Pererapan Asas Pembuktian Terbalik Di Beberapa Negara.

terbalik dapat dilakukan terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi sehingga tidak berdasarkan asas pembuktian negatif. Penerapan asas pembuktian terbalik pada tindak pidana pencucian uang maka terdakwa akan membuktikan tentang asal asul harta kekayaannya yang diduga terkait dengan hasil kejahatan. Sedangkan penuntut umum juga akan tetap melakukan pembuktian terhadap tindak pidana yang diduga dilakukan terdakwa sesuai dengan surat dakwaan. Dalam hal tingkat penyidikan berlaku asas praduga bersalah dimana dengan adanya bukti hukum awal yang kuat maka penyidik akan menduga bahwa terdakwa benar telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Namun ketika perkara tersebut telah diproses di pengadilan maka penerapan asas praduga bersalah harus dikesampingkan untuk mencapai suatu putusan yang adil. Salah satu bentuk penerapan asas praduga tak bersalah adalah pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum bukan terletak pada terdakwa. Namum karena sulitnya untuk membuktikan pada kasus-kasus korupsi dan pencucian uang, maka timbulah suatu upaya luar biasa, yaitu sistem pembuktian terbalik, dengan demikian maka beban pembuktian bukan lagi pada penuntut umum melainkan kepada terdakwa.

C. Pererapan Asas Pembuktian Terbalik Di Beberapa Negara.

Tindak pidana pencucian uang merupakan suatu masalah yang sangat berbahaya bukan saja hanya pada negara pelaku tindak pidana tetapi jika pada dunia internasional. Hal ini dikarenakan dengan danya pencucian uang yang berasal dari hasil korupsi maupun narkotika pada akhirnya akan membuat tingkat pertumbuhan tindak pidana lain semakin pesat. Tindakan inilah yang pada Universitas Sumatera Utara akhirnya akan mengakibatkan keamanan internasional akan terancam. Untuk mencegah hal tersebut beberapa negara telah membuat suatu aturan yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Sulitnya untuk mengungkap tindak pidana tersebut beberapa negara telah menerapkan asas pembuktian terbalik khususnya dalam tindak pidana korupsi, diantaranya adalah: a. Negara Malaysia Aturan yang ada di negara Malaysia, pasal yang mengatur mengenai pembuktian terbalik secara tegas dimuat dalam Pasal 42 yang menyangkut masalah pemberian gratification. Pasal tersebut berbunyi: 52 “Where in any proceedings against any person for an offence under section 10, 11, 13, 14, or 15 it is proved that any gratification has beenaccepted or agreed to be accepted, obtained, or attemped to beabtained, solicited, given or agreed to be given, promised or offered byor to the accused, the gratification shall be presumed to have beencorruptly accepted or agreed to be accepted, obtained or attempted tobe obtained, solicited, given or agreed to be given, promised, or offered as an inducement or a reward for or on account of the mattersset out in the particulars of the offence, unless the contrary is proved.” Pengertian pada setiap proses terhadap setiap orang yang didakwa melanggar Pasal 10, 11, 13, 14, atau 15, telah dibuktikan bahwa suatu pemberian gratification telah diterima atau setuju untuk diterima, diperoleh, atau dicoba untuk diperoleh, didapatkan, diberikan atau setuju untuk diberikan, dijanjikan, atau ditawarkan oleh atau kepada terdakwa maka pemberian itu dianggap secara korup telah diterima atau setuju untuk diterima, diperoleh atau dicoba untuk diperoleh, didapat, diberikan, atau setuju untuk diberikan, dijanjikan, atau 52 Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 53. Universitas Sumatera Utara ditawarkan sebagai suatu bujukan atau hadiah untuk suatu atau karena hal yang dinyatakan khusus dalam delik itu, kecuali dibuktikan sebaliknya. Rumusan ini ternyata bahwa pembuktian terbalik berlaku bagi penerima passieveomkoping dan pemberi actieve omkoping. Pada ayat 2 Pasal 42 ACA dinyatakan, bahwa ketentuan tentang pembuktian terbalik berlaku juga bagi delik suap di dalam Penal Code KUHP. Lengkapnya berbunyi: 53 “Where in any proceedings against any person for an offence under section 161, 163, or 164 of the Penal Code, it is proved that such person has accepted or agreed to accept, or obtained or attempted toobtain any gratification, such person shall be presumed to have doneso as motive or reward for the matters set out in the particulars of theoffence, unless the contraty is proved.” Pengertian pada semua proses terhadap semua orang yang didakwa melanggar Pasal 161, 162, atau 164 KUHP, telah dibuktikan bahwa orang itu telah menerima atau setuju menerima atau memperoleh atau mencoba untuk memperoleh suatu pemberian gratification, maka orang itu dianggap telah melakukan perbuatan demikian sebagai motif atau hadiah atas hal-hal yang dinyatakan secara khusus dalam delik itu, kecuali dibuktikan sebaliknya. Berdasarkan ketentian pasal tersebut menyatakan bagian dari inti delik bestanddelen yang harus dibuktikan oleh penuntut umum, menjadi tidak usah dibuktikan tetapi terdakwalah yang membuktikan. Jika dibandingakn dengan ketentuan hukum yang mengatur hal yang sama di Indonesia, terdapat suatu perbedaan dimana dalam hal gratifikasi diterapkan dengan pembuktian terbalik yang berimbang, dimana gratifikasi dengan jumlah uang lebih dari Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah harus dibuktikan oleh terdakwa sendiri sebagai 53 Ibid, halaman 54. Universitas Sumatera Utara penerima gratifikasi, sedangkan untuk gratifikasi dengan jumlah dibawah Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah maka harus dibuktikan oleh penuntut umum. Proses pembuktian terhadap kasus-kasus korupsi dalam konteks pembuktian terbalik di negara Malaysia adalah sebagai berikut: 54 1. Harus dibuktikan terlebih dahulu oleh penuntut umum adanya sebuah keputusan yang “aneh”, dimana keputusan itu telah dipengaruhi oleh adanya pemberian hadiah; 2. Harus dibuktikan bahwa pada hari dan tanggal tertentu si pejabat telah menerima hadiah dari seseorang; 3. Polisi dan jaksa menyusun Berita Acara Pemeriksaan BAP dan dakwaan yang menerangkan, bahwa keputusan pejabat itu telah dipengaruhi oleh pemberian hadiah dari seseorang; 4. Di muka pengadilan harus dibuktikan oleh terdakwa bahwa hadiah yang ia terima itu tidak mempengaruhi keputusannya, sehingga dengan demikian ia akan membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. b. Negara Singapura Singapura tergolong negara kecil dan paling kecil kasus korupsinya namun tetap menciptakan badan anti korupsi yang disebut CPIB Corrupt Practices Investigation Bureau . Undang-undang anti korupsinya pun sudah ada sejak tahun 1960. Undang-undang ini telah berkali-kali diamandemen tahun 1963, 1966,1972, 1981, 1989, dan 1991. Nama resmi undang-undangnya adalah Preventionof Corruption Act disebut PCA. Undang-undang tersebut memuat hukum pidana materil dan hukum acara pidana. Adapun rumusan delik umumnya diambil dari KUHP-nya tanpa diubah sanksinya menjadi lebih berat seperti halnya Indonesia. Dibentuknya komisi pemberantasan korupsi oleh negara Singapura hal ini berhubungan erat dengan keadaan salah satu priotitas dari kegiatan 54 H. Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 215. Universitas Sumatera Utara ekonominya yang berhubungan dengan perdagangan antar negara. Di dalam PCA diatur pembalikan beban pembukt ian tetapi lain dari Malaysia yang mencantumkannya pada bagian acara pembuktian. Singapura menjadikannya bagian dari rumusan delik, yang tercantum di dalam Pasal 8 PCA yang berbunyi: 55 Where in any proceedings against a person for an offence under section 5 or 6 it is proved that any gratification has been paid or givento or received by a person in the employment of the Government or any department there of or any public body, that gratification shall bedeemed to have been paid or given and received corruptly as an inducement or reward as here in before mentioned unless the contraryis proved. Pengertian yang berkaitan dengan pemerintah, yang berarti pemberian oleh seseorang kepada pejabat pemerintah yang mencari kontak dengan pemerintah atau departemen atau badan publik, dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Apabila dikaji, terdapat kebijakan formulasi dalam undang-undang negara Singapura hampir sama dengan kebijakan formulasi yang dirumuskan di Indonesia. Setiap pemberian akan dianggap sebagai suap apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa pemberian tersebut bukan suap. c. Negara Hongkong Pengaturan mengenai pembuktian terbalik yang dilaksanakan di Hongkong tertera dalam Prevention of Bribery Ordinance 1970 Pasal 10 1b yang berbunyi: 56 “or is in control of pecuniary resources of property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives satisfactory explanation to the court as to how he was able to maintain such a 55 Ibid, halaman 65. 56 http:usupress.usu.ac.idfilesPembalikan20Beban20Pembuktian20dalam20Pe mberantasan20Korupsi_Final_bab201.pdf, diakses pada tanggal 9 Maret 2012, pukul 10.00 WIB. Universitas Sumatera Utara standard of living or how such pecuniary resources of property came under his control, be guilty of an offence.” Pengertian pengaturan mengenai sumber-sumber pendapatan atau harta yang tidak seimbang dengan gajinya pada saat ini atau pendapatan resmi pada masa lalu, akan dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran kecuali kalau ia dapat memberikan suatu penjelasan yang memuaskan kepada pengadilan mengenai bagaimana ia mampu memperoleh standar hidup yang demikian itu dapat ia dikuasai. Ketentuan ini jelas menganut pembuktian terbalik, karena seseorang yang berada dalam posisi demikian dinyatakan bersalah melakukan korupsi, kecuali diadapat membuktikan sebaliknya, yaitu membuktikan kekayaan yang dimilikinya diperoleh secara sah. Kalau ia tidak dapat membuktikan, ia dinyatakan terbukti melakukan korupsi. Penerapan pembukt ian terbalik yang telah dilaksanakan di Hongkong dapat terlihat dari Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara The Attorney General of Hong Kong v Hui Kin Hong . 57 57 Lilik Mulyadi, Op.cit., Halaman 145. Berdasarkan putusan tersebut Pengadilan Tinggi Hong Kong menyatakan ketentuan Pasal 10 ayat 1 huruf a Ordonansi Pencegahan Penyuapan Bab 201 meletakkan beban pembuktian kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana korupsi. Dalam persidangan sebelum terdakwa melakukan pembuktian atas apa yang di dakwakan kepadanya maka penuntut umum terlebih dahulu harus melakukan pembuktian tentang standar hidup terdakwa yang disesuaikan dengan penghasilannya, yang dalam hal ini penuntut umum harus Universitas Sumatera Utara dapat membuktikan bahwa kehidupan terdakwa pada dasarnya tidak dapat terpenuhi dengan penghasilan yang diperolehnya. Setelah penuntut umum melakukan pembuktian barulah terdakwa harus membuktikan harta kekayaannya tersebut bukan merupakan hasil suatu tindak pidana korupsi. Pelaksanaan proses pembuktian yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Hong Kong pada dasarnya tidak sesuai dengan asas pembuktian yang telah berlaku selama ini di Hongkong, hal ini dikarenakan sistem pembuktian yang berlaku adalah prinsip pembuktian “Due Procees of law”, namun terdapat pengecualian terhadap tindak pidana tertentu seperti terhadap harta kepemilikan terdakwa dapat dipergunakan pembuktian terbalik yang bersifat berimbang atau “balance probabilities”. Teori ini secara imperatif adanya kewajiban penuntut umum untuk membuktikan secara negatif tentang aspek yang bersifat menyangkut status sosial terdakwa, sehingga apabila hal ini dapat dibuktikan, maka selanjutnya terdakwalah yang berkewajiban untuk melakukan pembuktian terhadap harta kekayaan tersebut. d. India Penerapan pembuktian terbalik telah dilaksanakan dalam proses peradilan di India dapat terlihat dari Putusan Mahkamah Agung India antara State of West Bengal v The Attorney General for India AIR 1963 SC 255. 58 Putusan mahkamah agung India ini membawa suatu perubahan terhadap pelaksanaan pembuktian di negara tersebut. Ketentuan pembuktian untuk tindak pidana umum pelaksanaan pembuktiannya dilaksanakan oleh penuntut umum 58 Ibid. halaman 156. Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Akan tetapi terhadap perkara korupsi pelaksanaan pembuktian tersebut tidak berlaku mutlak dan dapat dikesampingkan apabila berdasarkan fakta-fakta tertentu dapat dibuktikan adanya kesalahan terdakwa, sehingga beban pembuktian berada pada terdakwa bahwa walaupun harta kepemiikannya tidak sebanding dengan sumber pemasukannya, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa harta tersebut bukan merupakan hasil tindak pidana. Putusan mahkamah agung tersebut menyatakan bahwa adanya pembuktian yang bersifat berimbang atau “balance probabilities’ dapat diterapkan dalam kasus-kasus korupsi bahwa adanya kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan terdakwa sendiri juga harus berusaha untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana korupsi.

D. Asas Pembuktian Terbalik Sebelum Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang