commit to user
1
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Asma tidak hanya menyebabkan masalah kesehatan tetapi juga masalah ekonomi dan sosial. Data
World Health Organization
WHO menyebutkan prevalensi total penderita asma di dunia diperkirakan 1-18 , dan diperkira-
kan meningkat hingga 400 juta pada tahun 2025. Prevalensi asma meningkat di banyak negara terutama pada anak.
Kematian karena asma diperkirakan 250.000 jiwa setiap tahun dan diperkirakan 15 juta
disability-adjusted life years
DALYs hilang setiap tahun, hal ini mewakili 1 total penyakit global NHLBI 2009. Prevalensi asma di Indonesia pada tahun 1995 sekitar
131000 1,3 lebih tinggi dibanding bronkitis kronik 1,1 PDPI 2004. Proses penyakit asma melibatkan inflamasi kronik pada saluran napas.
Reaksi inflamasi tersebut mengakibatkan peningkatan stres oksidatif yang berperan dalam patogenesis asma Cho dan Moon 2010. Stres oksidatif
terjadi karena peningkatan produksi oksidan atau berkurangnya produksi anti- oksidan sehingga mengakibatkan gangguan kesetimbangan antara oksidan
dan antioksidan. Peningkatan produksi oksidan diantaranya disebabkan inflamasi pada saluran napas pasien asma. Sel makrofag saluran napas pasien
asma menghasilkan kadar superoksida lebih tinggi dibanding subyek normal. Polusi udara juga merangsang peningkatan oksidan eksogen yang ber-
pengaruh terhadap insidensi asma. Penurunan kapasitas pertahanan anti- oksidan pada asma juga berpengaruh terhadap peningkatan stres oksidatif.
commit to user
2
2
Beberapa gangguan pertahanan antioksidan pada asma mekanismenya sudah diketahui, diantaranya: berkurangnya kadar selenium elemen penting
aktivasi glutathione peroxidase, serta berkurangnya kadar tembaga dan seng yang mengandung
superoxide dismutase
Cu, Zn-SOD. Polimorfisme genetik pada pengaturan antioksidan enzimatik Mangan yang mengandung
superoxide dismutase
Mn-SOD,
glutathione S-transferase
,
nuclear factor like 2
Nrf
2
dan peroksiredoksin juga didapatkan pada penderita asma Dworski 2000, Cho dan Moon 2010.
Kondisi stres oksidatif dapat meningkatkan sitokin proinflamasi dan pe- rubahan fungsi enzimatik. Reaksi oksidatif akan merubah struktur protein
penyusun enzim intrasel sehingga aktivitasnya berubah. Perubahan aktivitas enzim menyebabkan aktivasi faktor transkripsi yang berdampak peningkatan
ekspresi gen penyebab proliferasi sitokin. Kondisi tersebut diatas akan memperberat reaksi inflamasi dan cedera jaringan Kregel dan Zhang 2007,
Holguin dan Fitzpatrick 2010. Kehilangan kontrol oksidan di saluran napas menimbulkan inisiasi sel
T helper
2
Th
2
yang merupakan fase awal perkembangan inflamasi alergi dalam saluran napas. Peningkatan kadar
reactive oxygen species
ROS dalam
antigen presenting cel
APC mempengaruhi sistem imunitas akibat respon Th
2
Peterson
et al
. 1998. Stres oksidatif berperan terhadap perkembangan atau kelangsungan inflamasi
saluran napas dengan cara menginduksi beragam mediator proinflamasi. Perkembangan
dan kelangsungan
inflamasi tersebut
menimbulkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas, stimuli kontraksi otot polos
commit to user
3
3
bronkus, dan stimulasi sekresi mukus. Semua hal tersebut diatas terkait dengan tingkat keparahan asma Terada 2006, Fitzpatrick
et al
. 2009, Cho dan Moon 2010.
Reaksi inflamasi dalam saluran napas penderita asma menyebabkan aktivasi eosinofil, sehingga jumlahnya meningkat. Terdapat hubungan jumlah
eosinofil, derajat asma, hiperreaktivitas bronkus dan tingkat eksaserbasi pada pasien asma Filipofic dan
Cekic 2001, Surjanto 2005, Apter dan Weiss 2008. Penelitian membuktikan bahwa jumlah eosinofil di darah perifer dan
bilasan bronkus pasien asma berhubungan dengan berat klinis asma
Bousquet
et al.
2000.
Saluran napas penderita asma akut dan kronik terdapat peningkatan jumlah dan aktivasi neutrofil Monteseirin 2009. Peningkatan kadar neutrofil
menyebabkan kerusakan saluran napas akibat pelepaskan sitokin dan kemokin seperti interleukin IL-1, IL-6, IL-8, dan
tumor necrosis factor-
TNF- metabolisme oksigen, protease, dan bahan kationik
Kips 2001, PDPI 2004. Tujuan utama pengobatan asma adalah untuk mencapai keadaan asma
terkontrol NHLBI 2009. Tingkat kontrol asma adalah manifestasi perubah- an berupa berkurang atau hilangnya gejala dan tanda asma setelah mendapat
terapi Taylor
et al.
2008. Kondisi asma terkontrol dapat meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari PDPI 2004. Kriteria tingkat kontrol asma menurut
Global Initiative for Asthma
meliputi: asma
commit to user
4
4
terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol. Tingkat kontrol asma tidak hanya menunjukkan kondisi klinis tingkat keparahan asma tapi juga
dapat dipakai sebagai petunjuk untuk mengetahui derajat inflamasi yang mendasari patofisiologi asma. Derajat inflamasi yang semakin berat akan
meningkatkan obstruksi saluran napas dan meningkatkan risiko eksaserbasi NHLBI 2009.
Gejala asma ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara yang bisa diukur dengan alat spirometri. Derajat obstruksi dapat dinilai dengan
penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama VEP
1
. Pemeriksaan spirometri juga dapat menilai reversibilitas setelah pemberian bronkodilator
NHLBI 2009. Mekanisme pertahanan antioksidan meliputi non-enzimatik vitamin anti-
oksidan dan tiol serta enzimatik superoxide dismutases SOD, katalase, dan glutathione peroxidase Terada 2006. Vitamin C termasuk salah satu
antioksidan nonenzimatik, bersifat larut air, dan berperan penting pada fungsi metabolisme tubuh. Vitamin ini terbagi menjadi dua bentuk biologis aktif
yaitu asam askorbat AA dan asam dehidroaskorbat DHA. Vitamin C bertindak sebagai donor elektron untuk membalikkan reaksi oksidasi
sehingga bisa berfungsi sebagai antioksidan yang bereaksi dengan radikal bebas dan mendeaktivasi oksidan sebelum terjadi kerusakan pada protein atau
lipid Padayatty
et al.
2003. Sebagai antioksidan kuat dapat membantu menetralisir polutan dan toksin serta mampu menghambat histamin, suatu
senyawa penting yang dilepaskan selama reaksi alergi yang mendasari
commit to user
5
5
patogenesis asma Ottobani F dan Ottobani A 2005. Vitamin C berperan dalam sistem regulasi intraselular imunoregulator yang mengakibatkan
menurunnya ekspresi gen proinflamasi Carcamo
et al.
2002, Carcamo
et al.
2004. Vitamin C dapat meregenerasi antioksidan lain vitamin E, sintesis kolagen, substansi interselular yang membentuk struktur otot, pembuluh
darah jaringan, tulang, tendon dan ligamen. Vitamin C memainkan peran dalam sintesis beberapa hormon peptida penting dan neurotransmiter serta
karnitin juga meningkatkan penyerapan zat besi dari makanan yang diperlukan untuk metabolisme asam empedu Ottobani F dan Ottobani A
2005. Terdapat bukti hubungan antara fungsi paru dengan asupan buah,
sayuran, vitamin A, C, dan E pada anak. Asupan vitamin A, C, dan E rendah dikaitkan dengan penurunan kapasitas vital paksa KVP, VEP
1
, dan
forced expiratory flow
25-75 FEF 25-75 Gilliland
et al.
2003. Tingkat fungsi paru lebih rendah pada anak juga dihubungkan dengan rendahnya
asupan makanan yang mengandung vitamin antioksidan Harik
et al.
2004. Pemberian vitamin C dosis 1000 mg per oral pada penderita asma dapat
meningkatkan dosis metakolin yang dibutuhkan untuk menurunkan nilai VEP
1
sebesar 40 pD40 Mohsenin
et al.
1983. Penelitian tentang
pemberian per oral vitamin C 1000 mg hari secara bermakna dapat menurunkan kebutuhan kortikosteroid inhalasi pada penderita asma Fogarty
et al
. 2006.
commit to user
6
6
Seberapa besar peran pemberian vitamin C sebagai antioksidan dan imunoregulator terhadap inflamasi dan derajat obstruksi saluran napas pada
asma belum diketahui. Berdasar hal tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui peran vitamin C terhadap jumlah eosinofil dan neutrofil sputum
sebagai penanda inflamasi serta nilai VEP
1
sebagai penanda obstruksi saluran napas penderita asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol.
B. RUMUSAN MASALAH