ditetapkan.
C. Pengertian Umum Gratifikasi
Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan: a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih
pembuktiaannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut
umum: 2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun, dan
pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
Sementara yang dimaksud dengan gratifikasi kepada pegawai negeri telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan
“yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat discount, komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik. Penjelasan Pasal 12B ayat 1 kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah
sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan Pasal 12B ayat 1 juga
dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila
penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya
gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja. Gratifikasi saat ini diatur di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berikut adalah beberapa gambaran yang dapat digunakan pembaca untuk
lebih memahami mengapa gratifikasi kepada penyelenggara negara dan pegawai negeri perlu diatur dalam suatu peraturan.
1. Perkembangan Praktik Pemberian Hadiah Salah satu catatan tertua mengenai terjadinya praktik pemberian gratifikasi di
Indonesia ditemukan dalam catatan seorang Biksu Budha I Tsing Yi Jing atau Zhang Wen Ming pada abad ke 7. Pada abad ke-7, pedagang dari Champa saat
ini Vietnam dan sebagian Kamboja serta China datang dan berusaha membuka upaya perdagangan dengan Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan catatan tersebut,
pada tahun 671M adalah masa di mana Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat
perdagangan di wilayah Asia Tenggara. Dikisahkan bahwa para pedagang dari Champa dan China pada saat kedatangan di Sumatera disambut oleh prajurit
Kerajaan Sriwijaya yang menguasai bahasa Melayu Kuno dan Sansekerta sementara para pedagang Champa dan China hanya menguasai bahasa Cina dan
Sansekerta berdasar kitab Budha, hal ini mengakibatkan terjadinya permasalahan komunikasi.
4
Kerajaan Sriwijaya telah menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar namun belum berbentuk mata uang hanya berbentuk gumpalan ataupun butiran kecil,
sebaliknya Champa dan China telah menggunakan emas, perak dan tembaga sebagai alat tukar dalam bentuk koin serta cetakan keong dengan berat tertentu
yang dalam bahasa Melayu disebut “tael”. Dalam catatannya, I Tsing menjabarkan secara singkat bahwa para pedagang tersebut memberikan koin-koin
perak kepada para prajurit penjaga pada saat akan bertemu dengan pihak Kerabat Kerajaan Sriwijaya yang menangani masalah perdagangan. Adapun pemberian
tersebut diduga bertujuan untuk mempermudah komunikasi. Pemberian koin perak tersebut kemudian menjadi kebiasaan tersendiri di kalangan pedagang dari
Champa dan China pada saat berhubungan dagang dengan Kerajaan Sriwijaya untuk menjalin hubungan baik serta agar dikenal identitasnya oleh pihak Kerajaan
Sriwijaya. Kebiasaan dan berjalannya waktu, diduga kebiasaan menerima gratifikasi
membuat para pemegang kekuasaan meminta pemberian gratifikasi tanpa menyadari bahwa saat gratifikasi diberikan di bawah permintaan, hal tersebut
telah berubah menjadi bentuk pemerasan. Hal ini dapat terlihat juga dari catatan I
4
Buku Saku KPK,Memahami Gratifikasi. Cetakan Pertama, 2010 Hal: 5
Tsing pada masa dimana sebagian kerajaan Champa berperang dengan Sriwijaya, para pedagang China memberitakan bahwa prajurit-prajurit kerajaan di wilayah
Indonesia tanpa ragu-ragu meminta sejumlah barang pada saat para pedagang tersebut akan menemui kerabat kerajaan. Disebutkan, jika para pedagang menolak
memberikan apa yang diminta, maka para prajurit tersebut akan melarang mereka memasuki wilayah pekarangan kerabat kerajaan tempat mereka melakukan
perdagangan. Disebutkan pula bahwa pedagang Arab yang memasuki wilayah Indonesia setelah sebelumnya mempelajari adat istiadat wilayah Indonesia dari
pedagang lain, seringkali memberikan uang tidak resmi agar mereka diizinkan bersandar di pelabuhan-pelabuhan Indonesia pada saat itu.
Catatan lain terkait perkembangan praktik terkini pemberian hadiah di Indonesia diungkapkan oleh Verhezen 2003, Harkristuti 2006 dan Lukmantoro 2007.
Verhezen dalam studinya mengungkapkan adanya perubahan mekanisme pemberian hadiah pada masyarakat jawa modern yang menggunakan hal tersebut
sebagai alat untuk mencapai tujuan bagi pegawai-pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi. Pemberian hadiah Gratifikasi dalam hal ini berubah menjadi
cenderung ke arah suap. Dalam konteks budaya Indonesia dimana terdapat praktik umum pemberian hadiah pada atasan dan adanya penekanan pada pentingnya
hubungan yang sifatnya personal, budaya pemberian hadiah menurut Verhazen lebih mudah mengarah pada suap. Penulis lain, Harkristuti 2006 terkait
pemberian hadiah mengungkapkan adanya perkembangan pemberian hadiah yang tidak ada kaitannya dengan hubungan atasan-bawahan, tapi sebagai tanda kasih
dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap telah memberikan jasa atau memberi kesenangan pada sang pemberi hadiah. Demikian berkembangnya
pemberian ini, yang kemudian dikembangkan menjadi „komisi‟ sehingga para pejabat pemegang otoritas banyak yang menganggap bahwa hal ini merupakan
„hak mereka‟. disisi lain membahas mengenai praktik pengiriman parsel pada saat perayaan hari besar keagamaan atau di luar itu yang dikirimkan dengan maksud
untuk memuluskan suatu proyek atau kepentingan politik tertentu sebagai bentuk praktik politik gratifikasi.
Catatan-catatan diatas paling tidak memberikan gambaran mengenai adanya kecenderungan transformasi pemberian hadiah yang diterima oleh pejabat publik.
Jika dilihat dari kebiasaan, tradisi saling memberi-menerima tumbuh subur dalam kebiasaan masyarakat. Hal ini sebenarnya positif sebagai bentuk solidaritas,
gotong royong dan sebagainya. Namun jika praktik diadopsi oleh sistem birokrasi, praktik positif tersebut berubah menjadi kendala di dalam upaya membangun tata
kelola pemerintahan yang baik. Pemberian yang diberikan kepada pejabat publik cenderung memiliki pamrih dan dalam jangka panjang dapat berpotensi
mempengaruhi kinerja pejabat publik, menciptakan ekonomi biaya tinggi dan dapat mempengaruhi kualitas dan keadilan layanan yang diberikan pada
masyarakat.
2. Konflik Kepentingan dalam Gratifikasi Kajian yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK 2009
mengungkapkan bahwa pemberian hadiah atau gratifikasi yang diterima oleh
penyelenggara negara adalah salah satu sumber penyebab timbulnya konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang tidak ditangani dengan baik dapat
berpotensi mendorong terjadinya tindak pidana korupsi.
5
Definisi konflik kepentingan adalah situasi dimana seseorang Penyelenggara Negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi
kualitas dan kinerja yang seharusnya. Situasi yang menyebabkan seseorang penyelenggara negara menerima gratifikasi
atau pemberianpenerimaan hadiah atas suatu keputusanjabatan merupakan salah satu kejadian yang sering dihadapi oleh penyelenggara negara yang dapat menim-
bulkan konflik kepentingan. Beberapa bentuk konflik kepentingan yang dapat timbul dari pemberian gratifikasi
ini antara lain adalah: 1. Penerimaan gratifikasi dapat membawa vested interest dan kewajiban timbal
balik atas sebuah pemberian sehingga independensi penyelenggara negara dapat terganggu;
2. Penerimaan gratifikasi dapat mempengaruhi objektivitas dan penilaian profesional penyelenggara negara;
3. Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan terjadinya tindak pidana korupsi;
4. dan lain-lain.
6 5
Ibid Hal: 7
Penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri dan keluarganya dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian suatu fasilitas
tertentu yang tidak wajar, semakin lama akan menjadi kebiasaan yang cepat atau lambat akan mempengaruhi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang
bersangkutan. Banyak yang berpendapat bahwa pemberian tersebut sekedar tanda terima kasih dan sah-sah saja, tetapi pemberian tersebut patut diwaspadai sebagai
pemberian yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena terkait dengan jabatan yang dipangku oleh penerima serta kemungkinan adanya
kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa.
Penyelenggara negara atau pegawai negeri yang menerima gratifikasi dari pihak yang memiliki hubungan afiliasi misalnya: pemberi kerja-penerima kerja, atasan-
bawahan dan kedinasan dapat terpengaruh dengan pemberian tersebut, yang semula tidak memiliki kepentingan pribadi terhadap kewenangan dan jabatan
yang dimilikinya menjadi memiliki kepentingan pribadi dikarenakan adanya gratifikasi. Pemberian tersebut dapat dikatakan berpotensi untuk menimbulkan
konflik kepentingan pada pejabat yang bersangkutan. Menghindari terjadinya konflik kepentingan yang timbul karena gratifikasi
tersebut, penyelenggara negara atau pegawai Negeri harus membuat suatu declaration of interest untuk memutus kepentingan pribadi yang timbul dalam hal
penerimaan gratifikasi. Oleh karena itu, penyelenggara negara atau pegawai negeri harus melaporkan gratifikasi yang diterimanya untuk kemudian ditetapkan
6
Ibid Hal: 7
status kepemilikan gratifikasi tersebut oleh KPK, sesuai dengan pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang- Undang Nomor 20
Tahun 2001.
D. Tindak Pidana Gratifikasi Sebagai Kejahatan Korupsi