Tanggung jawab Indonesia menurut Hukum Lingkungan Internasional

dalam hukum terhadap tindakan-tindakan ilegal yang mereka lakukan. Pasal ini menyiratkan pula bahwa tidak ada pengecualian berdasarkan kurang mampunya suatu negara. Dalam pasal 3 menyatakan bahwa suatu perbuatan yang tidak sah secara internasional timbul jika : a. Perbuatan tersebut terdiri dari suatu tindakan atau kelalaian suatu negara menurut hukum internasional. b. Perbuatan tersebut merupakan suatu pelanggaran kewajiban internasional. 89 Dalam rancangan pasal-pasal, komisi hukum internasional telah pula membedakan antara kejahatan internasional dan delik internasional, dalam hal tindakan melawan hukum secara internasional semua pelanggaran- pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban internasional adalah perbuatan melawan hukum secara internasional.

2. Tanggung jawab Indonesia menurut Hukum Lingkungan Internasional

terkait kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang mencemari Malaysia dan Singapura Dalam lingkungan internasional masalah asap dari kebakaran hutan sebenarnya bukan hal baru, di Indonesia masalah ini terjadi hampir setiap tahun, namun hingga saat ini masih belum ada perhatian serius dari pemerintah terhadap kasus ini, terutama mengenai pencegahan terjadinya kebakaran hutan secara baik. 89 Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 176. Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya hukum lingkungan internasional menyatakan tentang perlindungan hukum terkait pencemaran udara lintas batas negara, pencemaran udara akibat kebakaran hutan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional, antara lain prinsip “Sic utere tuo ut alienum non laedes” yang menentukan bahwa suatu Negara dilarang melakukan atau mengijinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan negara lain, 90 dan prinsip good neighbourliness. 91 Prinsip itu mengatakan bahwa kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara lain. Prinsip tersebut membenarkan penempatan lingkungan hidup dalam status demikian tunduk kepada hukum nasional negara tertentu, terutama dengan ketentuan bahwa hak demikian diimbangi kewajiban bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara lain. Terkait hal ini berhubungan dengan bagaimana tanggung jawab negara terhadap permasalahan ini. Untuk itu Indonesia menanggapi permasalahan lingkungan internasional ini dengan mulai mengadopsi konsep pertanggungjawaban negara state responsibility. Dengan mengadopsi konsep tersebut dapat menunjukkan menjadi bentuk pertanggungjawaban negara terhadap pencemaran yang mengakibatkan injury bagi negara lain khususnya Malaysia dan Singapura. Ketentuan mengenai state responsibility tersebut terdapat dalam Pasal 21 Deklarasi Stockholm 1972, sebagai berikut: 90 J.G. Starke, Op.Cit., hlm. 546. Universitas Sumatera Utara “States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own of international law, the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction”. Suatu negara, sesuai dengan Piagam Bangsa-Bangsa dan prinsip-prinsip hukum internasional, suatu hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya mereka sendiri sesuai dengan peraturan lingkungan negara itu sendiri, dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa aktifitas dalam yurisdiksi atau pengawasan mereka tidak menyebabkan kerusakan lingkungan negara lain atau kawasan diluar batas yurisdiksi nasional. Apabila kita mengaitkan pada peristiwa kebakaran hutan di Indonesia yang menyebabkan pencemaran udara di negara lain, jelas sangat bertentangan dengan prinsip tersebut karena, Indonesia memanfaatkan sumber daya alamnya secara serakah, dengan menghamburkan izin tanpa pengawasan berarti yang dilakukan pada industri kayu dan perkebunan dimana kegiatan tersebut yang menjadi penyebab utama dari kebakaran hutan. Dengan pembukaan lahan untuk perkebunan yang menggunakan cara pembakaran dan pembuangan limbah hasil pembalakan kayu yang membentuk suatu vegetasi padat hingga jika saat musim kemarau tiba limbah tersebut menjadi bahan bakar utama dalam kebakaran hutan di Indonesia, dan berujung pada pencemaran lintas batas negara di Malaysia dan Singapura, yang Universitas Sumatera Utara mengganggu aktifitas penduduk dan pemerintahan negara tersebut, tidak cukup sampai disitu saja, kebakaran ini menimbulkan kerugian di berbagai macam. Dalam Deklarasi Rio 1992 di Prinisp 16 yaitu “Environmental impact assesment, as a national instrument, shall be undertaken for proposed activities that are likely to have a significant adverse impact on the environment and are subject to a decision of a competent national authority”. Penerapan prinsip pencemar harus menanggung kerugian yang timbul akibat pencemaran yang di buatnya untuk meningkatkan swadaya biaya-biaya lingkungan. 92 Berdasarkan prinsip 16 Deklarasi Rio ini menunjukkan dengan tegas bahwa pencemar harus menanggung kerugian yang timbul akibat pencemaran yang dibuatnya, ini menerangkan dengan jelas siapa yang harus bertanggungjawab dalam peristiwa kebakaran hutan di Indonesia, namun juga menerangkan bahwa tidak hanya negara yang harus bertanggungjawab penuh, namun siapapun yang terlibat. Dalam peristiwa kebakaran hutan di Indonesia ada peran perusahaan dalam kebakaran tersebut. Perusahaan-perusahaan tersebut ikut andil besar sebagai pelaku utama dalam peristiwa kebakaran hutan tersebut karena dalam pembukaan lahan perkebunan mereka menggunakan metode pembakaran, dan dalam kegiatan industri kayu kebakaran terjadi akibat tumpukan pembuang limbah sisa pembalakan yang membentuk suatu vegetasi padat sehingga mudah terbakar 92 Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Prespektif Bisnsi Internasional, 2002, PT. Refika Aditama: Bandung, hlm. 42. Universitas Sumatera Utara jika disulut atau jika musim kering tiba. 93 Dengan demikian Indonesia dapat dimintai pertanggungjawaban atas pencemaran udara lintas batas negara yang mengakibatkan pencemaran udara terhadap negara lain. Konsep pertanggungjawaban negara menjadi salah satu isu penting yang dibicarakan pada tingkat global maupun regional, khususnya Asia Tenggara. Hal ini dilatarbelakangi dengan semakin hebatnya pencemaran udara kabut asap kebakaran hutan di Indonesia hingga mencemari negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dari tahun ke tahun makin akrab sebagai agenda tahunan bagi negara dan hal ini disertai pula dengan dampak ekonomis dan kesehatan yang dihasilkan dari kabut asap itu. Oleh karena itu, maka Indonesia beserta negara ASEAN lainnya sepakat untuk mengatasi kebakaran dan dampak asapnya tersebut melalui penandatanganan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution AATHP pada tanggal 10 Juni 2002. Salah satu alasan perlunya mengatasi kebakaran hutan dan lahan beserta dampak asapnya tersebut secara bersama-sama adalah masalah lemahnya kelembagaan, AATHP telah berlaku pada tanggal 25 November 2003 sejak 6 enam negara anggota ASEAN meratifikasinya. 94 Tujuan dari konvensi ini adalah merumuskan kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution AATHP. Dengan diketahuinya bentuk-bentuk implikasi kelembagaan dari pemberlakuan AATHP khususnya 93 Muhammad Muzaqir, “Kajian Hukum Lingkungan Internasional Terhadap Kebakaran Hutan di Indonesia yang Mengakibatkan Pencemaran Udara di Malaysia”, Jurnal Hukum, hlm. 16. 94 Akbar Kurnia Putra, “Transboundary Haze Pollution Dalam Prespektif Hukum Lingkungan Internasional”, Jurnal Hukum, hlm. 101. Universitas Sumatera Utara yang dapat mendorong perbaikan persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia maka diharapkan Indonesia dapat lebih mampu mengatasi kebakaran hutan dan lahan beserta dampak asapnya. Apabila dilihat dari substansi beberapa pasal AATHP, ada beberapa keuntungan dengan meratifikasi AATHP. Negara pencemar dapat memanfaatkan bantuan kerja sama. Berbagai hal dalam menerapkan langkah untuk mencegah memonitor, termasuk dalam identifikasi, mengontrol intensitas minimalisasi kebakaran, pertukaran informasi teknologi, serta penyediaan bantuan timbal balik. Seperti yang dicantumkan dalam Pasal 4 1 yang menanggap bahwa, Transboundary haze pollutiondianggap sebagai masalah bersama oleh para anggotaASEAN. Penanggulangan kebakaran tersebut dapat dilaksanakan secara bersama-sama dengan negara ASEAN lainnya. Indonesia diuntungkan juga karena akan menjadi tuan rumah bagi adanya pertemuan ASEAN tentang perjanjian tersebut serta menjadi pusat kegiatan untuk penanggulangan polusi asap di ASEAN. Segala potensiyang ada di negara anggota ASEAN, termasuk dana yang dialokasi dapat dimanfaatkan untuk menangani masalah asap. Dengan membentuk semacam badan pusat ASEAN Centre. Yang merupakan badan koordinasi bagi ASEAN yang difungsikan khusus sebagai fasilitas dalam penanganan masalah kabut asap. Namun dengan ratifikasi persetujuan ini, negara pencemar tidak dapat dituntut untuk mengganti Universitas Sumatera Utara kerugian. Dikarenakan ini merupakan tanggung jawab bersama negara-negara ASEAN. 95 Terkait dengan adanya ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, negara-negara ASEAN mengalami kesulitan untuk membantu Indonesia mengatasi kebakaran hutan dikarenakan Indonesia sendiri belum meratifikasi kesepakatan tersebut. Menurut beberapa pihak, ratifikasi ini terhambat oleh faktor politik karena parlemen Indonesia yang punya wewenang melakukan ratifikasi tersebut, ternyata minta soal perjanjian kabut asap ini dikaitkan dengan masalah lingkungan yang lain, agar undang-undang itu juga dikaitkan dengan ilegal logging dan pengiriman limbah beracun. Jadi sebenarnya kesepakatan ini dipandang sebagai adu strategi politik regional hingga DPR minta agar pemerintah untuk membicarakan isu-isu lain dengan memanfaatkan traktat tersebut. 96 Dan melalui tahap perundingan yang panjang pada September 2014, Indonesia meratifikasi UU tentang pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution AATHP. Momentum pengesahan RUU ini menjadi sangat penting mengingat Indonesia merupakan satu-satunya negara yang belum meratifikasi Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas. Indonesia telah meratifikasi ASEAN Charter Piagam ASEAN melalui UU No. 38 Tahun 2008. UU ini yang menjadi payung berbagai perjanjian kerja sama di tingkat ASEAN termasuk AATHP. Melalui 95 Diakses melalui http:docplayer.info397532-Tanggung-jawab-negara-state- responsibility-terhadap-pencemaran-udara-lintas-batas-negara-berdasarkan-asean-agreement-on- transboundary-haze-pollution.html, Pada tanggal 1 Maret 2016. 96 Akbar Kurnia Putra, “Transboundary Haze Pollution Dalam Prespektif Hukum Lingkungan Internasional”, Jurnal Hukum, hlm. 102. Universitas Sumatera Utara pengesahan Persetujuan ASEAN, Indonesia sebagai negara dengan luas lahan dan hutan terbesar di kawasan, akan bekerja sama dalam kerangka ASEAN dan dapat memanfaatkan bantuan internasional guna meningkatkan upaya pengendalian kebakaran lahan danatau hutan yang menyebabkan pencemaran asap lintas batas. Indonesia akan memperoleh manfaat setelah mengesahkan Persetujuan AATHP, antara lain: 97 1. Indonesia akan memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan dan ikut aktif mengarahkan keputusan ASEAN dalam pegendalian kebakaran hutan danatau lahan; 2. Melindungi masyarakat Indonesia dari dampak negatif kebakaran hutan danatau lahan yang dapat merugikan kesehatan manusia, mengganggu sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi serta menurunkan kualitas lingkungan hidup. 3. Melindungi kekayaan sumber daya lahan dan hutan dari bencana kebakaran hutan danatau lahan; 4. Memberikan kontribusi positif terkait upaya pengendalian kebakaran hutan danatau lahan yang menyebabkan pencemaran asap lintas batas, seperti: a. Penguatan regulasi dan kebijakan nasional; b. Pemanfaatan sumber daya di negara ASEAN dan di luar negara ASEAN; 97 Diakses melalui, www.menlh.go.id,Indonesia Meratifikasi Undang-Undang Tentang Pengesahan ASEAN Angreement on Transboundary Haze Pollution, Pada tanggal 1 Maret 2016. Universitas Sumatera Utara c. Penguatan manajemen dan kemampuan teknis pengendalian kebakaran hutan danatau lahan yang menyebabkan pencemaran asap lintas batas. Dalam kasus transboundary haze pollution ini, negara yang dirugikan dapat saja menggugat Pemerintah Indonesia karena menurut sejumlah konvensi internasional yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia, seperti Biodiversity Convention of Nature and Natural Resources 1985, di mana Indonesia telah meratifikasinya, yang memuat ketentuan bahwa negara boleh saja mengeksploitasi sumber daya alam mereka, tetapi berkewajiban untuk memastikan bahwa aktivitas tersebut tidak menimbulkan kerusakan di wilayah negara lain state responsibility. Ketentuan ini bahkan telah menjadi hukum kebiasaan internasional international customary law dan mengikat semua negara beradab, bahkan telah diterapkan sejak tahun 1941 dalam kasus Trail Smelter AS vs Kanada. Di samping itu, ketentuan di atas juga telah diadopsi dalam Undang- Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, tidak ada alasan hukum yang bisa membebaskan Indonesia dari tanggung jawab jika negara yang dirugikan menggugat Indonesia. Tanggung jawab Indonesia diperkuat lagi oleh hukum nasional Indonesia sendiri karena Undang-Undang Nomor 4 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah PP Nomor 4 tahun 2001 Universitas Sumatera Utara tentang Kebakaran Hutan serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan melarang dengan tegas pembakaran hutan. 98 Untuk membuktikan apakah Indonesia dapat dimintai ganti rugi, harusdilihat bentuk dari kerugian yang diakibatkan oleh suatu negara yang bisa berupa tindakan aktif an act atau tidak adanya tindakan omission. Tindakan aktif berarti tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh aparat negara yang kemudian menjadi tanggung jawab negara. Sementara tindakan omission adalah aparat negara tidak melakukan tindakan apapun namun karena ketiadaan tindakan mengakibatkan kerugian bagi negara lain. Negara yang tercemar polusi yang disebabkan oleh asap tentunya dapat meminta pertanggungjawaban Indonesia. Mereka harus membuktikan bahwa pencemaran asap ke wilayah mereka merupakan kegagalan dari para pejabat Indonesia dalam menangani masalah asap. Ini bisa saja kandas karena yang terjadi adalah para pejabat Indonesia bukannya membiarkan omission terjadi pencemaran asap, melainkan karena ketidakmampuan aparat di Indonesia untuk menangani secara tuntas. Ketidakmampuan bukanlah tindakan membiarkan. Ketidakmampuan adalah sudah dilakukan tindakan tetapi tidak memadai. Menurut hukum internasional, liability timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia selama hampir 20 tahun telah dipengaruhi banyak faktor yang 98 Dina S.T. Manurung, Pengaturan Hukum Internasional tentang Pertanggungjawaban Negara dalam Pnecemaran Udara Lintas Batas, Medan, 2014. Universitas Sumatera Utara antara lain adalah variabel ekonomi dari korporasi besar bidang kelapa sawit yang membuka lahan dengan mekanisme pembakaran sepaya upaya minimalisasi biaya. Dalam tataran hukum internasional, tindakan korporasi tersebut yang didasari oleh hak konsesi yang diberikan negara merupakan suatu bentuk tindakan negara yang diikuti dengan pertanggungjawaban. Tindakan negara tersebut pun secara tegas telah melanggar beberapa sumber hukum internasional yang berorientasi menciptakan iklim yang lebih baik. Berdasarkan kedua hal tersebut dan berdasarkan teori pertanggungjawaban negara terdapat pada Draft Article on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act yang dirilis oleh International Law Comission pada akhir 2002, maka pemerintah Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban atas pencemaran kabut asap yang terjadi. Sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari pertanggungjawaban Indonesia adalah reparasi yang wajib dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada negara tercemar seperti yang diharapkan dari suatu negara terhadap kegiatan ekonomi yang sedang berjalan sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban negara pada tingkatan paling tinggi. Dalam kondisi yang terpaksa dan tidak memungkinkan adanya penggantian secara ekonomis, permintaan maaf secara diplomasi menjadi bentuk pertanggungjawaban dalam tataran terlemah. Berdasarkan hukum internasional pertanggungjawaban negara yang timbul apabila negara yang bersangkutan merugikan negara orang lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Apabila kemudian terbukti Universitas Sumatera Utara adanya pelanggaran tersebut, maka diperlukan adanya upaya pemulihan yang dapat berupa satisfaction, misalnya permohonan maaf secara resmi, ataupun berwujud pecuniary reparation, misalnya dengan pemberian ganti rugi material.

3. Mekanisme penyelesaian sengketa pencemaran lingkungan yang bersifat