usaha penangkapan tidak berwawasan lingkungan dan akan merusak kelestarian sumberdaya ikan walaupun jumlah tangkapan quantity cukup banyak.
Berdasarkan uraian di atas, maka kondisi daerah penangkapan ikan yang baik potensial melalui evaluasi atau analisis hasil tangkapan, baik komposisi jumlah
tangkapan maupun komposisi ukuran panjang perlu dilakukan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya ikan di perairan Selat Malaka dan sekaligus mengefisienkan kegiatan usaha penangkapan yang berbasis di PPS Belawan adalah melalui penyediaan
informasi daerah penangkapan yang potensial, agar nelayan tidak hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman semata.
Dinamika daerah penangkapan ikan di Selat Malaka perlu dikaji secara sistematis agar nelayan yang berbasis di
PPS Belawan dapat menggunakannya sebagai pertimbangan dalam merencanakan operasi penangkapan ikan.
Pendekatan yang digunakan untuk mengevaluasi dinamika daerah penangkapan ikan dalam penelitian ini adalah informasi tentang
komposisi hasil tangkapan yang berasal dari perairan Selat Malaka.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1
menentukan komposisi jumlah dan jenis hasil tangkapan ikan yang tertangkap di perairan Selat Malaka;
2 menentukan komposisi ukuran panjang ikan hasil tangkapan yang dominan
tertangkap dari perairan Selat Malaka; dan 3
mengevaluasi kondisi daerah penangkapan ikan di Selat Malaka berdasarkan pendekatan komposisi hasil tangkapan.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini antara lain: 1
sumber informasi bagi para pelaku perikanan tangkap di PPS Belawan, Sumatera Utara untuk mengetahui daerah penangkapan ikan dan selanjutnya
dapat dipergunakan untuk meningkatkan efisiensi operasi penangkapan ikan; dan
2 memperkaya pengetahuan pada bidang ilmu daerah penangkapan ikan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis
Sumberdaya ikan laut Indonesia pada dasarnya dikelompokkan berdasarkan taksonomi, yaitu ikan pisces dan non-ikan mollusca, crustaceae, holoturaedae,
reptilian, mammalian. Kelompok ikan kemudian dibedakan berdasarkan
habitatnya menjadi ikan pelagis, ikan demersal dan ikan karang. Ikan pelagis adalah ikan yang sebagian besar masa hidupnya berada di kolom air terutama
dekat permukaan, ikan demarsal adalah ikan yang sebagian besar masa hidupnya berada pada atau di dekat perairan dan ikan karang adalah ikan yang
kehidupannya terikat dengan perairan karang. Ikan pelagis dibagi lagi menjadi dua berdasarkan ukuran, yaitu ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Ikan
pelagis besar seperti madidihang, cakalang, tongkol, tenggiri dan cucut, sedangkan ikan pelagis kecil seperti layang, selar, lemuru, teri dan kembung. Ikan
karang dibagi lagi menjadi ikan karang konsumsi dan ikan hias. Kelompok non- ikan dibagi menjadi udang dan krustasea lainnya, moluska dan teripang, cumi-
cumi, penyu,mamalia, karang dan rumput laut Aziz, 1998. Salah satu sifat ikan pelagis yang paling penting bagi pemanfaatan usaha
perikanan yang komersil adalah sifat mengelompok. Karena adanya sifat
mengelompok ini, ikan dapat ditangkap dalam jumlah besar. Pola tingkah laku berkelompok pada ikan pelagis juga dipengaruhi oleh jenis dan ukurannya. Ikan
pelagis pada umumnya berkelompok dan akan naik ke permukaan pada sore hari. Ikan-ikan tersebut akan menyebar di lapisan pertengahan perairan setelah
matahari terbenam dan akan turun ke lapisan yang lebih dalam saat matahari terbit Laevastu dan Hela, 1970.
Hal-hal yang menyebabkan ikan membentuk gerombolan antara lain adalah 1 sebagai perlindungan diri dari pemangsa
predator; 2 mencari dan menangkap mangsa; 3 pemijahan; 4 musim dingin; 5 ruaya dan pergerakan; 6 pengaruh faktor dari lingkungan Mantiefel dan
Radakov vide Gunarso, 1985. Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai kondisi
lingkungan perairan. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor fisik, kimia, dan
biologi lingkungan. Faktor-faktor ini penting untuk mengetahui penyebaran atau
distribusi ikan yang berguna untuk pencarian ikan dan pemilihan teknik penangkapannya.
Faktor oseanografi fisika yang paling berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya ikan adalah faktor salinitas dan suhu perairan. Kedua
faktor ini menarik untuk diamati karena berperan dalam keberlangsungan ikan Gunarso,1985.
Gunarso 1985 mengatakan bahwa penyebaran ikan pelagis dipengaruhi oleh perubahan lingkungan yang sesuai dengan kondisi tubuhnya. Daerah yang
banyak diminati ikan pelagis adalah daerah yang banyak mendapatkan cahaya matahari yang dikenal sebagai daerah fotik.
Daerah ini memiliki suhu yang optimal bagi ikan pelagis yaitu berkisar 28
C - 30 C. Pada siang hari suhu
lapisan permukaan akan lebih tinggi sehingga ikan pelagis beruaya ke lapisan bawah.
Konsentrasi plankton mempengaruhi pengelompokan ikan pelagis. Plankton mengadakan migrasi harian secara vertikal dengan berbagai mekanisme.
Pola pergerakan plankton akan diikuti oleh pola migrasi ikan-ikan pelagis Nybakken, 1992.
Jenis-jenis ikan yang tertangkap di perairan Selat Malaka selama penelitian ini adalah mata besar Priacanthus tayenus, biji nangka Upeneus molluccensis,
kuniran Upeneus tragula, tetengkek Megalaspis cordyla, banyar Rastrelliger kanagurta, kembung perempuan Rastrelliger brachysoma, gulamah Pennahia
argentata, pepetek Gazza sp, layur Trichiurus lepturus, temenong Selar crumenophtalmus,
kakap merah
Lutjanus argentimaculatus,
kerapu Epinephelus sp, pari Dasyatis sp, gerot-gerot Pomadasys argenteus, perak
Pentaprion longimanus, sotong Sephia sp, tenggiri Scomberomorus
commersoni, peperek topang Leiognathus equulus, selar kuning Selaroides leptolepis, layang Decapterus russelli, kurau Eleutheronema tetradactylum,
madidihang Thunnus albacares, beloso Saurida undosquamis, selanget Anodontostoma chacunda, japuh Dussumieria acuta, selar hijau Atule mate
dan cumi-cumi Loligo spp. Berikut ini merupakan penjelasan dari beberapa ikan yang tertangkap tersebut.
Direktorat Jenderal Perikanan 1979 menyebutkan bahwa ikan ini memiliki kepala dan punggung yang berwarna merah sawo matang serta bagian bawah yang
berwarna keputihan sedikit ungu. Terdapat satu garis coklat atau gelap yang
membujur di sepanjang badannya, mulai dari mulut hingga ke pangkal ekor. Pada sirip punggung nya terdapat garis-garis serong berwarna merah darah. Pada sirip
perut dan sirip duburnya terdapat totol-totol berwarna merah kunyit yang membentuk garis-garis.
Pada sirip ekor terdapat garis-garis merah, merah kehitaman pada lembaran sirip ekor bawah secara melintang, berjumlah 4-6 garis
pada lembaran atas dan 5-8 pada lembaran bawah. Jumlah garis-garis ini berubah sesuai dengan bertambahnya umur.
Ikan ini menyebar di perairan pantai dan perairan karang di seluruh Indonesia serta perairan Indo-Pasifik lainnya.
4 Tetengkek Megalaspis cordyla; Linnaeus, 1758 Masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama cencaru Gambar 4. Ikan ini
memiliki tubuh yang memanjang dan agak pipih seperti cerutu. Sirip punggung pertamanya memiliki 8-9 jari-jari keras, sedangkan sirip punggung yang kedua
memiliki 1 jari-jari keras dan 10 jari-jari lemah, diikuti 8-9 jari-jari sirip tambahan. Sirip duburnya terdiri dari 2 jari-jari keras yang saling lepas satu sama
lain, 1 jari-jari keras yang menyatu dengan 10 jari-jari lemah diikuti 6-8 jari-jari sirip tambahan finlet. Sirip dadanya berbentuk sabit, memanjang dan ujungnya
meruncing. Bagian depan garis rusuk melengkung dan lurus dibelakangnya.
Terdapat 53-58 sisik duri, berukuran besar dan kuat serta berbentuk lancip. Batang ekornya kuat dan kaku Direktorat Jenderal Perikanan, 1979.
Menurut Torres 2010 dalam situs www.fishbase.org, ikan ini hidup di daerah tropis pada perairan laut maupun payau dengan kisaran kedalaman 20-100
m dan berasosiasi dengan karang dan biasanya membentuk gerombolan. Makanan utama ikan ini adalah ikan. Tetengkek dapat tumbuh hingga mencapai
panjang maksimum 80 cm tetapi panjang umumnya adalah 45 cm. Tetengkek mencapai kematangan gonad pada ukuran 22 cm.
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan 1979, warna tubuh ikan ini hijau keabuan pada bagian atas dan putih perak pada bagian bawah. Sirip punggung,
dada dan ekornya berwarna keabuan sedikit kekuningan. Ikan ini menyebar di
sedikit kekuningan dengan pinggiran gelap. Sirip dubur dan sirip perut berwarna kuning jeruk.
Ikan kurau tersebar di perairan pantai terutama Laut Jawa, Sumatera bagian timur, sepanjang Kalimantan, Sulawesi Selatan, Arafuru, Teluk
Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan sampai Queenland Australia.
12 Madidihang Thunnus albacares; Bonnaterre, 1788 Masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama tongkol sisik Gambar 12.
Direktorat Jenderal Perikanan 1979 menyebutkan bahwa ikan madidihang badannya memanjang dan bulat seperti cerutu. Tapis insangnya berjumlah 26-34
pada busur insang pertama. Memiliki dua cuping diantara kedua sirip perutnya. Terdapat 13-14 jari-jari keras pada sirip punggung pertama dan 14 jari-jari lemah
pada sirip punggung kedua, diikuti 8-10 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur
berjari-jari lemah 14-15, diikuti 7-10 jari-jari sirip tambahan. Terdapat satu lunas kuat pada batang sirip ekor yang diapit dua lunas kecil pada ujungnya. Pada ikan
dewasa, sirip punggung kedua dan sirip dubur tumbuh sangat panjang. Sirip
dadanya cukup panjang. Badannya bersisik kecil-kecil, korselet bersisik agak
besar tetapi tidak nyata. Kesner-Reyes 2010 dalam situs www.fishbase.org menyebutkan bahwa
ikan madidihang adalah spesies yang biasa hidup di atas dan di bawah daerah termoklin. Bersifat pelagis di perairan terbuka, tetapi kadang terlihat di perairan
karang. Ikan ini biasanya membentuk gerombolan sesuai ukuran. Ikan dewasa sering bergerombol dengan lumba-lumba, juga berasosiasi dengan reruntuhan
yang mengapung dan benda-benda lain. Madidihang memakan ikan, udang-
udangan dan cumi-cumi. Sensitif terhadap konsentrasi oksigen yang rendah
sehingga biasanya tertangkap pada kedalaman di atas 250 m di perairan tropis. Ikan ini dapat tumbuh hingga mencapai panjang maksimal 239 cm, tetapi panjang
umumnya adalah 150 cm dan mencapai kematangan gonad pada ukuran 107,5 cm. Direktorat Jenderal Perikanan 1979 menyebutkan bahwa madidihang
memiliki tubuh yang berwarna gelap keabuan pada bagian atas dan kuning perak pada bagian bawah. Sirip-sirip punggung, perut dan sirip tambahan berwarna
kuning cerah berpinggiran gelap. Pada perut terdapat kurang lebih 20 garis putus-
Ikan ini kemudian dilahap dengan gigitan-gigitan kecil hingga menyisakan usus dan ekornya. Sisa ini kemudian dibuang Ruppert dan Barnes, 1994.
Cumi-cumi memiliki kemampuan untuk mengubah-ubah warna kulitnya yang disebabkan oleh adanya chromatophore pada integumennya.
Ketika kulitnya berkontraksi, chromatophore-nya keluar membentuk piringan datar,
ketika kulitnya berelaksasi, pigmennya terkonsentrasi dan tidak kelihatan. Chromatophore ini menghasilkan warna kuning, orange, merah, biru dan hitam
yang dikendalikan oleh sistem saraf dan mungkin juga oleh hormon yang didahului dengan adanya rangsangan Ruppert dan Barnes, 1994.
Roper, Sweeney dan Nauen 1984 vide Yudha 1994 menyatakan bahwa cumi-cumi tersebar di perairan Pasifik Barat, Australia Utara, Kepulauan
Philipina, sebelah utara Laut Cina Selatan hingga ke perairan Jepang. Daerah penyebarannya di Indonesia adalah perairan sebelah barat Sumatera perairan
Meulaboh, perairan sebelah barat Sumatera Utara perairan Sibolga, perairan sebelah selatan Jawa Barat, sebelah selatan Jawa Tengah perairan Cilacap,
sebelah selatan Jawa Timur perairan Puger, Selat Alas, Teluk Saleh, Laut Sawu, perairan Arafuru, Selat Malaka, di sepanjang pantai Kalimantan, perairan
Sulawesi, Maluku dan selatan Irian Jaya Anonimous, 1992 vide Yudha, 1994.
2.2 Tingkat Kematangan Gonad
Ukuran ikan pertama kali matang gonad ada hubungannya dengan pertumbuhan ikan dan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhannya.
Tiap spesies ikan tidak sama ukuran dan umurnya saat pertama kali matang gonad.
Ikan-ikan yang sama spesiesnya juga berbeda matang gonadnya jika letak geografis perairannya berbeda Sjafei et al, 1992.
Faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad ikan di daerah sub tropis antara lain suhu dan makanan.
Di daerah tropis, ikan relatif tidak mengalami perubahan suhu yang mencolok sehingga gonadnya akan lebih cepat
matang Sjafei et al, 1992. Setelah pertama kali matang gonad, pada umumnya ikan akan terus menerus
memijah, tergantung daur pemijahannya. Ada yang setahun sekali, beberapa kali
dalam satu tahun dan sebagainya. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan
menentukan daur reproduksi antara lain suhu, oksigen terlarut dalam perairan dan faktor-faktor lingkungan lain, juga hormon-hormon yang berperan dalam
reproduksi yang pada gilirannya akan memacu organ-organ reproduksi untuk berfungsi Sjafei et al, 1992.
Romimohtarto dan Sri Juwana 2007 mengatakan bahwa analisis tingkat kematangan gonad TKG untuk ikan didasarkan pada lima tingkatan dengan
kriteria-kriteria yang tercantum pada Tabel 1 di bawah ini. Suwarso 2010
mengatakan bahwa secara umum, ikan akan mencapai ukuran panjang matang gonad pertama kali length of maturity pada saat memasuki tingkat kematangan
gonad TKG III.
Tabel 1 Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan TINGKAT
KEADAAN GONAD DESKRIPSI
I Tidak matang immature
Gonad memanjang, kecil dan hampir transparan.
II Sedang
matang maturing
Gonad membesar, berwarna jingga kekuning-kuningan,
butiran telur
belum dapat terlihat dengan mata telanjang.
III Matang mature
Gonad berwarna putih kekuningan, butiran telur sudah dapat terlihat
dengan mata telanjang.
IV Siap pijah ripe
Butiran telur membesar dan berwarna kuning jernih, dapat keluar dengan
sedikit penekanan pada bagian perut.
V Pijah spent
Gonad mengecil, berwarna merah dan banyak terdapat pembuluh darah.
Sumber : Romimohtarto dan Sri Juwana, 2007
2.3 Perikanan Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan
Sumberdaya perikanan merupakan modal dasar pembangunan perikanan dan pemanfaatannya diperlukan bagi kesejahteraan masyarakat sebesar-besarnya.
Perlu diketahui bahwa sifat sumberdaya perikanan adalah terbatas sehingga pemanfaatannya harus lebih berhati-hati agar tidak terjadi kepunahan.
Pengembangan penangkapan ikan pada hakekatnya mengarah pada pemanfaatan
sumberdaya ikan secara optimal dan rasional bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan nelayan khususnya, tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya
ikan itu sendiri maupun lingkungannya Baskoro, 2006. Mustaruddin 2006 mengatakan pemanfaatan sumberdaya ikan harus
sepadan dengan status stok sumberdaya ikan yang dimanfaatkan tersebut. Sebagai langkah awal, perlu ditetapkan acuan bagi :
1 jenis dan ukuran ikan yang boleh dimanfaatkan;
2 alat tangkap dan armada penangkapan yang diperbolehkan;
3 syarat-syarat teknis penangkapan yang harus dipenuhi oleh nelayan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4
sifat ramah lingkungan dari kegiatan penangkapan; dan 5
daerah, jalur dan waktu penangkapan. Berkaitan dengan alat tangkap yang diperbolehkan di atas, Mustaruddin
2006 juga mengatakan bahwa alat tangkap ramah lingkungan merupakan jenis teknologi penangkapan ikan yang tidak merusak ekosistem dan layak untuk
dikembangkan. Suatu alat tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan apabila
memenuhi 9 kriteria, yakni : 1
mempunyai selektivitas yang tinggi; 2
tidak merusak habitat; 3
menghasilkan ikan berkualitas tinggi; 4
tidak membahayakann nelayan; 5
produksi tidak membahayakan konsumen; 6
by catch rendah; 7
dampak ke biodiversity rendah; 8
tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi; dan 9
dapat diterima secara sosial. Pemanfaatan sumberdaya dapat pulih seperti ikan atau udang, laju tingkat
pemanfaatannya tidak boleh melebihi kemampuan pulih potensi lestari sumberdaya tersebut dalam periode tertentu.
Selain itu, dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut, prinsip pendekatan berhati-hati precautionary
approach perlu dipertimbangkan, mengingat sifat-sifat sumberdaya laut yang sangat dinamis dan rentan terhadap kerusakan lingkungan Dahuri, 2003.
Pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan juga dapat dilakukan terhadap jasa-jasa lingkungan terutama untuk pengembangan
pariwisata. Melalui pembangunan kepariwisataan, semua objek dan daya tarik wisata bahari, seperti keindahan pantai, keragaman flora dan fauna yang terdapat
di terumbu karang dan hutan mangrove dapat dikomersialkan untuk menghasilkan devisa negara serta pendapatan masyarakat lokal di kawasan pesisir secara
berkelanjutan Dahuri, 2003.
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di pelabuhan Belawan, Sumatera Utara yang merupakan tempat pendaratan hasil tangkapan ikan kapal-kapal yang beroperasi di
sebagian perairan Selat Malaka pada lokasi yang ditunjukkan oleh Gambar 18. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan September 2010.
3.2 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1
Peta perairan Belawan, yang digunakan untuk menunjukkan lokasi saat dilakukannya penelitian;
2 Kamera digital, yang digunakan untuk mendokumentasikan tempat
penelitian, kapal sampel dan hasil tangkapannya; 3
Data sheet, yang digunakan untuk menulis segala hal yang berkaitan dengan penelitian untuk mempermudah pengumpulan data;
4 Komputer, yang digunakan untuk melakukan pengolahan data dan penyajian
hasil penelitian; 5
Alat tulis, yang digunakan untuk menulis informasi yang dibutuhkan pada data sheet; dan
6 Alat pengukur panjang meteran atau penggaris, yang digunakan untuk
mengukur ikan hasil tangkapan kapal sampel.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi
dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok Singarimbun, 1995.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuesioner
terhadap responden berupa posisi penangkapan, waktu operasi dan komposisi hasil tangkapan jenis dan jumlah ikan yang didaratkan di tempat pelelangan ikan
TPI. Penentuan responden dan sampel kapal dilakukan secara sengaja atau
purposive sampling dengan pertimbangan sebagai berikut : 1
Sampel kapal berbasis di PPS Belawan dan melakukan operasi penangkapan ikan di perairan Selat Malaka;
2 Sampel kapal layak beroperasi, yakni : a memiliki kekuatan struktur badan
kapal, b menunjang keberhasilan operasi penangkapan, c memiliki stabilitas yang tinggi, d memiliki fasilitas penyimpanan hasil tangkapan
ikan yang memadai Nomura dan Yamazaki, 1977; dan 3
Anak buah kapal ABK dari sampel kapal terpilih dapat memberikan informasi yang representatif dan komprehensif sesuai dengan kebutuhan
penelitian. Data hasil tangkapan yang dikumpulkan berasal dari 16 kapal penangkap
ikan yang terdiri dari 2 unit pukat ikan, 5 unit pukat udang, 5 unit pukat cincin dan 4 unit jaring insang.
Keempat jenis alat tangkap tersebut dipilih berdasarkan dominansinya di lokasi penelitian.
Posisi kapal dicatat pada saat operasi penangkapan dilakukan setting dan hauling. Posisi kapal ditentukan dengan menggunakan peta perairan Belawan
yang telah dipersiapkan sebelumnya. Komposisi jumlah berat dari masing-masing jenis spesies ikan yang
tertangkap dicatat berdasarkan akumulasi posisi penangkapan. Dalam penentuan ukuran hasil tangkapan tiap spesies, ditarik sampel sebanyak 5-20 secara acak dari
akumulasi posisi penangkapan masing-masing kapal sampel. Penentuan jumlah sampel ikan ini tergantung pada variasi ukuran ikan. Jika ukuran hasil tangkapan
dari spesies ikan tertentu cukup bervariasi, maka jumlah sampel ditentukan lebih banyak, dan sebaliknya jika ukuran ikan relatif homogen, maka jumlah sampel
ikan tidak perlu terlalu banyak. Data sekunder diperoleh dari dinas atau instansi-instansi terkait yang erat
kaitannya dengan penelitian ini. Data sekunder ini meliputi kondisi umum lokasi penelitian, data produksi dan upaya penangkapan bulanan dan tahunan selama 5
tahun terakhir, spesifikasi dan perkembangan unit penangkapan ikan nelayan dan alat tangkap.
3.4 Analisis Data
3.4.1 Hasil tangkapan
Data hasil tangkapan yang didaratkan dianalisis secara deskriptif dan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.
Data hasil tangkapan dianalisis untuk mengetahui komposisi jenis hasil tangkapan spesies, komposisi
berat hasil tangkapan menurut spesies dan ukuran spesies hasil tangkapan menurut skala ruang penyebaran daerah penangkapan dan waktu penangkapan.
3.4.2 Penentuan daerah penangkapan ikan potensial
Penentuan daerah penangkapan ikan potensial didasarkan pada dua indikator, yaitu jumlah tangkapan dan ukuran ikan yang tertangkap pada daerah
penangkapan. Jumlah tangkapan masing-masing jenis ikan pada setiap daerah penangkapan dibandingkan dengan nilai produktivitas atau Catch per Unit Effort
CPUE rata-rata. Nilai CPUE rata-rata ini dihitung berdasarkan data time series produksi dan upaya penangkapan selama 5 tahun terakhir dengan membandingkan
antara jumlah hasil tangkapan dengan jumlah hari melaut. Bila hasil tangkapan pada posisi daerah penangkapan tertentu lebih besar dari CPUE rata-rata atau
sebagian besar alat tangkap yang beroperasi di daerah penangkapan ikan tersebut memiliki CPUE yang lebih besar daripada CPUE rata-rata, maka hasil tangkapan
dapat dikategorikan banyak dan diberi bobot 5. Bila hasil tangkapan lebih rendah atau sama dengan CPUE rata-rata atau sebagian kecil alat tangkap yang beroperasi
di daerah penangkapan ikan tersebut memiliki CPUE yang lebih kecil daripada CPUE rata-rata, maka hasil tangkapan termasuk dalam kategori rendah dan diberi
bobot 3 Tabel 2.
Tabel 2 Evaluasi jumlah tangkapan jenis ikan tertentu pada berbagai lokasi
penangkapan
Posisi Penangkapan
Perbandingan Tangkapan C
terhadap CPUE Rata-Rata
Kategori Bobot
Keterangan
DPI
-1
. .
. .
DPI
-n
C CPUE rata-rata
C ≤ CPUE rata-rata Banyak
Rendah 5
3 CPUE
rata-rata untuk setiap jenis
ikan dihitung
berdasarkan data
produksi dan upaya penangkapan selama
5 tahun terakhir
Ket : C = tangkapan kgtrip
Ukuran panjang individu ikan dievaluasi hanya berdasarkan pengamatan visual untuk menentukan kelompok ikan dewasa dan juvenile belum dewasa.
Jika ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan ukuran dewasa, maka diberi bobot yang lebih besar dan daerah penangkapan tersebut dikategorikan potensial, tetapi
jika sebaliknya, maka diberi bobot yang lebih rendah dan daerah penangkapan tersebut dikategorikan kurang potensial Tabel 3.
Ukuran ikan yang dikategorikan sudah dewasabelum dewasa juvenile ditentukan dengan melihat
ukuran panjang ikan yang tertangkap dan membandingkannya dengan ukuran ikan tersebut saat pertama kali mencapai kematangan gonad length of maturity yang
diambil dari hasil penelitian terdahulu melalui situs Fishbase dan jurnal ilmiah.
Tabel 3 Evaluasi hasil tangkapan jenis ikan tertentu pada berbagai daerah
penangkapan berdasarkan kategori ukuran dewasa dan belum dewasa
Posisi Penangkapan
Persentase ukuran panjang ikan dewasa
Bobot Keterangan
DPI
-1
. .
. DPI
-n
Ukuran panjang dewasa 50
Ukuran panjang dewasa ≤ 50 5
3 Ukuran panjang ikan
sudah dewasabelum dewasa
ditentukan berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya
Pengaruh kedua indikator penentu DPI potensial diasumsikan sama, sehingga bobot masing-masing indikator pada DPI yang sama dapat dijumlahkan.
Jumlah bobot yang lebih besar menunjukkan potensi DPI yang lebih bagus dibandingkan dengan jumlah bobot yang lebih kecil.
2001, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 91.881 jiwa. Luas wilayahnya adalah 26,25 km
2
dengan kepadatan penduduknya adalah 3.500,23 jiwa per km
2
. PPS Belawan memiliki fasilitas pokok dermaga, jalan pelabuhan, alur
pelayaran, lahan pelabuhan, jetty dan turaprevetment. Fasilitas fungsionalnya
adalah kantor pelabuhan, tempat pelelangan ikan, transit sheed, cold storage, rambu suar, APMS, SPDN, kantor bersama samsat, bus pegawai dan pabrik es.
Fasilitas penunjangnya adalah kios waserda, masjid PPS Belawan, guest house dan balai pertemuan nelayan.
4.2 Keadaan Umum Perikanan
4.2.1 Unit penangkapan ikan
Jumlah armada kapal perikanan yang berbasis di PPS Belawan selalu berubah setiap tahun. Perkembangan jumlah kapal perikanan di PPS Belawan
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah kapal perikanan laut menurut ukuran kapal di PPS Belawan
periode 2005-2009
No. Tahun
Jumlah kapal unit pada ukuran GT Total unit
0-5 5-10
10-30 30-60
60-100 100
1 2005
87 229
50 50
38 79
533 2
2006 -
86 139
58 88
101 472
3 2007
- 117
213 48
49 79
506 4
2008 -
106 237
43 43
72 501
5 2009
- 106
237 43
43 72
501 Jumlah unit
87 644
876 242
261 403
2513 Perkembangan
- -30,03
21,78 -3,73
-7,35 -3,16
-22,49 Sumber : PPS Belawan, 2010 diolah
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa kapal yang berukuran 0-5 Gross Ton GT sudah tidak beroperasi lagi sejak tahun 2006. Kapal yang berukuran 5-10
GT mengalami penurunan rata-rata sebesar 30,03 dan penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2006. Kapal yang berukuran 10-30 GT mengalami peningkatan
rata-rata sebesar 21,78 dan peningkatan paling drastis terjadi pada tahun 2006. Kapal yang berukuran 30-60 GT mengalami penurunan rata-rata sebesar 3,73
dan penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2007. Kapal yang berukuran 60- 100 GT mengalami penurunan rata-rata sebesar 7,35 dan penurunan paling
drastis terjadi pada tahun 2007. Kapal yang berukuran lebih besar dari 100 GT mengalami penurunan rata-rata sebesar 3,16 dan penurunan paling drastis
terjadi pada tahun 2007. Secara umum jumlah kapal yang beroperasi di PPS
Belawan dari tahun 2005-2009 menurut ukuran kapalnya mengalami penurunan. Kapal yang mengalami peningkatan paling besar per tahunnya hanya kapal yang
berukuran 10-30 GT, sedangkan kapal yang mengalami penurunan paling besar per tahunnya adalah kapal yang berukuran 5-10 GT.
Ada lima jenis alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan di PPS Belawan yaitu pukat cincin, pukat ikan, jaring insang, pancing dan lampara
dasarpukat udang. Jumlah alat tangkap ini juga berubah-ubah setiap tahun.
Perkembangan alat tangkap di PPS Belawan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah unit penangkapan perikanan laut menurut jenis alat tangkap di PPS Belawan periode 2005-2009
Jenis alat tangkap
Jumlah alat tangkaptahun unit Perkembangan
2005 2006
2007 2008
2009 Pukat ikan
Pukat udang Pukat cincin
Jaring insang Pancing
99 178
188 55
13 147
57 231
33 4
117 97
237 48
7 114
103 239
41 4
114 103
239 41
4 0,88
-33,04 4,40
-10,50 -51,43
Jumlah unit 533
472 499
501 501
Sumber : PPS Belawan, 2010 diolah
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa jumlah alat tangkap pukat ikan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,88 dan peningkatan paling pesat
terjadi pada tahun 2006. Pukat udang mengalami penurunan rata-rata sebesar
33,04 dan penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2006. Pukat cincin
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4,40 dan peningkatan paling pesat terjadi pada tahun 2006. Jaring insang mengalami penurunan rata-rata sebesar
10,50 dan penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2006. Pancing
mengalami penurunan rata-rata sebesar 51,43 dan penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2006. Secara umum jumlah alat tangkap yang beroperasi di
Keterangan : a
: sewakan otter board b
: sayap wing c
: badan body d
: kantong cod end
Keterangan : a
: sayap wing b
: badan body c
: perut belly d
: kantong cod end
penjarangnya diperpanjang sehingga menjadi 23 dari seluruh panjang jaring. Bahan untuk pengapit dari benang katun, tetapi sekarang umumnya menggunakan
benang sintetik nilon. Penjarang adalah bagian jaring yang bermata paling besar dan fungsinya untuk menggalang ikan-ikan yang telah terkurung. Tali pelampung
atau disebut tali kajar lampung terdiri dari dua utas tali yang diikat menjadi satu. Tali pemberat biasanya disebut tali kajar batu. Tali kajar batu sebelah luar
diikatkan dengan bagian jaring. Tali cincin berujung pada sudut atas luar sentung yang selanjutnya dilakukan dalam cincin-cincin sampai pada akhir bagian bawah
pengapit atau kadang lebih sedikit. Fungsinya sebagai pengembang dan mengkerutkan sentung sehingga membentuk kantong. Pelampungnya terbuat dari
kayu pulai atau bahan lain yang mudah terapung atau dari bahan sintetik bergaris tengah 7 cm dan panjang 10 cm. Pemberat dibuat dari timah hitam yang diberi
lubang di bagian tengahnya, panjangnya 7,5 cm, berat 2 ons dan dipasang pada bagian luar kajar bawah. Cincinnya dibuat dari besi atau kuningan. Cincin ini
diikatkan pada tali kajar bawah dengan sepotong tali yang panjangnya sekitar 20 cm, jarak antara cincin yang satu dengan lainnya 20 kok 20 cm x 18 cm. Nong
adalah lampu yang diletakkan pada pelampung yang fungsinya untuk mengetahui letak ujung jaring pada waktu penangkapan diadakan atau sebagai pedoman pada
waktu operasi penangkapan. Alat tangkap ini dioperasikan dengan cara mengelilingi kawanan ikan. Ketika kawanan ikan dan arah gerakannya telah
diketemukan dan demikian juga arah arus, maka jaring segera diturunkan dimulai dari lampu nong yang diikatkan pada perpanjangan kajar pelampung, kemudian
bagian sentung, selanjutnya penjapit dan terakhir penjarang. Bila kedua ujung luar jaring diketemukan, maka dimulailah penarikan jaring ke atas perahu dimulai
dari bagian penjarang. Setelah penarikan penjarang telah sampai dibatas tali cincin, mulailah penarikan tali cincin sampai habis dan terbentuk kantong yang
menyerupai mangkok terbalik Gambar 21.
Keterangan : A
: sentung kantong B
: pengapit C
: penjarang a
: tali pembatu b
: pelampung c
: tali pelampung d
: kajar benang e
: pemberat batu f
: kajar batu g
: tali cincin h
: cincin i
: nong lampu
Keterangan : a
: pelampung tanda b
: tali selambar c
: pelampung d
: timah pemberat e
: pemberat jangkar
cincin mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5,11 dan peningkatan paling pesat terjadi pada tahun 2006.
Nelayan yang mengoperasikan pukat ikan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,42 dan peningkatan paling pesat
terjadi pada tahun 2006. Nelayan yang mengoperasikan jaring insang mengalami penurunan rata-rata sebesar 4,28 dan penurunan paling drastis terjadi pada
tahun 2006. Nelayan yang mengoperasikan pancing mengalami penurunan rata- rata sebesar 26,82 dan penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2006.
Nelayan yang mengoperasikan pukat udang mengalami penurunan rata-rata sebesar 21,07 dan penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2006. Secara
umum jumlah nelayan di PPS Belawan pada tahun 2005-2009 mengalami penurunan. Jumlah nelayan yang paling pesat peningkatannya adalah nelayan
yang mengoperasikan pukat cincin dan merupakan nelayan yang paling banyak jumlahnya di PPS Belawan, sedangkan nelayan yang mengoperasikan pancing
mengalami penurunan yang paling drastis yang jumlahnya menurun setiap tahun dan merupakan nelayan yang paling sedikit jumlahnya di PPS Belawan.
Tabel 6 Jumlah nelayan di PPS Belawan periode 2005-2009
Kategori nelayan
Jumlah nelayan orang pada tahun Perkem-
bangan 2005
2006 2007
2008 2009
Pukat ikan Pukat udang
Pukat cincin Jaring insang
Pancing 1.428
1.424 3.928
330 65
1.769 604
5.530 198
32 1.996
1.080 4.975
288 28
1.684 950
5.393 335
24 1.684
950 5.393
335 24
2,42 -21,07
5,11 -4,28
-26,82 Jumlah orang
7.175 8.133
8.367 8.386
8.386 Sumber : PPS Belawan, 2010 diolah
Kapal pukat cincin dioperasikan oleh sekitar 20-23 orang nelayan dengan pembagian kerja 1 orang nahkoda, 1 orang wakil nahkoda, 1 orang kepala kamar
mesin, 1 orang juru masak dan sisanya adalah anak buah kapal. Kapal pukat ikan dioperasikan oleh sekitar 12-17 orang nelayan dengan pembagian kerja 1 orang
nahkoda, 1 orang wakil nahkoda, 1 orang kepala kamar mesin, 1 orang juru masak dan sisanya adalah anak buah kapal. Kapal pukat udang dioperasikan oleh sekitar
8-11 orang nelayan dengan pembagian kerja 1 orang nahkoda, 1 orang wakil nahkoda, 1 orang kepala kamar mesin, 1 orang juru masak dan sisanya adalah