serius dan mendesak untuk ditanggulangi, terlebih dengan periodesasi yang hampir terjadi setiap tahun terutama di Kalimantan.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka menghilangkan suatu kebiasaan membuka lahan dengan cara membakar hutan. Salah satu usaha
yang pernah ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menyediakan dan memperkenalkan teknologi ramah lingkungan dalam rangka pembukaan lahan,
namun hal tersebut seakan-akan menjadi sia-sia pada saat masyarakat pedagang lokal tidak bersungguh-sungguh untuk dapat menggunakan teknologi yang ada
dan menganggap teknologi tersebut sebagai suatu hal yang tidak efisien dan efektif.
68
Keadaan prilaku dari masyarakat pedagang lokal pun semakin diperburuk denga ditungganginya mereka oleh beberapa perusahaan besar pada tingkatan
Multi National Corporation MNC yang menajdi aktor dibelakang kejadian pembakaran hutan. Hal ini sangat terlihat mencolok pada saat beberapa titik api
ditemukan berada pada wilayah konsesi yang dikuasai dengan Hak Pengelolaan Hutan HPH di dalamnya. Dalam beberapa proses hukum yang ditelusuri bahkan
ditemukan fakta bahwa hutan produksi memiliki kerawanan tingkat kebakaran hutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis hutan lainnya.
C. Kebijakan Global dan Regional Pencegahan Kebakaran Hutan
Walaupun keberadaan sumber daya hutan tidak dapat dielak lagi menjadi sumber daya yang mempunyai kemampuan ekologis dan ekonomis yang tinggi,
namun hingga saat ini rasanya tidak banyak pengaturan-pengaturan pada tingkat
68
Ibid., hlm. 115.
Universitas Sumatera Utara
internasional yang mengatur dalam penggunaannya secara berkelanjutan. Hal ini paling tidak dilatarbelakangi oleh prinsip kedaulatan yang telah menjadi salah satu
prinsip utama dalam hukum internasional. Para sejarawan modern menemukan paling tidak beberapa catatan kuno yang menunjukkan bahwa jumlah hutan selalu
mengalami kemerosotan seiring dengan laju peradaban manusia.
69
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa deforestasi
70
menjadi masalah lingkungan hidup yang besar dan tidak hanya membawa musibah bagi
negara bersangkutan, melainkan juga memberikan dampak secara global. Berbagai fenomena bencana di bidang kehutanan seperti hujan asam di belahan
Eropa dan kebakaran hutan di Asia menunjukkan bahwa perlu adanya suatu komitmen bersama dalam tingkat internasional untuk melakukan suatu upaya
pencegahan dan penanggulangan yang dituangkan dalam suatu ketentuan hukum internasional.
71
Bahkan seorang environmentalist barat menyatakan bahwa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup secara tidak langsung telah
memaksa manusia untuk dapat hidup selaras dengan alam. Keberadaan badan yang mempunyai kewenangan dalam membuat regulasi
di bidang kehutanan pada tingkat nasional semata dirasakan kurang dapat untuk mewujudkan suatu perubahan yang berarti dalam penggunaan hutan secara
berkelanjutan. Oleh karena itu perlu adanya suatu guideline dan dasar penilaian dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara bijak yang mengikat
secara internasional dan mengenyampingkan kepentingan negara-negara secara
69
Ibid., hlm 116.
70
Deforestasi ialah kegiatan penebanganhutan atau tegakan pohon stand of trees sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nir-hutan non-forest use,
yakni pertanian, peternakan atau kawasan perkotaan.
71
Deni Bram, Op.Cit., hlm. 117.
Universitas Sumatera Utara
parsial semata. Oleh karena itu perlu adanya suatu guideline dan dasar penilaian dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara bijak yang mengikat
secara internasional dan mengenyampingkan kepentingan negara-negara secara parsial semata. United Nations Conference on Human Environment yang diadakan
di Stockholm pada 1972 menjadi peletak awal pertama kali pembicaraan ekosistem secara menyeluruh.
Walaupun statusnya
the first non legally binding document di bidang lingkungan hidup yang tidak mengikat para negara anggota, Stockholm
Declaration memberikan panduan mengenai penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan dengan sebuah konsep yang dinamakan Sustainable
Developmentdan juga penekanan terhadap keadilan terhadap akses untuk mendapatkan lingkungan yang sehat yang bersifat inter-generasi dan intar-
generasi bagi sesama makhluk hidup. Walaupun secara formal Stockholm Declaration tidak memberikan dasar-
dasar pengelolaan dan manajemen hutan secara berkelanjutan, akan tetap Stockholm telah memberikan dasar keserasian antara lingkungan dan
pembangunan yang termuat dalam prinsip-prinsip utama dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Usaha selanjutnya coba dirintis dalam pertemuan The World Conservation Strategy WCS yang diadakan pada bulan Maret, 1980. Tujuan yang hendak
dicapai dalam pertemuan ini adalah untuk menekankan kembali perlu adanya upaya kebijakan di setiap negara yang mengatur usaha konservasi terhadap
lingkungan hidup dan ekosistemnya yang harus direalisasikan secepat mungkin.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dari yang dihasilkan dari Stockholm Declaration, dalam hasil pertemuan The World Conservation Strategy WCS memberikan contoh-contoh
praktis dan model pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Hal ini jelas memberikan suatu pandangan baru dalam mengedepankan usaha perlindungan
hutan dan tidak lagi menggunakan metode-metode tradisional seperti slash and burn
72
dalam pembukaan lahan. Salah satu tonggak penting dalam manajemen dan pengelolaan hutan
secara berkelanjutan pada tingkat global adalah pada tahun 1992 dimana 180 lebih Kepala Pemerintahan bertemu di Rio de Janeiro, Brazil bersepakat untuk
mengadopsi Agreement on Forestry Principles yang dituangkan dalam dokumen yang berjudul “Non-legally binding authoritative statement of principles for a
global consensus one the management, conservation and sustainable development of all types of forests”.
Forestry Principle
secara langsung dan terperinci menyatakan pola pengelolaan dan perlunya ada upaya secara serius dalam pengelolaan hutan secara
berkelanjutan terutama pada hutan-hutan di daerah tropis yang merupakan tempat penyerapan karbon dan air yang mempunyai sumbangsih besar bagi kehidupan
manusia.Dalam tataran regional, kawasan Asia Tenggara dan belahan Amerika Selatan menjadi tempat yang sangat rentan dengan masalah kebakaran hutan yang
terjadi. Sebagai bentuk tindak lanjut dari maraknya kebakaran hutan khususnya di Asia Tenggara dan dampak kabut asap yang dihasilkan, negara-negara yang
tergabung dalam Assocation of South East Asian Nations ASEAN mencoba
72
Slash and burn yaitu sistem tebang dan bakar.
Universitas Sumatera Utara
untuk merumuskan suatu kebijakan terkait dengan penanggulangan kebakaran hutan di Asia Tenggara. Pembicaraan mengenai dampak kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan sebenarnya telah dimulai pada tahun 1992 dengan mengadakan pertemuan di Bandung.
73
Konferensi Bandung menghasilkan pembicaraan pada tingkat menteri untuk melakukan suatu penanganan secara sesegera mungkin dan merumuskan
suatu kebijakan secara bersama-sama dalam rangka pengendalian asap yang dituangkan dalam dokumen “Long Term, Intergrated Forest Fire Management
Programme”. Pertemuan juga dilakukan pada tahun yang sama tepatnya 27 dan 28 Januari 1992 di Singapura. Dalam pertemuan pada tingkat kepala
Pemerintahan ini para negara anggota sepakat untuk meningkatkan kerjasama di bidang lingkungan hidup, khususnya dalam hal pencemaran transnasional,
bencana alam, kebakaran hutan, dan pemberantasan illegal logging.
74
Pada tanggal 26 April 1994, pertemuan selanjutnya diadakan di Bandar Sri Begawan yang melibatkan para Menteri Lingkungan negara-negara anggota
ASEAN yang menghasilkan rencana kerja berupa tindak lanjut dari Agenda 21 pada regional ASEAN. Untuk mempermudah langkah yang ingin dilaksanakan,
pembicaraan difokuskan pada 3 tiga isu utama yang meliputi : i Pencemaran Atmosfir Lintas Batas; ii Pencemaran Limbah Berbahaya Lintas Batas dan; iii
Pencemaran Lintas Batas akibat limbah Kapal Laut. Pada pertemuan selanjutnya yang diadakan pada bulan Juni tahun 1995,
para menteri negara-negara ASEAN sepakat untuk membuat suatu kebijakan pada
73
Deni Bram., Op.Cit., hlm. 120.
74
Ibid., hlm. 120.
Universitas Sumatera Utara
tingkat regional dalam mengatasi akibat kabut asap yang telah mencapai pada hampir setiap wilayah territorial negara anggota ASEAN. Setiap negara anggota
yang turut serta dalam rencana kerjasama ini sepakat untuk saling bertukar informasi dan mengadakan pengalihan teknologi dalam rangka meminimalisir
potensi kebakaran hutan. Walaupun keberadaan rencana kerjasama untuk menanggulangi kebakaran
hutan dan kabut asap yang dihasilkan sekilas memiliki keunggulan dibandingkan dengan perjanjian-perjanjian sejenis pada tingkat regional lainnya
75
,akan tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa rencana yang ada gagal pada tahapan
implementasi. Hal ini dilatarbelakangi oleh kurang berminatnya para negara- negara anggota ASEAN lainnya selain Singapura dan Malaysia dalam
membantu upaya penanggulangan kabut asap karena tidak mengalami dampaknya secara langsung.
Usaha ini pun dilanjutkan kembali dengan membawa isu yang lebih spesifik, yaitu penanggulangan dampak kabut asap melalui pernyataan para
menteri yang terkait masing-masing negara anggota ASEAN dalam Regional Haze Action Plan. Sekali lagi action plan ini mencoba untuk menegaskan secara
langsung mengenai dampak kabut asap yang dapat mengganggu tidak hanya ekosistem yang ada, melainkan juga makhluk hidup yang di dalamnya. Sebagai
75
Rencana Kerjasama pada tingkat Regional ASEAN mempunyai keunggulan dimana memuat ketentuan-ketentuan pada tataran praktis. Hal ini dapat dilihat dari berbagai ketentuan
dalam Rencana Kerjasama tersebut, yaitu i Adanya pembedaan perlakuanbagi ekosistem masing- masing negara dengan memperhatikan kondisi geografis dan demografi masing-masing negara; ii
Adanya pengakuan mengenai pentingnya komitmen bersama untuk melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan dampak yang dihasilkan, sehingga tidak hanya terpaku pada negara yang
menjadi penyumbang pencemaran semata. Lihat Charles Barber, The Case Study Of Indonesia, Indonesia Forestry Action Programme, hlm.9.
Universitas Sumatera Utara
usaha untuk memanfaatkan momentum yang ada, dalam rencana kerja ini langsung berusaha untuk membentuk badan penanggulangan kabut asap dan
lembaga penelitian pada tingkat regional dan sub regional. Momentum selanjutnya adalah pada usaha negara-negara anggota ASEAN
untuk merumuskan suatu panduan dan komitmen hukum secara bersama-sama yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang berjudul ASEAN Agreement on
Transboundary Haze PollutionPersetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas yang mengatur pendistribusian tanggung jawab dan
penanganan pencemaran kabut asap pada kawasan regional Asia Tenggara. Perjanjian ini ditandatangani oleh 10 negara peserta ASEAN pada Juni 2002, dan
kemudian came into force pada 25 November 2003.
76
Setelah tiga tahun berjalan, tujuh dari sepuluh negara penandatangan telah melakukan ratifikasi dan
harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan nasional negara peserta setempat.
77
Perjanjian ini mengatur perihal utama dalam penanganan kebakaran hutan pada umumnya dan dampak kabut asap pada khususnya. Perjanjian ini
memandatkan untuk dibuat adanya suatu komite
78
dan lembaga monitoring
79
untuk mengawasi jalannya isi perjanjian dan menghendaki adanya focal point di masing-
masing negara untuk memudahkan proses korespondensi.
80
76
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, Art.29.
77
Deni Bram., Op.Cit., hlm. 123.
78
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, Art. 53.
79
Ibid., Art.6.
80
Ibid., Art.7.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perjanjian ini pula diatur mengenai dasar penilaian
81
yang dilakukan dalam pencegahan dampak kebakaran hutan dan kabut asap yang
dihasilkan baik berupa kebijakan yang merujuk pada ketentuan zero burning policy dan mengambil tindakan administratif dan hukum dalam upaya
meminimalisir terjadinya kebakaran hutan baik pada tingkat masyarakat tradisional maupun pada industri modern.
82
Dalam langkah represif perjanjian ini juga menerapkan kesiapsiagaan
83
dan tanggap darurat
84
dengan prosedur yang telah dibakukan sebagai bentuk penanganan yang komprehensif dengan
mengandalkan peralatan dan teknologi dari penelitian yang dikembangkan.
85
Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas mempunyai keterkaitan yang sangat dalam dengan usaha pada tingkat global
dalam rangka menciptakan lingkungan hidup yang sehat dan habitable. Salah satu perjanjian internasional yang terkait dengan persetujuan ini adalah Konvensi
tentang Pencemaran Udara Lintas Batas Jarak Jauh Convention on Long-Range Transboundary Air Pollution sebagai dasar hukum internasional yang mengatur
terjadinya pencemaran udara yang secara fisik dari satu negara ke negara lain. Konvensi lain yang terkait adalah Konvensi tentang Perubahan iklim
Convention on Climate Change yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir yang dapat membahayakan sistem iklim. Hal ini tidak
terlepas dari sumbangsih hutan Indonesia yang mampu menyerap sebanyak 1500 Megaton emisi CO2, padahal emisi yang dihasilkan oleh hutan Indonesia sendiri
81
Ibid., Art.8.
82
Ibid., Art.9.
83
Ibid., Art.10.
84
Ibid., Art.11.
85
Ibid., Art.12.
Universitas Sumatera Utara
hanya 740 Megaton. Selain itu Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas berkaitan pula dengan Konvensi tentang Keanekaragaman
Hayati Convention on Biological Diversity, mengingat begitu banyaknya keragaman sumber daya baik hayati dan nabati yang tersimpan dala ekosistem
hutan terutama di Indonesia yang terkait satu sama lain dalam rantaian food chain yang terintergratif.
Universitas Sumatera Utara
73
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN INDONESIA TERHADAP NEGARA LAIN