Putra 2012 menyatakan jumlah hotspot pada tahun 2005 di Riau lebih banyak daripada tahun 2000 yang disebabkan oleh banyaknya lahan yang
dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan banyaknya areal yang terbakar di areal hutan dan areal non hutan. Hal ini dikarenakan pada areal non hutan berupa
tanah terbuka memiliki faktor-faktor yang menyebabkan rentannya terjadi kebakaran hutan. Menurut Wibowo 2003, faktor utama yang mempengaruhi
perilaku kebakaran hutan adalah bahan bakar kadar air, jumlah, ukuran, dan susunan bahan bakar dan kondisi cuaca suhu, curah hujan, kelembaban, dan
angin serta topografi. Pada tahun 2006 sampai dengan 2007 jumlah titik hotspot mengalami penurunan dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008
sampai dengan 2009. Gambar 8 menunjukkan bahwa kejadian kebakaran yang paling tinggi di Riau terjadi pada tahun 2005 17.534 titik hotspot diikuti tahun
2009 10.295 titik hotspot. Pendugaan titik api hotspot memiliki kekurangan yakni dalam hal akurasi
data. Oleh sebab itu perlu dilakukan seleksi terhadap data hotspot, salah satunya adalah dengan memilih data hotspot yang memiliki nilai kepercayaan confidence
tinggi. Melalui cara tersebut maka ketidakakuratan data dapat diminimalisir. Menurut Adinugroho et al. 2005, untuk menghindari terjadinya kemungkinan
salah perkiraan hotspot semisal bocornya cerobong api dari tambang minyak, diperlukan upaya penggabungan overlay antara data hotspot dengan peta
penutupan lahan atau peta penggunaan lahan dengan menggunakan sistem informasi geografis serta dengan melakukan cek lapangan ground surveying.
Data hotspot yang digunakan pada penelitian ini memiliki nilai kepercayaan ≥
50 untuk meminimalisir ketidakakuratan data hotspot tersebut.
5.2.3 Pengaruh curah hujan terhadap jumlah hotspot
Kondisi iklim selalu mengalami perubahan sesuai dengan tempat dan waktu. Pada setiap tempat kondisi iklimnya sangat berbeda, selain itu iklim pada hari ini
akan berbeda dengan iklim yang akan datang. Cuaca dan iklim berhubungan dengan kebakaran hutan melalui dua jalan, yaitu menentukan panjang dan
keparahan musim kebakaran serta menentukan jumlah bahan bakar hutan pada suatu daerah. Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi
dengan kejadian kebakaran hutan dan curah hujan merupakan faktor yang paling tinggi dalam menentukan akumulasi bahan bakar Syaufina 2008.
Musim kebakaran hutan berhubungan dengan pola hujan, terutama dengan kekeringan. Puncak musim kebakaran terjadi pada musim kemarau. Jika curah
hujan tinggi maka kelembaban akan tinggi sehingga kejadian kebakaran akan sulit. Menurut Mackinno et al. 1997 bulan basah ditandai dengan curah hujan
200 mmbulan, sedangkan bulan kering ditandai oleh curah hujan 100 mmbulan. Pada musim kering kelembaban udara sangat menentukan kadar air
yang dapat dijadikan sebagai indikator bahaya kebakaran. Pada Gambar 9 dapat dilihat semakin tinggi curah hujan maka jumlah
hotspot akan menurun dan sebaliknya jika curah hujan rendah maka jumlah hotspot akan meningkat. Jumlah hotspot tertinggi pada periode tahun 2001 sampai
dengan 2009 adalah 5.429 titik hotspot pada saat curah hujan 93 mm Februari 2005. Curah hujan tertinggi pada periode tahun 2001 sampai dengan 2009 adalah
622 mm dengan jumlah hotspot sebanyak 146 titik hotspot Oktober 2004. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah curah hujan maka jumlah titik hotspot
akan semakin tinggi dan sebaliknya semakin tinggi curah hujan maka jumlah hotspot akan semakin rendah. Jumlah hotspot tertinggi setiap tahunnya terjadi
pada bulan Februari, Juni, Juli, dan Agustus dimana pada bulan tersebut terjadi musim kemarau di Provinsi Riau Tabel 1 dan jumlah hotspot terendah setiap
tahunnya terjadi pada bulan Maret, Oktober, November, dan Desember pada saat terjadi musim hujan di Provinsi Riau Tabel 2.
Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan mempunyai kaitan erat dengan kejadian kebakaran. Faktor dominan yang menentukan potensi terjadinya
kebakaran adalah keadaan cuaca di mana kebakaran hutan sering terjadi atau cuaca yang cocok untuk terjadinya kebakaran hutan Brown dan Davis 1973.
Luas dan frekuensi kebakaran hutan tertinggi terjadi pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah kurang dari 60 mm, dimana pada periode tersebut terjadi
pengeringan bahan bakar yang intensif Syaufina 2008. Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan Analisis of Varian ANOVA
untuk mengetahui signifikan atau tidaknya hubungan antara parameter curah hujan bulanan dengan hotspot yang menunjukkan nilai P value= 0,000 Tabel 3.
Nilai P 0,05 0,000 menunjukkan bahwa parameter curah hujan berpengaruh pada taraf 0.05 terhadap parameter hotspot.
5.2.4 Pengaruh anomali SST terhadap curah hujan