik SIMRAD EY 60

Scientific echosounder

Raw data

(Pengukuran akustik terumbu) Echo logging

Echo post processing sofware

Volume backscaterring strength (SV) Surface backscattering strength (SS)

Penyelaman

Photo

Identifikasi visual

Jenis lifeform

terumbu karang

Validasi

TVG GPS

Noise filtering

Klasifikasit Lifeform Terumbu Karang Berbasis Akustik


(21)

5

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai hambur balik atau volume backscattering strength (SV) dan surface backscattering strength (SS) beberapa jenis lifeform terumbu karang serta mengembangkan pengklasifikasian nilai tersebut untuk survei cepat terumbu karang.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pola sebaran nilai hambur balik atau volume backscattering strength (SV) dan surface backscattering strength (SS) yang dihasilkan oleh beberapa jenis lifeform terumbu karang. Pola yang didapatkan dari nilai volume backscattering strength (SV) ini kemudian dapat digunakan untuk memetakan dan mengklasifikasikan lifeform terumbu karang.


(22)

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan kumpulan organisme karang yang hidup diperairan laut dangkal terutama di daerah tropis. Ekosistim terumbu karang komponen utamanya disusun oleh hewan – hewan karang dari kelas Anthozoa, Ordo Scleractinia, yang mampu membuat rangka karang dari kalsium karbonat (Vaughan dan Well 1943, diacu dalam Supriharyono 2000). Hewan karang adalah hewan sessile renik, umumnya berada dalam ekosistim bersama hewan laut lain seperti soft coral, Hydra, anemone laut dan lain – lain yang termasuk kedalam Phylum Cnidaria (Coelenterata) Veron (2000) dimana klasifikasi dari komunitas hewan–hewan dalam ekosistim terumbu karang tersebut adalah (stony coral) yaitu hewan yang tergolong dalam Ordo Sclerectinia dimana kerangkanya terbangun dari rangka kapur (Nontji 2002).

Tabel 1 Klasifikasi komunitas terumbu karang (Veron 2002) Klas Hydrozoa

Ordo Hydroidea (Hydroids)

Ordo Milleporina (meliputi Genus Millepora)

Ordo Stylasterina (meliputi Genus Distichopora and Stylaster) Klas Cubozoa (Sea Wasps)

Klas Anthozoa

Sub Klas Octocorallia

Ordo Helioporacea (Genus Heliopora)

Ordo Alcyonacea (Soft corals, Tubipora, sea fans) Ordo Pennatulacea (sea pens)

SubKlas Hexacorallia

Ordo Actiniaria (sea Anemones) Ordo Zoanthidia (zoanthids)

Ordo Corallimorpharia ( corallimorpharians) Ordo Scleractinia ( stony corals)

SubKlas Ceriantipatharia


(23)

7

Berkaitan dengan pembentukan terumbu karang, umumnya terbagi dua kelompok yaitu karang yang membentuk terumbu (hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (ahermatipik). Kelompok pertama dalam prosesnya bersimbiosis dengan zooxanthellae dan membutuhkan sinar matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal reef building corals, sedangkan kelompok kedua tidak dapat membentuk bangun kapur sehingga dikenal dengan non reef building corals yang secara normal hidupnya tidak bergantung pada sinar matahari (Veron 2002)

2.2 Bentuk Pertumbuhan Karang

Jenis karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan (growth form) yang berbeda pada suatu lokasi pertumbuhan. Kondisi fisik yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang mirip walaupun secara taksonomi berbeda. Adanya perbedaan bentuk pertumbuhan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kedalaman, arus, dan topografi dasar perairan (English et al. 1997).

Berdasarkan bentuk pertumbuhanya karang terbagi atas karang Acropora dan non-Acropora (English et al. 1997). Karang jenis Acropora lebih mudah dibedakan dan memiliki jumlah jenis dan penyebaran sangat luas dibandingkan jenis lainnya. Perbedaan Acropora denga non-Acropora terletak pada struktur skeletonnya, Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radikal koralit, sedangkan non Acropora hanya memiliki radial koralit (English et al. 1994, diacu dalam Van Woesik 2002). Pertumbuhan dari struktur ini sangat bervariasi, tergantung pada jenis hewan karang dan kondisi lingkungannya, dengan kisaran pertumbuhan umumnya antara 0,3 sampai 10 cm per tahun (Vaughan dan Wells 1943, diacu dalam Van Woesik 2002).

Beberapa tahun belakangan untuk mempermudah pencatatan, banyak peneliti tidak mencatat karang pada tingkat spesies, tetapi yang digunakan adalah mengidentifikasi dengan teknik pendekatan bentuk pertumbuhan (lifeform), yang dimulai di Australia Institut of Marine Science (AIMS) kemudian banyak diikuti secara luas di dunia ( De Vantier.. 1986).


(24)

8

Sumber: English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)


(25)

9

Sumber: English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997


(26)

10

Sumber: English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)


(27)

11

Berdasarkan bentuk dari pertumbuhan (lifeform) (Wood 1977, diacu dalam English et al. 1997) mengelompokkan pertumbuhan karang (lifeform) atas bentuk/tipe :

a)Tipe Padat (masive) yaitu bentuk atau tipe yang berbentuk seperti bola, ukurannya bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah. Permukaannya halus dan padat. Jika beberapa bagian dari karang ini mati, maka akan berkembang menjadi tonjolan sedangkan bila berada di daerah dangkal maka bagian atasnya akan berbentuk seperti cincin. Karang ini biasanya ditemukan disepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng terumbu yang dewasa serta belum terganggu atau rusak, karang ini dapat berperan sebagai tempat perlindungan serta sebagai daerah pencarian makanan (feeding ground) bagi ikan – ikan karang dan hewan lainnya. Contohnya: Patygyra Daedalea

Sumber foto: English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)

b)Tipe bercabang (Branching) yaitu bentuk atau tipe karang yang memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya (English et al. 1997). Karang jenis ini banyak terdapat disepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama pada bagian yang terlindung atau setengah terbuka, bentuk karang yang demikian biasanya dijadikan tempat berlindung bagi ikan – ikan karang. Contohnya : Seriatopora Hystryx


(28)

12

Sumber foto : English SA, Wilkinson .R, Baker VJ (eds) (1997)

c)Tipe kerak (Encrusting) yaitu bentuk atau tipe karang yang menutupi permukaan dasar terumbu atau sering ditemukan merambat diatas permukaan biota karang masive ataupun karang yang sudah mati. Pertumbuhan karang ini menyerupai kerak dengan permukaannya yang kasar dan keras serta berlubang – lubang kecil. Contohnya: Porites Vaughani,Montipora Undata

Sumber foto : English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)

d)Tipe meja (Tabulate) yaitu bentuk atau tipe karang yang menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan datar. Karang ini ditopang oleh sebuah batang

yang terpusat dan tertumpu pada satu sisi membentuk sudut. Contohnya : A Hyacinthus


(29)

13

Sumber foto : English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)

e)Tipe Daun (Foliose) yaitu bentuk atau tipe karang yang tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu. Dapat berukuran besar dan kecil serta membentuk lipatan yang melingkar. Contohnya: Merulina ampliata, Montipora aequituberculata.

Sumber foto :English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)

f) Tipe Jamur (Mushroom) yaitu bentuk atau tipe karang yang berbentuk oval dan tampak seperti jamur dengan sekat–sekat yang berjur serentak dari sisi – sisinya hingga bertemu pada bagian tengahnya sehingga menyerupai jamur. Permukaannya agak cembung atau cekung dengan ukuran yang bervariasi. Contohnya : Fungia repanda


(30)

14

Sumber foto :English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)

2. 3 Karang Lunak (Soft coral )

Karang lunak lebih dikenal dengan Alcyonaria merupakan satu jenis Coelenterata yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan fisik terumbu karang. Dengan tubuh yang lunak dan kokoh, tubuh Alcyonaria lentur dan tidak mudah putus. Tubuh Alcyonaria lembek tetapi disokong oleh sejumlah besar duri–duri yang kokoh, berukuran kecil dan tersusun sedemikian rupa sehingga tubuh Alcyonaria lentur dan tidak mudah putus. Duri-duri mengandung kalsium karbonat yang disebut spikula (Manuputty 1986).

Karang lunak ini dikenal dengan tekstur tubuhnya yang lunak dan tertanam dalam masa gelatin, biasanya hidup di daerah pasang surut terendah yang aman terhadap kekeringan dan selalu berada pada perairan yang jernih dan mengandung sedikit sekali endapan. Koloni yang bercabang biasanya melekat pada substrat yang keras. Secara fisiologis karang ini mempunyai persamaan dengan karang batu dalam proses respirasi, mekanisme pengaturan organ dalam untuk mengambil makanan dari luar, serta dalam pengeluaran zat-zat yang tidak dipakai dalam tubuh.

2.4 Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang

Umumnya karang tumbuh pada daerah terbuka yang menghadap ke laut. Keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan karang hermatipik ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Kondisi lingkungan ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, akan tetapi seringkali berubah karena


(31)

15

adanya gangguan, baik yang berasal dari alam atau aktivitas manusia. Gangguan dapat berupa faktor fisik-kimia dan biologis. Faktor – faktor fisik-kimia yang diketahui dapat mempengaruhi kehidupan atau laju pertumbuhan karang, antara lain adalah cahaya matahari, suhu, salinitas dan sedimen. Sedangkan faktor biologis, biasanya berupa predaktor (Supriharyono 2000).

2.5 Kondisi Terumbu Karang Kepulauan Seribu

Kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu banyak diteliti oleh berbagai lembaga penelitian seperti P3O, LIPI, UNESCO, LAPI-ITB, Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, dan lain–lain. Secara umun kondisi terumbu karang

di Kepulauan Seribu dikategorikan dalam kondisi buruk hingga sedang (LAPI-ITB 2001, diacu dalam Situmorang 2004). Persentase tutupan karang

hidup hanya berkisar antara 0-24,9 % dan 25 - 49,9%. Kerusakan terumbu karang sebagian diakibatkan oleh penambangan karang batu untuk bahan bangunan serta

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia ( LAPI - ITB 2001, diacu dalam Situmorang 2004).

Dari berbagai pengamatan yang dilakukan tercatat terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta mencakup 68 genera dan sub genera134 spesies (LAPI - ITB 2001, diacu dalam Situmorang 2004)

2.6 Metode Akustik

Akustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini mediumnya adalah air laut.

Instrumen yang digunakan dalam metode akustik adalah sistem SONAR (Sound Navigation and Ranging) yakni suatu instrumen yang digunakan untuk

memperoleh informasi tentang objek-objek bawah air dengan memancarkan

gelombang suara dan mengamati/menganalisis echo yang diterima. Prinsip dari pengoperasian metode akustik adalah dimulai dari timer yang berfungsi

sebagai penanda pulsa listrik untuk mengaktifkan pemancaran pulsa yang akan dipancarkan oleh transmitter melalui transducer. Selanjutnya, transducer

mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika suara akan dipancarkan ke medium. Gelombang akustik yang merambat di kolom perairan akan mengenai


(32)

16

target seperti ikan atau dasar perairan dimana gelombang akustik ini akan

dipantulkan kembali dalam bentuk echo dan akan diterima oleh transducer dan mengubahnya menjadi energi listrik dan diteruskan ke receiver amplifier.

Dalam receiver amplifier ini, sinyal listrik lemah yang dihasilkan oleh transducer setelah echo diterima harus diperkuat beberapa ribu kali sebelum diteruskan ke unit peraga untuk ditampilkan dalam bentuk echogram (Simmonds dan MacLennan 2005). Prinsip dari pengoperasian alat hidroakustik seperti ditunjukkan pada Gambar 3

Sumber: MacLennan dan Simmonds 2005 Gambar 3 Prinsip pengoperasian alat akustik. 2.7. Transmisi gelombang akustik

Kecepatan suara dalam air laut adalah satu variabel oseanografi yang mempengaruhi proses transmisi suara pada medium tersebut. Hal tersebut dipengaruhi oleh kedalaman, musim, lokasi geografis dan waktu pada suatu tempat. Perhitungan kecepatan suara di air laut dapat disederhanakan dengan menggunakan tiga parameter yaitu suhu, salinitas dan tekanan atau kedalaman. Persamaan (1) menjabarkan proses perhitungan kecepatan suara (c) pada medium air laut (Waite 2002):

C = 1492.9 + 3 (t-10) – 6 x 10 -3 (t -10)2 -4x10-2 (t-18)2 +1.2 (s-35) -10-2 (t-18)2 (s-35) +h/61...(1)


(33)

17

dimana : C = kecepatan suara, dalam (m/sec),1490 T = Temperatur, dalam derjat celcius (oC),100C S = Salinitas, dalam part per thousand (ppt), 35 ppt h = kadalaman, dalam meter

Dalam perambatannya, terjadi transmission loss akibat adanya absorpsi dari medium dan adanya kehilangan akibat penyebaran (spreading) didalam medium air serta banyak hal lainnya.

2.8 Time Varied Gain

Salah satu hal yang membedakan scientific echosounder dan echosounder biasa terdapatnya fungsi Time Varied Game (TVG) pada scientific echosounder . TVG berfungsi untuk menghilangkan efek kehilangan energi suara saat merambat pada medium air baik saat dipancarkan dan juga saat suara atau echo yang dipantulkan target menuju receiver. Koreksi yang dilakukan oleh TVG akan memberikan nilai pantulan dari target yang lebih akurat (MacLennan dan Simmonds 2005). Koreksi TVG memiliki dua modus, yaitu modus linier (20 log r) dan modus eksponensial (40 log r). Modus linier memberikan keakuratan yang lebih baik pada pengukuran target kelompok, termasuk dasar perairan. Sedangkan modus eksponensial digunakan untuk mendeteksi target tunggal di kolom perairan (Biosonics 2004).

2.9 Hambur Balik Akustik pada dasar perairan.

Algoritma yang dikembangkan untuk klasifikasi habitat terumbu karang merupakan pengamatan dari perbedaan aras gema (echo level) dari vegetasi dan dasar perairan (Tegowski et al. 2003). Bagaimanapun, bentuk dan durasi dari gema akan berbeda dari pulsa suara aslinya dan distorsi tersebut mengandung informasi mengenai proses backscattering dari akustik dasar perairan seperti relief dan sifat–sifat geoakustik dasar perairan (Strenlicht & Mountier 2003).

Besarnya tingkat penetrasi dan pantulan (refleksi) sedimen juga ditentukan oleh dua jenis sedimen itu sendiri (Krastel et al. 2006) dimana dasar laut atau sedimen dengan sifat yang lebih keras akan memberikan pantulan dengan nilai amplitudo yang lebih besar (Hamilton 2001). Nilai backscatering strength dipengaruhi oleh impedansi akustik sebagai faktor utama, selain itu juga


(34)

18

dipengaruhi oleh kekasaran permukaan sedimen dan heterogenitas volume sedimen (Fonsesca & Mayer 2007). Gambar 5 memperlihatkan echo yang dihasilkan oleh dua karakteristik dasar laut yang berbeda.

Sumber: Burczynski 2004

Gambar 4 Bentuk echo yang berbeda dari dasar yang keras dan lunak (a) amplitudo sinyal echo dan (b) kurva akumulasi energi.

Daerah yang memiliki dasar perairan yang keras seperti dasar berbatu akan menghasilkan sudut pada dasar perairan tersebut yang dapat menghamburkan (scattering) energi suara ketika pulsa suara yang diberikan sampai pada dasar perairan (Urick 1983). Sejumlah kasus menyebutkan bahwa terkadang nilai second echo tidak didapatkan pada daerah dasar berbatu yang umumnya cenderung memiliki struktur yang lebih kasar (roughess). Kasus yang sama juga terjadi pada dasar pasir yang bergelombang, karena adanya energi yang hilang dari hamburan yang disebabkan oleh bentuk dari dasar perairan tersebut (Hamilton 2001) seperti yang diperlihatkan pada gambar 5


(35)

19

Sumber: Urick 1983

Gambar 5 Bentuk suara saat ditransmisikan pada dua medium yang berbeda impedansi dan kekasarannya.

2.10 Bottom Backscattering pada dasar perairan

Dasar perairan laut memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan laut. Namun efek yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari berbatuan yang keras hingga lempung yang halus dan tersusun atas lapisan – lapisan yang memiliki komposisi yang berbeda – beda (Urick 1983).

Lebih lanjut Urick (1983) menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak terdapat hubungan yang kuat antara frekuensi yang digunakan dengan nilai bottom backscattering yang dihasilkan dari dasar laut dengan tipe batu dan pasir berbatu serta pasir yang mengandung cangkang kerang. Hal ini diakibatkan oleh tekstrur permukaan dasar tersebut yang cenderung lebih kasar sehingga energi suara yang mengenai dasar tersebut akan terhamburkan. Sedangkan untuk jenis dasar atau sediment yang lebih halus, penggunaan frekuensi diatas 10 kHz akan memperlihatkan kecenderungan adanya hubungan antara frekuensi dan jenis dasar perairan (Gambar 6).


(36)

20

Sumber :Urick 1983

Gambar 6 Variasi nilai backscattering yang dihasilkan dari berbagai frekuensi. Nilai backscattering yang diberikan oleh dasar perairan biasanya memiliki intensitas [dB] yang besar, namun diperlukan juga pembatasan agar hanya nilai pemantulan dari dasar laut yang ingin diamati dapat terekam dengan baik. (Orlowski. 2007) menyebutkan bahwa batas minimum deteksi (threshold) echo yang kembali dari dasar perairan adalah -60 dB ( mengacu pada standar EY 500). Batas ini memberikan gambaran yang stabil terhadap seluruh area penelitian, dimana dasar perairan yang memiliki karakteristik nilai pantulan yang lemah juga dapat terdeteksi.

Karena nilai reverberation pada dasar berbatu memberikan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan dasar berlumpur. Kemudian hal ini dijadikan sebagai suatu landasan untuk mengaitkan backscattering dari dasar laut terhadap tipe dasar tersebut, seperti lumpur, lempung, pasir dan batu. Walaupun disadari bahwa ukuran dari partikel yang dikaitkan tersebut hanyalah indikator tidak langsung terkait dengan backscattering yang dihasilkan (Urick 1983; Richardson dan Briggs. 1993).


(37)

21

2.11 Echosounder Split Beam.

SIMRAD EY 60 scientific echosounder system merupakan sistim akustik bim terbagi (split beam) yang merupakan metode baru yang dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan–kelemahan dari metode hidroakustik sebelumnya seperti sistem akustik tunggal (single beam) dan sistem akustik ganda (dual beam). Ide pembuatan split beam pertama kali ditemukan di Amerika, tetapi penerapan teknologinya di kembangkan oleh Norwegia dengan memproduksi Simrad split beam acoustic system pada dekade 1975 -1985.

Perbedaan split beam dengan metode sebelumnya terdapat pada kontruksi tranduser yang memiliki empat kuadran yaitu Fore (bagian depan), Alf (buritan kapal), Port ( sisi kiri kapal ) dan Starboard (sisi kanan Kapal). Selama transmisi, transmitter mengirimkan daya akustik ke semua bagian tranduser pada waktu yang bersamaan. Sinyal yang terpantul dari target diterima secara terpisah oleh masing–masing kuadran.

Selama penerimaan berlangsung keempat bagian tranduser menerima gema dari target, dimana target yang terdeteksi oleh tranduser terletak pada pusat dari split beam dan gema dari target dikembalikan dan diterima oleh keempat bagian pada waktu yang bersamaan. Tetapi jika target yang terdeteksi tidak terletak pada sumbu pusat split beam, maka gema yang kembali akan diterima lebih dulu oleh bagian tranduser yang paling dekat dari target atau dengan mengisolasi target dengan menggunakan output dari split beam penuh (full beam) ( SIMRAD 1993).

Echosounder split beam modern memiliki fungsi Time Varied Gain (TVG) didalam sistim perolehan data akustik. TVG ini berfungsi secara otomatis untuk mengeliminir pengaruh attenuattion yang disebabkan baik oleh geometrical spreading dan absorbsi suara ketika merambat dalam air.


(38)

22

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 13-17 juli 2009 di sebelah selatan perairan pulau Pari, yang termasuk dalam Kabupaten Administatif Pulau Seribu, (Gambar 7). Pulau Pari terdiri dari gugus pulau - pulau yang terdiri dari Pulau Kongsi, Pulau Tengah, Pulau Burung, Pulau Tikus dan Pulau Pari sendiri. Pulau – pulau ini dikelilingi oleh terunbu karang dengan beberapa pintu masuk yang disebut kaloran yang menghubungkan perairan diluar dengan perairan di dalam terumbu. Pulau–pulau tersebut membentuk gugus yang dikenal dengan gugus pulau Pari. Diantara pulau-pulau tersebut terdapat beberapa goba dengan kedalaman 10 -12 meter. Lokasi ditentukan berdasarkan informasi dari nelayan dan masyarakat di sekitar kepulauan pari serta survei awal penyelaman.

# # # # # # # # # # -70.0 -34.0 -48.0 -32.0 -41.0 -43.0 -37.0 -30.0 -25.0 -45.0 P. Pari # Y P. Tikus P. Tengah P. K ongsi

P. B urung

# 0

5

°5

2

' 5°52

'

5

°5

1

' 5°51

' 106°35' 106°35' 106°36' 106°36' 106°37' 106°37' 106°38' 106°38' Darat Per airan Dangkal Garis Pantai

#

0 Titik Stasiun

# Titik Kedalaman Keterangan :

Loka si Pe ne litian

DKI J akar ta Ba nten Jawa

Bara t 6 °1 5 ' 6 °0 0 ' 5 °4 5 ' 5 °3 0 ' 6°1 5 ' 6°00 ' 5°4 5 ' 5°3 0 '

106 °30' 106 °45' 10 7°00' 106 °30' 106 °45' 10 7°00'

Jefr y Ferdinan Manuhutu NRP. C552 07001 1

Ma yor Teknologi Kelautan Sekolah Pas casar jana Institut Perta nian Bogor Grid : Ge ografi

Proyeksi : W GS 84 Sum ber Peta : 1. Peta Ba timetri Dishidros 2. Peta Da sar Indones ia 50.000 Peta Indeks :

Peta Lo kasi P en elitian Pulau P ari

N E W

S

400 0 400 m

Gambar 7 Lokasi Penelitian.

Pengolahan data akustik dan identifikasi sampel terumbu karang dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK –IPB serta di Laboratorium Balai Riset Perikanan Laut.


(39)

23

3.2 Alat dan bahan

3.2.1 SIMRAD EY 60 scientificechosounder system

Pengambilan data akustik menggunakan perangkat SIMRAD EY 60 scientific echosounder system (dokumentasi survei ditampilkan pada lampiran 1). Transducer split beam dioperasikan dengan menggunakan frekuensi 120 kHz dengan kecepatan suara sebesar 1545 m/dtk dengan nilai transmitted pulse length 0,64 m/dtk. Selain itu digunakan laptop untuk merekam data secara real time, dan juga GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui posisi lintang (latitude) dan bujur (longitude) Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian No Alat dan bahan Jenis /Type Kegunaan

I Peralatan survey Lapangan

- SIMRAD EY 60 - GPSMAP 198c Sounder - Note book/ PC

- Kapal Nelayan

- SIMRAD - Garmin - Tosiba - 15 GT

- Perekaman data akustik - menentukan posisi sampling -Pemrosesan dan Penyimpanan

Data

-Penempatan komponen

SIMRAD II Peralatan Sampling

- Roll Meter - Alat Tulis - Tali - Alat selam

50m - Alat ukur daerah survey - Mencatat data karang - Penandaan kategori lifeform - Untuk pengamatan lifeform

3.2.2 Kapal

Survei akustik dilakukan dengan menggunakan kapal nelayan setempat (15 GT). Penempatan komponen Simrad EY 60 dan laptop berada pada tempat yang aman dan mudah dioperasikan, tempat yang paling baik adalah di daerah ruang kemudi. Sedangkan penempatan posisi transducer harus masuk ke dalam air dan diletakkan di sisi luar kapal pada bagian kiri kapal. Transducer diletakkan di sebelah kiri dari kapal, ini disebabkan perputaran baling-baling kapal berlawanan dengan arah jarum jam, sehingga noise yang ditimbulkan oleh baling-baling pada sisi kanan kapal sangat besar.


(40)

24

3.3 Metode Pengumpulan data 3.3.1 Observasi Visual

Sebelum dilakukan pengambilan data akustik, dilakukan survei awal dengan cara penyelaman untuk mencari dan menentukan titik transek pengambilan data terumbu karang. Setelah titik transek ditentukan, selanjutnya dilakukan penentuan transek dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT)sepanjang 50m melintasi daerah terumbu karang (Andrefouet et al. 2004). Setiap lifeform terumbu karang yang ditemukan di sepanjang Line Intercept Transect (LIT) kemudian ditandai dan dicatat. Pemasangan pelampung (botol aquades) dilakukan dengan cara diikatkan pada setiap lifeform terumbu karang yang ditemukan, digunakan untuk membantu dalam proses penentuan tanda pada saat proses perekaman akustik. Pengambilan sampel lifeform terumbu karang sebagai groundtruth data, dilakukan dengan cara pemotretan masing– masing lifeform terumbu karang yang ditemukan pada Line Intercept Transect (LIT) tersebut.

3.3.2 Metode Pengukuran Akustik Lifeform Terumbu Karang.

Sebelum proses sounding akustik dilakukan, terlebih dahulu dilakukan proses settingan untuk transduser echosounder (Tabel 3). Kemudian dilanjutkan dengan proses sounding untuk pengumpulan data akustik dilakukan pada setiap lifeform terumbu karang yang telah ditandai dengan pelampung (botol aquades). Posisi kapal pada saat proses sounding dalam keadaan mati mesin, artinya kapal berada pada kecepatan nol untuk mendapatkan data akustik tiap jenis lifeform terumbu karang. Arah perekaman akustik mengikuti arah angin sehingga tidak terlalu banyak mendayung, cukup dengan mengulur tali pada jangkar. Data yang diperoleh dari proses sounding disimpan dalam format file berbentuk (Extension raw dan Bot) di hard disc kemudian dicatat posisi pengambilannya.

Tranduser yang digunakan pada penelitian ini adalah EY 60 yang merupakan jenis bim terbagi (split beam). Pada saat proses sounding posisi

orientasi transduser adalah downward looking (grazing angle ≈ 90 derajat) atau pemancaran secara vertikal dengan frekuensi 120kHz dan lebar beam (witdh beam) 70. Transducer berada pada kedalaman setengah meter dari


(41)

25

permukaaan air laut, sedangkan kategori lifeform karang yang yang terukur oleh transduser berada pada kedalaman 2 sampai 2,5 meter. SIMRAD EY 60 merupakan jenis transduser split beam dengan spesifikasi dari SIMRAD EY 60 scientific echo sounder system dapat dilihat pada Tabel. 3

Tabel 3 Setting alat SIMRAD EY 60 Scientific Echosounder Sistem

Parameter Nilai

Tipe Transduser ES120-7c

Frekuensi (f ) 120 kHz

Kecepatan suara (c) 1545 m/s Interval sampel 0.012 m Koefisien absorbsi (α ) 39.11dB /Km

Gain (G) 25.50 dB

Equivalent beam angle (ψ ) 210

Daya pancar (P) 50 W

Lama pulsa (Pulse Duration) 0.64 m/s Kedalaman transduser 0.5 m Lebar surat, sirkular (θ) 7 deg ± 1

Directivity D 650± 20 %

DI = 10 log D 28± 1 dB

Threshold -60dB

3.4 Pemrosesan dan Analisis Data

Setelah survey selesai dilakukan, dilanjutkan dengan kegiatan pemrosesan data. Data echo yang dihasilkan diproses dengan sistim pengolah lanjut (past processing) dengan perangkat lunak SIMRAD EP 500 echo processing system versi 5,0. Perangkat lunak ini menghasilkan echogram dan parameter fisik dugaan (depth, volume backscattering) dengan format file berbentuk (extension raw dan bot). Proses pengolahan akustik menghasilkan data keberadaan terumbu karang berdasarkan tahapan :

3.4.1 Ekstrak data Read Kraw (Rick Towler – NASA Alaska, 2008 )

Proses pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak Matlab v.7.6.0.(R2008a). Perangkat ini juga digunakan mengekstraksi nilai mentah dari data akustik yang masih dalam format file berbentuk (extension raw dan bot) . Untuk melakukan ekstraksi data akustik menggunakan Matlab dan diperlukan listing program dari Rick Tower, NOAA – Alaska (Echolab 2008) yang telah


(42)

26

dimodifikasi (Purnawan. 2009) sehingga mampu menampilkan output yang diinginkan. Selain Matlab, perangkat lunak Echoview v.4 juga digunakan sebagai pembanding dan membantu mendapatkan echogram yang lebih detail dari masing – masing lifeform terumbu karang

1. Akustik Volume Backscattering Strength (SV)

Untuk pengolahan volume backscattering Strength (SV) didapat dengan mengintegrasi data akustik yang sudah diekstrak. Pengolahan dilakukan pada nilai peak intensity atau nilai maksimum SV Raw. Nilai ini dianggap sebagai nilai volume backscattering strength (SV) yang dihasilkan oleh permukaan lifeform terumbu karang dengan menggunakan persamaan

SV = 10 log Sv...(2) Selain volume backscattering strength (SV), penelitian ini juga menggunakan variabel surface backscatttering strength (SS) sebagai parameter akustik dasar perairan yang digunakan untuk menghubungkan bottom volume

backscatttering coeficient (Svb) dan Surface backscatttering coeficient (ss)

(Manik et al. 2006). Nilai Ss diperoleh dengan menggunakan persamaaan :

(

/2

)

ψ

ss =

Svb

Φ

...(3) Pada peak bottom echo, nilai integrasiΨΦ sehingga persamaan (3) menjadi :

(

)

Svb

=

ss /2 ...(4) SS [dB] =10 log ss...(5)

dimana ,

Φ = instantaneous equivalent beam angle for surface scattering Ψ = equivalent beam angle of the volume scattering

C = kecepatan suara


(43)

27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Lapangan

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dengan melakukan penyelaman dilokasi penelitian, diperoleh delapan jenis lifeform terumbu karang yaitu: massive, branching, foliose, acropora tabular, acropora branching, mushroom, Sponge dan acropora Digitale (Lampiran 2). Lokasi penelitian berada pada lintang 05085’922’’ - 05085’927’’ dan bujur 106062’41’’- 106062’42’’ yang dapat dilihat pada Tabel 4. Secara umum kondisi dasar perairan adalah heterogen dan kontur yang agak curam dengan kedalaman sounding akustik lifeform terumbu karang pada kedalaman 2 dan 2,5 meter berdasarkan data echosounder.

Tabel 4 Hasil pengamatan visual dilapangan

4.2 Data Akustik.

Echogram merupakan penampang melintang dari hasil rekaman akustik, sumbu x adalah jumlah ping dan sumbu y adalah range/kedalaman (m). Echogram ini digunakan sebagai fungsi quality control dan analisa data. Skala Gray menunjukkan bahwa nilai raw SV antara -10 sampai -120 dB, dimana backcatter strength dan gambaran tekstur dari sidescan dan multibeam sonar dapat memberikan informasi tentang tipe dasar laut (De moustier and Matsumoto 1993; Huvenne et al. 2002; Collier and Brown 2005). Informasi dari sistim ini cocok untuk analisis intensitas backscatter (Hamilton 2001) Perbedaan relatif pada

Titik

Posisi

Kategori lifeform Kode Kedalaman

LS BT

1 05

0

85’922’’ 106062’41’’

Foliose (CF) 2,5 meter 2 05

0

85’922’’ 106062’41’’

Masive (CM) 2 meter 3 05

0

85’923’’ 106062’41’

Branching (CB) 2,5 meter 4 05

0

85’923’ 106062’41’’

Acropora Tabular (ACT) 2 meter 5 05

0

85’923’’ 106062’41’’

Sponge (SP) 2,5 meter 6 05

0

85’923’’ 106062’41’’

Acropora Digitale (ACD) 2,5 meter 7 05

0

85’927’’ 106062’41’’

Mushroom (CMR) 2,5 meter 8 05085’927’’ 106062’41’’ Acropora Branching (ATB) 2 meter


(44)

28

pengembalian backscatter digabungkan untuk perbedaan relatif pada tipe dasar Pengembalian yang tinggi secara akustik menunjukkan pemantulan dari sebuah tipe dasar yang keras, sementara pengembalian yang lemah menunjukkan pembelokan akustik yang kembali dan dihubungkan untuk tipe dasar yang halus atau rusak (Nasby-Lucas et al 2002; Roff et al 2003).

Echogram

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7

-120 -80 -60 -40 -20 0

Gambar 8 Contoh Echogram kategori lifeform terumbu karang. 4.3 Komputasi Echo Lifeform Terumbu Karang

Hasil ekstrak data menggunakan program readEYRaw Matlab 7.6.0 menghasilkan tampilan echogram yang merupakan hasil penjabaran dari setiap ping dari nilai volume backscattering strength (SV), dengan unit decibel (dB). Tampak terlihat garis merah tebal disekitar 2 sampai 2,5 meter, garis tersebut merupakan nilai volume backscattering strength (SV) yang cukup tinggi sekitar antara -10dB sampai -20 dB yang berasal dari permukaan lifeform terumbu karang. Hal ini menunjukkan tekstur dari tiap lifeform terumbu karang tersusun

Kolom Perairan

Dasar lifeform karang /First Echo,E1


(45)

29

Lifeform Coral Acropora Tabular

4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 Sv (dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

dari karang atau pecahan karang yang memiliki ukuran partikel permukaan yang besar atau cukup keras yang mampu mengembalikan sinyal akustik dengan nilai volume bacscatttering strength (SV) yang tinggi. (Mitchell & Hughes C. 1994; Mc Mullen et al. 2007). Keseluruhan tipical echogram lifeform terumbu karang ditampilkan pada Gambar .9.

Lifefom Coral Foliose

35 40 45 50 55 60 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 SV (dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

Lifeform Coral Masive

35 40 45 50 55 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 Sv (dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

Lifeform Coral Branching

15 20 25 30 35 40 45 50 55 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 Sv (dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

Lifeform Coral Acropora Digitale (ACD)

5 10 15 20 25 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 Sv(dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

Lifefom Coral Mushroom

60 65 70 75 80 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 Sv(dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

Lifeform Coral Acropora Branching

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 Sv(dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

Lifefom Sponge (SP)

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6.5 7 -120 -80 -60 -40 -20 0


(46)

30

4.4 Pola Puncak Echo Lifeform Terumbu Karang.

Informasi mengenai tipe dasar, sedimen dan vegetasi dasar perairan dapat dilakukan dengan sinyal echo. Sinyal echo dapat disimpan dan diperoleh secara bersamaan dengan data GPS dan dapat dapat diproyeksikan pada suatu data digital. Berdasarkan echo akustik yang terekam oleh echosounder maka terlihat adanya pola perambatan suara akustik (echo) yang menggambarkan adanya pantulan yang berasal first echo maupun dari second echo dari tiap lifeform terumbu karang seperti terlihat pada Gambar 10. Pola puncak echo memperlihatkan pola puncak yang diindikasi sebagai kategori lifeform terumbu karang dengan nilai volume backscattering strength (SV) dasar yang bervariasi. Puncak echo pertama (first echo) dari volume backscattering strength maksimum terlihat pada kedalaman sekitar 2,5 sampai 3 meter, sedangkan echo kedua (second echo) terlihat bervariasi pada kedalaman sekitar 5,5 sampai 6 meter


(47)

31

-1208 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1

SV Dasar (dB)

Lifeform Coral Foliose

Stdv SV

-1208 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5

SV Dasar (dB)

Lifeform Coral Masive

Stdv SV

-1208 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5

SV Dasar (dB)

Lifefom Coral Branching

Stdv SV

-1208 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1

0.5 Lifefom Coral Tabular

Stdv SV

-1208 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5

Lifeform Coral Aropora Digitale

Stdv SV

-120 -100 -80 -60 -40 -20 0 -88 7.57 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0,5

LIfeform Coral Mushroom

Stdv SV

-110 -100 -90 -80 -70 -60 -50 -40 -30 -20 -10 7 6.5 8 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1

0.5 Lifefom Coral Acropor Branching

Stdv SV

-120 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 8 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1

0.5 Lifeform Coral Songe

SS SV

Gambar 10 Nilai rata–rata SV dasar (dB) lifeform terumbu karang dan sponge. 4.5 Puncak Echo (Peak) Surface Backscattering Strength (SS) Lifeform

Terumbu Karang.

Untuk mengurangi data yang tidak diinginkan dalam proses pengolahan surface scattering strength (SS) maka dilakukan pemilihan data (filtering). Pemilihan ini dilakukan dengan menghilangkan nilai yang tidak kita inginkan


(48)

32

yaitu pada threshold >10 dan <60 dB. Pembatasan ini dimaksudkan untuk mendapatkan karakteristik pola echo yang nantinya ditampilkan pada setiap lifeform terumbu karang yang didapat dari raw data echosounder. Uraian program menggunakan Matlab pada lampiran 3.

Nilai surface backscattering strength (SS) diperoleh dari puncak nilai Raw volume backsacttering strength (SV) echo permukaan. Hasil pengolahan surface backscattering strength (SS) dengan menggunakan Matlab terlihat bahwa nilai maksimum dan minimum surface backscattering strength (SS) bervariasi untuk kedelapan lifeform terumbu karang, dimana nilai mean surface backscattering strength (SS) untuk kedelapan lifeform terumbu karang berkisar antara -27,5dB sampai -32,5dB (Tabel 5). Hal ini diduga bahwa nilai surface backscattering strength (SS) dipengaruhi oleh impedansi akustik dan kekasaran (roughness) permukaan lapisan lifeform terumbu karang.

Tabel 5 Nilai surface backscattering strength (dB) lifeform terumbu karang dan sponge

Terlihat juga bahwa nilai surface backscattering strength (SS) dari lifeform cukup besar untuk kategori lifeform karang yang ditemukan, ini menandakan bahwa tekstur dari lifeform terumbu karang terdiri dari karang maupun pecahan karang. Hal ini sesuai dengan hasil Siwabessy (2001) yang menjelaskan bahwa nilai backscattering dari dasar yang keras akan lebih besar dibandingkan nilai backsacttering dari dasar perairan yang lunak.

Titik Kategori Lifeform Maximum SS (dB)

Minimum SS (dB)

Mean SS (dB)

1 Foliose -25,0 -35,0 -30,0

2 Masive -20,0 -40,0 -30,0

3 Branching -20,0 -40,0 -30,0

4 Acropora Tabular -25,0 -55,0 -27,5 5 Acropora Digitale -25,0 -40,0 -32,5

6 Mushroom -20,0 -40,0 -30,0

7 Acropora Branching -25,0 -40,0 -32,5


(49)

33

4.6 Pengelompokan Kekasaran/E1 dan Kekerasan /E2

Klasifikasi sistim akustik dasar menggunakan lebar beam echosounder untuk mendapatkan informasi dasar laut akustik seperti kekerasan/E1 (Hardness) dan kekasaran/E2 (Roughnes). Hasil analisa kekasaran/E1 dan kekerasan/E2 memperlihatkan karakteristik kekasaran/E1 dan kekerasan/E2 terhadap volume backscattering strength dari lifeform terumbu karang. Hasil pengolahan data lifeform terumbu karang dengan menggunakan Matlab 7.6.0 (R2008a) terlihat memiliki nilai yang berbeda (Tabel 6). Hasil yang diperoleh terlihat nilai E2 maximum lebih kecil dibandingkan dengan nilai maximum E1, Hal ini disebabkan sinyal pada pantulan kedua telah mengalami pengurangan atau proses loss attenuation karena telah dihamburkan (scattered) mengenai dasar sebagai pantulan pertama dan kemudian dihamburkan kembali ke permukaan perairan, sehingga sinyal yang kembali telah mengalami pengurangan. Dasar perairan laut memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan laut. Efek yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari bebatuan yang keras hingga lempung yang halus serta lapisan – lapisan yang memiliki komposisi yang berbeda – beda (Urick, 1983).

Tabel 6 Nilai E1 dan E2 lifeform terumbu karang dan sponge

Titik E2 (dB) Std (±) E1(dB) Std (±) Lifeform

1 -43,25 1,52 -20,88 3,01 Foliose (CF)

2 -37,57 2,01 -34,99 1,91 Masive (CM)

3 -37,42 2,15 -17,89 3,28 Branching (CB)

4 -25,16 3,05 -22,19 3,22 Acropora Tabular (ACT)

5 -30,01 -3,21 -26,25 2,47 Acropora Digitale (ACD)

6 -22,81 3,31 -22,00 3,01 Mushroom (CMR)

7 -42,77 1,45 -17,75 3,05 Acropora Branching (ATB)

8 -33,41 3,41 -31,68 2,06 Sponge (SP)

9 -50,2 5,61 -49,6 5,95 Dasar Pasir & tidak terdapat karang*


(50)

34

4.7 Pengklasifikasian Lifeform Terumbu Karang.

Ostrand et al.2005, menyatakan bahwa hubungan antara Kekasaran /E1 (Roughness) dapat memperlihatkan jenis/tipe substrat yang terdapat disuatu perairan sebagian besar berupa substrat yang keras, selain itu diperlihatkan juga first bottom atau first echo memiliki amplitudo yang besar, serta menggambarkan proses scattering geometri oleh tranducer pada dasar pertama (E1)

Dari hasil proses pengolahan data terlihat bahwa ada hubungan antara E1 dan E2 dari tiap lifeform terumbu karang, dimana terjadi klasifikasi nilai max E1, yaitu nilai rendah, sedang dan tinggi (gambar 11). Jenis lifeform terumbu karang yang termasuk dalam klasifikasi yang tinggi adalah lifeform Foliose (CF), Branching (CB) dan Acropora Branching (ATB) yang mempunyai nilai E1 berkisar antara -15dB sampai -23.dB, sedangkan yang termasuk klasifikasi sedang adalah lifeform Mushroom (CM), Acropora Tabular (ACT) dan Acropora Digitale (ACD) yang mempunyai nilai E1 berkisar antara -20dB sampai -29dB dan klasifikasi yang rendah adalah lifeform Mushroom (CMR) dan Sponge (SP) yang mempunyai nilai E1 berkisar antara -30dB sampai -35 dB.

-55

-50

-45

-40

-35

-30

-25

-20

-15

-55

-50

-45

-40

-35

-30

-25

-20

-15

E2

E

1

S

CF ATB

SP ACD

ACT CB

high CM

middle

CMR

LOW

Gambar 11 Boxplot pengklasifikasian nilai E1 dan E2 lifeform terumbu karang dan sponge.


(51)

35

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan .

Dari hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa:

1) Berdasarkan hasil nilai akustik volume backscattering strength (SV) maupun surface backscattering strength (SS) yang diperoleh, dapat menggambarkan klasifikasi kategori lifeform terumbu karang.

2) Hasil ekstrak raw data terlihat bahwa nilai volume backscattering strength (SV) untuk kedelapan jenis lifeform terumbu karang terlihat sangat tinggi dengan nilai berkisar antara -10dB sampai -20dB .

3) Hasil pengolahan dengan matlab juga terlihat bahwa nilai mean surface backscattering strength (SS) untuk kedelapan jenis lifeform terumbu karang berkisar antara -27,5dB sampai -32,5dB.

5.2 Saran.

Untuk penelitian selanjutnya hingga mendapatkan bentuk – bentuk lifeform terumbu karang yang lebih banyak, perlu dilakukan dengan frekuensi pengambilan transek yang lebih banyak.


(52)

36

DAFTAR PUSTAKA

Anderson JT, Gregory RS, Collins WT. 2002. Acoustic Classification of Marine Habitat in Coastal Newfoundland. ICES J Mar Sci 59:156-167.

Andréfouët S. 2004 Keynote Address: The Diversity and Extent of Planet Earth’s Modern Coral Reefs as View from Space. International Coral Reef Symposium.

Biosonics. 2004. User Guide Visual : Analyzer 4. Seattle: Biosonic Inc.

Birkeland C. (ed). 1997. Life and Death of Coral Reefs. New York: Chapman and Hall. 536p.

Burczynski J. 2004. Bottom Classification. Seattle: BioSonics Inc.

Burk L, Selig E. and Spalding M. 2002. Reef at Risk in Southeast Asia. World Resources Institut. 72 pp.

Collier, J.S and Brown CJ. 2005. Correlation of Sidescan Backscatter with Grain

Size Distribution of Surficial Seabed Sediments. Marine Geology 214:

431–449.

De Moustier and Matsumoto H. 1993. Seafloor Acoustic Remote Sensing with

Multibeam Echosounders and Bathymetric SideScan Sonar Systems. Mar

Geophys Res 15: 27–42.

Deswanti SR. 2009. Evaluasi Metode Akustik untuk Pendeteksian Padang lamun. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

English S, Wilkinson CR, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science.

Fronseca L, Mayer L. 2007. Remote Estimation of Surficial Seafloor Properties Through the Application Angular Range Analysis to Multibeam Sonar Data. Mar Geophys Res 28: 119-126.

Green EP, Mumby PJ, Edwards ED, Clark CD. 2000. Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management. UNESCO Publishing.

Hamilton LJ. 2001. Acoustic Seabed Classification Systems. DSTO-TN-0401 Aeronautical and Maritime Reseach Laboratory.DSTO-Department of Defense. Australia.

Hill J, Wilkinson C. 2004. Methods for Ecological Monitoring of Coral Reefs. Townsville: Australian Institute of Marine Science.


(53)

37

Huvenne VAI, Blondel P, Henriet JP. 2002. Textural Analysis of SideScan Sonar

Imagery from Two Mound Provinces in the Porcupine Seabight. Marine

Geology 189: 323–341.

ICRAN (The International Coral Reef Action Network). 2006. The International Coral Reef Action Network available at http://www.incran.org/Accesced in Nov 7th 2006.

Joyce KE, Phinn SR, Roelfsema C, Neil DT, Dennison WC. 2004. Combining Landsat ETM and Reef Check for Mapping Coral Reefs: An Example from the Southern Great Barrier Reef, Australia. Coral Reefs 23: 21-25. Krastel S et al. 2006. Mapping of Seabed Morphology and shallow Sediment

Structure of Mauritania Continental Margin, Northwest Africa: Some Implications for Geohazard Potensial. Norwegian. Journal of Geology 86:163-176

Louchard EC, Reid PR, Stephens CF, Davis CO, Leathers RA, Downes VT. 2003 Optical Remote Sensing of Benthic Habitats and Bathymetry in Coastal Environments at Lee Stocking Island, Bahamas: A comparative spectral Classification Approach. Limnol Oceanogr 48: 511– 521.

Manuputty AEW. 1986. Karang Lunak, Salah Satu Penyususun Terumbu Karang Oseana Vol XI (4):131-14.P3O LIPI. Jakarta

Manik HM, Furusawa M, Amakasu K. 2006. Measurement of sea Bottom Surface Backscattering Strength by Quantitative Echo Sounder. J Fisheries Science 72: 503-512.

Mazel CH, Strand MP, Lesser MP, Crosby B, Coles and Nevis. 2003. High- Resolution Determination of Coral Reef Bottom Cover from Multispectral Fluorescence Laser Line Scan Imagery. Limnol Oceanogr 48:522-534.

Mc Mullen KY, Poppe LJ, Denny JF, Haupt TA, Crocker JM. 2007. Sidescan Sonar Imagert and Surficial Geologic Interpertation of the Sea Floor in Central Rhode Island Sound. USGS. Report Series 2007-1366.

Mitchell NC, Hughes CJE. 1994. Classification of Seafloor Geology using Multibeam Sonar Data from the Scotia Shelf. Marine Geology 121: 143-160.

Moustier CD. 1986. Beyond Bathymetry: Mapping Acoustic Backscattering from the Deep Seafloor with Sea Beam. J acoust Soc Am 79: 316-331.

Mumby PJ, Green E, Edwards AJ and Clark CD. 1997. Coral Reef Habitat Mapping : How Much Detail Can remote Sensing Provide? Mar Biol 130:193-202.


(54)

38

Nasby-Lucas NM, Merle SG, Embley BW, Tissot, BN, Hixon MA. and Wright D.J. 2002. Integration of Submersible Transect Data and High-Resolution Sonar Imagery for a Habitat-Based Groundfish Assessment of Heceta Bank, Oregon". Fishery Bulletin 100: 739-751.

Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Orlowski. 2007. Acoustic Seabed Classification Applied to Baltic benthic habitat Studies: a New Approach. Oceanologia 49:229-243.

Ostrand WD, Tracey AG, Shay H and Martin DR. 2005. Journal Habitat Selection Models For Pasific Sand Lance (Ammodytes Hexapterus) In Prince William Sound, Alaska. Washington D.C. [25 Agustus 2007].

Purnawan S. 2009. Analisis Model Jackson Pada Sedimen Berpasir Menggunakan Metode Hidroakustik di Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Richardson MD dan Bringgs KB. 1993. On the Use of Acoustic Impedance Values to Determine Sediment properties. Proceeding of Institut of Acoustics.Vol 15.

Roff JC, Taylor ME, Laughren J. 2003. Geophysical Approaches to the Classification, Delineation and Monitoring of Marine Habitats and Their Communities. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystem 13: 77-90.

Simmonds EJ, Mac Lennan DN. 2005. Fisheries Acoustics: Theory and Practice. Oxford:.Blackwell Science Ltd. 437 pp.

Simrad. 1993. Simrad EK 500 Scientific Echo sounder Operator Manual. Simrad Sub sea Horten: Norway. 204p.

Situmorang B. 2004 .Valuasi Ekonomi Terumbu Karang Kepulauan Seribu. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Siwabessy PJW. 2001. An Investigation of Relation between Seabed Type and Benthyc and bentho-pelagic Biota Using Acoustic Technique. [thesis]. Australia: School of Applied Science, the Curtin Universitas of Technology.

Spelding MD, Ravilious C, Green EP. 2001. World Atlas of Coral Reef. Berkeley: University of California Press.

Stenlicht DD, Moustier CD. 2003. Time-Dependent Seafloor Acoustic Backscatter (10 -100kHz). J Acoust Soc Am. 114:2709 – 2725.

Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistim Terumbu Karang. Jakarta: Penerbit Djambatan.


(55)

39

Tegowski J, Gorska N, Klusek Z. 2003. Statistical Analysis of Acoustic Echoes from Underwater Meadows in the Eutrophic Puch Bay (Soulthern Baltic Sea). Aquatic Living Resources 16: 215-221

Tegowski J. 2005. Acoustic Classification of the Bottom Sediment in the Southern Baltic Sea, Quatern. Int 130:153 -161.

Urick R.J. 1983. Principles of Underwater Sound. New York: Mc-Graw-Hill Publishing.

Van Woesik R. 2002. Coral Communities and Reef Growth in the Southern Great Barrier Reef. Florida: Coral Reef Report.

Veron JE. 2002. Coral of the World. Australian: Institute of Marine Science. Waite AD. 2002. Sonar for Practising Engineers 3 rd ed. USA: John Wiley &

Sons Ltd.

Walker BK, Riegl B, Dodge RE. 2008. Mapping Coral Reef Habitats in Southeast Florida Using a Combined Technique Approach. J Coast Res 24:1138-1150.


(56)

40


(57)

41

Lampiran 1 Dokumentasi survei, peralatan instrumentasi akustik yang digunakan dalam penelitian.

Contoh tampilan echogram pada saat Komputer dan stabilizer tranduser perekaman

Kapal yang digunakan untuk penelitian GPS digunakan untuk pencatatan Posisi

Jenis tranduser split beam yang digunakan untuk sounding data akustik


(1)

Lampiran 2 Jenis lifeform terumbu karang yang ditemukan pada lokasi penelitian.

Titik

Bentuk

lifeform

Kode

Kedalaman

Photo/dokumentasi

family

1

Foliose

(CF)

2,5 meter

Faviidae

2

Masive

(CM)

2 meter

Faviidae

3

Branching

(CB)

2,5 meter

Acropidae

4

Acropora

Tabular

(ACT)

2 meter

Poritidae

5

Sponge

(SP)

2,5 meter

Agaricidae

6

Acropora

Digitale

(ACD)

2,5 meter

Acropidae

7

Mushroom

(CMR)

2,5 meter

Fungiidae

8

Acropora

Branching

(ATB)

2 meter


(2)

Lampiran 3 Uraian Listening program Rick Towler (Purnawan 2009)

%readEKRaw_EY60.m % Richard Towler

% NOAA Alaska Fisheries Science Center

% Midwater Assesment and Conservation Engineering Group % rick.towler@noaa.gov

% dimodifikasi oleh Jafry Manuhutu, c552070011 % Mahasiswa

site='lifeform\';

file = input ( 'file yang akan diolah? ( site - site 8)','s'); rawFile = strcat ( '../jefri-1//D20090714-T120017.raw');

botFile =strcat ( '../jefri-1//D20090714-T120017.bot'); awal = input ('masukkan nilai ping awal');

akhir = input ('masukkan nilai ping akhir');

%memberikan +1 ping, agar data yang diproses adalah = jumlah akhir

akhir=akhir+1;

% read in raw file - only reading 120 khz

disp('Reading .raw file...');

[header, rawData] = readEYRaw(rawFile, 'SampleRange',[1 600],'PingRange',[1 1800]);

calParms = readEYRaw_GetCalParms(header,rawData);

% read in the .bot file - return data as range

disp('Reading .bot file...');

[header, botData] = readEYBot(botFile, calParms, rawData, ... 'ReturnRange', true);

% convert power to Sv

data = readEYRaw_Power2Sv(rawData,calParms);

% convert electrical to physical angles

data = readEYRaw_ConvertAngles(data, calParms);

% mensortir kembali data yang digunakan

%sehingga mempermudah dalam pengolahan data dasar perairan

c=1.543;% kecepatan suara

tau=0.1280000;%panjang gelombang

x=data.pings.number; y=data.pings.range;

Z=data.pings.Sv;%z =Sv logaritma

z=10.^(Z/10); ss=z*(c*tau/2); SS=10*log10(ss);

along =data.pings.alongship;%sudut alongship

athw=data.pings.athwartship;%sudut athwartship

Svbottom=Z; along1=along;

bd=botData.pings.bottomdepth; [k l]=size(Z);

%data tbd pada 1 ping terakhir memberikan nilai yang tidak akurat % sehingga perlu dihilangkan


(3)

l=l-1; for ll=1:l; m=0;

for kk=1:k;

%mengambil data dasar perairan, dari permukaan hingga 1/2 meter

% data yang lainnya diberikan pada kedalaman lain adalah nol

if y(kk,1)<(bd(1,ll)+0.05);

Svbottom (kk,ll)=-1000;%svbottom (kk+l,ll)=0;

alongl (kk,ll)=0;

elseif y(kk,1)>(bd(1,ll)+0.5); Svbottom(kk,ll)=-1000; alongl(kk,ll)=0;

else

svbottom(kk,ll)=Z(kk,ll); along (kk,ll)=along (kk,ll);

% mengambil data hanya pada dasar perairan hingga setengah meter, svbonly

m=m+1;

Svbottomly(m,ll)=Z(kk,ll); along2(m,ll)=along(kk,ll);

end;end;end;

%agar jumlah data tiap kolom sama

%ditentukan ketebalan lapisan yang digunakan,hlyr

hlyr=0.3; for ll=1:l; for i=1:m;

if y(i,1)<=hlyr;

Svbonly(i,ll)=Svbottomly (i,ll); along3(i,ll)=along2(i,ll);

end;end;end

Svbottommean=mean(mean(Svbonly)); Svbperping=mean(Svbonly)

[i l]=size(Svbonly);

for ll=1:ll;Zmax(ll)=-999; for ii=1:i;

if Svbonly(ii,11) >Zmax(ll); Zmax(ll)=Svbonly(ii,ll); alongmax(ll)=along3(ii,ll); end end end zmax=10.^(Zmax/10); ratazmax=mean(zmax); ssmax=zmax*(c*tau/2); SSmax=10*log10(ss); stdsv=std(zmax); rataZmax=10*log10(ratazmax) stdSv=10*log10(stdsv);

%membuat gambar echogram dan anglogram

disp('plotting...');

nFreqs=length(data.pings); for n=1:nFreqs

%plote chogram

readEKRaw_SimpleEchogram(Z,x,y,'Threshold' ,[-60,0])%colormap('jet');


(4)

colorbar('YTickLabel',{'-120','-80','-60','-40','-20','0'})

%plot the bottom

hold on

plot(data.pings(n).number,botData.pings.bottomdepth(n,:),'c'); hold off

end

akhir=akhir-1;%mengembalikan nilai dari 'akhir'diatas %Zmax1=0; alongmax1=0;%untuk merubah kembali pingnya

sp=akhir-1;%selisih ping yang dimasukkan dengan untuk looping for ll=awal:akhir;

Zmax1(ll)=Zmax(ll); end

%plot(Svmax) %plot(Svmax(:,1))

figure

plot(Zmax1);

axis([awal akhir -50 0]); xlabel('pings','fontsize',8);

ylabel('Sv Maksimum(db)','fontsize',8); legend('Sv max (dB)')

%merubah nilai Sv maksimum menjadi SS maksimum

zmax1=10.^(Zmax1/10); ssmakping=zmax1*(c*tau/2); SSmakping=10*log10(ssmakping)

%plot(SSmax) %plot(SSmax(:,1))

figure

plot(SSmakping);

axis([awal akhir -65 0]); xlabel('pings','fontsize',8);

ylabel('SS Maksimum(db)','fontsize',8); legend('SS max (dB)')

%plot(rata2 sv bottom tiap ping)

figure

plot(Svbperping);

axis([awal akhir -60 0]); xlabel('pings','fontsize',8);

ylabel('Sv rata-rata(db)','fontsize',8); legend('Sv rata2 per ping (dB)')

%merubah nilai Sv rata2 menjadi SS rata2

svrata1=10.^(Svbperping/10); ssrataping=svrata1*(c*tau/2); SSrataping=10*log10(ssrataping)

%plot(SS rata2) %plot(SSrata(:,1))

figure

plot(SSrataping);


(5)

xlabel('pings','fontsize',8);

ylabel('SS rata2(db)','fontsize',8); legend('SS rata-rata per ping (dB)')

%axis([awal akhir -10 10]) %xlabel('pings','fontsize',16);

%ylabel('sudut (derajat)','fontsize',16); %legend('Sudut alongship (derajat)')

bottom1=data.pings.Sv(100:200,:); bottom2=data.pings.Sv(200:300,:); mean1=mean(bottom1');

minE1=min(mean1) maxE1=max(mean1) mE1=mean(mean1) svbottom2=z; bd2=bd*2; [k l]=size(z); for ll=1:l; for kk=1:k;

if y(kk,1)<bd2(1,ll); svbottom2(kk,ll)=0;

elseif y(kk,1)>(bd2(1,ll)+100); svbottom2(kk,ll)=0;

else

svbottom2(kk,ll)=z(kk,ll); svbottomonly2(kk,ll)=z(kk,ll); end;end;end;

mean2=mean(bottom2'); minE2=min(mean2) maxE2=max(mean2) mE2=mean(mean2)

%subplot(SS(:,1),y,'r') %hold on

%plot (z(:,1),y,'b') %legend ('SS','SV')


(6)