50
akan berperang melawan PKI dengan dikomandoi oleh Kivlan Zen, TNI serta Menhan.
Berikut ini akan penulis jabarkan model penyelesaian melalui mekanisme Yudisial, yaitu :
1. Pengadilan HAM Ad Hoc melalui UU No. 26 Tahun 2000.
Mekanisme penyelesaian Extrajudicial Killings 1965 dengan hukum nasional indonesia melalui pengadilan ad hoc,
menunjukkan kesungguhan pemerintah untuk menyelesaiakan pelanggaran HAM masa lalu. melalui UU No. 26 Tahun 2000,
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini sebetulnya adalah adopsi dari Statuta Roma, meski ada beberapa hal
yang dikurangkan, seperti Pasal 9 Statuta Roma 1998, tentang Elements of Crimes tetapi tidak dimasukkan didalam UU No. 26
Tahun 2000. Padahal ini sangat penting untuk menyamakan pandangan dikalangan penegak hukum dalam proses penyelesaian
pelanggaran HAM. Terlepas politik hukum dibalik pembuatan UU No. 26 tahun 2000, tetapi semangat untuk menyelesaiakan
pelanggaran HAM masa lalu setidaknya telah diakomodir dalam Undang-Undang ini. Bagaimanapun pengadilan Ad Hoc dengan UU
No. 26 tahun 2000, pernah digunakan untuk mengadili pelanggaran HAM berat di Tim-Tim pasca jajak pendapat. Disamping itu
pengadilan nasional merupakan “primary forum” untuk mengadili
51
para pelanggar HAM berat, dengan alasan 1 keterkaitan dengan masyrakat setempat, sehingga memiliki efek “deterrent”; 2
memudahkan mencari bukti-bukti, saksi-saksi dan para pelaku; 3 tidak mahal dan lebih mudah dilaksanakan.
60
Konstruksi penyelesaian extra judicial killings 1965, dengan UU No. 26 Tahun 2000
berdasarkan pada Pasal 4, yaitu “Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat ”.
Berkenaan dengan pengadilan Hak Asasi Manusia HAM Ad Hoc, diatur dalam Pasal 43, yaitu :
1 Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi
sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
Sesungguhnya Pasal 43, ayat 1 ini lebih longgar dibanding Statuta Roma 1998, yang tidak berlaku surut. Ini berarti bahwa
peluang besar penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara de jure tidak ada kendala, karena payung hukumnya sudah jelas. Maka
seyogianya pemerintah secara tegas melaksanakan penyelesaian HAM melalui mekanisme hukum yaitu UU No. 26 tahun 2000.
Apalagi upaya hukum yang telah dilakukan oleh korban ataupun keluarga korban extra judicial killings 1965 untuk mendapatkan
keadilan serta terpulihkan hak-haknya sudah diajukan ke Komnas
60
Muladi, „Mekanisme Domestik untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem Pengadilan atas dasar UU No. 26 Tahun 2000. Elsam. Jakarta : 2015.Hal.7.
52
HAM, sesuai dengan UU No. 39 tahun 1999, Pasal 90, yaitu; 1 Setiap orang dan sekelompok orang yang memiliki alasan kuat
bahwa hak assasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.
Jika merujuk tentang pelanggaran HAM yang berat dalam Pasal 4, selalu merujuk pada Undang-Undang Nomor : 26 Tahun
2000, Pasal 7, yaitu : Pelanggaran hak asasi manusia yang berat, meliputi :
a. Kejahatan genosida; dan b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Lantas, apakah extra judicial killings 1965 termasuk di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor. 26 Tahun 2000? Tentu saja
jawaban atas pertanyaan itu, dapat dilihat pada Pasal 9, yaitu : Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebesan
fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara
paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulkan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan
seksual lain yang setara;
53
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai
hal yang
dilarang menurut
hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa;
j. Kejahatan apartheid.
1.a. The Elements of Crimes dari Crimes Agaianst Humanity pada Extra Judicial Killings 1965.
Meskipun dalam UU No. 26 Tahun 2000, tidak memuat the elements of crimes, tetapi sebagai rujukan penulis tetap mengacu the
Elements of Crimes, pada Statuta Roma 1998, karena disamping UU No. 262000 adalah adopsi dari Statuta Roma, juga karena
pertimbangan semangat dan filosofi terhadap penyelesaian kemanusiaan.
Pada dasarnya konstruksi the elements of crimes secara
umum secara garis besar dapat memenuhi unsur subyektif
criminals responsibilitymens rea yang mencakup unsur-unsur : a kesalahan; b kemampuan bertanggung jawab, c kesengajaan atau
kealpaan; d tidak adanya alasan pemaaf. Sedangkan unsur obyektif
criminal act actus reus yaitu ; a perbuatan itu memenuhi Undang- Undang; b bersifat melawan hukum; c tidak adanya alasan
pembenar.
54
Adapun Elements of Crimes, Kejahatan terhadap Kemanusiaan pada extra judicial killings 1965 adalah :
1 Unsur
material, yang berfokus pada Perbuatan Conduct, Akibat Consequences, Keadaan-keadaan
Circumstances yang menyertai perbuatan; 2
Unsur mental yang relevan, berfokus pada bentuk
kesengajaan intent, pengetahuan knowledge, atau keduanya.
Berdasarkan unsur material dan unsur mental ini pada kasus kejahatan terhadap kemanusiaan extrajudicial killings 1965, yang
telah penulis teliti, memang ada kesengajaan intent oleh alat negara yaitu militer RPKAD sekarang Kopasus bersama Ormas Islam
untuk melakukan perbuatan conduct. Tentu saja, dengan perbuatan conduct tersebut alat negara atau militer RPKAD bersama ormas
islam mempunyai niat jahat untuk melakukan perbuata n “mass
murder ” terhadap orang-orang PKI atau yang dituduh PKI. Pelaku --
--militer dan ormas--- juga telah berniat menimbulkan akibat atau sadar bahwa hal tersebut akan terjadi dalam kaitannya dengan
perbuatannya yaitu melakukan pembunuhan massal. Berdasarkan dari
pengetahuan knowledge
pelaku memiliki
kesadaran awareness penuh dan bahkan tahu know dan mengetahui
55
knowingly akan tindakannya yang berakibat timbulnya kematian pada orang-orang PKI atau yang dianggap sebagai PKI.
Kenapa penulis menyebut pelaku adalah alat negara, karena penangkapan, penahanan pembunuhan dan penyiksaan dilakukan
oleh militer dengan dua hal ; pertama : Adanya instruksi Presiden
pada tanggal 3 Oktober 1965 kepada Mayor Jenderal Soeharto untuk memimpin operasi pemulihan keamanan dan ketertiban pasca
G30SPKI. Selanjutnya Soeharto menjadi Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Kopkamtib sebagai salah satu unsur
Komando Pelaksana dari Komando Operasi Tertinggi KOTI yang dikukuhkan tanggal 12 November 1965 dengan Surat Keputusan
Presiden No. 162KOTI1965. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dinyatakan sebagai salah satu Komando
Utama Pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Kopskamtib. Selanjutnya menurut Keputusan Presiden
No.179Koti1965 tanggal 6 Desember 1965 tentang penentuan tugas dan organisasi Kopkamtib. Berdasarkan keputusan tersebut
Kopkamtib menunjuk Staf Umum Angkatan Darat sebagai Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang
dilengkapi dengan perbantuan unsur-unsur dari Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian guna menjamin aspek
gabungannya. Kemudian
Pangkopkamtib Mayjen
Soeharto
56
mengeluarkan Surat Keputusan No. Kep 69101965 tentang pembentukan Tim Pemeriksa PusatDaerah dan susunan organisasi,
tata cara, tata kerja, penyaluran, penampungan serta penyelesaian terhadap
tahanantawanan dalam
rangka operasi
pembersihanmenumpas “Gerakan 30 September”.
61
Kedua : tanggal
13 Maret 1966, dimana pemerintah mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : XXVMPRS1966 Tentang
Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Indonesia bagi PKI
dan Larangan
setiap Kegiatan
untuk Menyebarkan
atau Mengembangkan Faham atau Ajaran KomunismeMarxisme-
Leninisme. Kembali pada Pasal 9, UU No. 26 Tahun 2000, bahwa
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b bahwa ssetiap kejahatan terhadap kemanusiaan harus
menggambarkan pada dua element : a perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas widespread dan sistematik
systematic yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan pada penduduk sipil; b keharusan adanya pengetahuan
with knowledge pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan
61
Poesponegoro, Marwati
Djoened, Nugroho
notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI.
Jakarta: Balai
Pustaka. 2010.
Hal 601.
Lihat juga
http:muhammadridhorachman.blogspot.co.id201207komando-operasi-keamanan-dan- ketertiban.html
, diakses 13 Juni 2016.
57
merupakan bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil.
62
Di dalam Pasal 9, UU No. 26 tahun 2000, tentang Pengadilan HAM,
juga tidak memberikan batasan harus lebih dari satu tindak pidana serangan yang meluas dan sistematik yang ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil pembunuhan, perkosaan, penyiksaan, dll. Artinya bahwa salah satu dari tindak pidana tersebut terpenuhi sudah
cukup dinyatakan sebagai tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan.
Adapun untuk membuktikan bahwa extra judicial killings 1965 merupakan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusian, akan
diuraikan melalui The Elements of Crime sebagaimana Pasal 9 UU No.26 Tahun 2000, yaitu :
a Salah satu perbuatan actus reusunsur obyektif
Apakah extrajudicial killings 1965 terhadap orang- orang PKI atau yang dianggap PKI merupakan salah satu
perbuatan tindak pidana, seperti : Pembunuhan; Pemusnahan; Penyiksaan, penganiayaan; dll, Pasal 9 UU No.262000?
Berdasarkan penjelasan Pasal 9 huruf a yang dimaksud dengan “pembunuhan” adalah sebagaimana
62
Muladi, Op.Cit. Hal 13.
58
tercantum dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan menruut KUHP Pasal 340;
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau selama
waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
” Memang apa yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 9
huruf a UU NO. 26 Tahun 2000, bahwa pelanggaran HAM Berat adalah pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
340 KUHP. Tetapi, pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 340 KUHP merupakan kejahatan biasa. Sedangkan Extra
judicial killings 1965 telah memenuhi Pasal 9, yang dilakukan sebagai sebuah bagian dari sebuah serangan yang bersifat
sistematik atau meluas, sehingga menjadi kejahatan “the most serious crime” ketika “the elements of crimes” sudah dapat
terpenuhi. Apa yang dimaksud pembunuhan sebagaimana Pasal 9,
pada konteks “extrajudicial killings 1965”, berbanding lurus
dengan fakta-fakta dilapangan berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa eks Tapol di Kendal.
63
Extra judicial killings 1965 adalah suatu perbuatan tindak pidana pembunuhan
terhadap pengurus, anggota dan simpatisan PKI serta
63
Wawancara dengan SJD, tanggal 10 Nopember 2015.
59
underbaw nya Lekra, BTI, Gerwani. Prosesi pembunuhan 1965, diawali dari penjemputan secara paksa terhadap orang-
orang PKI oleh Ormas anti PKI dan kemudian mereka diarak dari tempat kediamannya masing-masing sambil diikat oleh
massa Ormas yang dibackup oleh militer. Sebagaimana yang penulis teliti, kasus pembantaian itu juga terjadi di wilayah
Kabupaten Kendal. Orang-orang PKI itu dibawa ke Tahanan Pendopo Kawedanan Kaliwungu Kendal dan Padi Sentra Desa
Plantaran. Pemisahan tempat tahanan itu untuk membedakan golongan berat dan ringan. Pendopo Kawedanan itu
dikategorikan untuk tahanan berat pengurus atau tokoh PKI, sehingga disebut golongan berat. Mereka yang ditahan
golongan berat di Pendopo Kaliwungu, kebanyakan berujung pada kematian, karena tidak kuat mengalami siksaan berat.
Seperti yang dialami Lurah Subuh Kepala Desa Kedungsuren yang disiksa hingga mati didalam tahanan
64
. Orang-orang PKI yang ditahan di Padi Sentra Plantaran
Kaliwungu, dianggap sebagai golongan ringan, karena mereka tidak disiksa, tetapi menunggu jatah eksekusi mati yang
dilakukan pada tengah malam oleh anggota Ormas yang terpilih. Anggota Ormas itu membuat List nama-nama yang
64
Wawancara dengan ES mantan tahanan politik pulau Buru, tanggal 12 Nopember 2015.
60
harus dibunuh tiap malam. Istilah yang dipakai oleh Anggota Ormas adalah di BON Pinjam. Modus BON pinjam tahanan
pada malam hari tidak hanya terjadi di Kendal, di Pati, di penjara Wirogunan Jogjakarta. Ini artinya ada pola yang sama
di seluruh Indonesia, bahwa untuk melakukan pembantaian harus dengan modus “BON Malam”. Lalu, Eksekusi dilakukan
oleh anggota Ormas tersebut berdasarkan list nama-nama tersebut menjelang pukul 21.00
– 24.00 WIB dengan cara meminjam BON tanahan antara 10 orang sampai 40 orang
tahanan. Pada tahapan selanjutnya tahanan yang di “BON
Malam”, dibawa ke tempat eksekusi baik di Hutan Darupono Kendal, Hutan Plumbon Mangkang Semarang dulu masih
wilayah Kendal,
Pantai Sendang
Sikucing, dengan
menggunakan kendaraan Truk militer dengan dikawal sedikitnya 2
– 3 orang petugas bersenjata. Sesampainya dilokasi militer yang bertindak mengeksekusi para tahanan
politik tersebut, menyuruh orang-orang PKI berbaris di pinggir lubang yang sudah dibuat sebelumnya. Para tahanan sebelum
di eksekusi dipersilahkan untuk berdoa menurut keyakinan masing-masing, selanjutnya mereka diberondong oleh petugas
yang bersenjata.
61
Masih banyak upaya unhuminity atau tindak pidana lain seperti, penyiksaan terhadap orang-orang PKI pada tahun
1965 , menurut penjelasn Pasal 9 huruf f, “yang dimaksud
dengan “penyiksaan” dalam ketentuan ini adalah dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau
penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seorang yang berada di bawah
pengawasan. Oleh karena itu, sebagaimana penjelasan Pasal 9 apaa yang dilakukan terhadap orang-orang PKI termasuk
dalam tindak pidana. Penyiksaan terhadap orang-orang PKI dilaksanakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, dimana
mereka ditangkap. Penyiksaan dilakukan oleh Ormas dan Tentara, tanpa
ada sebab khusus atau kesalahan dan dilakukan selama proses penahanan. Menurut penuturan Ari, hampir tiap hari ia dan
teman-temannya mendapat perlakukan kasar dari peetugas; seperti memukul, mencambuk, dan siksaan lain selama dalam
penjara. Penyiksaan seperti itu sudah jamak terjadi pada tahanan politik 1965 sebagaimana terjadi di Pulau Buru, Nusa
Kambangan, Wirogunan, dll. Oleh karena itu rentetan peristiwa ini merupakan tindak pidana kejahatan berat terhadap
kemanusiaan.
62
Perbuatan diatas
juga termasuk
didalamnya penghilangan orang secara paksa sebagaimana penjelasan
Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, dimana yang dimaksud dengan “penghilangan orang secara paksa” yakni
penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dan negara atau
kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan
informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dan perlindungan hukum
dalam jangka waktu yang panjang. Dari penjelasan Pasal 9 huruf i UU No. 26 tahun
2000, tentang Pengadilan HAM, menurut pendapat Baskara T Wardana, yaitu : bahwa pelaku menangkap arrested,
menahan detained atau menculik abducted satu orang atau lebih; atau menolak untuk mengakui penangkapan, penahanan
atau penculikan, atau menolak memberikan informasi menyangkut nasib atau keberadaan orang atau orang-orang
itu.
65
65
Wardaya, Baskara T, Luka Bangsa Luka Kita : Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Tawaran Rekonsiliasi. Yogyakarta : Galang Pustaka. 2014. Hal. 34.
63
b Dilakukan sebagai bagian dari serangan Actus reusunsur
obyektif
Sebagaimana Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000, bahwa tindakan dilakukan sebagai bagian dari serangan. Menurut
penjelasan Pasal 9, yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” adalah
suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan
yang berhubungan dengan organisasi. Serangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
66
, serangan adalah perbuatan menyerang menyerbu. Menyerang
bisa diartikan sebagai mendatangi untuk melawan melukai, memerangi, dsb. Sedangkan serangan menruut Komnas HAM
RI memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
Tindakan baik secara sistematis atau meluas yang dilakukan secara berganda multiplicity commission of acts yang
dihasilkan atau merupakan bagian dari kebijakan Negara atau organisasi. “Tindakan berganda” berarti harus bukan
tindakan yang tunggal atau terisolasi.
“Serangan” baik yang secara meluas ataupun sistematis, tidak harus merupakan “serangan militer” seperti diatur
66
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka. 1990. Hal. 823.
64
dalam hukum humaniter internasional, tetapi serangan dapat juga diartikan lebih luas, misalnya meliputi kampanye atau
operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Serangan tersebut tidak hanya harus melibatkan angkatan bersenjata,
atau kelompok bersenjata.
Persyaratan dianggap terpenuhi jika penduduk sipil adalah obyek utama dari serangan tersebut.
67
Yang dimaksud serangan berdasarkan fakta-fakta diatas yaitu, ditujukan terhadap orang-orang PKI menjadikan alasan
yang cukup untuk dikategorik an bagian dari “serangan”,
sehingga termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
c Meluas atau Sistematis actus reusunsur obyektif
Apa yang dimaksud dengan meluas atau sistematis adalah merujuk pada perspektif
“crimes againts humanity” Pasal 9 UU No.26 Tahun 2000 maupun Statuta Roma 1998
dan bukan kejahatan umum. Kata “meluas” menurut Laporan
Komnas HAM menunjuk pada “jumlah korban”, dan konsep ini menyangkut “massive”, sering atau berulang-ulang,
tindakannya dalam skala yang besar, dan dilaksanakan secara kolektif dan berakibat serius. Meluas atau sisstematis itu
67
Komnas Ham, Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta : Komnasham RI. Hal. 23.
http:www.komnasham.go.idsitesdefaultfilesdokumenRingkasan20Eksekutif___edit2b 201_0.pdf
. Diakses Tanggal, 12 Januari 2016.
65
berarti harus memenuhi salah satunya. Artinya bahwa untuk memenuhi unsur “crimes againts humanity” sebagaimana
Pasal 9 UU No.262000, peristiwa extra judicial killings 1965 dan tidaklah harus memenuhi kedua-duanya, sebab salah satu
unsur saja terpenuhi maka sudah masuk kategori tersebut. Misalnya
dapat dilihat
dalam yurisprudensi
International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR perkara “The Prosecutor versus Jean-Paul Akayesu”, case no. ICTR-
96-4-T
68
, yang dimaksud meluas adalah “concept of ’widespread’ may be defined as massive, frequent, large scale
action, carried out collectively with considerable seriousness and directed against a multiplicity of victims. Atau sebagai
serangan besar-besaran, terus-menerus, dalam tindakan skala besar, yang dilakukan secara kolektif dengan sungguh-sungguh
dan ditujukan terhadap korban dalam jumlah banyak.”
Sedangkan sistematis masih menurut perkara “the prosecutor versus Jean-Paul Akayesu, didefinisikan sebagai :
“The concept of ’systematic’ may be defined as thoroughly organised and following a regular pattern
on the basis of a common policy involving substantial public or private resources. There is no requirement
that this policy must be adopted formally as the policy of a state. There must however be some kind of
preconceived plan or policy”.
68
ICTR, The Prosecutor versus Jean- Paul Akayesu”, case no. ICTR-96-4-T.
1998. Hal
235. www.un.orgenpreventgenociderwandapdfAKAYESU20-
20JUDGEMENT.pdf . Diakses tanggal 15 Juni 2016.
66
Sistematis didefinisikan
sebagai menyeluruh
terorganisir dan mengikuti pola yang teratur atas dasar kebijakan umum melibatkan sumber daya umum atau swasta.
Tidak ada persyaratan bahwa kebijakan ini harus diadopsi secara resmi sebagai kebijakan negara. Namun harus ada
semacam rencana atau kebijakan yang sudah ditetapkan . Lalu, apakah unsur meluas atau sistematis ini telah
terpenuhi dalam peristiwa extrajudicial killings 1965? Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dilapangan, sebaran
korban “extra judicial killings 1965” terjadi di berbagai tempat di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data Kontras, sebaran
persekusi terhadap korban-korban peristiwa 1965, meliputi 12 Propinsi, 1653 bentuk pelanggaran yang terjadi kepada 593
korban 82 dialami laki-laki, 15 dialami oleh perempuan: dan 3 dialami oleh korban yang belum teridentifikasi jenis
kelaminnya.
69
Dan yang lebih menarik peristiwa extra judicial killings 1965, dilakukan secara sistematis dengan suatu pola tertentu
dan diorganisir secara rapi, sehingga cenderung sangat profesional dan direncanakan dalam waktu yang lama.
69
Kontras, Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965 : Sebuah Upaya Pendokumentasian. Jakarta. 2012. Hal 19.
67
Misalnya, Pasca 30 September 1965, dalam waktu yang singkat hampir semua pasukan militer sudah berada di
daerah-daerah dan pasukan itu berkoordinasi dengan ormas- ormas setempat. Kemudian pasukan militer tersebut bersama
Ormas-Ormas melakuikan identifikasi serta membuat daftar orang-orang PKI dan simpatisannya.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi, pengambilan orang-orang PKI dan simpatisan yang didaftar dilakukan
secara serempak oleh Ormas-Ormas untuk dibawa ke tahanan, dan di rumah tahanan itu sudah menunggu aparat keamanan
militer dengan senjata lengkap. Dan hal ini terdapat suatu persamaan pola antara satu tempat dan tempat lainnya,
sehingga ini jelas sangat sistematis.
d Ditujukan kepada penduduk sipil actus reus unsur
obyektif.
Apa yang dimaksud “ditujukan kepada penduduk sipil” menurut penjelasan Pasal UU No. 26 Tahun 2000, tentang
Pengadilan HAM, yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” adalah
suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan
yang berhubungan dengan organisasi. Adapun menurut
68
Yurisprudensi International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR terhadap
perkara “The Prosecutor versus Jean-Paul Akayesu”, case no. ICTR-96-4-T, bahwa yang dimaksud
anggota penduduk sipil adalah orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam permusuhan, termasuk anggota
pasukan bersenjata yang meletakkan senjata mereka dan orang-orang yang ditempatkan yang tidak dapat bertempur lagi
hors de combat karena sakit, luka, penahanan atau sebab lainnya.
“Members of the civilian population are people who are hot taking any active part in the hostilities,
including members of the armed forces who laid down their arms and those persons placed hors de combat
by sickness, wounds, detention or any other cause.
”
70
Maka, terkait dengan “penduduk sipil”, berdasarkan fakta-fakta di lapangan, korban extra judicial killings 1965
adalah banyak warga sipil yang hanya menjadi simpatisan PKI atau dituduh memiliki keterkaitan dengan PKI, atau karena
anggota keluarganya yang memiliki latar belakang PKI, atau pernah berhubungan dengan orang-orang PKI. Mereka semua
penduduk sipil yang seharusnya tidak boleh di korbankan, sebagaimana Konvensi Jenewa Tahun 1949 ; Pasal 3, antara
lain :
70
ICTR. Ibid. Hal 236.
69
1 Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa
itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkansenjata-senjata mereka serta mereka yang tidak
lagi turut serta hors de combat karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan
bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan
atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya
serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan
terhadap orang-orang tersebut diatas pada waktu dan ditempat apapun juga : a tindakan kekerasan atas jiwa,
dan
raga, terutama
setiap macam
pembunuhan, pengudungan, perlakuakn kejam dan penganiayaan; b
penyanderaan; c perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perilaku yang menghina dan merendahkan
martabat; d menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului kepeutusan yang dijatuhkan oleh suatu
pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan
oleh bangsa-bangsa beradab;
2 Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 meskipun tidak ada kaitannya dengan extra judicial killings
1965, tetapi Konvensi Jenewa adalah bagian dari hukum humaniter internasional, ada beberapa Pasal yang sangat
relevan dan yang secara khusus melindungi orang yang tidak mengambil bagian dalam permusuhan penduduk sipil dan
mereka yang tidak lagi terlibat dalam permusuhan
sebagaimana elements of crimes pada kasus extra judicial killings 1965.
70
Berdasarkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta fakta-fakta kontruksi extra judicial killings 1965
diatas, bahwa seharusnya pemerintah segera melaksanakan Pengadilan Ad Hoc, sebagaimana Pasal 43, ayat 1
Pelanggaran hak assi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan Ham Ad Hoc. Sebagaimana juga dijelaskan dalam UU No. 39 tahun
1999, tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 90, ayat 1 Setiap orang dan sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa
hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM. Bukankah
pelanggaran HAM masa lalu menurut UU No. 26 tahun 2000 Pasal 46 tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa?
Bukankah ajuan laporan pelanggaran HAM sebagaimana Pasal 90 UU No. 39 Tahun 1999, juga sudah dilakukan oleh
Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru LPRKROB serta Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan
19651966 YKPK 65, yang juga ditindak lanjuti oleh Rekomendasi Komnas HAM kepada Jaksa Agung, untuk
dilakukan penyidikan sebagaimana UU No. 26 tahun 2000,
71
Pasal 21 Ayat 1 Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
Bahwa extrajudicial killings 1965 terhadap orang-orang PKI berdasarkan UU No. 39 tahun 1999, Tentang Hak Asasi
Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah melanggar hak asasi manusia yang berat, dan ini
merupakan extraordinary crimes. Bahkan berdasarkan uraian diatas, serta fakta-fakta yang penulis dapatkan dari lapangan,
terdapat bukti permulaan yang cukup, Pasal 7 huruf b Kejahatan terhadap kemanusiaan, serta telah memenuhi
“the elements of crimes
” atau Unusr Obyektif, dengan mengacu pada UU No. 26 tahun 2000, Pasal 9, yaitu :
a Salah satu perbuatan actus reusunsur obyektif
b Dilakukan sebagai bagian dari serangan Actus
reusunsur obyektif c
Meluas atau Sistematis actus reusunsur obyektif d
Ditujukan kepada penduduk sipil actus reus unsur obyektif.
Dan juga bentuk-bentuk perbuatan yang mengarah pada kejahatan terhadap kemanusian sebagai bagian dari serangan
meluas dan sistematis ditujukan kepada penduduk sipil yang berupa :Pembumuhan Pasal 9 huruf a; Pemusnahan Pasal 9
72
huruf b; Perbudakan Pasal 9 huruf c; Pengusiran atau Pemindahan penduduk secara paksa Pasal 9 huruf d;
Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang Pasal 9 huruf e; penyiksaan
Pasal 9 huruf f. Jika mengacu pada keterangan tersebut diatas, telah
terjadi pelanggaran Hak Asasi manusia yang berat Pasal 1 Ayat 1 UU No. 262000 serta berdasarkan pada Pasal 1 ayat
3 Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Juncto Pasal 20 ayat 1, yaitu :
“Dalam hal Komisi nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang
cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil
penyelidikan disampaikan kepada penyidik
”. Bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan Pasal
20 Ayat 1 UU No. 26 tahun 2000, bahwa: “Dalam ketentuan
ini yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana
bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan
bukti permulaan
patut diduga
sebagai pelakupelanggaran hak asasi manusiayang berat”.
73
Adapun Penyidik dalam hal ini sebagaimana Pasal 21 Ayat 1 Penyidik perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Namun, meskipun the element of crimes, dalam
pelanggaran berat kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak selalu
berbanding lurus
dengan realitas
yang ada.
Bagaimanapun upaya melalui mekanisme pidana nasional yaitu Pengadilan HAM Ad Hoc, UU No. 26 Tahun 2000;
tentang Pengadilan HAM akan melalui berbagai kendala, menurut Indria Fernida karena beberapa alasan, yaitu :
1 pengalaman berjalannya Pengadilan HAM ad hoc untuk
kasus Timor Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984, serta Pengadilan HAM permanen untuk kasus Abepura, Papua
2000 menunjukan tidak serta merta upaya pengadilan bisa mewujudkan akuntabilitas dan memenuhi rasa keadilan
korban pelanggaran HAM. Secara keseluruhan, hingga saat ini tidak ada satu pun dari mereka yang bertanggung jawab
atas kejahatan pada peristiwa-peristiwa tersebut dan mendekam di balik penjara. Mereka semua bebas dengan
berbagai cara. Mekanisme pengadilan khusus ini seolah menjadi formalitas praktek impunitas yang masih berurat
akar di Indonesia.
74
2 kegagalan menghadirkan keadilan yang sejati juga terjadi di
Irak. Pasca invasi Amerika Serikat dan sekutunya, dibentuklah suatu pengadilan khusus the Supreme Iraqi
Criminal Tribunal. Meski didasari oleh aturan hukum domestik serta hukum internasional, namun pengadilan ini
sangat sarat dicampuri oleh kepentingan AS. 3
Pengadilan „komunitas‟ Gacaca dibentuk pada 2001 di Rwanda sebagai respon terhadap problem kejahatan berat
genosida yang terjadi di sana. Pengadilan Gacaca ini dibentuk berdasarkan suatu campuran antara praktek
tradisional masyarakat Rwanda dengan sistem pidana modern, yang juga mencakup ketentuan soal genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
71
1b. Hambatan Pengadilan HAM Ad Hoc menurut UU No. 26 tahun 2000
Meskipun aturan hukum sudah jelas UU No. 39 tahun 1999 dan UU No. 26 tahun 2000, kemudian fakta-fakta juga sudah
menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran Ham berat sebagaimana
71
Fernida, Indria. Penegakan Hak Asasi Manusia, Akuntabilitas dan Penegakan Hukum di Indonesia. IDSPS Press 2009. Hal 5-7.
75
Pasal 7 Ayat 2 “kejahatan terhadap kemanusiaan”, Jucto Pasal 9, Jucto Pasal 43 Ayat 1, Juncto Pasal 46, Jucto UU No. 26 tahun
2000; tetapi jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat masih panjang dan berliku. Hal itu karena beberapa hambatan, yaitu :
a Bahwa UU No. 26 tahun 2000, merupakan Undang-Undang
yang didisain untuk gagal design to fail, karena Pengadilan ad hoc sebagaimana Pasal 43 Ayat 2 “Pengadilan HAM ad hoc
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Dengan melihat kondisi perpolitikan dewasa ini, dimana kondisi riil anggota
DPR RI yang terbelah menjadi dua kelompok Koalisi Merah Putih KMP atau pendukung Prabowo kelompok kanan dan
Koalisi Indonesia Hebat KIH pendukung Jokowi Kiri Tengah sangat sulit DPR RI mengusulkan pengadilan HAM ad hoc
kepada Presiden untuk membuat Keppres . Disamping itu, kondisi masyarakat sekarang juga terbelah menjadi PRO
beberapa Aktifis dan Anti-PKI Kelompok Islam, Nasionalis dan TNI AD soal permintamaan maaf terhadap PKI yang justru
berujung pada permusuhan terhadap orang-orang PKI semakin mengkhawatirkan.
76
b Bahwa pertanggungjawaban pidana menurut UU No. 26 tahun
2000, sesuai dengan Ketentuan Pidana Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 adalah individu atau sistem individual
responsibility sebagaimana disebutkan disana “setiap orang”
Namun yang membedakan pada peradilan umum yaitu pada Pasal 42 pertanggungjawabannya ada pada “komando”. Konsep
pertanggungjawaban komandoatasan yang berarti juga bisa dari militer atau atasan non militer. Hal ini akan menjadi lebih susah,
dikarenakan orang-orang pelaku extrajudicial killings 1965 sudah meninggal dan pikun tua sehingga tidak mungkin
dimintai pertanggungjawaban pidana. c
Pelaku extrajudicial killings 1965 melibatkan banyak pihak, militer, tokoh ormas Islam, Orsospol, yang sifatnya massal,
sehingga menimbulkan kegaduhan dan bahkan konflik sosial jika tokoh panutannya diseret-seret ke Pengadilan.
2. Pengadilan Hybrid campuran