sudah dijadikan kawasan lindung. Gejala perubahan penggunaan lahan dan kondisinya sampai tahun 2008 memberikan pemahaman bahwa konversi lahan
menjadi kawasan terbangun dan areal budidaya pertanian tidak dapat lagi dilakukan dalam luasan yang besar karena hutan yang tersisa sangat sedikit dan
berada pada kelerengan 45.
4.2. Pengaruh Perubahan penggunaan lahan terhadap hasil air
Hasil air suatu DAS sangat ditentukan oleh curah hujan yang jatuh di atasnya dan penggunaan lahan pada DAS tersebut dalam kaitannya dengan
siklus hidrologi DAS sehingga perlu kajian secara seksama mengenai keberadaan dari ketiga faktor ini. Curah hujan dan hasil air biasanya sejalan
dalam pengertian bahwa jika terjadi peningkatan curah hujan maka hasil airpun akan meningkat, demikian pula sebaliknya.
4.2.1. Curah Hujan
Hasil analisis curah hujan wilayah berdasarkan olah data program Arcview 3.3 disajikan pada lampiran 3 dengan gambaran umum rerata tahunan curah
hujan wilayah DAS Citarum adalah 2176 mmth yang sesuai dengan ciri curah hujan di wilayah Jawa Barat antara 2000
–3000 mmth. Berkaitan dengan penyediaan air irigasi maka perlu dipahami dampak iklim global terhadap curah
hujan di Indonesia khususnya di DAS Citarum berupa anomali iklim El Nino dan La Nina.
Irawan 2006 menyatakan bahwa kejadian El Nino biasanya diikuti dengan penurunan curah hujan dan peningkatan suhu udara, sedangkan kejadian La
Nina merangsang kenaikan curah hujan di atas curah hujan normal. Kedua Anomali iklim tersebut tidak menguntungkan bagi produksi pertanian karena
penurunan drastis curah hujan akibat El Nino dapat menimbulkan kegagalan panen akibat kekeringan, sedangkan kenaikan curah hujan akibat La Nina dapat
menimbulkan banjir dan merangsang peningkatan gangguan organism pengganggu tanaman. Umur tanaman pangan umumnya relatif pendek, maka
kedua anomali iklim tersebut biasanya menimbulkan dampak lebih besar terhadap produksi tanaman pangan daripada produksi tanaman tahunan seperti
perkebunan. Dampak El Nino pada DAS Citarum dapat terlihat pada rendahnya curah
hujan pada tahun 2006 sebesar 1462 mm dengan 7 bulan kering 5 bulan kering
berturut-turut dan menyisahkan 2 bulan basah, mengakibatkan sebagian petani di daerah hulu tidak dapat mengusahakan sawahnya sehingga areal persawahan
dialihfungsikan sementara untuk tanaman pertanian lahan kering lainnya. Anomali La Nina terakhir di Indonesia pada tahun 1999.
Adanya anomali iklim tersebut memberikan suatu peringatan agar pengelolaan DAS Citarum harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan
karena kondisi saat ini yang lebih didominasi oleh kawasan pertanian akan sangat mudah mengalami degradasi apalgi jika kegiatan pertanian dilakukan
tanpa memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air. Wilayah DAS yang telah mengalami degradasi akan sangat peka terhadap penyimpangan iklim yang
terjadi pada wilayah tersebut. Curah hujan bulanan terendah yang terjadi pada DAS Citarum adalah 0 mm
sedangkan curah hujan tertinggi 554 mm, sedangkan berdasarkan rerata bulanan dari tahun 2002-2009, curah hujan terendah pada bulan agustus
sebesar 26 mm dan tertinggi pada bulan maret sebesar 308 mm. Hasil ini menunjukkan ciri umum dari gejala curah hujan di Indonesia yang termasuk
dalam Zona Iklim tropis dengan ciri variasi musiman dimana curah hujan sangat tinggi saat musim hujan dan sangat rendah saat musim kemarau. Nilai Koefisien
varian dari rerata bulanan curah hujan DAS Citarum adalah 62.74 dengan nilai rata-ratanya sebesar 181.25 mm.
Menurut Metode Oldeman 1975 dalam Tjasyono 2004 bulan basah didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai jumlah curah hujan sekurang-
kurangnya 200 mm, sedangkan bulan kering didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai jumlah curah hujan kurang dari 100 mm. Pembagian bulan basah
dan bulan kering menurut Oldeman 1975 didasarkan pada asumsi bahwa untuk pertumbuhan tanaman palawija diperlukan curah hujan sekurang-kurangnya 100
mm tiap bulan sedangkan jumlah curah hujan sebesar 200 mm tiap bulan dipandang cukup untuk membudidayakan padi sawah.
Nilai rerata bulanan curah hujan DAS Citarum selama 8 tahun diperoleh 6 bulan basah yaitu pada bulan Januari, Februari, Maret, April, November, dan
Desember, 4 bulan kering yaitu bulan Juni, Juli, Agustus,dan September, dan 2 bulan lembab yakni bulan Mei peralihan bulan basah ke bulan kering dan bulan
Oktober peralihan bulan kering ke bulan basah. Kelebihan air pada bulan basah jika dapat ditampung pemanenan hujan maka dampak kekurangan air yang
akan dihadapi pada bulan-bulan kering dapat di atasi. Hal ini tergambar dari nilai
rata-rata curah hujan untuk seluruh bulan sebesar 181 mmbln. Selain itu, untuk mengatasi kekeringan yang panjang dapat puladitempuh dengan alternatif hujan
buatan namun memerlukan biaya yang tinggi. Irawan 2006 mengemukakan bahwa dalam rangka mengantisipasi
fenomena iklim terutama El Nino, diperlukan kebijakan penanggulangan yang bersifat menyeluruh dan melibatkan banyak pihak yang relevan mengingat
fenomena anomali iklim dan konsekwensinya meliputi berbagai spek yang luas. Pada intinya kebijakan penanggulangan anomali iklim perlu menempuh beberapa
upaya yaitu: 1 mengembangkan system deteksi dini anomali iklim yang meliputi waktu kejadian, lama kejadian, tingkat anomali, potensi dampak terhadap
ketersediaan air dan produksi pangan, dan sebaran wilayah rawan, 2 mengembangkan sistem diseminasi informasi anomali iklim secara cepat dengan
jangkauan yang luas kepada petani dan berbagai pihak serta instansi terkait, dan 3 mengembangkan, mendiseminasikan dan memfasilitasi petani untuk dapat
menerapkan teknik budidaya tanaman yang adaptif terhadap situasi kekeringan, misalnya dengan mengatur pola tanam padi-padi-padi untuk kasus La Nina dan
pola tanam palawija-padi-palawija untuk kasus El Nino. Disamping itu perlu ditingkatkan
pembangunan dan
pemeliharaan jaringan
irigasi serta
mengembangkan teknik pemanenan curah hujan misalnya melalui pembuatan embung air.
4.2.2. Curah hujan dan hasil air
Curah hujan merupakan suatu fenomena alam yang sulit dikendalikan sehingga dikategorikan sebagai suatu variabel bebas, sedangkan hasil air
merupakan variabel tidak bebas yang ditentukan oleh curah hujan dan siklus hidrologi yang terjadi pada suatu DAS yang ditentukan oleh karakteristik DAS
tersebut. Penggunaan lahan merupakan karakteristik DAS yang selalu berubah dalam jangka waktu yang cepat sedangkan karakteristik lainnya akan mengalami
perubahan pada waktu yang lama sehingga untuk melihat pengaruh perubahan karakteristik DAS terhadap hasil air digunakan pendekatan dengan melihat
kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Uraian ini memberikan suatu kerangka analisis bahwa perubahan hasil air pada DAS
secara umum dipengaruhi oleh curah hujan dan perubahan penggunaan lahan. Curah hujan dan hasil air selalu berbanding lurus dimana setiap peningkatan
curah hujan akan berakibat pada peningkatan hasil air. Sebelum melihat peranan
perubahan penggunaan lahan terhadap hasil air, terlebih dahulu dilakukan evaluasi untuk melihat nilai hubungan yang terjadi antara curah hujan dan hasil
air dan analisis regresi linier sederhana digunakan untuk melihat hubungan ini. Kondisi yang terjadi pada DAS Citarum dari tahun 2002 sampai tahun 2009
tentang hubungan antara rata-rata curah hujan dan hasil air bulanan disajikan pada Gambar 6 sedangkan data bulanannya dari tahun 2002-2009 disajikan
pada lampiran 4 dan lampiran 5.
Gambar 6. Rata-rata curah hujan wilayah juta m
3
bln dan hasil air bulanan juta m
3
bln pada DAS Citarum untuk data dari tahun 2002-2009 Grafik pada Gambar 6 menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan dan hasil
air bulanan tertinggi berada pada bulan Maret sedangkan terendah pada bulan Agustus. Pergerakan nilai rata-rata bulanan curah hujan dan hasil air seperti
pada Gambar 6 sangat jelas menunjukkan pengaruh musiman antara musim hujan dan musim kemarau. Hasil air tahunan terus meningkat dengan
bertambahnya curah
hujan tahunan
mengikuti persamaan
regresi y
i
=26.87+0.48x
i
; x
i
=curah hujan dalam juta m
3
bln, y
i
=hasil air dalam juta m
3
bln dengan nilai korelasi 0.87 sedangkan Uji t-student menunjukkan nilai t-stat 2.42
t-tab 2.11 pada taraf kepercayaan 95. Hubungan secara statistik ini dapat memberikan pemahaman bahwa terjadi suatu hubungan korelasi yang sangat
kuat antara curah hujan dan hasil air namun kondisi biofisik DAS masih memegang peranan penting dalam mengatur siklus air yang dibuktikan oleh hasil
analisis t-student dengan perbedaan yang nyata antara curah hujan dan hasil air. Fluktuasi curah hujan tidak hanya terjadi pada nilai bulanan tetapi juga pada
siklus tahunan, seperti disajikan pada Gambar 7.
Jan Feb
Mar Ap
Mei Jun
Jul Ags
Sep Okt
Nov Des
curah hujan 1243. 1376. 1386. 1250. 508.3 340.0 222.4 117.7 251.5 632.1 1194. 1284. hasil air
581.1 716.2
762.8 708.5
429.8 238.1
131.8 75.11
98.22 195.9
405.5 641.3
0.00 200.00
400.00 600.00
800.00 1000.00
1200.00 1400.00
1600.00 Juta
m
3
bln