Urgensi Muhallil dalam Musabaqah

ataupun banyaknya jumlah kontestan. Dan ashaab ‘ulaama berbeda pendapat mengenai masuknya muhallil, mayoritas dari mereka berpendapat bahwa masuknya muhallil tersebut untuk menghalalkan taruhan bagi setiap peserta yang menang diantara para kontestan. Sedangkan Abu ‘Ali Ibn Khairan berpendapat bahwa masuknya muhallil itu adalah untuk membolehkan taruhan hanya bagi dirinya saja. Ia muhallil mengambil taruhan bila Ia menang, dan tidak mendapat uang taruhantaruhan bagi kedua kontestan bila mereka berdua yang menang. Karena bila seandainya dikatakan kepada kami: “jika kedua kontestan tersebut menang, kemudian mereka mendapat uang taruhantaruhan, hasilnya ialah ada pihak yang memberi taruhan, dan ada pihak yang mengambil taruhan, dan itu termasuk qimar judi. Menurut pendapat pertama ashaab, bahwa dengan masuknya muhallil, maka kedua kontestan terbebas dari unsur perjudian, karena dalam perjudian ada pihak yang memberi taruhan dan ada pihak yang menerima taruhan. Dengan masuknya muhallil menghasilkan ada pihak yang mengambil taruhan dan tidak memberi taruhan, maka hal tersebut tidak menjadi qimar judi. Kemudian jika mereka semua seimbang, yakni mereka sampai ke garis finish secara berbarengan, maka salah seorang yang mengeluarkan taruhan dari kedua kontestan menyimpan kembali harta taruhannya, karena berarti tidak ada seorangpun yang memenangkan pertandingan. Dan bagi muhallil tidak mendapat apapun karena Ia tidak mengungguli salah seorang dari mereka berdua. Dan jika kedua kontestan yang menang, maka salah seorang yang mengeluarkan taruhan dari kedua kontestan juga tetap menyimpan kembali harta taruhannya, karena mereka berdua imbang, dan muhallil pun tidak menerima ataupun memberi harta taruhan sebab Ia kalah. Namun jika muhallil mengungguli kedua kontestan, maka muhallil berhak menerima harta taruhannya, karena Ia menang atas keduanya. Dan bila salah satu kontestan yang mengeluarkan harta taruhan menang atau mengungguli muhallil serta salah satu peserta lainnya, maka pemenang tersebut orang yang mengeluarkan harta taruhan juga tetap menyimpan taruhannya mengambil harta taruhannya sendiri. Dan mengenai masalah harta taruhan bagi yang kalah, ada dua pendapat: Pertama, menurut ashaab bahwasanya pemenang juga mengeluarkan harta taruhanuang taruhan, karena Ia sendiri ikut andil dalam perlombaan. Kedua, menurut pendapat Ibn Khairan hanya peserta yang kalah saja yang mengeluarkan harta taruhanuang taruhan, karena menurutnya pemenang tidak berhak untuk mengeluarkan harta taruhan. 27

D. Sanksi Pidana

27 Yahya Ibn Syarf Al-Nawawi , Kitab al-Majmu ’ Syarh~ al-Muhadzdzab, Jeddah, Saudi Arabia: Maktabah al-Irsyad, . Jilid XVI, h. 150 Agama Islam membolehkan berbagai macam hiburan dan permainan bagi setiap pemeluknya, tetapi Islam mengharamkan setiap permainan yang di campuri dengan unsur perjudian, yaitu suatu permainan yang mengandung unsur taruhan, baik itu berupa uang, barang, kehormatan dan orang yang menang itu mendapat hak taruhan tersebut.

1. Menurut Hukum Islam

Sanksi pidana dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah.‘Uqubah artinya: mengiringnya dan datang dibelakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa diambil dari lafaz: yang artinya: membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukan. 28 Perbuatan yang dilarang روظحملا adakalanya berupa mengajarkan perbuatan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Sedangkan lafaz syari ’ah عيرش dalam definisi tersebut mengandung pengertian, bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah apabila perbuatan itu tidak ada larangannya dalam syara’ dan diancam dengan hukuman. Dengan demikian apabila perbuatan itu tidak ada dalam larangan dalam sya ra’ maka perbuatan tersebut hukumnya mudah, sesuai dengan dalil kaidah yang berbunyi: Pada dasarnya semua perkara diperbolehkan, sehingga ada dalil yang mengajukan keharamannya. Pengertian jarimah menurut syara’, pada lahirnya agak berbeda dengan pengertian jarimah atau tindak pidana menurut hukum positif dalam kaitan dengan 28 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: PT Sinar Grafika, h. 136. masalah hukuman takzir. Menurut hukum Islam hukuman takzir adalah hukuman yang ketentuan jumlahnya tidak tercantum di dalam nash sedangkan menurut hukum positif, hukuman itu harus tercantum dalam undang-undang. Akan tetapi, apabila dipelajari dapat juga kita temui persesuaiannya terutama pada garis besarnya.Hukuman takzir dimaksudkan untuk mencegah dari kerusakan timbulnya bahaya. Apabila tujuan diadakannya takzir itu demikian maka jelas sekali hal itu dalam Al- Qur’an dan As-Sunnah, karena setiap perbuatan yang merusak dan merugikan orang lain hukumnya tetap dilarang. Allah SWT berfirman dalam Al- Qur’an. . . . . “…dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan membuat kerusakan.” QS.Al-Baqarah [2]: 60 Di samping itu, meskipun hukuman takzir itu ketentuannya diserahkan kepada ulil amri penguasa, namun dalam pelaksanaannya tetap berpedoman kepada dasar- dasar yang telah ditetapkan oleh Al- Qur’an dan As-Sunnah dengan tujuan mencegah manusia, supaya ia tidak membuat kekacauan dan tidak membuat kerusakan. 29 Alangkah tepat dan indahnya Al-Qu r’an ketika mengumpulkan antara khamr dan judi dalam ayat-ayat dan hukum-hukumnya, karena sama bahayanya terhadap pribadi, keluarga, tanah air, dan akhlak. Tidak ada bedanya orang yang mabuk karena 29 Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., h. 10-12.