Asas Pembuktian Terbalik Sebelum Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Akan tetapi terhadap perkara korupsi pelaksanaan pembuktian tersebut tidak berlaku mutlak dan dapat dikesampingkan apabila berdasarkan fakta-fakta tertentu dapat dibuktikan adanya kesalahan terdakwa, sehingga beban pembuktian berada pada terdakwa bahwa walaupun harta kepemiikannya tidak sebanding dengan sumber pemasukannya, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa harta tersebut bukan merupakan hasil tindak pidana. Putusan mahkamah agung tersebut menyatakan bahwa adanya pembuktian yang bersifat berimbang atau “balance probabilities’ dapat diterapkan dalam kasus-kasus korupsi bahwa adanya kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan terdakwa sendiri juga harus berusaha untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana korupsi.

D. Asas Pembuktian Terbalik Sebelum Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

Pengaturan mengenai pembuktian terbalik di Indonesia telah dilaksanakan untuk pertama kalinya untuk menangani masalah tindak pidana korupsi. Pengaturan mengenai tindak pidana yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi pada awalnya telah termuat dalam Bab XXVIII Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP yaitu khususnya terhadap perbuatan penggelapan oleh pegawai negeri Pasal 415 KUHP, membuat palsu akta memalsukan Pasal 416 KUHP, menerima pemberian atau janji Pasal 418, 419 dan 420 KUHP serta Universitas Sumatera Utara menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum Pasal 423, 425 dan 435 KUHP. Pada hakikatnya, ketentuan-ketentuan Tindak Pidana Korupsi itu ternyata ternyata kurang efektif dalam menanggulangi Korupsi seperti yang dikatakan oleh Soedjono Dirdjosisworo yang dikutip oleh Lilik Mulyadi sebagai berikut: “Tindak Pidana Korupsi yang dapat dikenakan dalam pasal-pasal KUHP saat itu dirasakan kurang bahkan tidak efektif menghadapi gejala-gejala korupsi saat ini. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan yang dapat lebih memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap pelaku-pelakunya.” 59 Kebijakan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sampai dengan sebelum tahun 1960 tidak mengatur tentang pembuktian terbalik dalam peraturan perundang-undangan korupsi hal ini dikarenakan sampa dengan sebelum tahun 1960 tindak pidana korupsi masih dipandang sebagai delik biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa. Kebijakan legislasi pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi mulai diterapkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 menyebutkan: 59 Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 5. Universitas Sumatera Utara “Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta benda dan harta benda isterisuami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh jaksa.” 60 Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa tersangka juga dapat memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya namun hal itu hanya dapat dilaksanakan jika diminta oleh hakim. Tanpa adanya permintaan dari hakim dalam hal pembuktian maka terdakwa tidak memiliki hak untuk memberikan keterangan atas harta bendanya. Secara implisit dapat ditarik suatu asumsi bahwa telah ada pada tataran kebijakan formulasi suatu upaya untuk mempermudah pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Seiring dengan masih kurangnya pengaturan dalam pemberantasan korupsi maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 inilah yang secara luas telah mengatur mengenai pembuktian terbalik dalam menangani masalah korupsi. Pada ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 mengatur tentang pembuktian tindak pidana korupsi di depan persidangan, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: 61 60 Pasal 5 ayat 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960. 61 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Universitas Sumatera Utara 1. Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi. 2. Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti yang dimaksud dalam ayat 1 hanya diperkenankan dalam hal: a. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatan itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian Negara, atau b. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum. 3. Dalam hal bahwa terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian, Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan. 4. Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksudkan dalam ayat 1, keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian, Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian dalam ketentuan pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 ini dikenal dengan sistem pembagian pembuktian, yaitu merupakan suatu asas yang mewajibkan terdakwa untuk membuktikan ketidaksalahannya, tanpa menutup kemungkinan jaksa melakukan hal yang sama untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tegasnya, dari ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak menganut sistem pembuktian terbalik secara absolut karena terdakwa dan Penuntut Umum dapat saling membuktikan. 62 Kemudian pada pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, tentang kepemilikan harta benda pelaku diatur sebagai berikut: 63 62 Lilik Mulyadi, Op.Cit., halaman 258. 63 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi. Universitas Sumatera Utara 1. Setiap terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterisuami, anak dan setiap orang serta benda yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim. 2. Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan disidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Ketentuan pasal 17 dan pasal 18, disatu sisi menggambarkan penerapan pembuktian terbalik untuk membuktikan apakah si pelaku memiliki unsur kesalahan atau tidak dalam melakukan tindak pidana korupsi, dan juga bertujuan untuk pembuktian kepemiliakan harta kekayaan terdakwa tetapi penerapan pembuktian terbaliknya hanya diperkenankan sepanjang hakim memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan. Berdasarkan hal tersebut maka terdakwa tidak dapat memiliki hak secara utuh dalam hal pembuktian terbalik, karena terdakwa hanya dapat mempergunakan pembuktian terbalik didalam persidangan sepanjang hakim memperkenankan untuk kepentingan pemeriksaan. 64 Pembuktian terbalik juga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan tersebut diatur pada pasal 37 yang berbunyi sebagai berikut: 65 1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. 64 Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 195. 65 Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Universitas Sumatera Utara Kemudian penjelasan otentik ketentuan Pasal 37 tersebut menentukan, bahwa: 66 1. Ayat 1, pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Tersangka tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah presumption of innocence dan menyalahkan diri sendiri non self- incrimination . 2. Ayat 2, ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang negatief wettelijk. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa pada pasal 37 tersebut menganut adanya dua sistem beban pembuktian yaitu: “sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang” dan “sistem negatif yang terdapat dalam KUHAP” sehingga jika dijelaskan maka sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, diartikan bahwa terdakwa berhak untuk memberikan pembuktian bahwa ia tidak melakukan tidak pidana korupsi. Sedangkan sistem pembuktian negatif berarti bahwa penuntut umum membuktikan unsur-unsur kesalahan terdakwa. Analisis hukum terhadap ketentuan pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban pembuktian terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, apabila didalam persidangan terdakwa dapat membuktikan tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. 66 Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 196. Universitas Sumatera Utara Sistem pembuktian terbalik dalam pasal 37 berlaku sepenuhnya pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, khususnya yang nilainya Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah atau lebih pasal 12 B ayat 1 huruf a 67 Ketentuan pasal 37 ayat 1 pada dasarnya merupakan penegasan terhadap hak terdakwa dalam hal pembuktian yang memang sudah ada sejak pelaku diangkat statusnya menjadi tersangka atau terdakwa. Sedangkan pasal 37 ayat 2 memiliki arti penting dalam hukum pembuktian terbalik, meskipun bersifat terbatas. Karena pada ayat 2 dicantumkan akibat hukumnya bila terdakwa berhasil membukt ikan, ialah hasil pembuktian terdakwa tersebut dipergunakan oleh pengadilan untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. , merupakan kewajiban terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka berdasarkan pasal 37 ayat 2 yakni hasil pembuktian bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Ketentuan pasal 37 ayat 2 ini sebagai dasar hukum pembuktian terbalik hukum acara pidana korupsi yang dalam penjelasan dikatakan sebagai sistem pembuktian terbalik yang terbatas. Pasal tersebut dikatakan terbatas karana sistem pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahan 1999 jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya diterapkan dalam tindak pidana gratifikasi yang terdapat dalam pasal 12 B dan terhadap tuntutan perampasan benda terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 67 Pasal 12 B ayat 1 huruf a: “yang nilainya Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.” Universitas Sumatera Utara 2, pasal 3, pasal 4, pasal 13, pasal 14, pasal 15 dan pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

E. Asas Pembuktian Terbalik Dengan Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang