musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun berhujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial dua puncak hujan yang
biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober Tjasyono 2004.
5.2.2 Sebaran hotspot di Riau
Pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api, namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah
hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas Anderson et al. 1999 dalam Heryalianto 2006. Hotspot adalah titik panas yang diindikasikan sebagai
lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara umum diberbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan menggunakan
satelit. Riau merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang setiap tahunnya
terdeteksi adanya hotspot. Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang
tidak hanya terjadi di dalam negeri namun hingga luar batas negara. Gambar 7 memperlihatkan bahwa jumlah hotspot di Riau pada tahun 2001 sampai dengan
2009 bersifat fluktuatif. Jumlah hotspot tahun 2001 sampai dengan 2005 mengalami peningkatan setiap tahunnya dari 1.178 titik 2001, 4.423 titik
2002, 5.190 titik 2003, 6.370 titik 2004, dan 17.534 titik 2005. Jumlah hotspot tertinggi di Provinsi Riau terdapat pada tahun 2005 17.534 titik. Hal ini
bersesuaian dengan tingginya luas areal terbakar di Riau yang terjadi pada tahun 2005 yang mencapai 24.500 ha yaitu pada areal IUPHHK-HA luas areal terbakar
sebesar 1.500 ha, IUPHHK-HT sebesar 7.000 ha, perkebunan sebesar 10.000 ha, dan areal penggunaan lain sebesar 6.000 ha Dishut Provinsi Riau 2006. Luasan
areal terbakar di Riau pada tahun 2005 ini adalah yang terluas dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya Putra 2012. Kenaikan jumlah hotspot ini diduga
karena konversi lahan yang terjadi di Provinsi Riau dimana pada proses pengkonversian lahan sering menggunakan pembakaran. Selain itu pada area
hutan, penutupan lahan hutan rawa sekunder juga mengalami kenaikan jumlah hotspot.
Putra 2012 menyatakan jumlah hotspot pada tahun 2005 di Riau lebih banyak daripada tahun 2000 yang disebabkan oleh banyaknya lahan yang
dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan banyaknya areal yang terbakar di areal hutan dan areal non hutan. Hal ini dikarenakan pada areal non hutan berupa
tanah terbuka memiliki faktor-faktor yang menyebabkan rentannya terjadi kebakaran hutan. Menurut Wibowo 2003, faktor utama yang mempengaruhi
perilaku kebakaran hutan adalah bahan bakar kadar air, jumlah, ukuran, dan susunan bahan bakar dan kondisi cuaca suhu, curah hujan, kelembaban, dan
angin serta topografi. Pada tahun 2006 sampai dengan 2007 jumlah titik hotspot mengalami penurunan dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008
sampai dengan 2009. Gambar 8 menunjukkan bahwa kejadian kebakaran yang paling tinggi di Riau terjadi pada tahun 2005 17.534 titik hotspot diikuti tahun
2009 10.295 titik hotspot. Pendugaan titik api hotspot memiliki kekurangan yakni dalam hal akurasi
data. Oleh sebab itu perlu dilakukan seleksi terhadap data hotspot, salah satunya adalah dengan memilih data hotspot yang memiliki nilai kepercayaan confidence
tinggi. Melalui cara tersebut maka ketidakakuratan data dapat diminimalisir. Menurut Adinugroho et al. 2005, untuk menghindari terjadinya kemungkinan
salah perkiraan hotspot semisal bocornya cerobong api dari tambang minyak, diperlukan upaya penggabungan overlay antara data hotspot dengan peta
penutupan lahan atau peta penggunaan lahan dengan menggunakan sistem informasi geografis serta dengan melakukan cek lapangan ground surveying.
Data hotspot yang digunakan pada penelitian ini memiliki nilai kepercayaan ≥
50 untuk meminimalisir ketidakakuratan data hotspot tersebut.
5.2.3 Pengaruh curah hujan terhadap jumlah hotspot