BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP
TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN
A. Perkembangan Peraturan-Peraturan yang Berkaitan dengan Tindak
Pidana Penerbangan sebelum Lahirnya UU No.1 Tahun 2009
Pengaturan tindak pidana penerbangan terdapat dalam beberapa Konvensi Internasional seperti Konvensi Tokyo tahun 1963
23
, Konvensi The Hague 1970
24
, Konvensi Montreal 1971
25
, dan terakhir Konvensi Montreal 1991
26
. Konvensi Tokyo 1963 yang sering disebut dengan konvensi tentang pemabajakan udara
tersebut pada pokoknya mengatur yurisdiksi terhadap tindak pidana yang terjadi di dalam pesawat udara, kewenangan kapten penerbang terhadap tindakan-
tindakan untuk mencegah penguasaan pesawat udara secara melawan hukum. Menurut Bab II konvensi Tokyo 1963, Negara yang mempunyai yurisdiksi
terhadap tindak pidana yang dilakukan didalam pesawat udara adalah Negara pendaftar pesawat udara. Di samping itu dalam konvensi tersebut juga diatur
kewajiban Negara untuk mengekstradisikan pembajak kepada Negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana tanpa memperhatikan apapun motif
23
Konvensi Tokyo 1963 tentang Convention on Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft ditandatangani di Tokyo tanggal 14 September 1963
24
Konvensi The Hague 1970 tentang Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft,Signed at the Hague on December 1970
25
Konvensi Montreal 1971 tentang Convention for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Civil Aviation ditandatangani di Montreal tanggal 23 September 1971
26
Konvensi Montreal 1991 tentang Convention on the Marking of Plastic Eksplosive for the Purpose of Detection yang ditandatangani di Montreal 1 Maret 1991
Universitas Sumatera Utara
pembajakan udara. Dalam perkembangannya konvensi Tokyo 1963 masih belum mampu menanggulangi tindakan pidana di dalam pesawat udara, khususnya yang
menyangkut pembajakan udara, karena sejak 1969 tingkat pembajakan secara kuantitatif ataupun kualitatif semakin meningkat. Di berbagai kawasan dunia
pembajakan udara meningkat dengan tajam, sehingga pada tahun 1970 dikeluarkan konvensi The Hague 1970.
Konvensi The Hague 1970 yang dapat disebut sebagai penyempurna Kovensi Tokyo 1963 tersebut pada prinsipnya mengatur agar setiap Negara
tempat pembajak ditemukan wajib mengadili dan memberi hukuman yang berat kepada pelaku pembajakan. Dalam hal Negara tersebut tidak mau mengadili
pembajak, Negara tersebut wajib mengekstradisi pembajak kepada Negara yang mempunyai yurisdiksi tindak pidana. Apabila Negara yang bersangkutan tidak
mempunyai perjanjian ekstradisi, maka konvensi The Hague 1970 dapat dipakai sebagai dasar hukum ekstradisi pembajak.
Dalam konvensi The Hague diatur yurisdiksi terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam pesawat udara yang dioperasikan secara internasional bersama-
sama International Join Operation dengan semikian Negara tersebut wajib menunjuk salah satu Negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana
yang dilakukan dalam pesawat udara. Keberhasilan Kovensi Tokyo 1963 yang disempurnakan dengan Konvensi The Hague 1970 mengakibatkan tidak ada
tempat bagi pembajakan udara, sehingga sasaran tindak pidana dialihkan pada objek-objek fasilitas pendukung keselamatan penerbangan, seperti peralatan
telekomunikasi penerbangan, navigasi penerbangan, kabel listrik serta bangunan-
Universitas Sumatera Utara
bangunan lain yang merupakan fasilitas pendukung. Dengan demikian dikeluarkan Konvesi Montreal 1971, yang mengatur tindak pidana atau perbuatan-
perbuatan melanggar hukum yang membahayakan keselamatan penerbangan sipil. Indonesia juga menyadari betapa pentingnya mencegah dan
menanggulangi ancaman pemabajakan udara yang merupakan salah satu tindak pidana penerbangan sipil. Indonesia secara aktif ikut serta menegakkan dan
mematuhi konvensi internasional dengan meratifikasi Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971. Selain meratifikasi
konvensi tersebut diatas untuk mencegah tindak pidana penerbangan, Indonesia juga mengeluarkan UU No.4 Tahun 1976 yang memperluas berlakunya KUHP
terhadap tindak pidana penerbangan dan terakhir UU No.15 Tahun 1992 memberi wewenang kepda kapten penerbang untuk mengambil tindakan-tindakan
pencegahan dan peberantasan tindak pidana yang dilakukan dalam pesawat udara. A.1. Undang-Undang No.83 Tahun 1958 tentang Penerbangan
Undang-Undang ini terdiri dari 8 delapan BAB dan 28 dua puluh delapan pasal yang mengatur mengenai penerbangan dan segala tindakan yang
diancamkan hukuman pidana dalam penerbangan. 1.
Pasal 13 ayat 1 “ Pesawat udara yang tidak mempunyai surat tanda kelaikan yang
syah, dan awak pesawat udara atau siapapun yang tidak mempunyai surat tanda kecakapan yang sah tidak boleh
melakukan penerbangan “
Universitas Sumatera Utara
Pasal in menyatakan bahwa seseorang yang tidak memiliki surat tanda kelaikan yang sah tidak dapat melakukan penerbangan, surat
tanda kelaikan yang sah adalah surat atau tanda sertifikasi yang menyatakan seseorang telah pantas dan layak melakukan
penerbangan udara sipil, apabila hal tersebut dilakukan maka akan dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau
hukuman denda sebanyak-banyak nya sepuluh ribu rupiah. Undang-Undang penerbangan pertama yang berlaku Indonesia ini tidak
menguraikan dan mengatur secara jelas mengenai tindak pidana yang memungkinkan terjadi dalam suatu penerbangan. Undang-Undang kebanyakan
mengatur hal-hal yang membahayakan dalam penerbangan dan hal-hal yang dilarang dalam dunia penerbangan, yang dimana apabila melanggar ketentuan-
ketentuan atau pasal-pasal yang mengatur hal tersebut dalam undang-undang No.83 Tahun 1958 akan dikenakan sanksi pidana berupa hukuman kurungan
dibawah satu tahun ataupun dikenakan denda. Dengan ancaman hukuman seperti tersebut dalam ketentuan pidana undang-undang No.83 Tahun 1958, ancaman
hukuman tersebut termasuk ancaman hukuman dalam tindak pidana ringan. A.2. UU No.4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa
Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana,
Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap SaranaPrasarana Penerbangan.
Universitas Sumatera Utara
Selain undang-undang penerbangan No.83 Tahun 1958 dengan perubahan menjadi undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang penerbangan yang mengatur
mengenai tindak pidana dalam penerbangan, ada juga undang-undang yang lain yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu undang-undang No.4 Tahun 1976
sebagai perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana bertalian dengan dengan perluasan berlakunya ketentuan
perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap saranaprasarana penerbangan. Dalam KUHP melalui Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1976 diatur suatu tindakan karena kealpaan yang menyebabkan tanda atau alat untuk pengaman penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau tidak
dapat bekerja atau menyebabkan kekeliruan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan sehingga mengakibatkan celakanya pesawat udara,
yang diatur dalam Pasal 479 a sampai dengan d KUHP. Pasal 479 a dan b KUHP mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan
dengan pengrusakan bangunan untuk pengamanan lalu-lintas udara. Perbedaan dari kedua pasal tersebut adalah kalau Pasal 479a KUHP dilakukan dengan
sengaja, maka dalam Pasal 479 b KUHP terjadi karene alpanya seseorang. Yang dimaksud bangunan adalah fasilitas penerbangan yang digunakan untuk
pengamanan dan pengaturan lalu-lintas udara seperti : terminal, menara,dll. Dalam Pasal 479 c dan d KUHP diatur mengenai tindak pidana yang berkaitan
dengan penghancuran alat atau alat untuk pengamanan penerbangan. Beda dari kedua pasal tersebut adalah Pasal 479 c dilakukan secara sengaja dam melawan
hukum sedangkan Pasal 479 d karena kealpaan seseorang. Yang dimaksud dengan
Universitas Sumatera Utara
tanda atau alat dalam ayat tersebut adalah fasilitas penerbangan yang digunakan oleh atau bagi pesawat udara untuk lepas landas take off dan mendarat landing
dengan aman seperti:
27
1. tanda atau alat landasan runway-marking termasuk garis di tengah
landasan runway-counterline-marking. 2.
tanda penunjukkoordinat landasan runway-designation-marking. 3.
tanda ujung landasan runway-thereshold-marking. 4.
tanda adanya rintangan landasan obstacle-marking, termasuk lampu tanda gedung stasiun udara dan lain sebagainya.
Dalam Pasal 479 e sampai dengan g diatur mengenai kejahatan yang mengakibatkan hancurnya pesawat udara dan apabila Kecelakaan dalam arti luas
dapat pula disebabkan adanya faktor kesengajaan. Dalam kecelakaan pesawat udara yang terjadi karena faktor kesengajaan, sehingga mengakibatkan luka berat
atau matinya orang lain atau membahayakan nyawa orang lain diatur dalam Pasal 479 f KUHP, yang berbunyi sebagai berikut :
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara,
dipidana : a.
dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain.
27
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya Surabaya: Usaha Nasional,1981,h.482
Universitas Sumatera Utara
b. dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara untuk
selama-lamanya dua puluh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.
Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara. Adapun unsur
kesengajaan adalah “dengan sengaja”. Dengan demikian, tindakan sabotase adalah suatu tindakan yang dapat dijangkau dengan menggunakan Pasal 479 f KUHP.
Kemungkinan-kemungkinan bahwa sabotase merupakan sebab kecelakaan pesawat udara merupakan sebab suatu kecelakaan yang sekali-kali tidak boleh
diabaikan. Sabotase dapat berbentuk macam-macam kemungkinan, antara lain : 1.
adanya bahan peledak 2.
pengotoran terhadap sistim bahan bakar 3.
pengotoran terhadap sistim pelumas 4.
pengubahan terhadap salah satu komponen vital dari pesawat 5.
keadaan baut yang tidak dikencangkan sebagaimana mestinya 6.
pengikat-pengikat pipa yang sengaja dilonggarkan 7.
dan hal-hal lainnya yang dengan sengaja dilanggar Selanjutnya, juga diatur tindak pidana dalam kecelakaan pesawat udara yang
bermotifkan tanggungan asuransi, hal tersebut diatur dalam Pasal 479 h KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hukum, atas kerugian penganggung asuransi menimbulkan kebekaran atau ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan
Universitas Sumatera Utara
atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara, yang dipertanggungkan terhadap bahaya tersebut diatas atau yang
dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut
telah diterima uang tanggungan, dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya sembilan tahun.
2. Apabila yang dimaksud pada ayat 1 pasal ini adalah pesawat udara
dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
3. Barang siapa dengan maksud untik menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hukum atas kerugian penanggung asuransi, menyebabkan penumpang pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap
bahaya, mendapat kecelakaan, dipidana : a.
dengan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun, jika karena perbuatan itu menyebabkan luka-luka.
b. dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika
karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang. Selain pasal-pasal di atas diatur pula Pasal 479 k ayat 1 huruf d suatu ketentuan
pemberatan pidana terhadap perbuatan perampasan atau penguasaan pesawat udara dalam penerbangan secara melawan hukum Pasal 479 i KUHP dan
perampasan atau penguasaan pengendalian pesawat udara dalam penerbangan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan Pasal 479 j KUHP yang
mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga membahayakan
Universitas Sumatera Utara
keamanan penerbangan, yaitu dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Kemudian dalam Pasal 479 k ayat 2
dikatakan bahwa jika perbuatan itu mengakibatkan matinya orang atau hancurnya pesawat udara dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Dengan demikian, Pasal 479 k KUHP merupakan ketentuan pemberatan pidana dari Pasal 479 i dan Pasal
479 j KUHP. Pasal 479 i dan Pasal 479 j KUHP selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 479 i KUHP
Barang siapa di dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai
pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 479 j KUHP
Barang siapa di dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau
mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya lima belas tahun. Dalam penjelasan Pasal 479 j KUHP dikatakan bahwa : “ketentuan pasal ini
mengatur tindak pidana kejahatan penerbangan yang lazim dikenal dengan nama pembajakan pesawat udara”. Rumusan Pasal 479 j KUHP tersebut mengacu
kepada pasal 1 Konvensi The Hague 1970 yang memberikan batasan tindak
Universitas Sumatera Utara
pidana penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, apabila seseorang di dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan melakukan perbuatan
secara melawan hukum, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan beberapa bentuk ancaman, merampas atau menguasai pengendalian pesawat udara
atau mencoba melakukan tindakan demikian tersebut. Unsur kesalahan dalam pasal ini adalah dolus, hal ini dapat disimpulkan
dari kalimat “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman bentuk lainnya, merampas, mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian
pesawat udara”. Hal ini merupakan indikasi adanya kehendak yang kuat dari pelaku pembajakan pesawat udara. Insiden yang paling mencekam adalah drama
pembajakan DC-9 Woyla Garuda Indonesian Airways jurusan Jakarta-Palembang- Medan dibajak 25 mil sebelum Pekanbaru dan dialihkan ke Penang, Malaysia 29
Maret 1981. Setelah isi bahan bakar dan lepas landas dari Penang, dibawah ancaman akan diledakkan pesawat dipaksa menuju bandara Don Muang,
Bangkok, Thailand. Pasukan Komando yang didatangkan dari Jakarta, Selasa dinihari 31 Maret berhasil membebaskan para sandera, menewaskan dan
menawan para pembajaknya.
28
Tindakan atau perbuatan pembajakan pesawat udara tersebut harus terjadi pada suatu tempat, waktu, dan keadaan sebagaimana
dipersyaratkan dalam Pasal 143 ayat 2 hutuf b KUHP. Dalam ketentuan Pasal 479 j KUHP sebagai tindak pidana pembajakan pesawat udara mempersyaratkan
adanya unsur tempat, yaitu dalam pesawat udara on board, unsur keadaan yaitu
28
Majalah Angkasa No.4 Januari 2000 Tahun X
Universitas Sumatera Utara
dalam penerbangan in flight. Adapun yang dimaksud dengan dalam penerbangan adalah seperti apa yang terdapat dalam Pasal 95 b KUHP, yaitu
“Sejak saat pintu luar pesawat ditutup, setelah naiknya penumpang embarkasi sampai saat pintu dibuka disembarkasi. Dalam hal
pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tenggung jawab atas pesawat
udara dan barang yang ada di dalamnya”. Kecelakaan pesawat udara dapat pula disebabkan oleh tindakan-tindakan lain
secara melawan hukum yang mengancam keselamatan penerbangan sipil, seperti : melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam
penerbangan, tindakan merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan ataupun menempatkan bahan atau alat yang dapat menghancurkan atau
merusak pesawat udara dalam dinas. Dalam perluasan Pasal 4 angka 4 KUHP berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976, antara lain tersebut beberapa
kejahatan yang dapat dikualifikasi sebagai kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil, yaitu Pasal 479 huruf l, m, n dan o KUHP. Berikut
penjelasan mengenai pasal-pasal tersebut.
Pasal 479 l KUHP
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan,
jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas
tahun”
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 479 l KUHP ini adalah sebagai berikut : a.
Subjek adalah “barang siapa”. b.
Bentuk kesalahan adalah “dolus”, yang dirumuskan dengan kata “dengan sengaja”.
c. Tindakan yang dilarang adalah melakukan perbuatan
kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara. d.
Keadaan pesawat udara harus dalam penerbangan, yang pengertiannya sesuai dengan Pasal 95 b KUHP
Pasal 479 m KUHP
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara
tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
lima belas tahun.” Unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 479 m KUHP adalah sebagai berikut :
a. Unsur subjek adalah “barang siapa”
b. Bentuk kesalahan adalah “dolus” yang dapat diketahui dari perumusan
kata “dengan sengaja” c.
Unsur bersifat melawan hukum dicantumkan dengan tegas d.
Tindakan yang dilarang adalah : 1
merusak pesawat udara atau 2
menyebabkan kerusakan atas pesawat udara yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan. Maka
Universitas Sumatera Utara
dengan demikian sasaran tindak pidana objek adalah pesawat udara dalam dinas.
e. Keadaan pesawat tersebut adalah “dalam dinas”
Pasal 479 n KUHP
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas,
dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang
membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.” Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 479 n KUHP adalah sebagai berikut :
a. Subjek “barang siapa”
b. Bentuk kesalahan “dolus”
c. Unsur bersifat melawan hukum dicantumkan dengan tegas
d. Tindakan yang dilarang adalah menempatkan atau menyebabkan
ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara atau
menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang
dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan kejahatan dengan cara menempatkan bahan peledak dalam pesawat udara atau
meledakkan pesawat udara dalam penerbangan adalah salah satu jenis kejahatan
Universitas Sumatera Utara
penerbangan yang sering terjadi. Kejahatan terorisme dengan cara meledakkan
pesawat udara atau membuat celaka pesawat udara dalam penerbangan adalah perbuatan yang sangat tidak berprikemanusiaan. Beratus-ratus jiwa manusia yang
tidak berdosa menjadi korban kejahatan tersebut. Sebagai upaya mencegah terjadinya kecelakaan pesawat udara, dalam
KUHP maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 telah diatur tindak pidana yang bersifat preventif. Dalam Bab XXIX A KUHP, khususnya Pasal 479 p
sampai dengan r KUHP telah diatur tindak pidana yang bila dicermati rumusan perbuatan yang dilarang lebih mengarah untuk mencegah terjadinya kecelakaan
pesawat udara atau meniadakan atau mencegah adanya tindakan tertentu yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. Pasal-pasal
tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 479 p KUHP
Barang siapa memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam
penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Dalam penjelasan pasal 479 p KUHP dijelaskan bahwa yang diatur oleh pasal ini adalah tindakan yang sering terjadi seperti pemberitahuan adanya ancaman bom
lewat telepon atau alat komunikasi lainnya. Ancaman bom lewat telepon atau alat komunikasi lainnya dapat mengganggu konsentrasi dan ketenangan jiwa dari pilot
dan para awak lainnya. Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 479 p KUHP adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Subjek dirumuskan denagan “barang siapa”
b. Bentuk kesalahan adalah “dengan sengaja” yang dapat diketahui dari
perumusan “yang diketahuinya” c.
Tindakan yang dilarang adalah memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat
udara dalam penerbangan Perbuatan yang dapat membahayakan keamanan pesawat udara dalam
penerbangan adalah perbuatan yang nyata-nyata membahayakan keamanan penerbangan seperti membuka pintu darurat atau pintu yang utama, merusak alat-
alat keselamatan.
Pasal 479 q KUHP
Barang siapa di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Unsur-unsur tindak pidana dalam pesawat udara tersebut adalah sebagai berikut :
a. Subjek dirumuskan dengan “barang siapa”
b. Bentuk kesalahan adalah “dolus” yang dapat diketahui dari perumusan
“melakukan perbuatan” c.
Tindakan yang dilarang adalah melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan,
seperti membuka pintu darurat pada saat pesawat sedang terbang. d.
Keadaan pesawat udara dipersyaratkan dalam penerbangan dan pelaku berada di dalam pesawat udara tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan perbuatan yang nyata-nyata bertentangan dengan ketertiban dan tata tertib dalam pesawat udara, antara lain mabuk-mabukan,
membuat onar, kegaduhan, merokok,dan lain sebagainya.
Pasal 479 r KUHP
Barang siapa dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam
penerbangan, dipidana dengan penjara selama-lamanya satu tahun. Unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 479 r KUHP tersebut adalah sebagai
berikut : a.
Subjek dirumuskan dengan “barang siapa”. b.
Bentuk kesalahan adalah “dolus” yang dapat diketahui dari rumusan “melakukan”.
c. Tindakan yang dilarang adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan, seperti membuat onar, gaduh dan mabuk-mabukan.
d. Perbuatan tersebut dilakukan di dalam pesawat udara yang sedang dalam
penerbangan. Undang-undang No.4 Tahun 1976 dibuat karena sebelum tahun 1976 Hukum
Pidana Indonesia tidak berlaku terhadap tindak pidana yang dilakukan terhadap pesawat udara Indonesia yang sedang terbang diluar wilayah Indonesia. Indonesia
memperluasnya sehingga berlaku Hukum Pidana Indonesia terhadap pesawat
Universitas Sumatera Utara
udara yang berada diluar wilayah Indonesia
29
. Hal ini termasuk pula terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh siapapun di dalam pesawat udara Indonesia,
walaupun pesawat udara tersebut berada diluar wilayah Indonesia. Dan sampai sekarang undang-undang tersebut masih berlaku sebagai perluasan Hukum Pidana
Indonesia terhadap tindak pidana yang dilakukan terhadap pesawat udara Indonesia baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.
A.3. Undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan Undang-undang No.15 Tahun1992 merupakan perubahan undang-
undang penerbangan yang lama yaitu undang-undang No.83 Tahun 1958. Terdapat perubahan yang cukup signifikan terhadap kedua undang-undang ini.
Undang- undang No.83 Tahun 1958 yang hanya terdiri dari 8 bab dan 28 pasal menjadi 15 bab dan 75 pasal. Dalam undang-undang No.15 Tahun 1992 semakin
banyak hal-hal dalam dunia penerbangan yang diatur dengan lebih detail dan dengan cakupan yang lebih luas. Perubahan ini dilakukan karena undang-undang
No.83 Tahun 1958 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Perkembangan yang jelas terlihat dalam UU ini adalah di dalam Pasal 23 diatur mengenai tindak pidana penerbangan. Dikatakan bahwa kapten penerbang
30
yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk mengambil tindakan untuk keamanan dan keselamatan penerbangan. Tindakan keamanan yang boleh
29
Tien saefullah, Peledakan Pesawat KAL 858 dan Pelaksanaan Konvensi Montreal, 1971 Hukum Angkasa dan Perkembangannya, Bandung: Remaja Karya, 1988.
30
Istilah yang terdapat dalam Annex 9 konvensi Chicago 1944 tentang Facilitation adalah Pilot in Command, sedangkan dalam konvensi Tokyo 1963 tentang Convention on Offences and
Certain Other Acts Commited on Board Aircraft istilah yang dipakai Aircraft Commander
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh kapten penerbang tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintahan.
Apabila UU No.15 Tahun 1992 dibandingkan dengan UU No.83 Tahun 1958 maka ketentuan pencegahan tersebut merupakan hal baru yang belum pernah
diatur dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya, walaupun tindak pidana pada umumnya telah diatur dalam UU No.4 Tahun 1976
31
dan UU No.2 Tahun 1976
32
, tetapi kedua UU tersebut belum ada yang mengatur pemberian kapten penerbang untuk melakukan tindakan pencegahan tindak pidana penerbangan.
Dalam Pasal 23 UU No.15 Tahun 1992 , Pemerintah mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPR RI untuk menetapkan pengaturan
bagi pencegahan dan penanggulangan tindakan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap penerbangan. Selain Pasal 23 UU No.15 Tahun 1992 dimana
kapten penerbang memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana dalam pesawat udara selama
penerbangan berlangsung, ada pasal lain yang menyatakan tentang suatu tindakan yang dilarang untuk dilakukan dan apabila dilakukan akan diancam dengan sanksi
pidana,yang dimana ketentuan-ketentuan tersebut berupaya untuk mengurangi tingkat kecelakaan pesawat udara yaitu :
1. Pasal 60 UU No.15 Tahun 1992,
31
UU no.4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang –
undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap SaranaPrasarana Penerbangan
32
UU no.2 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963,Konvensi The Hague 1970 dan Konvensi Montreal 1971
Universitas Sumatera Utara
”Dilarang menerbangkan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang, dan barang, danatau penduduk
atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda setinggi – tingginya Rp.60.000.000,- enam puluh juta rupiah”. Yang dimaksud
dengan menerbangkan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang, barang dan penduduk misalnya adalah
apabila seorang pilot menerbangkan pesawat di bawah ketinggian dan kecepatan yang telah ditentukan. Sebagai contoh adalah kasus pesawat
militer AS yang menabrak gantole di Italia, hal tersebut terjadi karena pilot tersebut melanggar batas ketinggian dan kecepatan yang telah
ditetapkan. 2.
Pasal 62 UU No. 15 Tahun 1992 Dalam Pasal 18 ayat 1 UU No. 15 Tahun 1992 ditentukan bahwa setiap
personil penerbangan wajib memiliki sertifikat kecakapan. Sertifikat kecakapan ini adalah sebagai tanda bahwa pilot masih boleh
menerbangkan pesawat. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut seorang pilot harus melalui beberapa tes, diantaranya tes kesehatan yang
dilakukan secara rutin. Untuk memperkuat ketentuan ini agar dipatuhi, dalam Pasal 62 diatur ketentuan pidananya yang selengkapnya berbunyi
sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau
denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,-“ 3.
Pasal 63 UU No. 15 Tahun 1992 Untuk melindungi keamanan dan keselamatan penerbangan agar tidak
terjadi suatu kecelakaan pesawat udara, dalam Pasal 19 ayat 1 juga ditentukan bahwa setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang
wajib memiliki sertifikat kelaikan udara. Dengan adanya ketentuan ini maka setiap pesawat udara yang akan beroperasi diharapkan sudah
mendapat pemeriksaan yang seksama sehingga layak terbang atau tidak. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh pemerintah terhadap setiap pesawat
secara berkala dan didampingi oleh pihak dari perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Selengkapnya Pasal 63 berbunyi adalah sebagai
berikut : “ Barang siapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki
kelaikan udara sebagaimana dimaksud dakam Pasal 19 ayat 1 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda setinggi-
tingginya Rp. 36.000.000.
4. Pasal 64 UU No. 15 Tahun 1992
Universitas Sumatera Utara
Fasilitas dan peralatan penunjang penerbangan wajib memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan, misalkan
penerangan yang ada di landasan harus baik sehingga pesawat dapat mendarat dengan aman pada waktu malam hari. Terhadap setiap pihak
yang mengoperasikan fasilitas dan peralatan penunjang penerbanagn yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangn
diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 64 UU No. 15 Tahun 1992 yang berbunyi sebagai berikut :
“ Barang siapa mengoperasikan fasilitas dan atau peralatan penunjang penerbangn yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp.18.000.000,- 5.
Pasal 66 UU No. 15 Tahun 1992 Dalam Pasal 28 UU No. 15 Tahun 1992 melarang seseorang untuk berada
di sekitar bandar udara, mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan di dalam maupun di sekitar bandar udara yang dapat membahayakan
keamanan dan keselamatan penerbangan. Yang dimaksud dengan berada di sekitar bandar udara adalah tempat dimana orang atau bangunan tidak
boleh ada, misalkan di daerah run way, taxi way atau mendirikan bangunan di dekat landasan pesawat sehingga dapat mengganggu setiap
pesawat yang akan mendarat atau akan take off. Untuk memperkuat agar
Universitas Sumatera Utara
ketentuan ini dipatuhi, diatur ketentuan pidananya dalam Pasal 66 yang berbunyi sebagai berikut :
“ Barang siapa tanpa hak berada di tempat-tempat tertentu di bandar udara, mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan lain di dalam atau
di sekitar bandar udara yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 18.000.000,-“
B. Jenis Tindak Pidana Penerbangan dan Ketentuan Hukumnya menurut