Pengaruh Curah Hujan Terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan

telah ditentukan oleh data digital satelit. Metode yang digunakan dalam pemantauan titik panas hotspot adalah metode penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Hotspot adalah titik panas yang dapat diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara umum di berbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan menggunakan satelit. Salah satu perangkat yang digunakan dalam memantau kebakaran hutan dan lahan adalah Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer MODIS. MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing System EOS Terra satelitte, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration NASA. Menurut Davis et al. 2009 titik hotspot dideteksi oleh MODIS menggunakan Terra EOS AM dan Aqua EOS PM dari NASA Earth Observing System EOS. Lintasan orbit satelit Terra adalah dari utara ke selatan memotong garis khatulistiwa pada pagi hari. Satelit Aqua melintas dari selatan ke utara melewati garis khatulistiwa pada siang hari menghasilkan data tampilan secara global setiap 1 sampai 2 hari. Satelit Terra diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan satelit Aqua diluncurkan pada 4 Mei 2002 FIRMS 2012. Satelit Terra melintasi Provinsi Riau pada jam 15.0 0−16.00 setiap hari, sementara satelit Aqua melintasi Provinsi Riau pada jam 18.00−19.00. MODIS akan mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang dideteksi adalah 330 K untuk sebuah hotspot. Hotspot MODIS terdeteksi pada ukuran 1 km x 1 km atau 1 km 2 sehingga setiap hotspot atau kebakaran yang terdeteksi diwakili oleh 1 km piksel. MODIS memiliki beberapa kelebihan yaitu lebih banyaknya spektral panjang gelombang dan lebih telitinya cakupan lahan serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan FIRMS 2012.

2.3 Pengaruh Curah Hujan Terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan

Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah dan diukur sebagai tinggi air dalam satuan mm milimeter sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan peresapan atau perembesan ke dalam tanah Sukmawati 2006. Menurut Triani 1995 faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap luas areal terbakar adalah musim kemarau yang terlalu panjang. Sebagian besar hujan terjadi akibat penurunan suhu pada arus udara yang naik pada lereng pegunungan atau oleh adanya perbedaan pemanasan lokal antara suatu tempat dengan tempat yang lain. Keadaan tersebut masing-masing akan menimbulkan sirkulasi udara untuk mencapai keseimbangan hingga memungkinkan memberikan dampak pola cuaca lokal. Menurut Bruce dan Clark 1997 dalam Ambarwati 2008 curah hujan merupakan adalah salah satu unsur cuaca yang sangat mempengaruhi iklim di Indonesia. Curah hujan memiliki keragaman yang besar menurut ruang dan waktu. Keragaman ruang curah hujan menurut ruang dan waktu sangat dipengaruhi oleh letak geografi, topografi, ketinggian tempat, arah angin umum, dan letak lintang. Aldrian dan Susanto 2003 membagi pola iklim di Indonesia menjadi tiga yaitu zona A selatan Indonesia dari Sumatera bagian selatan ke Pulau Timor, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi dan sebagian dari Irian Jaya, zona B Indonesia baratdaya, Sumatra bagian utara dan Kalimantan bagian timur laut, dan zona C Maluku dan sebagian dari Sulawesi Gambar 2. Gambar 2 Pembagian wilayah iklim di Indonesia Aldrian dan Susanto 2003 Zona A merupakan wilayah dengan curah hujan maksimum pada bulan DesemberJanuariFebruari DJF dan minimum pada bulan JuliAgustusSeptember JAS. Hal ini mengilustrasikan dua rezim monson: monson basah dari November hingga Maret NDJFM dan monson kering dari Mei hingga September MJJAS. Siklus tahunan zona B mempunyai dua puncak pada bulan OktoberNovemberDesember OND dan juga pada bulan Lint ang Bujur MaretAprilMei MAM. Perbedaan yang cukup mencolok terdapat di zona C dimana daerah ini mempunyai satu puncak pada bulan MeiJuniJuli Gambar 3 Aldrian dan Susanto 2003. a b c Gambar 3 Grafik Curah hujan pada 3 zona iklim di Indonesia Aldrian dan Susanto 2003: a zona A, b zona B, c zona C Tjasyono 2004 menyatakan Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi tiga iklim utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun yaitu: 1 Pola hujan monsun, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau, tipe curah hujan yang bersifat unimodial satu puncak musim hujan, musim hujan pada bulan Desember-Januari-Februari DJF dan musim kemarau pada bulan Juni −Juli−Agustus JJA. 2 Pola hujan equatorial, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun berhujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober. 3 Pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial satu puncak hujan, tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun Gambar 4. Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan kejadian kebakaran hutan dan curah hujan merupakan faktor yang paling tinggi dalam menentukan akumulasi bahan bakar Syaufina 2008. Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan yaitu iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, iklim menentukan jangka waktu dan keparahan musim kebakaran, cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar, dan cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan Syaufina 2008. Gambar 4 Pola penyebaran curah hujan di Indonesia Tjasyono 2004 Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot berkurang bahkan tidak ada sama sekali sebaliknya pada saat curah hujan rendah atau tidak terjadi hujan maka jumlah hotspot akan meningkat Syaufina 2008. Semakin tinggi curah hujan maka kelembaban bahan bakar akan semakin tinggi begitu juga sebaliknya jika curah hujan sedikit maka tingkat kelembaban bahan bakar menjadi rendah. Semakin rendah kelembaban bahan akan memudahkan dalam terjadinya proses pembakaran Septicorini 2006. Menurut Suratmo 1985 dalam Handayani 2005 menyatakan bahwa cuaca atau iklim merupakan faktor yang sangat menentukan kadar air bahan bakar, terutama peranan dari hujan. Rastioningrum 2004 yang menunjukkan bahwa bahan bakar dengan kadar air sebesar 30, 20 dan 10 dapat terbakar lebih baik dari 50. Pada kadar air 10 bahan bakar daun dapat terbakar 100. Menurut Mackinno et al. 1997 bulan basah ditandai dengan curah hujan 200 mmbulan, sedangkan bulan kering ditandai oleh curah hujan 100 mmbulan.

2.4 SST dan Anomali SST