PENYEBAB TERJADINYA BULLYING HASIL TEMUAN DAN ANALISIS

murid. 53 Beberapa penyebab terjadinya bullying di SMA Al Azhar 2 yang pernah menjadi pengalaman bullying dari informan “NE” dan “AM” sebagai berikut:

1. Hubungan Keluarga

Latar belakang seseorang memiliki perilaku bullying salah satunya adalah peranan kelurga. Keluarga sangat mempengaruhi perilaku bullying pada individu. Banyak orangtua yang menghukum anaknya dengan kekerasan meskipun si anak hanya melakukan kesalahan yang kecil. Sebenarnya ada berbagai tujuan kenapa orangtua melakukan kekerasan yakni ingin anaknya disiplin, supaya menuruti kata orangtua, supaya anaknya jera, paling parah lagi karena prestasi. 54 Ada beberapa alasan mengapa keluarga sangat berpengaruh terhadap pola asuh seorang anak untuk menjadi pelaku bullying, yang tampak bahwa hukuman dengan kekerasan akan membuat anak menjadi disiplin serta anak juga dapat belajar dari kesalahan. Tapi disisi lain, anak yang diperlakukan dengan kekerasan rentan menghadapi trauma, dendam, bahkan ketika dewasa ia cenderung suka melakukan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan. 55 beberapa diantaranya terjadi pada informan “NE” dan “AM”. Menurut informan “AM”, sejak kecil orangtua “AM” mendidiknya dengan pola asuh yang sedikit otoriter, bila “AM” dan kedua kakak nya membuat kesalahan terkadang orang tua nya menggunakan hukuman sebagai bentuk disiplin. 53 Sullivan, dkk, Bullying in Secondary Schools: What is Looks Like and How to Manage it Corwin Press, 2004 54 Beranda Agency, mengasuh dan mendidik buah hati tanpa kekerasan, PT. Gramedia, Jakarta, 2015, h.2 55 Ibid, h.5 “hahahah gue udah agak kebal sih kalau mereka ngomel marah, gue dari kecil sering dihukum. Bokap nyokap gue itu pake cara kalau bikin salah dihukum gitu, kalau bikin sesuatu yang baik ya dapet reward” 56 Menurut pengakuan “AM”, tindakan kasar sebagai hukuman dari orangtua nya sudah biasa ia rasakan, sebelumnya hukuman yang ia dapatkan tidak sampai terlalu parah, tetapi semakin lama semakin ayahnya geram “AM” sampai harus merasakan diusir dari rumah. Namun ibu nya selalu membela dirinya. “kalau gamparan tamparan dari bokap mah gue udah biasa sih.. sempet juga gue di usir dari rumah heheheh tapi nyokap belain waktu itu” 57 Informan “AM” menerima bahwa semua hukuman yang ia dapatkan memang setimpal dengan kenakalan yang sudah ia lakukan, namun pola asuh seperti ini membuat seorang anak tumbuh dengan sikap yang keras dan tidak merasa takut terhadap apapun diluar rumah. “ya gitu deh gue jadi berani sama orang lain..” 58 Menurut pengakuan “AM” hukuman dirumah tidak hanya ia dapatkan dari orangtuanya, tetapi tindak kekerasan seperti itu tetap ia dapatkan dari kakak nya setelah ayah “AM” meninggal dunia. Namun, karena “AM” menganggap yang menghukum hanya seorang kakak, ia berpikir masih bisa melawan dan tetap mencoba bersikap santai. “gue kayak agak bebas gitu bokap ngga ada, ngga ada yang gue takutin lagi, tapi ternyata gue malah digamparin kakak gue hahahah sama aja kena juga, tapi yaudah gue sih santai aja, makin gede gue makin bisa ngelaw an.” 59 56 Wawa ara Pri adi de ga I for a AM , Jakarta, Agustus 6 57 Wawancar a Pri adi de ga I for a AM 58 Wawancara Pri adi de ga I for a AM 59 Wawa ara Pri adi de ga I for a AM , Jakarta, 11 Agustus 2016 Terlihat raut wajah “AM” yang tiba-tiba berubah menjadi sedikit muram saat dirinya bercerita mengenai hal ini, 60 ia merasa menyesal karena selalu membuat ayahnya geram dan belum sempat menjadi anak yang baik selama semasa hidup ayahnya. “gue kayak nyesel kenapa gue ngga jadi anak baik dari dulu biar bokap ngga perlu maki-maki gue sampe darahnya harus tinggi dan sakit. Gue kadang suka nyesel dan mikir bokap ngga ada itu karena ulah gue” 61 Latar belakang pola asuh orangtua sebagai penyebab seseorang menjadi pelaku bullying bukan hanya dikarenakan cara didik yang otoriter, tetapi cara mendidik yang permissive terkadang dengan pola asuh yang serba membolehkan namun terkadang terlalu membatasi anak untuk berperilaku juga dapat menjadikan anak tumbuh dengan sikap yang menyimpang. Seorang anak akan meluapkan emosinya diluar rumah dengan orang yang tidak bersalah. Berbeda dengan informan “AM” yang di didik dengan hukuman oleh orangtuanya, informan “NE” justru lebih dibatasi untuk berperilaku. “NE” mengaku dirinya menjadi anak yang pendiam dirumah, namun bila sedang diluar rumah ia merasa bebas melakukan segala hal. Orangtua “NE” termasuk orangtua yang sangat memperhatikan perilaku anaknya, hanya saja karena selalu membatasi anak-anaknya berperilaku, membuat “NE” mencari kebebasan diluar rumah. “Dari kecil bokap selalu batasin apa-apa yang harus dan ngga harus dilakuin,” 62 60 Hasil Observasi Langsung de ga I for a AM , Jakarta, 11 Agustus 2016 61 Wawa ara Pri adi de ga I for a AM 62 Wawa ara Pri adi de ga I for a NE ,Jakarta, 8 Agustus 2016 Kesibukan “NE” diluar rumah membuat dirinya merasa bebas karena tidak ada yang membatasi apapun yang ingin ia lakukan, walaupun orangtua “NE” selalu memantau dirinya lewat telepon. “NE” mengaku jauhnya jarak rumah dan sekolah menjadi alasan ia lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah. “gue jarang dirumah, gue lebih banyak abisin waktu setiap hari itu disekolah, sampe rumah ya kira-kira jam tujuh malem karena lumayan jauh juga sekolah gue. Nah gue mulai deh nge- eksplor diri gue…” 63 Menurut pengakuan “NE”, karena dirinya lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, membuat dirinya menjadi anak yang membangkang, ia berani melawan orangtua walaupun masih dalam batas yang wajar. Saat SMA ia tidak mau disekolahkan di SMA Al Azhar 2 karena ingin bersekolah di sekolah negeri pilihannya seperti teman- temannya. Orangtua “NE” tetap menyekolahkan “NE” di SMA Al Azhar dengan keyakinan bahwa “NE” dapat di didik menjadi pribadi yang lebih baik dengan nilai-nilai keagamaan yang diberikan sekolah kepada murid. saat awal masuk sekolah, “NE” sering memberontak dan selalu melawan orangtuanya, ia ingin diberi kebebasan karena ia merasa sejak kecil selalu dibatasi keinginannya. “NE” mengaku kerap kali ia membohongi orangtuanya karena ia sering „cabut‟ sekolah entah kemana perginya asal tidak ke sekolah. “NE” menjadi anak yang sulit beradaptasi dengan lingkungan baru karena sejak kecil yang ia tahu lingkungan nya selalu dibatasi oleh orangtuanya. “Gue itu susah beradaptasi orangnya, gue susah nerima keberadaan orang baru dilingkungan gue, mungkin karena gue dari kecil lingkungan nya itu- itu aja kali ya..” 64 63 Wawa ara Pri adi de ga I for a NE , Jakarta, 8 Agustus 2016 64 Wawancar a Pri adi de ga I for a NE “…Gue susah nerima orang baru juga mungkin karena dari kecil apa-apa gue dibatasin sama orangtua gue, jadi kalau ada temen gue punya temen baru gue ngga suka yaudah gue musuhin…” 65 Penyebab seseorang anak menjadi pelaku bullying tidak terlepas dari pola asuh orangtua yang sangat berperan penting dalam mendidik tumbuh kembang anak. Penolakan, pelecehan abusive, kesalahan mendidik mistreatment, serta sikap keras orangtua terhadap anak cenderung menyebabkan anak bertindak agresif termasuk bullying. 66 ECOMAP INFORMAN Informan “AM” Pelaku laki-laki 65 Wawa ara Pri adi de ga I for a NE 66 Astuti, R.P. Meredam Bullying 3 Cara Efektif Mengatasi Kekerasan Pada Anak, 2008, Jakarta: PT. Grasindo Informan AM Ayah PB Ibu Y“ Kakak Perempuan NL Teman-teman Kakak Laki-laki TF Dari Ecomap informan “AM” dapat diketahui bahwa hubungan “AM” dengan keluarga tidak b egitu baik. Sejak kecil “AM” dididik dengan cara keras oleh ayahnya, sehingga saat “AM” besar ia tumbuh menjadi anak yang keras dan sering melawan orangtua nya sebagai bentuk pemberontakan. Begitu pula hubungan “AM” dengan kedua kakaknya, setelah ayah nya meninggal “AM” lebih sering mendapat tindak kekerasan dari kakak laki-lakinya bila ia melakukan kesalahan baik itu dirumah maupun di sekolah seperti pukulan dan hukuman-hukuman secara fisik lainnya, hal ini membuat “AM” tumbuh menjadi anak yang pendendam. Informan “NE” Pelaku Perempuan Dari hasil Ecomap pada informan “NE” dapat diketahui bahwa ayahnya perduli dengan “NE”, hanya saja “NE” menganggap sikap perduli ayahnya hanya sebagai Informa n NE Ayah AF I u ET Adik perempuan A“ Adik Laki- laki JF Teman- te a NE tekanan, begitupula hubungan “NE” dengan adik laki-lakinya, karena “NE” jarang di rumah membuat ia tidak begitu dekat dengan adiknya, namun dengan adik perempuan nya “NE” masih sering bercerita karena ia masih tidur satu kamar. “NE” merasa lebih dekat dengan teman-temannya karena ia lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman. Informan “ATC” Korban bullying Penjelasan dari ecomap informan “ATC” sebagai korban bullying bahwa hubungan antara dirinya dengan ayah kandungnya kurang baik, karena ayahnya tidak tinggal satu rumah dengan “ATC” saat ini, hal itu karena ayah dan ibu “ATC” yang sudah berpisah. Hubungan informan dengan kakak laki-laki juga kurang begitu baik karena keduanya jarang bertemu. “ATC” lebih banyak berinteraksi dengan Ibu dan teman- teman sekolahnya. Informa n ATC Ayah ATC Ibu ATC Kakak laki-laki GD Teman- te a ATC

2. Senioritas

Bullying di lembaga pendidikan dapat terjadi karena adanya superioritas dalam diri siswa, bullying adalah arogansi yang terwujud dalam tindakan. Remaja yang melakukan bullying memiliki hawa superioritas yang sering dijadikan topeng untuk menutupi ketidakmampuan dirinya. Pelaku bullying berdalih bahwa superioritas dianggap memperbolehkan remaja melukai seseorang yang mereka anggap lebih lemah padahal semuanya adalah dalih untuk merendahkan seseorang sehingga mereka merasa lebih unggul. 67 Adanya perbedaan kelas yang biasa disebut dengan senior dan junior secara tidak langsung memunculkan anggapan bahwa senior lebih berkuasa daripada juniornya. Senior yang menyalahartikan tingkatannya dalam kelompok, dapat memanfaatkannya untuk mem-bully junior. Hal tersebut dibenarkan oleh informan “AM” yang mengaku bahwa tingkat kuasa antar kelas memang benar adanya. Senior kelas tiga akan merasa menjadi yang paling berkuasa diantara kedua tingkat dibawahnya. “disekolah itu ada strata nya, kelas 1 itu budak, kelas 2 rakyat, kelas 3 raja. Jadi yang boleh makan di meja kantin itu cuma anak kelas 3 dan kelas 2 juga masih dikit yang makan di kantin.” 68 “senioritas buat gue sih wajar aja ya.. biar ade kelas tuh ngga belagu, jadi ada yang ditakutin gitu…” 69 67 Coloroso, Barbara. Stop Bullying Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah Hingga SMU, Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2007 68 Wawa ara Pri adi de ga I for a AM , Jakarta, 11 Agustus 2016 69 Wawa ara Pri adi de ga I for a AM Bentuk-bentuk senioritas yang sering terjadi di sekolah tidak selalu mengarah pada kekerasan, tetapi lebih pada agar junior menghormati seniornya, bersikap sopan santun serta tidak terkesan menantang. “biar mereka tau caranya ngehormatin orang yang lebih tua.. biasanya sih kayak harus nunduk kalau ketemu kakak kelas, harus nyapa kalau tau nama, kalau diem aja apalagi nyolot menantang ya pasti kena batunya.” 70 Menurut pengakuan “AM”, senioritas lebih difokuskan pada murid kelas satu yang baru masuk sekolah, dengan tujuan agar junior lebih menghormati senior yang lebih tua. “Tapi biasanya itu sih antar anak kelas satu sama kelas tiga, kelas dua mah kayak dilemma gitu ya, gabisa apa-apa, gaboleh nindas dan ga ditindas juga sih kebanyakan..” 71 Berbeda dengan in forman “NE” sebagai murid perempuan, “NE” mengaku bahwa senioritas antar siswa perempuan sudah didapatkan sejak kelas satu. Bukan hanya harus menghormati senior, tetapi juga harus memperhatikan penampilan. Menurut “NE”, murid kelas satu tidak diperbolehkan berpenampilan mencolok, tidak diperkenankan mengenakan seragam yang ketat dan pendek, serta tidak boleh membawa barang-barang yang menurut senior tidak pantas dibawa. “senioritas tuh lebih ke kayak ngajarin apa-apa aja yang harus dilakuin dan ngga dilakui n adek kelas…” 72 Menurut pengakuan “NE”, setiap tahunnya bentuk senioritas yang terjadi di sekolah sudah diawali pada masa awal tahun ajaran baru. Kelas tiga akan 70 Wawa ara Pri adi de ga I for a AM 71 Wawa ara Pri adi de ga I for a AM 72 Wawa ara Pri adi de ga I for a NE , Jakarta, 8 Agustus 2016 mengumpulkan adik-adik kelas satu untuk diperiksa apakah sudah ada yang melanggar aturan atau apakah ada junior yang berpenampilan tidak pantas. “ada waktu di mana kelas satu dikumpulin di satu kelas, itu cewek-cewek doang.. disitu kita periksain anak-anak kelas satu yang gaya nya udah ngocol tidak mematuhi aturan, udah dipotong pendek seragam nya, trus rok udah sepan ngatung, baju seragam ketat ada kupnat- an..” 73 Setelah diketahui beberapa junior berpenampilan yang tidak seharusnya, senior akan memerintahkan mereka beridiri di hadapan teman-teman kelas satu untuk dijadikan contoh bahwa mereka tidak pantas untuk ditiru. Senior akan dengan senang hati memaki-maki junior yang dipilih berdiri di depan kelas untuk diberitahu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama serta untuk mempermalukan mereka di hadapan teman-temannya. “Kalau ada kelas satu yang udah gaya-gayaan menentang kayak gitu kita suruh diri didepan kelas depan temen-temennya, kita malu-maluin, kita contohin seragam yang ngga boleh dipake tuh ya kayak gitu..” 74 “Disitu kita kasih tau buat ngga boleh dipake lagi, kalau besok-besok nya kita liat masih make ya terpaksa kita harus turun tangan lagi lah, malah seru ada mainan.” 75 Senioritas yang salah diartikan dan dijadikan kesempatan atau alasan untuk mem-bully junior terkadang tidak berhenti dalam satu periode saja. Hal seperti ini tidak jarang menjadi peraturan yang tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun kepada tingkatan berikutnya. Karakter individu atau kelompok juga sangat berpengaruh pada tindakan senioritas yang sering terjadi di sekolah-sekolah. 73 Wawa ara Pri adi de ga I for a NE , Jakarta, 8 Agustus 2016 74 Wawa ara Pri adi de ga I for a NE 75 Wawa ara Pri adi de ga I for a NE Menurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka didalam proses dominasi tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Kekerasan muncul sebagai upaya kelas dominan untuk melanggengkan dominasi atau kekuasaannya dalam strukur sosial. Jadi, kekerasan dan kekuasaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. 76

3. Rasa Dendam

Pelaku bullying umumnya bersifat temperamental. Mereka melakukan bullying terhadap orang lain sebagai pelampiasan kekesalan dan kekecewaannya. Ada kalanya karena mereka merasa tidak punya teman, sehingga ia menciptakan situasi bullying supaya memiliki „pengikut‟ dan kelompok sendiri. Bisa jadi mereka takut kembali menjadi korban bullying, sehingga lebih dulu mengambil inisiatif sebagai pelaku bullying untuk keamanan dirinya sendiri. Rasa dendam ingin membalas atas perlakuan kekerasan yang dialami biasanya muncul pada diri seseorang. Anak akan memiliki dorongan balas dendam pada anak- anak yang pemberani, bila ia memiliki kesempatan untuk membalas maka iapun langsung melampiaskan pada orang tuanya. Tetapi efeknya adalah anak juga akan melampiaskan kekerasan pada orang lain ketika orang tersebut berupaya menentangnya. 77 76 Nanang, M, Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, h. 39 77 Beranda Agency, mengasuh dan mendidik buah hati tanpa kekerasan, PT. Gramedia, Jakarta, 2015, h.8 Pelaku bullying kemungkinan besar juga sekedar mengulangi apa yang pernah ia lihat dan alami sendiri. Ia menganiaya anak lain karena mungkin ia sendiri dianiaya orangtuanya dirumah, atau pernah ditindas dan dianiaya anak lain yang lebih kuat darinya di masa lalu. Hal ini serupa dengan apa yang informan “AM” sampaikan, bahwa ia mem- bully junior karena ia pernah di bully oleh senior sebelumnya. Ia menganggap bahwa tindakan bullying senior kepada junior memang wajar terjadi. “kenapa gitu, soalnya dulu gue juga pernah ngalamin hal yang sama. Gue juga waktu kelas 1 makan di kantin trus gue disiram juga dikepala gue, gue juga disuruh makan yang di lantai. Ya gue mau ngga mau gue makan lah.. nah terus deh ke bawah berlanjut tradisi kayak gitu, ngga tau deh kalau sekarang. Pokoknya gue cuma nerusin apa yang udah gue rasain waktu gue masih jadi junior.” 78 Menurut “AM” tindakan bullying yang turun menurun memang biasa terjadi, rasa dendam yang di rasakan korban-korban bullying lah yang memunculkan sikap menindas selanjutnya. Penyebab terjadinya bullying tidak jarang dikaitkan dengan adanya tindak kekerasan yang dialami oleh pelaku dimasa sebelumnya. “Gue ditindas harus diem, gue lawan gue makin abis tertekan, ya pas gue jadi senior gue juga mau ngerjain junior gitu biar mereka juga ngerasain hal yang sama kaya yang gue rasain.” 79 Aksi bullying yang paling sering terlihat dan dianggap sebagai suatu tradisi yang wajar adalah ketika Masa Orientasi Siswa MOS. Ketika MOS, umumnya kakak-kakak kelas selalu memberi pembenaran bagi sikap-sikapnya yang sudah masuk kategori sebagai pelaku bullying untuk menindas adik kelasnya yang lebih 78 Wawa ara Pri adi de ga I for a AM , Jakarta, Agustus 6 79 Wawa ara Pri adi de ga I for a AM muda atau lebih lemah. 80 “AM” mengaku sebelumnya ia sering menjadi korban bullying oleh seniornya karena ia termasuk anak yang melawan. Pengalaman menjadi korban bullying di SMP membuat dirinya melampiaskan kekecewaan dan kekesalannya terhadap orang lain. Saat SMA “AM” mengambil inisiatif untuk menjadi pelaku bullying sebagai bentuk pertahanan dirinya agar pengalaman pahit menjadi korban bullying tidak terulang kembali. Hal tersebut diakui oleh informan “AM” bahwa pelaku bullying biasanya adalah korban sebelumnya. “kalau nge-bully gini sih bukan turunan ya, tapi pasti yang pernah dibully bakalan nge-bully lagi selanjutnya.” 81 “Ya dengan nge-bully gue jadi semakin ditakutin dan dipandang orang, gue jadi dapetin kekuatan gitu buat standing di lingkungan.” 82 Bentuk pertahanan diri yang informan “AM” lakukan sebagai pelaku bullying tidak dilakukan semata-mata hanya untuk mencari nama agar dihormati, namun ia melakukan tindakan bullying seperti ini lebih cenderung karena alasan dirinya menyimpan dendam setelah sebelumnya ia pernah menjadi korban bullying saat masih SMP. “AM” mengaku akibat menjadi korban bullying, membuat dirinya terbentuk menjadi seorang anak yang bersikap keras atau temperamental. “Dan sejak saat itu juga gue nyimpen dendam, gue bertekad gue ngga mau diinjek- injek orang lagi, jadilah terbentuk gue anak yang keras..” 83 Para pelaku bullying umumnya memiliki sifat berani, tidak mudah takut dan punya motif dasar tertentu seperti agresifitas, rasa rendah diri dan kecemasan. Dengan menjadi pelaku bullying, dapat digunakan menjadi pertahanan diri dan untuk 80 SEJIWA, Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan, Jakarta: PT. Grasindo, 2008, h. 15 81 Wawancar a Pri adi de ga I for a AM 82 Wawancar a Pri adi de ga I for a AM , Jakarta, 11 Agustus 2016 83 Wawancar a Pri adi de ga I for a AM menutupi rasa rend ah dirinya tersebut. Sama halnya dengan informan “AM” yang melakukan perilaku bullying karena alasan dendam bahwa dirinya pernah menjadi korban bullying , informan “NE”-pun mengaku bahwa tindakan bullying memang wajar terjadi setiap tahunnya. Menurutnya, perilaku senioritas dapat membantu membentuk mental junior agar lebih kuat serta dapat menghormati orang yang lebih tua. “Buat gue juga wajar aja ada kayak begini, biar mereka kuat lah mental nya, ngga cengeng, yang cengeng ya paling „mental‟ tersingkirkan” 84 Rasa dendam sebagai junior pasti sering dirasakan oleh korban-korban bullying, terkadang ada yang menerima perlakuan seperti ini namun lebih banyak korban yang akhirnya membalaskan dendam nya kepada orang lain. Sikap melawan yang informan “NE” miliki terkadang menjadi perhatian seniornya, kerap kali “NE” menjadi korban bullying karena dirinya melawan senior. “gue juga kan pernah jadi kelas satu, gue juga pernah ngalamin kayak gitu.. kadang kalau lagi iseng gue suka ngelawan, bikin mereka makin kesel, pura- pura nurut ntar gue lawan lagi, gitu aja” 85 Korban bullying umumnya bukanlah pemberani, memiliki rasa cemas dan rendah diri, yang menjadikan mereka sebagai korban bullying. Akibat mendapatkan perlakuan ini, tidak jarang korban pun memiliki rasa dendam, untuk suatu ketika akan membalaskan dendamnya terhadap orang lain. Sehingga bukan tidak mungkin korban bullying akan menjadi pelaku bullying pada anak lain yang ia pandang sesuai dengan tujuannya, yaitu agar mendapatkan kepuasan dengan cara membalas dendam. 84 Wawa ara Pri adi de ga I for a NE , Jakarta, 8 Agustus 2016 85 Wawan ara Pri adi de ga I for a NE , Jakarta, 8 Agustus 2016

B. BENTUK-BENTUK BULLYING

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Bullying adalah suatu perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswasiswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. 86

1. Bullying Secara Fisik

Salah satu bentuk bullying adalah bullying fisik secara langsung, yang dimaksud bullying fisik secara langsung adalah kontak fisik yang terjadi antara pelaku dengan korban bullying. Bentuk bullying seperti ini merupakan jenis bullying yang paling tampak, siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya. 87 Bullying dengan tipe ini memang mudah untuk diidentifikasi. Namun, bullying secara fisik merupakan bullying yang paling jarang dilakukan. Kasus bullying secara fisik yang dilakukan murid sekolah biasanya terjadi terutama pada murid laki-laki. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh informan “AM” yang melakukan perilaku bullying secara fisik pada murid kelas satu saat merasa dirinya dilawan. Berikut penuturannya: “Gue ngga suka sama anak yang belagu, yang nyolot, sengak atau kayak sok mau ngelawan gue gitu..… kalau gue rasa dia sengak dan ngelawan gue, pasti gue abisin…. ya gue ngga segan-segan buat mukulin itu orang” 88 86 Tim Musyawarah Guru BK, Bahan Dasar untuk Pelayanan Konseling pada Satuan Pendidikan Menengah, Jakarta, PT. Grasindo, h.88 87 SEJIWA, Mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan sekitar anak, PT. Grasindo Jakarta, 2008 h. 2 88 Wawa ara Pri adi de ga I for a AM , Jakarta, Agustus 6 Selain melakukan bullying fisik secara langsung, “AM” juga kerap kali memerintahkan junior kelas satu untuk berkumpul di basement sepulang sekolah atau menyuruh mereka Push up bahkan sampai memukul juniornya apabila mereka tidak mau memberikan uang setoran yang diminta “AM” dan teman-temannya. “kalau ngga ngasih kita kumpulin pulang sekolah di basement atau di depan sekolah yang tempat parkir, kita maki-maki semua, suruh push up, trus kalau ada yang ngelawan ya kena tabok” 89 Sama dengan pernyataan informan diatas bahwa “NE” juga pernah melakukan bullying secara fisik. Namun, menurutnya yang ia lakukan tidak terlalu berat, seperti yang ia sampaikan pada wawancara dengan peneliti. “gue pernah minta beliin barang di mall, sebelumnya gue tanya dulu dia besok nya ke mall atau ngga, mau ngga mau dia bilang iya dong karena tau kalau gue mau nitip, trus gue bilang aja gue nitip kertas file lah, ntar gue minta beliin jepitan rambut atau cuma sekedar makanan cemilan gitu.. dia harus beliin lah.. kalau ngga dibawain, besok nya ya paling gue injek gitu kakinya…” 90 Saat informan “NE” menceritakan hal tersebut ia terdengar seperti tidak canggung dan terlihat puas pernah melakukan tindakan seperti ini. 91 Namun, bullying secara fisik merupakan bullying yang paling jarang ia lakukan. Perilaku bullying secara fisik yang pernah ia lakukan diantaranya seperti merusak barang dan menyenggol dengan bahu. “pas SMA juga gue sempet ngga suka sama ade kelas gue tuh kelas satu, gue suruh dia beliin jajanan di kantin, dia banyak alesan pas beli salah gue kesel banget, pas gue ketemu lagi gue tabrak aja badan nya, trus gue sempet 89 Wawa ara Pri adi de ga I for a AM , Jakarta, 11 Agustus 2016 90 Wawa ara Pri adi de ga I for a NE , Jakarta, 8 Agustus 2016 91 Hasil observasi langsung de ga I for a NE , Jakarta, 8 Agustus 2016