Mahasiswa Asing Kajian Teori 1. Penerimaan Konsumen

18 berupa ruang yaitu lokalitas bahan baku, pengolah produsen dan juga “pemilik” dari makanan tersebut. Tidak dapat dikatakan suatu makanan sebagai makanan tradisional jika bahan baku untuk menciptakannya asing bagi pengolah maupun penikmatnya. Asing dalam artian tidak dapat dihasilkan sendiri dari tanah air setempat dengan metode budidaya yang telah biasa dilakukan. Maka sebagai contoh, secara sederhana bisa kita simpulkan bahwa segala makanan berbahan baku terigu tidaklah bisa dikelompokkan sebagai makanan tradisional Indonesia, meskipun ia telah sangat lazim ditemukan di tengah masyarakat. Lokalitas juga melekat pada peramu atau pengolah suatu makanan tradisional. Meskipun untuk membuat keju di Indonesia adalah memungkinkan dari sisi bahan baku, tetapi teknik membuatnya tidak familiar bagi orang Indonesia. Maka ketika seorang pengusaha bule di Boyolali mencoba memproduksi keju dari susu sapi produksi setempat, dan berhasil, tidak serta merta membuat keju menjadi makanan tradisional Boyolali. Lain halnya dengan dadih, olahan susu mirip keju yang merupakan makanan tradisional Minangkabau Sumatera Barat karena dibuat dengan teknik pengolahan yang unik menggunakan batang bambu. Ketersediaan bahan baku melimpah tidak menjadi jaminan semua makanan yang diolah darinya bisa disebut sebagai makanan tradisional. Masih diperlukan syarat lain berupa penguasaan teknik pengolahan yang dikenal luas dan mengakar dari generasi ke generasi Salfarino Rian, 2015 19 Syarat lokalitas ternyata juga melekat kepada kelompok masyarakat yang menikmati makanan tradisional tersebut. Hal ini meliputi tata cara makan, bagaimana makanan tersebut diperlakukan dan menempati posisi tertentu dalam kehidupan masyarakat. Pada bagian ini, makanan tradisional menjadi unsur tak terpisahkan dari kebudayaan dan adat istiadat setempat, bukan lagi semata-mata sebagai alat pemenuhan kebutuhan biologis untuk bertahan hidup. Maka makanan tradisional disebut tradisional jika pemiliknya jelas, yaitu masyarakat yang tidak bisa lepas darinya ketika menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial ditengah-tengah mereka dimensi kedua yang membatasi kriteria makanan tradisional adalah dimensi waktu. Bukan berarti setiap makanan tradisional harus berusia tua, tetapi yang dimaksudkan adalah makanan tersebut telah mengakar di tengah-tengah masyarakat dan dikenal luas, baik cita rasa maupun bentuknya. Boleh jadi suatu makanan telah berusia tua, diturunkan dari generasi ke generasi, tetapi hanya dikenal secara eksklusif oleh suatu keluarga misalnya, maka ia tidak memenuhi syarat yang dimaksud. Atau boleh jadi suatu makanan sangat populer di masyarakat, dimana semua kalangan bisa membuat dan menikmatinya, tetapi tidak dikenal rasa dan bentuknya oleh generasi-generasi sebelumnya, maka makanan tersebut tidak juga dapat digolongkan sebagai makanan tradisional. Maka suatu makanan tradisional selain memenuhi syarat lokalitas yang diterangkan sebelumnya, mestilah juga telah dikenal secara luas dan diturunkan dari generasi sebelumnya dan diwariskan pula ke generasi selanjutnya Salfarino Rian, 2015.