Syarat-Syarat Wajib Ibadah Haji

c. Syarat keempat: adalah kemampuan. Ini mencakup beberapa aspek, yaitu: kemampuan material yang diperoleh secara halal, tetapi bukan dengan menjual satu-satunya sumber penghasilan atau menjual sesuatu yang dapat mengakibatkan kesulitan hidup yang bersangkutan dan keluarganya. Kemampuan material ini bukan saja untuk Ongkos Naik Haji ONH, yakni biaya perjalanan ibadah haji, serta kebutuhan hidup disana, tetapi juga kebutuhan keluarga yang ditinggal selama calon haji dalam perjalanan. Selanjutnya kemampuan fisik, karena ibadah haji adalah ibadah yang sangat membutuhkan fisik yang sangat sehat, dalam ritual yang berkaitan dengan ibadah haji, tidak ada satu bacaan wajib pun yang harus anda baca dalam konteks melaksanakannya. Masa kini, persyaratan fisik ini semakin ditekankan karena jumlah jamaah haji sudah sedemikian banyak. Karena itulah sehingga organisasi Negara-negara Islam menetapkan kuota bagi setiap Negara berdasarkan jumlah penduduknya. Tidaklah wajib bagi mereka yang sangat tua atau sakit yang berat untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah. Banyak sisi ibadah lain yang dapat dilakukannya di kampung halaman sesuai dengan kondisi kesehatannya. “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya”. QS. Al-Baqarah:296 Yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan ilmiah dan rohani. Pelajarilah dengan seksama seluk beluk ibadah haji agar anda tidak melanggar ketentuannya. Bawa sertalah bekal mental berupa pengetahuan, kesabaran dan ketawaan. Itulah salah satu pesan Allah swt bagi yang akan berkunjung kepada-Nya. “Berbekallah karena sebaik-baik bekal adalah takwa” QS Al- Baqarah:197 Kemampuan yang lain adalah yang berkaitan dengan keamanan dalam perjalanan, tempat yang dituju, serta tempat dan waktu pelaksanaan ibadah hingga kembali menemui keluarga. Keamanan keluarga yang ditinggal harus menjadi pertimbangan, jangan sampai karena anda tinggalkan mereka menderita. d. Syarat kelima adalah bisanya perjalanan itu dilakukan. Ini antara lain berarti bahwa seseorang yang merasa belum mempunyai waktu yang sesuai untuk melaksanakan haji, maka ia boleh menagguhkan sampai keadaannya menjadi lebih sesuai, waktu harus digaris bawahi bahwa seseorang tidak diperkenankan menunda- nunda tanpa alasan yang kuat, karena menunda-nunda dapat menyebabkan dirinya berdosa. Salah satu makna lain dari persyaratan ini adlah tersedianya kuota bagi yang bersangkutan. 9 Kalau syarat-syarat diatas telah terpenuhi, maka Bismillah, mantapkan niat untuk berkunjung kerumah Allah, melakukan haji atau umrah sambil menziarahi tempat-tempat bersejarah. 9 Ibid, h. 219

4. Istita’ah dalam Haji

Mengenai ke- istita’ahan seseorang menurut dalil yang menjadi dasar hukum kewajiban ibdah haji adalah surat Ali imran ayat 97: ّ ك هلخد نم ي ارْإ قم ت ـي ت يآ هيف لا ل هلل مآ نيمل عْلا ن ٌي غ ها ّإف ر ك نم ايبس هْيلإ طّْسا نم ْيبْلا ّح “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, diantaranya maqam Ibrahim, barang siapa memasukinya Baitullah itu menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari kewajiban haji maka sesungguhnya Allah maha kaya tidak memerlukan sesuatu dari semesta a lam”. QS. Ali Imran:97 Ayat diatas dalam ilmu ushul fiqih termasuk dalam pembahasan teknis yaitu pengecualian sebagian dari lafadz umum. Pada mulanya dalam ayat tersebut bahwa haji diwajibkan bagi seluruh umat muslim, tapi diakhir lafadz ada pengecualian dengan bentuk badal digantikan “man istathaa ilahi sassabillah”. Yakni bagi yang sudah mampu. Dari sinilah kemudian muncul pendapat-pendapat dalam memahami maksud istathaa dalam ayat tersebut. Dimaksudkan dengan istathaah dalam firman-Nya “man istahtaah ilahi sabillah” ialah mempunyai bekal dan mampu dalam perjalanan. Dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan bekal oleh kebanyakan ulama adalah bekal untuk dirinya dan keluarganya sampai ia pulang dari tanah suci menunaikan ibadah haji. Ibnu Zubair, Atha, Ikrimah dan Malik berpendapat bahwa Al-Istathaah adalah kesehatan, bukan yang lainnya. Dari semua pendapat diatas, maka dapat kita rangkum makna istathaah kedalam 3 cakupan: Pertama, kesehatan jasmani Kedua, memiliki bekal yang cukup untuk pergi dan kembali, serta memcukupi segala hajat atau kebutuhannya dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya dalam hal nafkah. Ketiga, keamanan dalam perjalanan, hal ini disebabkan karena kewajiban ibadah haji yang tidak disertai dengan jaminan keamanan selama perjalanan merupakan sesuatu yang berbahaya dharar, padahal menurut ketentuan syariah bahwa sesuatu yang berbahaya harus dihindari. Jika ketiga syarat diatas terpenuhi maka telah wajib bagi seseorang untuk melaksakan ibadah haji bagi laki-laki maupun perempuan. Mengingat bahwa haji sebagai sebuah kewajiban rukun Islam yang kelima, maka hendaknya setiap orang Islam yang diberi keluasan rizki bercita-cita dan berusaha untuk dapat menunaikan ibadah haji dengan terlebih dahulu berupaya untuk dapat memiliki bekalnya sebagai sarana ibadah haji itu. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan haji dapat dikatakan bahwa bagi orang Islam yang diberi keluluasaan rizki wajib unutk berusaha agar memiliki bekal guna dapat menunaikan ibadah haji. Oleh Karen itu, menabung dan mengikrarkan untuk biaya perjalanan haji BPIH, merupakan berbuatan bijak dan terpuji. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak mampu menabung tapi berkeinginan menunaikan ibadah haji. Dari sinilah muncul salah satu produk keuangan dari sebuah lembaga trevel haji dan umrah dengan produk haji dan umrah tabarru guna membantu umat muslim yang berkenan berangkat haji namun belum memiliki kemampuan financial penuh. Sepintas tujuan dari adanya produk ini baik, tapi ternyata dengan adanya produk tersebut menimbulkan banyak permasalahan baik dari tinjauan s tatus hukum dan manfaatnya secara syar’i.

5. Fatwa Dewan Syariah Nasiaonal Tentang Haji

Pertama: ketentuan umum a. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa ujrah dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI 9DSN-MUIIV2000 b. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menangani pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI 19DSN-MUIIV2001 c. Pembiayaan haji menggunakan fatwa dewan syariah nasional DSN No.29DSN-MUIVI2002 tentang pembiayaan pengurusan haji lembaga keuangan syariah. d. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh disyaratkan dengan pemberian talangan haji. e. Besar imbalan jasa al-ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah. Pertimbangan Fatwa a. salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pengurusan haji dan talangan BPIH b. Lembaga keuangan syariah perlu merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produk c. Bahwa agar pelaksanaan transaksi tersebut sesuai dengan prinsip syariah, dewan syariah nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang pengurusan dan pembiayaan haji oleh LKS untuk menjadikan pedoman.