Nelayan dan Kemiskinan Pembahasan Tentang Nelayan

15 Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Adanya perbedaan sosial-ekonomi antar nelayan kecil dan besar terbentuklah hubungan antar nelayan. Hubungan antar nelayan tersebut sering disebutkan dengan hubungan patron dan klien. Patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu kliennya. Kuatnya hubungan tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidak pastian dalam memperoleh hasil tangkapan. Bagi para nelayan menjaga hubungan ikatan dengan parton merupakan suatu hal yang sangat penting untuk menjaga keberlangsungan kegiatannya, dikarenakan pola patron dan klien merupakan institusi jaminan ekonomi. Nelayan akan menjual barang-barang yang bisa dijual kepada patron apabila ketika hasil tangkapan nelayan kurang baik, sehingga nelayan kekurangan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Selain menjual barang yang bisa dijual, terkadang nelayan juga menghutang kepada patron dengan jaminan ikatan pekerjaan atau hasil tangkapan yang akan dijual kepada patron dengan harga yang lebih rendah dibandingkan hasil tangkapan yang dijual di pasaran.

2. Nelayan dan Kemiskinan

Nelayan merupakan salah satu bagian dari anggota masyarakat yang mempunyai tingkat kesejahteraan paling rendah, dengan kata lain, masyarakat nelayan adalah masyarakat paling miskin dibanding anggota masyarakat lainnya Kusnadi, 2002:4. Suatu ironi bagi sebuah negara maritim seperti Indonesia bahwa 16 ditengah kekayaan laut yang begitu besar, masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin. Pemandangan yang sering dijumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang identik dengan kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Nelayan juga sering disebut masyarakat yang berpendidikan rendah. Banyak diantara anak-anak nelayan yang hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar saja, bahkan ada yang belum sampai tamat sekolah dasar. Menurut data pada tahun 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan www.dkp.com, terdapat kurang lebih 8 Juta nelayan miskin atau 25,14 dari total penduduk miskin di Indonesia. Hal ini sangatlah memprihatinkan dikarenakan fakta tersebut yang berbanding terbalik dengan kekayaan laut di negeri Indonesia yang tercinta ini yang setiap tahun bisa menembus hasil laut mencapai 2.000 triliun rupiah dan menganggap nenek moyangnya seorang pelaut terkesan hanya mitos dan menjadi kenangan belaka. Kemiskinan pada umumnya merupakan keadaan dimana suatu masyarakat atau individu mengalami ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan juga dapat disebabkan karena kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar ataupun sulitnya akses dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan untuk dirinya. Keadaan seperti itu merupakan gambaran kondisi kesulitan seperti kekurangan materi yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, papan, dan kesehatan. Kemiskinan juga menyangkut dalam masalah ekonomi, agama, sosial, politik, dan 17 lain-lain. Kemiskinan juga tidak memandang usia, mulai dari bayi, balita, remaja, orang dewasa dan orangtua. Kemiskinan juga terjadi dimana-mana, bukan hanya di pedesaan, di perkotaan pun banyak terjadi kemiskinan, bahkan terjadi di seluruh dunia. Dimensi-dimensi kemiskinan pun muncul dalam berbagai macam yaitu : a. Tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, oleh sebab itu masyarakat miskin benar- benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan yang penting bahkan menyangkut diri mereka sendiri. Hal ini mengakibatkan masyarakat miskin tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumberdaya termasuk akses informasi. b. Ketidak terlibatan warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, sehingga mereka teralinasi dari dinamika masyarakat. c. Rendahnya penghasilan yang mereka dapatkan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak. d. Rendahnya kepemilikkan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk asset kualitas sumberdaya manusia human capital, peralatan kerja, modal dana, perumahan, pemukiman dan sebagainya. Menurut Ellis 1983 : 98 dalam Abdul Mugani 2006 : 62, menyebutkan bahwa dimensi kemiskinan dapat diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah dimana satu masyarakat mengalami 18 kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok masyarakat. Kemiskinan ekonomi terbagi menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dikatakan kemiskinan absolut apabila sesorang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan fisik minimum, sedangkan kemiskinan relatif apabila seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan masyarakat pada saat itu. Ada juga yang disebut dengan kemiskinan sosial. Kemiskinan sosial ialah kemiskinan yang diakibatkan akibat oleh kekurangan jaringan sosial dan struktur yang tidak mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat. Penyebabnya antara lain karena faktor internal yaitu hambatan budaya sehingga disebut kemiskinan kultural. Sedangkan faktor eksternal diakibatkan oleh birokrasi dan peraturan resmi yang berakibat mencegah seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Kemiskinan struktural dapat disebut dengan kemiskinan yang diderita oleh masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka, seperti kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, pendidikan, komunikasi, perlindungan hukum dari pemerintah, dan lain-lain. Oleh sebab itu, kemiskinan politik dapat diartikan dengan kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya untuk kepentingan sekelompok orang atau sistem sosial. Menurut Soemardjan dalam Abdul 2006 :70, ditinjau dari sudut sosiologi kemiskinan dapat dilihat dari pola-polanya, yaitu: a. Kemiskinan Individu, ditinjau dari sudut sosiologi kemiskinan dapat dilihat dari pola-polanya, yaitu kemiskinan ini terjadi karena adanya kekurangan- 19 kekurangan yang disandang oleh seorang individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk mengentaskan dirinya dari lembah kemiskinan. b. Kemiskinan Relatif, untuk mengetahui kemiskinan relatif ini perlu diadakan perbandingan antara taraf kekayaan material dari keluarga-keluarga di dalam suatu komunitas tertentu. Dengan perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas tersebut. c. Kemiskinan Struktural, kemiskinan ini dinamakan struktural karena disandang oleh suatu golongan yang ” built in ” atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam struktur suatu masyarakat d. Kemiskinan Budaya, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah lingkungan alam yang mengandung cukup banyak sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Kemiskinan ini disebabkan karena kebudayaan masyarakat tidak memiliki ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan sosial yang diperlukan untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya dan menggunakannya untuk keperluan masyarakat. Masalah kemiskinan yang dialami oleh nelayan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi sehingga menyelesaikanya sangat diperlukan solusi yang menyeluruh dan terlebih dahulu harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan pada nelayan. Secara umum kemiskinan pada masyarakat pesisir khususnya nelayan disebabkan karena tidak terpenuhinya hak - hak dasar masyarakat. Adapun hak-hak dasar tersebut meliputi: kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, infrastruktur, selain itu masih kurangnya kesempatan berusaha, akses terhadap informasi, teknologi, permodalan, pemasaran maupun rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Budaya dan gaya hidup nelayan yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. 20 Menurut Kusnadi 2002:5, faktor-faktor yang menyebabkan semakin terpuruknya kesejahteraan nelayan sangat kompleks, yaitu: 1. Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan. Apabila musim ikan atau ada potensi ikan yang relatif baik, perolehan pendapatan bisa lebih terjamin, sebaliknya pada saat tidak musim ikan nelayan akan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Faktor alamiah ini selalu berulang setiap tahun. 2. Faktor non alam, yaitu faktor yang berkaitan dengan ketimpangan dalam pranata bagi hasil, ketiadaan jaminan sosial awak perahu, dan jaringan pemasaran ikan yang rawan terhadap fluktuasi harga, keterbatasan teknologi pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi, serta terbatasnya peluang-peluang kerja yang bisa diakses oleh rumahtangga nelayan. Kondisi-kondisi aktual yang demikian dan pengaruh terhadap kelangkaan sumberdaya akan senantiasa menghadapkan keluarga nelayan ke dalam jebakan kekurangan. Menurut Kusnadi 2001:36-40, penyebab terjadinya kemiskinan pada nelayan antara lain: 1. Kondisi alam Kondisi alam membuat waktu dalam mencari ikan di laut dan ketidak stabilan dalam memperoleh hasil tangkapan. Musim paceklik yang datang pada setiap tahun dan itu selalu datang pada saat musim kemarau yang 21 panjang, maka nelayan terus berada dalam lingkar kemiskinan setiap tahunnya. 2. Tingkat pendidikan nelayan. Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi moderen, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah serta tingkat hasil penangkapannya juga sangat rendah atau sedikit. Tingkat pendidikan nelayan sangatlah berbanding lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh nelayan. Teknologi yang dimaksud ialah teknologi di bidang penangkapan ikan. Nelayan masih banyak yang menggunakan teknologi secara tradisional dalam cara pengawetan ikan hasil tangkapan. Padahal ikan laut sangatlah mudah membusuk dibandingkan dengan bahan makanan lain, dikarenakan ikan laut banyak mengandung bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan laut tersebut. Cara pengawetan ikan dengan cara tradisional ini dapat dikatakan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan penguasaan nelayan terhadap teknologi. 3. Pola kehidupan nelayan. Kultur nelayan yang bilamana dicermati memiliki etos kerja yang handal, dimana nelayan pergi mencari ikan pagi subuh pulang siang setelah itu menyempatkan waktu senggang untuk membenarkan jaring yang rusak. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan 22 paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder. 4. Pemasaran hasil tangkapan. Nelayan seringkali mengalami kesulitan dalam memperjualkan ikan hasil penangkapannya. Kesulitan ini dikarenakan tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan TPI. Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga di bawah harga pasar. Hal ini sangatlah disayangkan oleh para nelayan, bilamana ada TPI maka nelayan dapat memperoleh hasil yang lebih banyak dibandingkan dengan harus menjual ikannya kepada tengkulak-tengkulak. Apalagi ketika musim ikan, hasil ikan yang melimpah mengakibatkan harga ikan turun dan harus menjual pada tengkulak. 5. Program pemerintah yang belum memihak nelayan Kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersifat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Kebijakan yang pro nelayan mutlak diperlukan, yakni sebuah kebijakan sosial yang akan mensejahterakan masyarakat dan kehidupan nelayan. Kenaikan BBM juga menjadikan nelayan merasa tercekik. Ketergantungan nelayan pada jenis bahan solar membuat anggaran dalam mencari ikan membengkak. 23 Selain 5 faktor penyebab kemiskian diatas, penyebab kemiskinan di kalangan nelayan juga dikarenakan karena adanya dampak negatif kebijakan modernisasi perahu dan modernisasi alat tangkap yang sering disebut dengan istilah revolusi biru. Kebijakan ini telah mendorong timbulnya gejala lebih tangkapan atau overfishing dan penguasaan sumber daya perikanan secara berlebihan di perairan pantai maupun perairan lepas. Untuk itu nelayan harus berusaha keras dalam persaingan tersebut. Hal ini digambarkan dengan kondisi nelayan yang mempunyai perlengkapan mencari ikan dengan alat-alat sederhana, hal ini membuat nelayan kesulitan dalam memperoleh hasil tangkapan. Keterbatasan alat penangkapan ikan yang mempengaruhi pendapatan nelayan, maka banyak dari nelayan yang menggunakan bahan peledak dalam proses penangkapan ikan. Padahal penangkapan ikan di laut dengan cara menggunakan bahan peledak mengakibatkan rusaknya ekosistem bawah laut. Oleh sebab itu sangatlah disayangkan bilamana penggunaan bahan peledak terus digunakan. Pemerintah harus berupaya keras melarang dan memantau nelayan dalam penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di laut. Akan tetapi larangan menggunakan bahan peledak menjadikan nelayan harus menuai ketidak pastian dalam memperoleh hasil tangkapan dan berdampak pada pendapatan nelayan. Hal ini sangat dirasakan bagi keluarga nelayan buruh atau kecil.

3. Kemiskinan Pada Keluarga Nelayan