Perbedaan Asas Pembuktian Terbalik dengan Asas Pembuktian di Indonesia

telah dicantumkan ketentuan pembuktian terbalik dalam beberapa pasal yaitu pasal 77 37 , pasal 78 38 , dan pasal 81 39 .

B. Perbedaan Asas Pembuktian Terbalik dengan Asas Pembuktian di Indonesia

Perbedaan asas pembuktian terbalik dengan asas pembuktian yang dalam KUHAP di Indonesia adalah dengan mengetahui tentang beban pembuktian. Beban pembuktian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada salah satu pihak untuk memberikan suatu fakta di depan sidang pengadilan untuk membuktikan kebenaran atas suatu tuduhan atau pernyataan. Untuk dapat menbedakan pembuktian biasa dengan pembuktian terbalik dapat dilihat dari macam-macam pembuktian yang ada, yaitu: 1. Beban Pembuktian Biasa. Pembuktian dalam hukum pidana pada hakikatnya merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini dikarenakan pembuktian merupakan suatu proses dalam menentukan dan menyatakan tentang kesalahan seseorang. Proses pembuktian harus dilakukan melalui proses peradilan sehingga akan menentukan apakah seseorang dapat dijatuhi pidana yang dalam hal ini melalui hasil 37 Pasal 77: Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. 38 Pasal 78 ayat 1: Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1. Ayat 2: Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. 39 Pasal 81: Dalam hal diperoleh bukti cukup bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan harta kekayaan tersebut. Universitas Sumatera Utara pemeriksaan dalam persidangan terbukti secara sah dan menyakinkan pelaku melakukan tindak pidana, selain itu pelaku dapat juga dibebaskan dari segala tuntutan hukum apabila apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Dikaji secara umum, kata pembuktian berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu hal peristiwa dan sebagainya yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal peristiwa tersebut. 40 Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi memperhatikan bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. 41 Menurut M. Yahya Harahap, memberikan pengertian pembuktian adalah: 42 Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara- cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kasalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. Sedangkan membuktikan itu sendiri mengandung pengertian: “memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.” 43 40 Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 84. 41 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 207. 42 M. Yahya Harahap, Op. Cit., halaman 273. 43 Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, halaman 2. Universitas Sumatera Utara Proses pelaksanaan pembuktian pada dasarnya sudah dapat dilaksanakan sejak proses penyidikan terhadap suatu perkara pidana dilakukan. Tindakan penyidikan yang dilakukan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, dalam hal ini telah dilakukan suatu tahap pembuktian. Sama halnya dengan proses penyidikan, dalam melakukan penyidikan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Proses pembuktian pada dasarnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Proses pembukt ian harus ada hubungan yang saling terkait mengenai apa yang akan diterapkan oleh hakim dalam menentukan kebenaran materiil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut: 44 a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti. b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan- perbuatan yang didakwakan kepadanya. c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu. d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Berhubungan dengan yang telah diuraikan di atas, dalam proses pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksa yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menangani perkara tersebut, kemudian ada penuntut umum yang 44 Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 86. Universitas Sumatera Utara melakukan penuntutan dan terdakwa beserta penasehat hukumnya. Pada majelis hakim melalui kegiatan memeriksa perkara melakukan kegiatan pembuktian dengan memeriksa fakta dan sekaligus menilai menyatakan kesalahan atau ketidaksalahan terdakwa tersebut dalam vonisnya. Penuntut umum maupun terdakwa dan penasehat hukum melakukan kegiatan pembuktian juga, hanya saja perspektif penuntut umum membuktikan keterlibatan dan kesalahan terdakwa dalam melakukan suatu tindak pidana, tetapi dari pihak terdakwa dan penasehat hukumnya melakukan suatu pembuktian yang berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh penuntut umum. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui apa yang menjadi tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan, yaitu: 45 1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. Dalam hal ini pandangan penuntut umum adalah pandangan subjektif dari posisi yang objektif. 2. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang 45 http:www.scribd.comdoc11654767Tinjauan-Yuridis-Pembuktian-Cyber-Crime- Dalam-Perspektif-Hukum-Positif-Indonesia . diakses pada tanggal 8 Maret 2012, pukul 09.15 WIB. Universitas Sumatera Utara menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan. Dalam hal ini pandangan terdakwa adalah pandangan subjektif dari posisi yang objektif. 3. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat- alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan. Dalam hal ini pandangan hakim dinyatakan sebagai pandangan objektif dari sisi yang objektif pula. Penjatuhan pidana oleh hakim melalui proses hukum pembukt ian ini secara umum berorientasi kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menentukan: 46 “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Pada hakikatnya hukum pembuktian dapat dikategorikan kedalam hukum pembuktian yang bersifat umumkonvensional dan khusus. Proses dari hukum pembuktian yang bersifat umumkonvensional, termasuk dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Dalam hal ini, hukum pembukt ian yang dilaksanakan dalam proses persidangan dilakukan secara aktif oleh jaksa penuntut umum untuk menyatakan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam surat 46 Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Universitas Sumatera Utara dakwaan. Demikian juga yang dilakukan oleh terdakwa dan penasehat hukumnya dalam proses persidangan untuk membuktikan bakwa apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum tentang tindak pidananya tidak terbukti. Pasal 66 KUHAP dinyatakan bahwa: 47 “ tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.” Begitu juga yang diatur dalam beberapa ketentuan peraturan perundang- undangan yaitu: Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 pasal 8 yang menyatakan: 48 “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, danatau dihadapkan di depan Pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mempeloleh hukum yang tetap.” Penjelasan pasal 66 KUHAP dinyatakan bahwa: ketentuan ini adalah penjelasan dari asas “praduga tak bersalah”. 49 Dalam hal ini berarti bahwa yang berhak dalam melakukan pembuktian adalah jaksa penuntut umum. Penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah menyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. 47 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 48 Pasal 8 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1870 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. 49 Penjelasan pasal 66 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Universitas Sumatera Utara 2. Beban Pembuktian Terbalik Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof Onus of Proof . Proses pembuktian dalam hal ini terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah yang akan menyiapkan segala beban pembuktian di depan sidang pengadilan, dan apabila terdakwa tidak dapat membuktikan maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Dengan kata lain bahwa penuntut umum dalam hal ini bersifat pasif sedangkan terdakwa bersifat aktif. Pada asasya beban pembuktian jenis ini dinamakan teori “Beban Pembuktian Terbalik Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof Onus of Proof . 50 3. Teori Pembalikan Beban Pembuktian Keseimbangan Kemungkinan Balanced Probability of Principles Dalam prakteknya teori beban pembuktian ini dapat dibagi lagi menjadi pembuktian terbalik yang bersifat murni maupun bersifat terbatas. Dengan demikian dapat terlihat bahwa pembuktian terbalik merupakan suatu penyimpangan dari hukum pembuktian yang diterapkan terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Teori pembalikan beban pembuktian relatif pada dasarnya tidak dapat dilaksanakan terhadap suatu kesalahan yang telah dilakukan oleh sesorang karena dapat mengakibatkan adanya pergeseran asas praduga tak bersalah menjadi asas praduga bersalah. Namun, dalam hal-hal tertentu hal tersebut dapat dilaksanakan seperti dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, yang 50 Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 103. Universitas Sumatera Utara dalam hal ini asas praduga tak bersalah dapat dikesampingkan dengan adanya asas praduga bersalah dimana terdakwa harus membuktikan bahwa apa yang didakwakan tersebut tidak benar. Pembuktian terbalik ini juga harus bersifat beban pembuktian berimbang. Proses pembuktian akan dilakukan oleh penuntut umum dan juga terdakwa dalam proses persidangan. Sebagaimana tugas dari penuntut umum akan membuktikan tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa sesuai dengan isi dakwaan, sedangkan terdakwa akan berusaha untuk membuktikan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya. Upaya untuk mengurangi dampak negatif dari teori pembalikan beban pembuktian maka harus dilakukan dengan menerapkan suatu teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan. Teori ini mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaan milik pelaku yang diduga kuat berasal dari tindak pidana khusus seperti korupsi dan pencucian uang di sisi lain. 51 51 Ibid, halaman 110. Dalam hal penanganan kasus tindak pidana korupsi misalnya kedudukan hak asasi pelaku tindak pidana korusi merupakan suatu perhatian yang serius dengan mempergunakan teori probabilitas berimbang yang paling tinggi dengan menggunakan sistem pembuktian menurut undang- undang secara negatif. Sedangkan dalam hal lain penggunaan asas pembuktian Universitas Sumatera Utara terbalik dapat dilakukan terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi sehingga tidak berdasarkan asas pembuktian negatif. Penerapan asas pembuktian terbalik pada tindak pidana pencucian uang maka terdakwa akan membuktikan tentang asal asul harta kekayaannya yang diduga terkait dengan hasil kejahatan. Sedangkan penuntut umum juga akan tetap melakukan pembuktian terhadap tindak pidana yang diduga dilakukan terdakwa sesuai dengan surat dakwaan. Dalam hal tingkat penyidikan berlaku asas praduga bersalah dimana dengan adanya bukti hukum awal yang kuat maka penyidik akan menduga bahwa terdakwa benar telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Namun ketika perkara tersebut telah diproses di pengadilan maka penerapan asas praduga bersalah harus dikesampingkan untuk mencapai suatu putusan yang adil. Salah satu bentuk penerapan asas praduga tak bersalah adalah pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum bukan terletak pada terdakwa. Namum karena sulitnya untuk membuktikan pada kasus-kasus korupsi dan pencucian uang, maka timbulah suatu upaya luar biasa, yaitu sistem pembuktian terbalik, dengan demikian maka beban pembuktian bukan lagi pada penuntut umum melainkan kepada terdakwa.

C. Pererapan Asas Pembuktian Terbalik Di Beberapa Negara.