Konsep Penyelesaian Extrajudicial Killings 1965

38 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN “Kami memutuskan untuk mendorong kaum sipil anti- Komunis untuk membantu pekerjaan ini.. Kami telah melatih mereka dua atau tiga hari, Lalu mengirim mereka untuk membunuh orang Komunis.” Kolonel Sarwo Edhi Wibowo 46

A. Konsep Penyelesaian Extrajudicial Killings 1965

Extrajudicial killings 1965 adalah pembantaian yang dilakukan tanpa proses Peradilan, tanpa melihat pada perundang-undangan yang ada yang mengatur tentang penghukuman bagi orang-orang yang melakukan kesalahan. Tindakan tersebut menurut Cessare Beccaria 1764, “No man may be called guilty before the judge has reached his verdict”. 47 Disamping itu juga melanggar UUD 1954 Pasal 1 Ayat 3; Pasal 27 Ayat 1; Pasal 28A, juga melanggar Dekralari Universal Hak Asasi Manusia DUHAM Pasal 1; Pasal 2; Pasal 5; Pasal 7, Statuta Roma 1998 Pasal 66 dan KUHAP butir ke 3 huruf c. Kini 50 lima puluh tahun sudah extrajudicial killings 1965 terhadap orang-orang PKI berlalu. Namun, hingga kini tidak ada upaya 46 Kontras, Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965 : Sebuah Upaya Pendokumentasian, 2011. 47 Beccaria, Caessare, Lock.Cit. Hal. 39. 39 penyelesaian 1965 yang dilakukan oleh pemerintah. Bahwa pentingnya penyelesaian extrajudicial killings 1965 adalah untuk menegakkan keadilan sebagaimana dituntut oleh keluarga korban. Hal ini karena menyangkut masalah perampasan hak hidup manusia, dimana orang- orang PKI itu dibunuh tanpa proses pengadilan. Langkah-langkah penyelesaian pelanggaraan HAM berat masa lalu adalah perwujudan dari nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan yang terkandung dalam sila Pancasila yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak termasuk negara. Nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan merupakan salah satu elemen penting dari demokrasi yang telah diatur dalam UUD 1945. Upaya penyelesaian pelanggaran ham berat tahun 1965 tanpa ada penyikapan yang tegas dari Negara maka hal itu akan menjadi sia-sia dan yang terjadi adalah berlangsungnya pelanggaran HAM yang terus-menerus seperti munculnya stigma dan diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan para korban 1965. Disamping itu penyelesaian HAM berat tahun 1965 atau extrajudicial killings 1965 adalah upaya menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sebagaimana UUD 1945, Pasal 28 H Ayat 2 yaitu : ”Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”. Maka terhadap upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah memberi kewajiban dan tanggung jawab kepada negara 40 untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Kewajiban dan tanggung jawab negara terjadi karena negara merupakan pengemban kewajiban hukum untuk menyelenggarakan langkah-langkah penyelesaian atas pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu. 48 Dalam UU No. 39 tahun 1999, tentang HAM Pasal 71, yaitu : “Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan perundang- undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Mengapa kewajiban negara yang harus menyelesaikan? Karena menurut Masstricht Guidelines on Violations of Economic, Social and Cultural Rights, Maastricht, January 22-26, 1997, negara berkewajiban melindungi hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dengan memberlakukan tiga jenis kewajiban pada Negara, yaitu: 1 kewajiban untuk menghormati, 2 melindungi dan 3 memenuhi. Sehingga kegagalan untuk melakukan salah satu dari tiga kewajiban tersebut merupakan pelanggaran hak yang dilakukan oleh 48 Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran KKPK, Jalan Indonesia menuju Penyelesaian atas Pelanggaran HAM masa lalu demi Masa Depan Bangsa : Kerangka Dasar untuk Kerja Bersama berlandaskan Konstitusi. 18 Agustus 2015. Hal 8. 41 negara. Juga diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia DUHAM yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A, bahwa semua negara harus bertanggungjawab dan wajib melindungi warga negaranya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasarnya yaitu hak hidup, hak kebebasan, hak untuk mendapat perlindungan, dll. Sebagaimana pendapat Sujatmoko, secara hukum negara merupakan pihak yang berkewajiban untuk melindungi protect, menjamin ensure dan memenuhi fulfil Hak Asasi Manusia. 49 Negara sebagai pemangku kewajiban, tidak dapat mengelak ataupun menolak kewajibannya yang sudah melekat secara otomatis sebagai pengemban tugas duty bearer, yaitu kewajiban untuk melindungi HAM : negara harus memberikan jaminan perlindungan dan mencegah segala bentuk pelanggaran terhadap haak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh negara maupun pelaku dari unsur non-negara. Kewajiban untuk menghormati dan memajukan HAM, negara harus mengeluarkan regulasi, kebijakan ataupun peraturan yang tidak bertentangan dengan nilai, norma dan aturan hukum HAM. Kewajiban untuk memenuhi HAM, negara harus melakukan tindakan nyata yakni dengan mengalokasikan anggaran, menyusun program dan membuat kebijakan-kebijakan dalam konteks menjamin pemenuhan hak asasi 49 Sujatmoko, Lock.Cit. Hal. 59. 42 manusia setiap warga negara dapat berjalan dengan baik tanpa gangguan dan ancaman dari pihak manapun. 50 Berkenaan dengan kewajiban negara, menurut Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran KKPK haruslah memenuhi beberapa hal, yaitu :: a Hak atas kebenaran, yang merupakan hak individual setiap korban dan hak kolektif masyarakat untuk mengetahui pelanggaran-pelanggaran berat HAM yang terjadi, siapa pelakunya dan mengapa sampai terjadi; b hak atas keadilan, yang merupakan hak setiap korban dan bagian dari tegaknya prinsip kedaulatan hukum; c hak atas pemulihan reparasi, yang meliputi: kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban; dan, d jaminan agar pelanggaran tidak berulang lagi. 51 Dalam konteks extrajudicial killings 1965 di Indonesia tentu tidak jauh berbeda dengan konsep kewajiban sebagaimana KKPK ungkapkan. Begitu pula jika dilihat dalam perspektif hukum kebiasaan internasional sebuah negara dianggap melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia gross violation of human rights jika; 1 negara tidak 50 Chrisbiantoro. Kewajiban Negara dalam Penanganan Kasus-kasus Pelanggaran HAM dan Pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Kontras Oak Foundation.2014. Hal. 2-3. 51 KKPK. Op.Cit. Hal. 7. 43 berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak warganya yang digolongkan sebagai non-derogable rights; atau 2 negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui aparat-aparatnya tindak kejahatan internasional international crimes atau kejahatan serius serious crimes yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. 52 Oleh karena itu, sudah jelas bahwa siapa yang harus bertanggungjawab terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam hal ini adalah negara. Disini merujuk pada posisi dan peran negara sebagai state actor, yaitu yang menjalankan semua sendi kehidupan bernegara sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar. Disamping itu kewajiban negara tersebut juga lahir dari instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. Pelanggaran negara terhadap kewajibannya itu dapat dilakukan baik dengan perbuatannya sendiri acts of commision maupun oleh karena kelalaiannya sendiri acts of ommission. 53 Kewenangan negara untuk bertanggungjawab tentu didasarkan pada negara sebagai subyek hukum internasional sekaligus sebagai subyek hak asasi manusia. Negara sebagai aktor atau pemangku kewajiban untuk bertangungjawab melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, bagi 52 Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi Ibid. 53 Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi PenyuntingEditor, Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : PUSHAM UII, 2008. Hal. 69. 44 warga negaranya, sebagaimana kontrak sosial dan politik negara dengan rakyatnya. Tanggungjawab negara menurut Hingorani 54 muncul sebagai akibat dari adanya prinsip persamaan dan kedaulatan negara equality and sovereignty of state yang terdapat dalam hukum internasional. Dan jika merujuka pada Dictionary of Law 55 , dianggap sebagai “Obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply with a legal obligation under international law.” Berkenaan dengan pertanggungjawaban negara, Shaw melihat ciri-ciri penting tentang pertanggungjawaban yang kemudian disebut sebagai faktor dasar, yaitu : 1 adanya kewajiban hukum internasional yang masih berlaku di antara kedua negara yang bersangkutan; 2 bahwa telah terjadi suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban itu dan mewajibkan negara tersebut bertanggungjawab; 3 bahwa perbuatan melanggar hukum atau kelalaian tersebut menimbulkan kehilangan atau kerugian. Tak jauh berbeda dari Shaw, Arechaga, juga melihat adanya kesepakatan doktrinal pada proposisi bahwa ada dua unsur yang penting untuk pembentukan tanggung jawab negara secara internasional, yaitu: a 54 Hingorani, Modern International Law, Second Edition, Oceana Publications, 1984, Hal. 241. 55 Elizabeth A.Martin ed., 2002, A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York, Hal. 477. 45 Pelanggaran dari suatu kewajiban hukum internasional; b atribusi pelanggaran itu untuk negara sebagai badan hukum 56 . Setidaknya dari ciri-ciri penting yang Shaw serta kesepakatan doktrinal pembentuk tanggungjawab dari Arechaga dapat memberikan kejelasan tentang bagaimana negara dapat bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM masa lalu, meskipun tindakan itu dilakukan bukan oleh negara secara langsung, tetapi melalui organ-organ negara. Maka dari itu, tindakan organ negara sebagaimana kasus extrajudicial killings 1965, tanggungjawabnya dapat dilimpahkan kepada negara. Sebagaimana Pasal 4 Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001 yang meliputi : 1. The conduct of any State organ shall be considered an act of that State under international law, whether the organ exercises legislative, executive, judicial or any other functions, whatever position it holds in the organization of the State, and whatever its character as an organ of the central Government or of a territorial unit of the State. 2. An organ includes any person or entity which has that status in accordance with the internal law of the State. Organ negara yang dimaksud Pasal 4 yaitu yang mencakup semua individu atau entitas kolektif yang membentuk organisasi Negara lembaga atau pejabat-pejabat negara yang berdasarkan undang-undang memiliki kewenangan untuk bertindak atas nama negara. Ini juga 56 E.J. de Arechaga and A Tanzi, “State Responsibility”, dalam Mohammed Bedjaoui, International Law : Achievements and Prospects. Dordrecht : Martinus Nijhoff Publisher, 1991. Hlm. 348. 46 termasuk organ badan pemerintah teritorial dalam Negara atas dasar yang sama seperti organ pemerintah pusat. 57 Dalam konteks itu pertanggungjawab negara terhadap pelanggaran kejahatan internasional menurut Oentung Wahyoe 58 juga didasarkan pada vicarious responsibility of state. Masih menurut Wahjoe, negara dapat mempertanggungjawabkan jika memang ada keterlibatan negara yang meliputi; kebijakan negara product of state favoring policy, kehendak negara favored by state conduct atau oleh negara product of state action. Mensikapi tentang tanggungjawab negara sebagai pengemban kewajiban untuk penegakan HAM, maka pentingnya membuat langkah- langkah atau mekanisme penyelesaian extrajudicial killings 1965 baik melalui mekanisme yudisial atau non-yudisial.

B. Penyelesaian Melalui Mekanisme Yudisial