BAB II PENGATURAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DI INDONESIA
A. Sejarah Lahirnya Asas Pembuktian Terbalik
Pembuktian terbalik secara kronologis bermula dari sistem pembuktian yang dikenal dari negara yang menganut rumpun Anglo-Saxon dan hanya terbatas
pada “certain cases” khususnya terhadap tindak pidana “gratification” atau pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” suap.
23
Perkembanganyang ada di beberapa negara telah menerapkan sistem pembuktian terbalik ini seperti di United Kingdom of Great Britain, Republik
Singapura, Malaysia, Hongkong, Pakistan, India, dan lain sebagainya. Di United Kingdom of Great Britain atas dasar “Prevention of corruption Act 1916”
terdapat pengaturan apa yang dinamakan “Praduga korupsi untuk kasus-kasus tertentu” Presumption of corruption in certain cases.
Hal ini dimungkinkan karena hampir tidak mungkin kejahatan tersebut dibuktikan dengan sistem
pembuktian biasa.
24
Di Hongkong misalnya, pembuktian terbalik ini diatur dalam Pasal 10 1b Prevention of Corruption
Ordonance 1970, Added 1974: Pasal 11 ayat 1 Hong Kong Bill of Right
Ordonance 1991. Di India pembalikan beban pembuktian diatur berdasarkan
ketentuan Pasal 4 ayat 1 of The Prevention of Corruption Art II of 1947.
25
23
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 11.
Di Malaysia, atas dasar Pasal 42 Akta Pencegahan Rasuah 1997 “Anti Corruption
24
Ibid.
25
Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 8. No. 2-Juni 2011. http:www.djpp.depkumham.go.idarsipartikeljurnaljli8n2.pdf
, diakses pada tanggal 7 Maret 2012, pukul 15:14 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Act 1997 Act 575 ” yang mulai berlaku sejak tanggal 8 Januari 1998, dan di
Singapura atas dasar “Prevention of Corruption Act Chapter 241”.
26
Praktek di beberapa negara di atas, penggunaan pembuktian terbalik tersebut dilakukan secara seimbang, hal ini terjadi karena pembuktian terbalik
tidak boleh melanggar hak terdakwa sehingga dalam prakteknya beban pembuktian yang digunakan menjadi beban pembuktian yang seimbang.
Pembuktian terbalik untuk menetapkan perampasan aset tindak pidana di Amerika sejak tahun 2000, telah dipraktikkan dalam sistem hukum perampasan
aset tindak pidana melalui sarana hukum keperdataan civil based forfeiture atau non-conviction based forfeiture NCB
. Sebagaimana diketahui, sejak lama diakui sistem hukum perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana
criminal based forfeitureCB yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
27
Perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana yang dilaksanakan dalam sistem hukum di Indonesia memerlukan waktu yang relatif
lama untuk sampai pada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Berbeda dengan perampasan aset melalui sarana hukum pidana yang memerlukan waktu
yang lama, perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum keperdataan yang relatif lebih cepat karena penuntut umun dapat segara membawa terdakwa ke
pengadilan dengan cara pembuktian terbalik atas aset terdakwa yag diduga berasal dari tindak pidana.
26
Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 12.
27
Jurnal Legislasi Indonesia, Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Praktik NCB di Amerika Serikat dan Inggris, juga di beberapa negara Uni Eropa, berhasil mengembalikan keuangan secara signifikan dari organisasi
kejahatan, terutama yang berasal dari kejahatan narkotika dan pencucian uang.
28
Lahirnya konsep NCB disebabkan perkembangan organisasi kejahatan transnasional pasca perang dingin telah meningkatkan aset organisasi kejahatan
tiga kali APBN negara berkembang, terutama diperoleh dari kejahatan narkotika dan pencucian uang. Perkembangan itu dipandang sebagai ancaman terhadap
ketenteraman dan ketertiban dunia. Fakta tersebut membuktikan bahwa efek jera penghukuman tidak cukup dan tidak berhasil secara tuntas memerangi kejahatan
transnasional. Bahkan, di dalam penjara sekalipun, organisasi kejahatan dapat mengendalikan aktivitas kejahatannya, sedangkan ancaman hukuman mati dalam
sistem hukum negara maju telanjur tidak diakui. Model perampasan aset NCB dengan pembuktian terbalik tidak melanggar HAM
karena didasarkan pada teori balanced probability principle, yang memisahkan antara aset tindak pidana dan pemiliknya. Hal itu didasarkan premis bahwa
perlindungan hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah praduga tak bersalah dan prinsip non-self incrimination harus diimbangi kewajiban terdakwa
membuktikan asal-usul aset yang dimilikinya. Teori ini masih memberikan jaminan perlindungan hak asasi tersangka untuk dianggap tidak bersalah,
sebaliknya tidak memberikan jaminan perlindungan hak kepemilikan terdakwa atas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, kecuali yang bersangkutan dapat
membuktikan sebaliknya.
28
http:nasional.kompas.comread2011020403061882Dilema.Pembuktian.Terbalik ,
diakses pada tanggal 7 Maret 2012, pukul 15.20 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Beranjak dari kenyataan tersebut, terjadi perubahan drastis dalam kebijakan kriminal, khususnya di negara maju, yaitu strategi perampasan aset
organisasi kejahatan atau yang diduga berasal dari kejahatan terbukti lebih ampuh sehingga dapat ”mematikan” kehidupan organisasi kejahatan. Pengalaman Drug
Enforcement Admistration DEA menggunakan cara perampasan melalui sarana
hukum perdata civil based forfeiture berhasil secara signifikan membekukan dan merampas aset organisasi kejahatan. Langkah hukum pembuktian terbalik dengan
NCB, di Amerika Serikat berdasarkan UU Pembaruan tentang Perampasan Aset melalui Keperdataan Civil Asset Forfeiture Reform Act CAFRA Tahun 2000
dan di Inggris dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang Proceed of Crime Act Tahun 2002.
29
Dasar lahirnya konstruksi beban pembuktian terbalik dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia pada awalnya dilatarbelakangi dari problem penegakan
hukum dalam kasus korupsi. Korupsi kerap dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum yang berpendidikan, birokrat dan pengusaha yang secara politis dan
ekonomi amat kuat, sehingga gampang mempengaruhi jalannya proses peradilan. Akibatnya, pembuktian kasus tindak pidana korupsi di Indonesia sulit dilakukan.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, salah satu upayanya adalah memformulasikan ulang pemenuhan beban pembuktian dalam proses peradilan yang dilakukan
aparat penegak hukum, yakni dengan mengenalkan sistem beban pembuktian terbalik yang seimbang.
29
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Diharapkan dengan menggunakan beban pembuktian terbalik omkering van het bewijslat atau reversal burden of proofonus of proof
yang berasumsi dengan pembuktian terbalik maka diharapkan sebuah kasus dapat diberantas
dengan maksimal. Pembalikan beban pembuktian dalam peraturan perundang- undangan korupsi pada awalnya tidak ada diatur karena perspektif kebijakan
legislasi memandang perbuatan korupsi sebagai delik biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak
memerlukan perangkat hukum yang luar biasa extra ordinary measures. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, secara eksplisit telah diatur mengenai pembalikan beban pembuktian. Peraturan selanjutnya, pembalikan beban pembuktian juga tetap diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Kemudian beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang memiliki kelemahan selanjutnya
telah diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
30
Secara eksplisit ketentuan Pasal 12 B UU Nomor 20 Tahun 2001 selengkapnya berbunyi:
31
1 Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaraan
negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Yang bernilai Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakuakn oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta
rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
30
Jurnal Legislasi Indonesia, Op. Cit.
31
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
2 Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun
dan paling lama 20 dua puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian secara terbatas di dalam pasal 12 B ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dianggap
sebagai instrument luar biasa disebabkan karena cara ini menyimpang dari prinsip umum hukum pidana yang dirumuskan dalam KUHAP.
32
Selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, sebagai instrument hukum ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, Pemerintah
Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan penting yaitu:
33
Pertama, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tipikor yang mencantumkan kriminalisasi atas perbuatan baru tertentu ke dalam lingkup
tindak pidana korupsi yaitu antara lain, perbuatan memperkaya diri sendiri secara ilegal illicit enrichment; suap terhadap pejabat publik asing atau pejabat
organisasi internasional Bribery of Foreign Public Officials and Officials of Public International Organization
, dan suap dikalangan sektor swasta Bribery in the Private Sector
; penyalahgunaan wewenang Abuse of Function. Langkah kriminalisasi dalam naskah Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi RUU TIPIKOR dipersiapkan untuk mengganti dan mencabut pemberlakuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
32
H. Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 78.
33
Jurnal Legislasi Indonesia, Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut memuat ketentuan mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat dalam pasal 12B ayat 1 huruf a
dan b, Pasal 37
34
, Pasal 37A
35
dan Pasal 38B
36
Kedua, pasca ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk mengganti Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebelumnya. Di dalam undang-undang tersebut
.
34
Pasal 37: 1 Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 2 Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti
.
35
Pasal 37 A: 1 Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang
diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. 2 Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi. 3 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum
tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
36
Pasal 38 B 1 Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda
miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. 2 Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda
tersebut dirampas untuk negara. 3 Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara
pokok. 4 Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam
perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. 5 Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat 4. 6 Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 harus ditolak oleh hakim.
Universitas Sumatera Utara
telah dicantumkan ketentuan pembuktian terbalik dalam beberapa pasal yaitu pasal 77
37
, pasal 78
38
, dan pasal 81
39
.
B. Perbedaan Asas Pembuktian Terbalik dengan Asas Pembuktian di Indonesia