76
b Bahwa pertanggungjawaban pidana menurut UU No. 26 tahun
2000, sesuai dengan Ketentuan Pidana Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 adalah individu atau sistem individual
responsibility sebagaimana disebutkan disana “setiap orang”
Namun yang membedakan pada peradilan umum yaitu pada Pasal 42 pertanggungjawabannya ada pada “komando”. Konsep
pertanggungjawaban komandoatasan yang berarti juga bisa dari militer atau atasan non militer. Hal ini akan menjadi lebih susah,
dikarenakan orang-orang pelaku extrajudicial killings 1965 sudah meninggal dan pikun tua sehingga tidak mungkin
dimintai pertanggungjawaban pidana. c
Pelaku extrajudicial killings 1965 melibatkan banyak pihak, militer, tokoh ormas Islam, Orsospol, yang sifatnya massal,
sehingga menimbulkan kegaduhan dan bahkan konflik sosial jika tokoh panutannya diseret-seret ke Pengadilan.
2. Pengadilan Hybrid campuran
Mekanisme Pengadilan dalam mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, seperti : genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan, dapat menggunakan : a National Court berdasarkan UU No. 26 tahun 2000, b Ad-Hoc Tribunals sebagaimana
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia ICTFY
77
dan International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR, c Hybrid Tribunals, seperti East Timor Special Panels dan Special Court for
Sierra Leone, dan d Permanent Tribunal The International Criminal Court.
Bentuk pengadilan
internasional urgensinya
karena memiliki keterkaitan dengan kejahatan internasional atau kejahatan
di bawah yurisdiksi hukum internasional, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Dalam perspektif
hukum internasional, alasan bahwa kejahatan internasional harus dibentuk melalui pengadilan internasional adalah : 1 kejahatan
tersebut melanggar norma internsional yang bersifat jus cogens atau preemptory norm; 2 terhadap pelaku kejahatan tidak boleh bebas
tanpa hukuman impunity; 3 kejahatan ham berat tidak mengenal daluarsa non-statutory limitation.
Proses penegakan hukum dalam konteks internasional Secara teori dibagi menjadi dua hal, yaitu : 1 Direct Enforcement
System Penegakan Hukum Secara Langsung dan 2 Indirect Enforcement System Penegakan Hukum Secara Tidak Langsung.
Direct Enforcement System merupakan penegakan hukum pidana internasional oleh mahkamah pidana internasional, seperti :
Nuremberg, International Military Tribunal for the Far East Tokyo, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia
78
ICTY, International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR, dan International Criminal Court ICC. Sedangkan penegakan hukum
pidana internasional secara tidak langsung atau Indirect Enforcement System adalah penegakan hukum pidana internasional melalui
hukum pidana nasional di masing-masing negara, tempat kejahatan tersebut terjadi. Seperti : Hybrid tribunal di Timor Leste, Serra
Leone, Kamboja. Dalam konteks penyelesaian extrajudicial killings 1965,
melalui mekanisme yuridis menurut penulis dengan menggunakan hybrid tribunal. Dimana penyelesaian melalui Hybrid tribunals
menurut Andrey
Sujatmoko
72
, dikarenakan
faktor-faktor unwillingness dan inability dari negara pelaku pelanggaran berat
yang dapat menyebabkan mekanisme internasional mengambil alih fungsi pengadilan nasional. Meskipun hybrid tribunal tidak
sepenuhnya bersifat internasional karena campuran hukum nasional dan internasional, disamping itu ada peran dunia internasional
sehingga menjadikan internalisasi pengadilan nasional. Berkenaan dengan extra judicial killings 1965, penulis
mengajukan penyelesaian salah satunya adalah Hybrid Tribunals campuran, karena alasan sebagai berikut :
72
Sujatmoko, Andrey, Tanggungjawab Negara atas Pelanggaran HAM Indonesia, Timor Leste dan lainnya. Jakarta : PT. Grasindo. Hal. 179.
79
a. Tidak ada keinginan politik political will pengadilan nasional local court melalui UU No. 26 tahun 2000, yang dapat
mengadili kejahatan HAM berat tahun 1965. Hal itu akan terkendala oleh Pasal 43 Ayat 2 Pengadilan HAM ad hoc
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa
tertentu dengan Keputusan Presiden. Tentu saja mengharapkan “political will” DPR RI untuk mengusulkan Pengadilan HAM ad
hoc sangat mustahil pada kondisi politik Indonesia saat ini, dimana hampir anggota DPR RI justru berfikir tentang penolakan
kebangkitan PKI. b Kondisi kehidupan sosial politik indonesia yang tidak kondusif
dengan munculnya gerakan anti PKI yang terus digerakkan oleh militer dan Ormas islam dan nasionalis. Meskipun mengadili
pelanggaran HAM berat 1965 bukanlah menghidupkan PKI tetapi persepsi yang telah dibentuk oleh militer adalah kebangkitan PKI.
c Dikawatirkan bahwa jika dilaksanakan melalui proses peradilan Nasional justru akan menutupi atau melindungi para pelaku
kejahatan sehingga terhindar dari penghukuman. Stereotipe terhadap peradilan yang tidak dapat berlaku secara independen
dan tidak memihak.
80
Maka dari itu, dalam kondisi “deadlock” beberapa negara
yang mengalami nasib seperti itu unwillingness dan inability melakukan penyelesaian melalui mekanisme Hybrid Tribunals
seperti Sierra Leone dengan Special Court of Sierra Leone dan Timor Leste dengan Special Panels for Serious Crimes.
Hybrid tribunal disebut dengan pengadilan campuran, karena terdiri dari unsur-unsur yang bersifat campuran, seperti
menyangkut kebangsaan orang-orang yang bekerja hakim, jaksa, panitera terdiri dari warga negara setempat maupun orang asing
yang diangkat oleh PBB. Demikian pula dengan hukum yang digunakan adalah kombinasi antara hukum nasional setempat dengan
hukum internasional.
73
Pengadilan campuran atau Hybrid Tribunal merupakan penemuan baru dalam bidang hukum pidana internasional yang
disebut dengan “generasi ketiga” dari perkembangan pidana internasional. Perkembangan ini merupakan terobosan baru dalam
penegakan hukum pidana HAM internasional dimana model ini dikelompokkan dari beberapa campuran Negara-negara dan
komponen internasional yang menawarkan pendekatan yang tertuju
73
Sujatmoko, Andrey. Ibid.
81
pada keadilan internasional secara keseluruhan pada satu sisi dan
keadilan dalam negeri di sisi lain.
74
Pengadilan campuran, menurut United Nation adalah: “defined as courts of mixed composition and jurisdiction,
encompassing both national and international aspects, usually operating within the jurisdiction where the crimes
occurred ”.
This rule of law policy tool aims to serve two purposes: First
, to explore the potential positive impact hybrid courts may have on the domestic justice system of post-conflict
States so as to ensure a lasting legacy for the rule of law and respect for human rights; Second, to examine how
hybrid courts can receive the mandates and necessary political support required to be more effective in terms of
legacy and capacity-building.
75
Substansi dari hybrid tribunal dilakukan ketika hukum nasional mengalami kemandegan dalam penyelesaian kejahatan
terhadap kemanusian dan genosida. Upaya hukum internasional adalah menghadirkan Hybrid Tribunal yaitu pengadilan campuran
dari segi yuridiksi dan komposisi, yang meliputi aspek baik nasional maupun internasional, dimana pelaksanaannya di dalam yurisdiksi di
mana kejahatan terjadi. Bahwa pilihan Hybrid Tribunal, bukanlah persoalan politis dan menggeser kedaulatan negara, tetapi ini adalah
74
http:te-effendi-pidana.blogspot.com201207hybrid-model-peradilan- pidana.html
, diunduh 28 Februari 2015.
75
United Nations, Rule Of Law Tools for Post Conflict States : Maximizing the legacy of hybrid courts. New York and Geneva, 2008. Hal.1
82
persoalan hak asasi manusia yang menempati posisi sangat penting dalam hukum internasional.
Hybrid tribunals atau pengadilan campuran menurut Ethel Higonnet, merupakan kombinasi internasional dan lokal, hybrid juga
adalah produk dari berbagi akuntabilitas peradilan antara negara- negara di mana mereka berfungsi dan juga Persatuan Bangsa
Bangsa. “Blending the international and the local, existing hybrids
are products of judicial accountability sharing between the states in which they fucntion and the United Nations
”.
76
Adanya perpaduan unsur lokal dan internasional ini sesungguhnya adanya upaya untuk menghindari terjadinya impunitas
bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Ini mungkin salah satu model penegakan hukum progresif, yang menurut Suparman Marzuki,
menawarkan bentuk pemikiran dan penegakan hukum yang tidak submisif terhadap sistem yang ada, tetapi afirmatif afirmatif law
enforcement. Afirmatif berarti keberanian untuk melakukan pembebasan dari praktik konvensional dan menegaskan penggunaan
76
Higonnet, Ethel, “Restructuring Hybrid Courts: Local Empowerment and National Criminal Justice Reform. Yale Law School. 2005. Student Scholarship. Hal 4.
http:digitalcommons.law.yale.edustudent_papers.
83
satu cara yang lain, yang menerobos pakem-pakem praktik hukum yang telah lama berlangsung.
77
Oleh karena itu, pilihan hybrid tribunals memiliki kekuatan- keuatan internasional yang memiliki daya tekan dan kredibilitas
dalam penyelenggaran peradilan HAM masa lalu. Ini senyampang dengan pandangan Higonnet
78
terkait hybrid tribunal menurutnya teori setidaknya, hibrida dapat memanfaatkan kekuatan keadilan
internasional dan manfaat dari penuntutan lokal. Masih menurut Higonnet disatu sisi, hibrida dapat memanfaatkan kredibilitas hukum
internasional dan legitimasi khusus untuk lembaga-lembaga internasional, yang partisipasinya dapat meminjamkan pengadilan
hibrida tingkat otoritas sebagai mekanisme yang adil untuk mengadili pelaku. Sedangkan Disisi yang lain, hibrida secara
terstruktur dapat memasukkan keahlian lokal, yang berkaitan dengan penduduk lokal, dan membangun kembali sistem peradilan lokal
sebagai tempat pelatihan bagi penegakan nilai-nilai hukum. Adapun yang menarik dari hybrid adalah intervensi
kekuatan lokal yang dapat mengancam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat diminimalisir karena melibatkan
pihak-pihak internasional. Oleh karena itu penyelesaian melalui
77
Marzuki, Suparman, Pengadilan HAM di Indonesia : Melanggengkan Impunity. Jakarta : Erlangga, 2012. Hal. 276.
78
Higonnet, Op.Cit. Hal 2.
84
hybrid tribunal diharapkan menjadi jalan terbaik bagi penegakan hukum baik secara internasional maupun secara nasional. Substansi
dari alternatif penyelesaiaan model hybrid tribunal ini adalah bahwa penegakan hukum harus dilakukan dengan tanpa kompromi dan juga
demi mengurangi implikasi politik yang dapat menimbulkan “imunitas” pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan karena adanya
perlindungan hukum nasional dari penguasa. Pada dasarnya kemunculan pengadilan hibrid karena dilatar belakangi berbagai
varian politik dasar hukum yang berbeda-beda. Dan menurut Arie Siswanto
79
, dasar hukum pembentukan pengadilan hibrid terbagi menjadi tiga kategori, yaitu : pengadilan hibrid yang dibentuk
berdasarkan perjanjian antara PBB dengan negara, pengadilan hibrid yang dibentuk oleh PBB atau pemerintah internasional international
administration di suatu negara, dan pengadilan hibrid yang dibentuk oleh suatu negara namun mendapatkan dukungan internasional.
Namun, apapun dalil-dalil pembentukan hybrid tribunlas, paling tidak memiliki perspektif yang sama tentang tujuan
terbentuknya pengadilan tersebut, yaitu :bahwa pengadilan hibrid pada hakekatnya adalah mewujudkan perdamaian dan keadilan
berdasarkan standar hukum internasional dengan cara mengakhiri
79
Siswanto, Arie, Hukum Pidana Internasional. Yogyakarta : CV. Andi Offset. 2015. Hal 302.
85
impunitas bagi pelaku kejahatan internasional, melalui keterlibatan komponen-komponen hukum internasional.
80
Oleh karena itu, dalam penyelesaian extrajudicial killings 1965 ini, indonesia dapat menyelesaiakan model pengadilan
“hybrid” campuran, sebagaimana contoh negara-negara yang telah melakukan terlebih dahulu, seperti :
1 Sierra Leone
Konflik berdarah di Sierra Leone sepanjang awal tahun 1999 yang mengakibatkan hampir 50 ribu jiwa tewas dan
menimbulkan krisis
berkepanjangan. Berbagai
upaya penyelesaian konflik berdarah dilakukan oleh masyarakat
internasional. Lantas pada 16 Januari 2002 terbentuklah Pengadilan khusus untuk Sierra Leone atau The Special Court
for Sierra Leone SCSL dari hasil kesepakatan antara Pemerintah Sierra Leone dan PBB. Dasar hukum pengadilan
khusus untuk Sierra Leone adalah resolusi Dewan Keamanan 1315 2000 tanggal 14 Agustus 2000. Salah satu tujuannya
adalah dalam rangka mengadili orang-orang yang memikul tanggungjawab terbesar atas pelanggaran serius terhadap hukum
kemanusiaan internasional dan hukum Sierra Leone yang dilakukan di wilayah Sierra Leone sejak tanggal 30 November
80
Siswanto, Arie, Ibid. Hal.299..
86
1996.
81
Disamping itu Resolusi 1315 Dewan Keamanan PBB memberidat kepada Sekjen PBB untuk memulai pembicaraan
tentang pembentukan pengadilan khusus guna menangani kejahatan internasional di Sierra Leone.
82
Pengadilan hybrid di Sierra Leone didirikan melalui negosiasi dengan pemerintah
yang berdaulat, dengan ruang lingkup peran domestik yang lebih besar. Peran Sierra Leone dalam struktur Mahkamah Khusus
dipengaruhi oleh keputusan pemerintah untuk menunjuk staf internasional untuk beberapa posisi kunci yang seharusnya diisi
oleh Sierra Leone
83
. Menurut
Herman S
dan Ikaningtyas,
bahwa pembentukan lembaga peradilan internasional ad hoc SCSL
dengan struktur kelembagaan SCSL yang terdiri dari beberapa elemen nasional Sierra Leone serta elemen internasional dari
berbagai negara yang menempati struktur kelembagaan peradilan internasional Ad Hoc SCSL, seperti para hakim
judges, penuntut umum prosecutor serta pengacara lawyer
84
.
81
Shaw, Malcolm N, Hukum Internasional, terj. Bandung 2013. Hal. 405.
82
Siswanto. Op.Cit. Hal.303.
83
Office of The United Nations High Commisioner for Human Rights. Rule Of Law Tools for Post Conflict States : Maximizing the legacy of hybrid courts. New York :
United Nation. 2008. Hal. 10.
84
Janu, Aditya, Suryokumoro, Herman dan Ikaningtyas, Mekanisme The Special Court for Sierra Leone SCSL dalam Menyelesaiakan Kasus Pelanggaran Berat Studi Kasus
87
Struktur Organ kelembagaan peradilan SCSL menurut Shaw
85
, pengadilan khusus terdiri atas majelis dua majelis persidangan dan satu majelis banding, dan dibagi menjadi tiga
tingkat peradilan, yaitu Trial Chamber I, Trial Chamber II dan Appeal Chambers serta Prosecutor. Ketiga hakim memiliki
kedudukan yang berbeda-beda, yaitu : Trial Chamber I merupakan peradilan tahap pertama dalam SCSL yang memiliki
tugas melakukan
proses pemeriksaan
terhadap proses
penuntutan awal kepada tersangka kejahatan terhadap kemanusiaan. Terdiri dari satu hakim nasional Sierra Leone dan
dua hakim internasional. Trial Chamber II, merupakan peradilan tahap pertama yang berperan untuk memutuskan seorang
terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan kesaksiann bukti serta argumen yang dipaparkan para pihak dalam persidangan
86
. Terdiri dari tiga hakim yaitu satu hakim nasional Sierra Leone
dan dua hakim internasional. Adapun untuk Appeal Chambers bertugas memeriksa dan memutus banding atas perkara yang
sudah diputus Trial Chambers
87
. Terdiri dari dua hakim Nasional Sierra Leone dan tiga Hakim Internasional.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Civil War 1991-2002 di Sierra Leone. Makalah. Hal. 7.
85
Shaw. Op.Cit. Hal. 405
86
Aditya, Suryokumoro, Herman dan Ikaningtyas. Ibid. Hal. 8.
87
Siswanto. Loc.Cit. Hal. 313
88
Semua hakim internasional yang duduk di dalam SCSL merupakan hakim yang ditunjuk secara resmi oleh sekertaris
jendral PBB. Trial Chamber II disini Terakhir Appeal chamberss mendengarkan permohonan yang menolak segala keputusan
yang dikeluarkan oleh peradilan sebelumny atau Trial Chambers. Presecutor merupakan salah satu dari tiga organ dari
Pengadilan Khusus SCSL yang bertugas sebagai penuntut. Berkenaan dengan Yuridiksi menurut Shaw, bahwa Yuridiksi
Pengadilan Khusus mencerminkan sifat hibrida yang ada pada pembentukan dan pengisian stafnya. Pengadilan memiliki
yuridiksi berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
2 Cambodia
Pengadilan campuran hibryd juga dilakukan Kamboja, hal itu dilakukan karena secara faktual Kamboja tidak
ada unwilling dan unable untuk memulai proses peradilan. Kondisi unwilling dan unable dikarena sistem hukum nasional
tidak berfungsi dan sumberdaya manusia yang terbatas, sehingga pengadilan domistik tidak dapat berjalan seperti yang
diharapkan. Oleh karena itu, untuk mengatasi kebuntuan itu pada tahun 2001, Majelis Nasional Kamboja mengesahkan
sebuah undang-undang yang bertujuan membentuk pengadilan untuk mengadili kejahatan serius yang dilakukan rezim Khmer
89
Mereah dibawah Pol Pot tahun 1975-1979. Dasar hukum peradilan yang kemudian dinamakan
“Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia berdasarkan pada perjanjian PBB
dan Pemerintah Kamboja. Yang d ikenal dengan “March
Agreement”. Menurut Shaw
88
, pada 13 Mei 2003, Majelis Umum PBB menyetujui Rancangan Perjanjian antara PBB dan
Kamboja yang mengatur tentang Majelis Luar Biasa dalam Pengadilan Kamboja, dengan tujuan mengadili para pemimpin
senior Demokratik
Kampuchea dan
mereka yang
bertanggungjawab atas kejahatan dan pelanggaran serius terhadap hukum pidana Kamboja.
Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia ICCC, juga memiliki struktur pengadilan yang meliputi :
Judicial Chambers persidangan, Office of the Co-Prosecutor Penuntut dan Co-Investigating Judges Hakim Penyelidik.
Sedangkan Judicial Chambers, terdiri dari tiga bagian, yaitu : PreTrial Chamber, Trial Chamber, serta Supreme Court
Chamber
89
. Adapun proporsionalitas kedudukan Hakim pada ketiga peradilan menunjukkan keberbedaan, yakni; Pre-Trial
dan Trial Chamber terdiri dari dua hakim internasional dan tiga
88
Shaw, Op.Cit. Hal. 406-407.
89
Siswanto. Op.Cit. Hal 310.
90
hakim Nasional, sedangkan Supreme Court Chamber terdiri dari empat hakim Nasional dan tiga hakim internasional.
Kewenangan hakim pada ketiga bagian Judicial Chamber, juga berbeda-beda, seperti : Pre-Trial Chamber memiliki wewenang
memeriksa keberatan dan banding terhadap perintah yang dikeluarkan oleh Hakim Co-Investigasi. Trial Chamber disini
berperan memutuskan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak bersalah berdasarkan saksi kesaksian, bukti dan argumen
yang disampaikan oleh pihak selama persidangan Terakhir Supreme Court Chamber memiliki wewenang mendengar
banding terhadap keputusan dan penilaian yang dikeluarkan oleh Trial Chamber.
90
Semua hakim internasional yang duduk dalam lembaga ECCC diangkat oleh Dewan Hakim Agung Kamboja the
Supreme Council of the Magistracy of Cambodia atas usulan dari Dewan Keamanan PBB DK PBB. Adapun Yurisdiksi
Majelis Luar Biasa meliputi Kejahatan genosida sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi Genosida 1948, kejahatan
terhadap kemanusiaan sebagaimana didefinisikan dalam Statuta Roma 1998 tentang Pengadilan Pidana Internasional dan
90
Extraordinary Chambers
in the
Courts of
Cambodia. https:www.eccc.gov.khenjudicial-chamber
. Diakses 15 Oktober 2015
91
pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949, serta kejahatan lain UU Kamboja 2001
91
.
3 Timor Leste
Negara bekas koloni Portugal ini yang kemudian menjadi bagian dari Indonesia tahun 1975. Kemudian dalam
perjalanannya Timor Timur yang kini bernama Timor Leste melakukan pemisahan diri melalui Referendum tahun 30
Agustus 1999 yang diawasi oleh UNAMET United Nation Assistance Mission for East Timor badan bentukan PBB yang
bertugas memfasilitasi dan mengawasi pelaksanaan jajak pendapat. Potret berbeda terjadi pasca jajak pendapat yaitu
muncul tindak kekerasan yang dikenal sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia.
Pada bulan Oktober 1999, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1272 Tahun 1999, sebagaimana
kewenangan yang diatur dalam Bab VII Piagam PBB, mendirikan UNTAET The United Nations Transitional
Administration in East Timor sebagai otoritas yang menangani peralihan kekuasaan di Timor Leste, berdasarkan Regulasi
UNTAET 200015, tanggal 6 Juni 2000 dan Regulasi UNTAET 200011. Pada tanggal 6 Maret 2000 kemudian membentuk
91
Shaw. Op.Cit. Hal. 407.
92
panel yang memiliki yurisdiksi eksklusif atas kejahatan serius yang terjadi di Timor Leste.
92
Lebih lanjut berkenaan dengan yurisdiksi, menurut Mangai, UNTAET memiliki yurisdiksi atas genosida, kejahatan
perang, kejahatan
terhadap kemanusiaan,
pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan yang dilakukan di Timor Timur
antara 1 Januari – 25 Oktober 1999.
93
Sedangkan Tholib Effendi, membagi 3 tiga yurisdiksi Special Panels for Serious
Crimes in East Timor, yaitu : 1 Yurisdiksi Temporal; dimana Panels sebutan dari Peradilan khusus tersebut berwenang
mengadili siapapun yang melakukan tindak pidana antara tanggal 1 Januari 19 sampai dengan 25 Oktober sebagaimana
dimaksudkan di dalam Pasal 10.2 Regulation 200011 jo Pasal 2.3 Regulation 2015. 2 Yurisdiksi Teritorial; dimana berlaku
untuk tindak pidana yang terjadi di seluruh wilayah teritorial Timor Timur. Yuriisdiksi Material; yaitu menurut Pasal 10.1
Regulation 200011 jo. Pasal 1.3 Regulation 200015 Yurisdiksi material dari Pels adalah untuk tindak pidana :a Genosida; b
92
Muhamadin, Safiq. Pengadilan Campuran Internasional Hybrid-Tribunals dalam
Penyelesaian Kejahatan
Internasional. Artikel.
Hal. 6.
https:www.academia.edu23792571Pengadilan_Campuran_Hybrid- Tribunals_dalam_Penyelesaian_Kejahatan_Internasional?auto=download
93
Natarajan, Mangai Terj. Kejahatan dan Pengadilan Internasional. Bandung : Nusa Media, 2015. Hal. 361.
93
Kejahatan Perang; c Kejahatan terhadap Kemanusiaan; d Pembunuhan; eekerasan Seksual; dan f Penyiksaan.
94
Dasar pembentukan pada Special Panels Serious Crimes in East Timor adalah Resolusi Dewan Keamanan PBB,
SC res 1272 1999 of 25.10.1999, dengan bentuk Peradilan yaitu; UNTAET membentuk peradilan khusus yang disebut
dengan Panels of Judge sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1.1 Regulation 200015 yang merupakan amanat dari Pasal 10.3
Regulation 20001 UNTAET.
95
Para hakim akan diusulkan oleh PBB, tetapi lebih diutamakan berasal dari Timor Timur dan Indonesia, sedang
tempat kedudukannya bisa di Indonesia, Timor Timur ataupun di tempat lain yang relevan. Hal itu dapat dilihat dari struktur
dari Special Panels of the Dili District Court SPSC. Pada Panel dalam Pengadilan Distrik Dili terbentuk daru dua orang
hakim internasional dan satu hakim Timor.
96
Sedangkan Majelis hakim yang bertugas di kedua Special Panels terdiri dari dua
hakim internasional dan satu orang hakim lokal.
97
94
Effendi, Tholib. Hukum Pidana Internasional. Jakarta : Pustaka Yustisia.2014. Hal. 228.
95
Effendi, Tholib, Ibid. Hal 227.
96
Shaw. Op.Cit.. 409.
97
Ikaningtyas, Hybrid Tribunal Sebagai Upaya Penanganan Kasus Kejahatan Kemanusiaan Berat di Timor Timur Pada Tahun 1999. Risalah HUKUM Fakultas Hukum
Unmul, Juni 2012, Vol. 8, No. 1. Hal. 24.
94
“Apabila diperlukan dapat dibentuksebuah panel yang terdiri dari 5 hakim yaitu tiga orang hakim
internasional dan dua orang hakim lokal, hal ini diatur
dalam bagian 22 Regulasi 200015, yang berbunyi: “In accordance with section 9 and 10.3 of UNTAET
Regulation 200011 the panels in the district court of DIli shall be composed of two international jdges and
one east Timorese judge; 2.2 in accordance with section 15 of UNTAET Regulation Number 200011 the
panels in the court of Appeal in Dili shall be composed of two international judges and one Timorese judge. In
case of special importance or gravity a panel of five judges composed of three international judges and two
Timorese judges may be established”.
98
Adapun hukum substantif diterapkan juga campuran hukum nasional dan internasional, menggabungkan Ketentuan
sedikit dimodifikasi dari Statuta Roma ICC.
99
Dari beberapa penjelasan serta contoh-contoh diatas, setidaknya dalam pemilihan Pengadilan Hybrid, memiliki
keberhasilan yang menurut Antonio Cassese dalam Raub,
membutuhkan dua kondisi. Pertama ; peradilan nasional harus
layak atau setidaknya sebagian yang layak, sehingga sistem
nasional dapat diandalkan untuk batas tertentu. Kedua : harus
ada kebutuhan untuk meredakan tuntutan nasionalis dari penduduk setempat, yang muncul ketika pemerintah daerah
98
Ikaningtyas. Ibid. Hal 25.
99
Raub, Lindsay. Positioning Hybrid Tribunals International Criminal Justice. 2009. Hal. 1030. Diakses Maret 2016. https:www.uniceub.brmedia181722Texto2.pdf
95
menganggap administrasi peradilan menjadi atribut penting dari kedaulatan negara.
100
Untuk itu, pengadilan hibrida memainkan peran sentral dalam memastikan bahwa mereka yang dicurigai tanggung
jawab pidana diselidiki, dituntut dan dihukum. Disamping itu juga pengadilan hibrida dimaksudkan untuk memberikan
kontribusi untuk mengakhiri impunitas dengan memastikan penuntutan kejahatan sangat serius. Hal ini, pada gilirannya,
dapat berfungsi untuk memperkuat aturan hukum, terutama dimana impunitas mungkin telah menjadi akar penyebab
konflik. Memulihkan menghormati aturan hukum dan menunjukkan bahwa kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan genosida tidak dibiarkan begitu saja dapat dilihat sebagai landasan perdamaian berkelanjutan dan transisi
demokrasi. Namun, dalam pelaksanaan Pengadilan Hybrid dalam
kasus extrajudicial killings 1965, juga sebagaimana terjadi di Sierra Leone, Kamboja, dan Timor Timur juga tidak terlepas
dari hambatan-hambatan dalam pelaksanaanya, seperti : 1
Pengadilan campuran Hybrid sebagaimana dilaksanakan di Timor Timur, Kamboja serta Sierra Leone terjadi pada
100
Raub, Lindsay, Ibid. HAL. 1042.
96
saat konflik sedang berlangsung atau situasi politik sedang memanas, sehingga memunculkan kehadiran militer asing
atau campur tangan pihak internasional PBB untuk melakukan misi perdamaian atau menjaga konflik .
Sedangkan dalam kasus extrajudicial killings 1965 di Indonesia, pada saat ini tidak terjadi kasus konflik antara
pihak-pihak pro PKI dan Anti PKI, sehingga kehadiran militer
asinginternasional PBB
sangat tidak
dimungkinkan. 2
Tidak adanya political will dari pemerintah untuk memintah PBB mengeluarkan Resolusi sebagai landasan hukum
pelaksanaan Pengadilan Hybrid. Bahwa Pengadilan Hybrid hanya bisa terlaksana jika ada permintaan dari pemerintah
Indonesia, sebagaimana terjadi di Sierra Leone dan Kamboja. Sedangkan di Indonesia saat ini, justru
pemerintah tersandera oleh kepentingan politik kelompok mayoritas dan militer yang anti terhadap Komunis.
Pertimbangan politik dan keamanan dari dalam negeri --- kelompok anti komunis---- yang terus menekan pemerintah
untuk tidak mengungkit kasus 1965.
97
C. Penyelesaian melalui Mekanisme Non-Yudisial