Persepsi masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur terhadap pernikahan sirri

(1)

JAKARTA TIMUR TERHADAP PERNIKAHAN SIRRI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

FARDA CHALIDA

NIM: 1111044100028

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

Farda Chalida. NIM 1111044100028. Persepsi Masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur Terhadap Pernikahan Sirri. Program Studi Ahwal Syakhshiyyah. Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1436 H/ 2015 M.

Tujuan yang hendak dicapai peneliti adalah: untuk mengetahui faktor kebanyakan dari pernikahan sirri tersebut dan seberapa banyaknya masyarakat yang mengetahui pernikahan sirri dan akibat dari pernikahan sirri tersebut.

Dalam penelitian skripsi ini bersifat kuantitatif, metode yang digunakan yaitu metode penelitian lapangan dan kepustakaan didasarkan guna memperoleh data primer yang berasal dari penyebaran kuisioner ke warga masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur dan data sekunder diperoleh dari buku-buku, artikel dan lain-lainnya yang memuat keterangan tentang pembahasan pernikahan sirri.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa Pernikahan sirri yang dikenal oleh masyarakat Kelurahan Jatinegara adalah pernikahan yang sah secara agama, sedangkan menurut undang-undang tidak sah, karena tidak dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Faktor yang kebanyakan pernikahan sirri terjadi yaitu faktor poligami liar, karena banyaknya laki-laki yang ingin menikah lagi dengan wanita lain. Agar tidak ketahuan dengan istri pertama, maka terjadilah pernikahan sirri tersebut. Poligami liar juga bisa disebabkan karna istri pertama mandul. Sebagian responden mengetahui pernikahan sirri dan akibatnya, tetapi hanya saja mereka hanya sekedar tahu saja, akan tetapi tidak mengetahui secara dalam. Kata kunci: pernikahan sirri, faktor-faktor, akibat.

Dosen Pembimbing: Dr. H. Jaenal Aripin, M. Ag. Daftar Pustaka: 1980-2015


(6)

ii











Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji dan syukur penulis hanturkan

kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, atas segala limpahan rahmat dan kasih

sayang-Nya, serta yang telah memberikan hidayah dan ‘inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tak lupa penulis hanturkan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW, manusia yang mulia lagi dimuliakan Rabb-Nya, Rasul yang menjadi suri tauladan bagi seluruh umat, dlam membuka gerbang jalan ilmu pengetahuan. Begitupun juga semoga seluruh keluarga, sahabat, serta umat yang mengikuti jejak kebenaran dan kebaikannya senantiasa tercurahkan keselamatan sampai tiba hari pembalasan kelak.

Dengan sekuat tenaga dan semangat yang tak pernah putus, serta

beribu-ribu do’a, akhirnya penuli dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Persepsi Masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur Terhadap Pernikahan Sirri”. Penulisan skripsi ini guna memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Keluarga, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sebagai hamba yang lemah dan penuh salah, penulis menyadari dan memaklumi, bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini merupkan buah atau hasil karya yang maksimal dari penulis, karena dalam menyelesaikannya tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temui.


(7)

iii

berbagai pihak yang telah membantu dan memberi dukungan baik secara moril maupun materiil. Ucapan terima kasih ini penulis mempersembahkan kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA sebagai dekan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Abdul Halim. M.Ag. sebagai Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan beserta Arip Purkon, M.A. sebagai Sekretaris Program Studi

Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Jaenal Aripin, M. Ag. yang membimbing penulis, sehingga penyelesaian skripsi ini berjalan dengan baik.

4. Bapak Maman Rahman Hakim, yang telah membimbing dan membantu penulis dengan penuh kesabaran, sehingga penulisan skripsi ini selesai berjalan dengan baik.

5. Seluruh dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan dan seluruh pegawai Perpustakaan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Ibunda Auliana dan ayahanda H. Mukhlis telah memberikan semangat dan doa-doa yang kalian panjatkan untuk anakmu tercinta, serta adik-adikku yang selalu memberikan dukungan sehingga penyelesaian skripsi ini selesai.


(8)

iv informasi.

9. Warga Kelurahan Jatinegara yang telah memberikan waktu dan kesempatan untuk menjawab semua pertanyaan yang penulis buat.

10.Teman-teman kosan yang telah mensupport penulis dalam menyusun skripsi ini yaitu Sehong, Putri dan Sedong serta teman-teman seperjuangan dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11.Niko Leo Patra yang telah meluangkan waktunya untuk membantu dan memberikan bimbingan skripsi ini, dan selalu mendukung dan menyemangati yang tak ada henti-hentinya hingga penyusunan tahap awal sampai akhir. 12.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah turut

membantu dalam penyusunan skripsi ini hingga tahap akhir.

Dengan segenap ketulusan dan keikhlasan dari hati yang paling dalam atas jasa dan bantuan semua pihak, penulis panjatkan doa semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang berlipat dan menjadikan sebagai amal ibadah yang tidak akan pernah berhenti mengalir pahalanya hingga akhir hayat.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan umumnya bagi para pembaca, serta Allah SWT senantiasa selalu memerikan kemudahan bagi kita semua. Amin.

Jakarta, 10 Juni 2015


(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN TEORITIK TENTANG NIKAH SIRRI A. Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya ... 13

B. Pengertian Nikah Sirri ... 24

C. Hubungan Pernikahan Sirri dengan Pencatatan ... 33

BAB III KONDISI OBYEKTIF WILAYAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Kelurahan Jatinegara ... 46

B. Kondisi Masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data dan Pengujian Instrumen Penelitian ... 53

B. Pandangan Keagamaan Terhadap Nikah Sirri ... 55


(10)

vi

A. Kesimpulan ... 68 B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan manusia tidak terlepas adanya interaksi satu dengan lainnya yang terkumpul dalam suatu hubungan sosial atau masyarakat yang terbentuk dari kumpulan kelompok-kelompok sosial terkecil, dalam hal ini adalah keluarga. Keberadan keluarga sebagai inti dari masyarakat terbentuk dan diawili dengan adanya suatu ritual yang disebut pernikahan atau perkawinan.

Menikah merupakan fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia dewasa (akil baligh), siap secara lahir dan batin, serta memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Setiap orang yang telah memenuhi persyaratan tersebut dianjurkan agar menginjakkan kakinya kejenjang pernikahan. Jenjang inilah menandai sebuah fase kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup seseorang pada masa mendatang. Dibandingkan dengan hidup sendirian (membujang atau melajang), kehidupan berkeluarga memiliki banyak tantangan dan sekaligus mengandung jumlah harapan positif. Tidak dipungkiri dalam pernikahan terdapat banyak manfaatnya jika kita dapat mengelolanya dengan baik.1

Pernikahan yang merupakan sunnatullah adalah media pertemuan perempuan dan laki-laki yang dapat memberikan ketenangan jiwa (sakinah) bagi masing-masing pasangan. Di samping itu, pernikahan juga merupakan

1


(12)

sarana untuk saling bersinergi di antara pasangan sehingga dapat diupayakan penigkatan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah, jasadiyah dan bersosialisasi dengan masyarakat secara mawaddah dan rahmah. Sungguh indah mahligai rumah tangga yang dibangun melalui pernikahan yang sah dan mampu menggapai sakinah mawaddah dan rahmah dalam kehidupan sehari-harinya.

Proses pernikahan manusia akan menghasilkan regenerasi yang tumbuh dan berkembang, sehingga dlam kehidupan umat manusia dapat dilestarikan. Sebaliknya tanpa pernikahan regenerasi akan berhenti, sepi dan tidak berarti.2

Pelaksanaan pernikahan selalu bervariasi bentuknya. Mulai dari perkawinan lewat Kantor Urusan Agama (KUA), kawin lari, sampai perkawinan yang popular dikalangan masyarakat yaitu nikah sirri. Perkawinan yang tidak dicatatkan atau dikenal dengan istilah lain seperti „kawin di bawah tangan’ atau „kawin sirri’, atau „nikah sirri’, adalah perkawinan yang sesuai dengan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah sirri itu tidak disaksikan orang banyak dan tidak dicatatkan. Akan tetapi menurut agama sah tapi menurut pemerintah tidak sah.3

Pernikahan sirri ialah pernikahan biasa dikenal oleh masyarakat yang disebut nikah dibawah tangan. Pernikahan ini tidak diketahui oleh orang tua,

2

Chaeruddin, Perkawinan, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta, PT. Lehtiar Baru Van Hoeve, t.t), jilid-1 h. 65

3

Menurut Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 yang mengatur tentang Pencatatan Perkawinan. Pelanggaran Ketentuan Peraturan Pemerintah ini telah diatur dan dituangkan dalam Pasal 45.


(13)

tidak diketahui oleh banyak orang, dan tidak diketahui oleh pemerintah. Sirri itu rahasia, jadi pernikahan sirri itu adalah pernikahan yang dirahasiakan (diam-diam), karena takut diketahui oleh banyak orang.

Nikah sirri adalah pernikahan yang sah menurut agama tetapi “cacat” menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia karena pernikahannya tidak dicatatkan oleh (pegawai pencatat nikah) PPN secara resmi. Oleh karena itu pemerintah memberikan solusi bagi umat islam yang telah melakukan pernikahannya tanpa atau belum dicatatkan secara resmi untuk segera melegitmasi pernikahannya disebut dengan itsbat nikah.

Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1) memberikan penegasan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah tidaknya perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan benar-benar terjadi. Jadi semata-mata bersifat administrative. Pencatatan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat (1) agar dapat menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat. KHI pasl 6 ayat (1) menegaskan bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pencatat nikah (PPN). Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pengawai pencatat nikah dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum sebagaimana ditegaskan lebih lanjut dalam pasal 6 ayat (2) KHI. Pencatatan itu adalah wajib secara hukum, karena pencatatan itu sebagai alat bukti yaitu pembuktian secara otentik. Kemudian pernikahan sirri itu juga


(14)

disebut kawin lari karena tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

Fenomena nikah sirri bukan saja permasalahan yang baru-baru ini terjadi di masyarakat, akan tetapi permasalahan yang sudah hangat dan merebak khususnya di Indonesia. Nikah sirri dipandang sebuah permasalahan yang melanggar norma hukum.4

Nikah sirri yang penulis bahas disini ialah nikah sirri yang dimaksud sama dengan nikah di bawah tangan yang terjadi di wilayah Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur. Dalam masalah pernikahan sirri ini bahwa betapa pentingnya sosialisasi hukum islam ke dalam masyarakat yang bukan saja berbentuk rumusan hukum normatifnya, tetapi juga terutama tentang aspek tujuan hukum yang dalam kajian hukum islam dikenal dengan maqasid asy-syari‟ah. Secara teoritis, hukum islam dirumuskan oleh perumusan Allah. Secara umum tidak lain bertujuan untuk meraih kemaslahatan dan menghindari kemudhoratan.5

Pernikahan seperti ini seringkali menimbulkan madharrat terhadap istri dan/anak yang dilahirkan terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Di dalam ketentuan umum pernikahan sirri itu

4

http://tariganfebram.blogspot.com/2013/04/pernikahan-sirri-ditinjau-dari.html diakses pada pukul 20.22 tanggal 29 Maret 2015

5

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004) h. 29


(15)

hukumnya adalah sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharratnya.6

Perintah pencatatan perkawinan tidak ada dalam nash yang menyebutkan secara langsung. Pelaksanaan pencatatan itu didasarkan ijtihad para ulama dan diadopsi oleh negara dalam menyusun peraturan perundang-undangan tentang perkawinan ini. Pencatatan perkawinan ini didasarkan kepada “mashlahah murshalah”, karena nash tidak melarang dan tidak menganjurkannya. Pencatatan perkawinan itu sangat penting untuk dilaksanakan oleh pasangan mempelai, sebab buku nikah yang mereka peroleh itu merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan itu baik menurut agama maupun oleh negara. Dengan surat/ buku nikah itu, mereka dapat membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris. Bagaimana juga pencatatan perkawinan itu sangat besar mashlahah-nya bagi umat manusia, lebih-lebih dalam era globalisasi seperti sekarang ini.

Oleh karena masih ada oknum yang tidak mencatat perkawinannya karena mungkin perkawinan yang dilakukan itu bermasalah, misalnya melaksanakan nikah mut’ah, nikah sirri atau mengadakan poligami liar dan sebagainya, maka diharapkan dalam rangka penyusunan Hukum Perkawinan Islam masalah pencatatan perkawinan supaya dimasukkan dalam skala prioritas dengan menerapkan sanksi yang lebih berat bagi mereka yang melanggarnya. Hal ini sangat penting untuk dilaksanakan sebab sudah cukup

6Ma’ruf Amin,

Fatwa-fatwa masalah pernikahan dan keluarga, cet. Ke 2 (Jakarta: Balai Pustaka, 2008) h. 49


(16)

banyak masalah hukum perkawinan yang timbul dari perkawinan yang tidak dicatat ini. Sebagaimana hal poligami, kawin liar (yang tidak dicatat) akan membawa penderitaan kepada pihak istri dan anak-anaknya apabila sipelaku telah meninggal dunia.

Karenanya, wajarlah jika perkawinan dipastikan mempunyai niat yang buruk. Perkawinan yang disembunyikan tentu saja bertentangan dengan kehendak syara’ di mana Nabi Muhammad sendiri menganjurkan untuk mengumumkan perkawinan.

Dari ketentuan ini maka nikah sirri adalah sah dalam agama islam sesuai dengan rukun dan syaratnya pernikahan, akan tetapi dalam negara tidak diakui, karena tidak tercatat dalam buku pendaftaran nikah yang berada di Kantor Urusan Agama (KUA).

Bertitik tolak uraian tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan yang menjadi latar belakang di atas dan menyusunnya dalam skripsi ini yang berjudul: “PERSEPSI MASYARAKAT KELURAHAN JATINEGARA JAKARTA TIMUR

TERHADAP PERNIKAHAN SIRRI”.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar luar lingkup tidak terlalu luas, maka penulis membatasi penelitian hanya sekitar persepsi masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur terhadap pernikahan sirri.


(17)

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan bahwa pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:

a. Bagaimana pandangan masyarakat kelurahan Jatinegara Jakarta Timur terhadap nikah sirri?

b. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pernikahan sirri? c. Apa akibat hukum yang timbul dari nikah sirri di wilayah Kelurahan

Jatinegara Jakarta Timur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini yaitu:

a. Untuk menjelaskan pandangan masyarakat terhadap nikah sirri. b. Untuk mengetahui faktor-faktor terjadinya nikah sirri.

c. Untuk mengetahui akibat hukum yang terjadi di wilayah kelurahan Jatinegara Jakarta Timur.

2. Manfaat Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya dari hukum islam dan hukum perkawinan di Indonesia, yang secara dinamis terus mengkaji pembangunan hukum sebagai upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dalam Negara hukum Indonesia yang


(18)

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pengkajian juga untuk penyempurnaan Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan bagi pengambil kebijakan dalam pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta masukan kepada pemerintah yang saat ini sedang mengajukan rancangan undang-undang hukum perkawinan sebagai penyempurna Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Selain itu hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan acuan masyarakat dalam melakukan perkawinan.

D. Review Studi Terdahulu

Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul skripsi, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Syarif Hidayatullah dengan juduk skripsi “ Hukum Pengulangan Nikah Sirri, Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Studi Kasus Masyarakat Kedoya Kebun Jeruk Jakarta Barat). Konsentrasi Perbandingan Mazhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Tahun 2006. skripsi ini menjelaskan pengulangan Nikah Sirri yang oleh masyarakat Kedoya menurut Hukum Islam dan Hukum Positif dan mengulas hukum pengulangan akad yang disebabkan oleh nikah sirri menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Sedangkan dalam skripsi


(19)

penulis membahas pandangan masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur terhadap pernikahan sirri .

2. A. Syaadzali dengan judul skripsi “ Mahalnya Biaya Pernikahan Sebagai Faktor Pemicu Nikah Di Bawah Tangan (studi kasus di KUA Kecamatan Benda Tangerang), konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Tahun 2006. Skripsi ini membahas mahalnya biaya pernikahan sebagai faktor seseorang melakukan nikah di bawah tangan. Sedangkan dalam skripsi penulis hanya mengulas faktor dan akibat yang terjadinya pernikahan sirri.

3. Hafizh, dengan judul “Perkawinan Di Bawah Tangan dan Pengaruh

Terhadap Sengketa Pengadilan Agama Jakarta Barat”, konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Uin Jakarta tahun 2005. Disini membahas perkawinan dibawah tangan yang berdampak pada sengketa Pengadilan Agama di antaranya menuntut hak-hak istri dan anak ketika perceraian terjadi. Perbedaannya adalah penulis membahas pernikahan sirri dan pendapat masyarakat Kelurahan Jatinegara.

4. Ahmad Zulfahmi yang berjudul “Realita Nikah Sirri (studi empiris masyarakat di wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat), Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta tahun 2010. Skripsi ini membahas realita nikah sirri yang berada di Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta barat dan menggunakan metode kualitatif. Sedangakan penulis membahas pernikahan sirri di masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur dan menggunakan metode kuantitatif.


(20)

E. Metode Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara untuk menyelesaikan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia.7 Jadi metode penelitian sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Sebagai suatu karya ilmiah, skripsi ini dilakukan melalui pendekatan sosiologis, dengan mendeskripsikan masalah-masalah sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat. Penulis mencoba mendeskripsikan masalah-masalah mengenai pernikahan sirri yang terjadi di lingkungan kelurahan jatinegara Jakarta timur dan pengumpulan data penelitian melalui penyebaran kuisioner.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research) dan kepustakaan (research) didasarkan guna memperoleh data primer maupun sekunder, yang memiliki korelasi pada pembahasan ini. 3. Data Penelitian

Sumber data diperoleh dari sumber data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari penyebaran kuisioner ke warga masyarakat

7


(21)

Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur, al-Qur’an dan Hadist. Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku-buku, beberapa majalah, dan data lainnya yang memuat keterangan tentang pembahasan ini yaitu pernikahan sirri masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur.

Jenis datanya bersifat kuantitatif yang merupakan metode penelitian yang berukur pada data-data berupa pandangan-pandangan tentang nikah sirri pada masyarakat kelurahan jatinegara Jakarta timur.

Teknis penelitian yang digunakan pada penelitian ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh pusat peningkatan dan jaminan mutu (PPJM) fakultas syariah dan hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Press 2012.

4. Teknik Pengumpulan Data

Agar di dalam penelitian ini penulis mendapatkan hasil yang sesuai dengan variable yang akan di teliti, maka teknik pengumpulan data menggunakan angket dan studi pustaka untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan hal-hal pernikahan sirri.

5. Populasi dan Sampel a. Populasi

Populasi yang penulis ambil adalah subjek yang berada di wilayah Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur dengan sasaran laki-laki yang sudah menikah. Dengan jumlah 100 responden.


(22)

b. Sampel

Sampel yang penulis gunakan adalah simple random sampling yang merupakan teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara acak. F. Sistematika Penulisan

Sistematika penyusunan penelitian ini ialah berformat kerangka outline dalam bentuk bab dan sub bab, secara ringkas terurai dalam penjelasan berikut:

Bab I Pendahuluan, bab ini merupakan bab pendahuluan yang berisikan antara lain latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Teori yang akan menyajikan landasan teori mengenai masalah-masalah yang dibahas meliputi: A. Pengertitia Pernikahan dan dasar hukumnya B. pengertian Nikah Sirri C. Hubungan perkawinan sirri dan pencatatan pernikahan.

Bab III Gambaran Umum Tentang Masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur menerangkan tentang letak greografis dan kondisi Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur.

Bab IV menerangkan akibat hukum yang menyebabkan pernikahan sirri, faktor- faktor terjadinya pernikahan sirri, kemudian analisis tentang pernikahan sirri.


(23)

13

TINJAUAN TEORITIK TENTANG NIKAH SIRRI

A. Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya

Secara etimologi, nikah mempunyai arti mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan, atau bersenggama (wath‟i). Dalam memaknai hakekat nikah, ada ulama yang menyatakan bahwa pengertian hakiki dari nikah adalah bersenggama (wath‟i), sedang pengertian nikah sebagai akad merupakan pengertian yang bersifat majazy.1 Apabila “nikah” diartikan “akad”, maka akibatnya pada hukum nikah ialah wanita yang diwata’ secara tidak sah (zina) oleh seorang laki-laki boleh dikawini oleh putra laki-laki tersebut atau sebaliknya. Bahkan laki-laki itu boleh mengawini anak perempuan dari hasil perzinaannya sendiri karena tidak ada hubungan nasab antara dia dengan anak perempuan itu, demikian pendapat mazhab Syafi’i.2

Secara terminologi, nikah didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

Definisi nikah menurut syara yang dikemukakan oleh Muhammad Asmawi adalah melakukan aqad (perjanjian) antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan” sebagaimana suami istri mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agama. Aqad dalam sebuah pernikahan merupakan

1 Asrorun Ni’am Sholeh,

Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Graha Paramuda, 2008). h. 3

2

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 105


(24)

pengucapan ijab dari pihk wali perempuan atau wakilnya dan pengucapan qabul dari pihak calon suami.

Islam memandang perkawinan sebagain fase pertama keluarga, karena keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan sesame jenisnya untuk melakukan kebaikan dan melarang kemunkaran, meninggikan derajat manusia dan mewujudkan fungsi manusia sebagai khalifah dimuka bumi berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an:













Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepada-Nya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” QS. Ar-Ruum: 21). Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan.

1. Perkawinan dilihat dari segi hukum.

Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian. Oleh Q.S. An-nisa: 21, dinyatakan “… perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaqan ghalizan”.

Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:

a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan aqad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.


(25)

b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.

2. Segi sosial dari suatu perkawinan.

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.

3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang penting. Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagaimana diingatkan3 oleh firman Allah Surah An-nisa: 1 :















Artinya: “Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptkan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (dirinya); dan dari keduanya Allah memperkembangkannya laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah menjaga selalu menjaga dan mengawasimu. (An-nisa:1)

3

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Graha Ilmu, 2010) h. 5


(26)

Pernikahan yaitu salah satu sendi pokok pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, agama memerintahkan kepada umatnya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan oleh perbuatan terlarang dapat dihindari.

Allah Swt. berfirman:



















Artinya: “Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menagwininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua. Tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah labih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-nisa’:3).

Dan juga firman Allah yang lain:





















Artinya: “Dan nikahilah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahaya kalian yang laki-laki dan juga perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (an-Nuur:32).

Sedangkan dalil dari hadist Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah sabda beliau:

ج فْ صْ ا ص ْ ضغا آف ْج

ْ ف ء ْ ا ع ط ْسا ش ا شْع

)

( ْ ع قف


(27)

Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dn memelihara kemaluan.” (Muttafaqun Alaih).

Perkawinan/ pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan/pernikahan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan. Orang yang berkeinginan untuk melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan nonfisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. untuk berpuasa. Orang berpuasa akan memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan.4

Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah, bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah, tenteram, dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang. Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam Al-Qur’an dan As -Sunnah yang bersifat global, tetapi perkawinan berkaitan pula dengan hukum suatu negara. Perkawinan baru dinyatakan sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun dan syarat-syarat.5

4

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Palu: Sinar Grafika, 2006) h. 7 5


(28)

Menurut Subekti menyatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Kitab Undang-Undang hukum perdata sendiri tidak memberikan definisi secara jelas tentang perkawinan. Hanya dalam pasal 26 kitab undang-undang hukum perdata disebutkan bahwa Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan saja. Hal ini berarti bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syara-syarat yang telah ditetapkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata dan syarat peraturan agama dikesampingkan.6

Definisi Perkawinan (pernikahan) juga kita lihat dalam Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia dalam kaitannya ini Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

yang merumuskan demikian: “ Perkawinan ialah ikatan Lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.7

Dalam kata kawin, terkesan seolah-olah perkawinan hanya melulu mencerminkan hubungan biologis (seksual), yakni hubungan kelamin yang lazim dikenal dengan sebutan persetubuhan (persenggamaan) antara pria (suami) dengan wanita (istri), seperti layaknya hubungan kelamin yang juga dilakukan oleh hewan jantan dengan hewan betina. Itulah sebabnya mengapa

6

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1980), Cet-XV, h. 23

7


(29)

banyak orang enggan menikah secara hukum dan lebih suka memilih “kumpul kebo” karena bagi pasangan seperti in, hakikat kawin adalah persenggamanaan.8

Sedangkan dalam kata nikah, tidak semata-mata tercermin konotasi makna biologis dari pernikahan itu sendiri, tetapi juga sekaligus tersirat dengan jelas hubungan psikis kejiwaan (kerohanian) dan tingkah laku pasangan suami istri di balik hubungan biologis itu. Dalam kata nikah, hubungan suami istri bahkan kemudian hubungan orang tua dengan anak, akan mencerminkan hubungan kemanusiaan yang lebih terhormat, sejajar dengan martabat manusia itu sendiri. Dalam banyak hal memang hubungan suami istri harus berbeda daripada hewan yang juga memiliki nafsu syahwati (seksual). Bedanya, hewan naluri seks untuk seks; sementara manusia memiliki naluri seks untuk berketurunan dan sekaligus sebagai alah satu sarana penghambatan diri kepada Allah Swt.9

Hukum nikah bervariasi, tergantung pada keadaaan seseorang untuk menentukan hukum nikah bagi seseorang haruslah diperhatikan lebih

dahulu dua hal, yaitu “kemampuan”-nya melaksanakan kewajiban (baik

sebagai suami ataupun sebagai istri) dan kesanggupan “memelihara diri”,

yaitu sanggup tidaknya seseorang mengendalikan dirinya untuk tidak jatuh ke dalam jurang kejahatan seks.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, para ulama menyebut beberapa macam hukum nikah, sebagai berikut:

8

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 48

9


(30)

1. Wajib, yaitu bagi seorang laki-laki yang ingin sekali menggauli wanita dan kurang mampu mengendalikan dirinya untuk tidak jatuh ke dalam kejahatan seks daan mampu membiayai nafkah rumah tangga.

Firman Allah:











Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya) sampai Allah memberikan kemapuan kepada mereka dengan karunia-Nya.(An-Nuur:33)

2. Sunat, ialah bagi seseorang laki-laki yang ingin menggauli wanita untuk memperoleh keturunan dan ingin memelihara diri jangan sampai melanggar batas agama (meskipun orang itu sanggup memelihara dirinya daripada berbuat zina) dan ia mampu membiayai rumah tangga. Rasulullah

bersabda: “Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetan dengan

cara yang lurus lagi ramah (kawn) kepada kita”. (Sayyid Sabiq 6:1996:23) 3. Makruh, yaitu bagi seorang laki-laki yang jika ia kawin akan

menimbulkan berbagai kemusyrikan bagi istri dan anaknya, seperti tidak memperhatikan hak istri dan anaknya dengan sewajarnya karena ia terlalu mementingkan keperluannya sendiri.

4. Mubah, yaitu apabila seseorang berkeyakinan tidak akan jatuh ke dalam perzinaan kalau ia tidak kawin, seandainya ia kawin tidak akan mengabaikan kewajibannya sebagai suami atau istri.

5. Haram, ialah bagi seseorang laki-laki yang tidak mampu membiayai nafkah rumah tangganya, tidak ada sumber penghasilan untuk membiayai


(31)

dirinya dan keluarganya; atau berat dugaan bahwa ia akan berbuat zalim terhadap istrinya. Dengan demikian perkawinan itu merupakan jembatan baginya untuk berbuat zalim. Islam melarang berbuat zalim kepada siapapun.10firman Allah:







Artinya: “Dan jangan kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah, sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (Al-Baqarah:195)

Prinsip perkawinan ada 4:

1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama.

Menurut agama, perkawinan itu adalah sunnah Nabi, berarti pernikahan adalah suatu pelaksanaan ajaran agama.

2. Kerelaan dan persetujuan.

Sebagai calon pesangan suami istri tidak ada paksaan diantara mereka jika ingin menikah, sehingga mereka mempertimbangkan apa yang mereka lakukan.

3. Perkawinan untuk selamanya.

Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat keturunan dan untuk ketenangan, ketenteraman dn cinta serta kasih saynag. Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja.

4. Suami sebagai penanggung jawab umum dan rumah tangga.

10

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 109


(32)

Firman Allah:













Artinya: kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagaian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (an-Nisa: 33)

Kedudukan suami lebih tinggi dari istri, bukan karena suami berkuasa atas istri. Melainkan kelebihan suami atas istri dalam rumah tangga, karena suami adalah pemimpin rumah tangga dan sudah sewajarnya pemimpin mempunyai hak dan kewajiban yang lebih dari warga yang ada dalam rumah tangga.11

Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 mengandung 7 asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

2. Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang.

3. Asas monogami terbuka

11


(33)

Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka cukup seorang istri saja.

4. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berfikir kepada perceraian.

5. Asas persulitan terjadinya perceraian.

6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isti, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, segala sesuatu dlam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.

7. Asas pencatatan perkawinan.

Pencatatan perkawinan mempemudah mengetahui manusia yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan.12

Asas-asas perkawinan di atas, akan diungkapkan beberapa garis hukum yang dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebutnya KHI).

Selain itu, keabsahan perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1)

UUP: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ayat (2) mengungkapkan: “ Tiap -tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.” Dalam garis hukum Kompilasi Hukum Islam diungkapkan bahwa

pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 5 dan 6. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan merupakan syarat administrative, sehingga diungkapkan kutipan keabsahan dan tujuan perkawinan sebagai berikut.

Pasal 2 KHI

12

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Palu: Sinar Grafika, 2006), h.7


(34)

Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3 KHI

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menggunakan istilah yang bersifat umum , maka Kompilasi Hukum Islam menggunakan istilah khusus yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Misalnya: mitsaqan ghalizdan, ibadah, sakinah, mawaddah dan rahmah.

Pasal 4 KHI

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam ini Kompilasi Hukum Islam mempertegas dan merinci mengenai pengaturan Undng-Undang Perkawinan.13

B. Pengertian Nikah Sirri

Nikah sirri berasal dari kata bahasa arab yaitu sirriyyun yang berarti rahasia atau secara sembunyi-sembunyi. Jadi perkawinan sirri ini adalah perkawinan yang dilaksanakan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, itu dimaksud bahwa perkawinan itu dilakukan semata-mata untuk

13

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Palu: Sinar Grafika, 2006), hlm. 8


(35)

menghindari berlakuknya hukum negara yaitu undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan ialah perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan. Terdapat perbedaan pendapat tentang sah tidaknya perkawinan di bawah tangan, dikarenakan adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Yang jelas ketentuan pasal 2 ayat 2 yang mengharuskan pencatatan perkawinan terpisah dengan ketentuan pasal 2 ayat 1 yang mengatur tentang sahnya perkawinan yang harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya.

Terminologi “kawin sirri” dikenal dikalangan para ulama paling tidak sejak masa Imam Malik bin Anas, hanya saja kawin sirri yang dikenal pada masa itu berbeda pengertiannya dengan kawin sirri yang dikenal sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan perkawinan sirri adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, wali, saksi dan ijab qabul yang dilakukan oleh mempelai laki-laki dan wali si mempelai perempuan yang disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja para saksi diminta untuk merahasiakan atas terjadinya perkawinan tersebut kepada khalayak ramai sehingga dengan sendirinya tidak ada I‟lanun nikah (pengumuman perkawinan) dalam bentuk walimatul-„ursy (pesta) atau dalam bentuk lain.


(36)

Sedangkan pengertian kawin sirri yang berkembang dalam masyarakat saat ini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh kedua mempelai dengan memenuhi semua rukun dan syarat perkawinan menurut ketentuan hukum agama islam, namun proses perkawinan tersebut tidak dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan sehingga oleh karenanya perkawinan tersebut tidak dicatat dalam daftar catatan perkawinan di Kantor Pencatat Perkawinan dan tidak memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.14

Menurut hukum islam, perkawinan di bawah tangan atau sirri adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat rukun perkawinan. Namun dari aspek peraturan perundang-undangan perkawinan model ini belum lengkap karena belum dicatatkan. Pencatatan perkawinan hanya merupakan perbuatan administrative yang tidak berpengaruh pada sah tidaknya perkawinan. Yang biasanya menjadi korban akibat adanya perkawinan model ini, yang dalam bentuk pengingkaran terjadinya perkawinan di bawah tangan yang dilakukan dan tak jarang pula anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu juga tidak diakui. Terkadang muncul permasalahan juga dalam hal pembagian waris.

Pasal 43 UUP mengatur bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, sedangkan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dalam undang-undang pemerintah bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari pasangan suami istri yang menikah sesuai dengan agama dan hukum pemerintah, sedangkan anak yang tidak sah adalah anak yang

14

D. Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka Jakarta, 2012, Cetakan Pertama), h. 150


(37)

dilahirkan dari pasangan suami istri yang menikah sesuai agama saja, seperti pernikahan sirri pada kasus machica yang menggugat pasal 43 Undang-Undang Perkawinan.15 Dalam judicial review16, MK menilai hubungan hukum anak dengan ayahnya tidak semata-mata didasarkan pada adanya ikatan perkawinan. Itu juga dapat didasarkan pada pembuktian adanya hubugan darah antara anak dengan laki-laki tersebut. Jika tidak demikian, maka dirugikan adalah anak yang bersangkutan. Barangkali dalam hal ini MK berasumsi bahwa bayi tidak bersalah atas kelahirannya. Setiap bayi memang dilahirkan dalam keadaan suci, sehingga tidak semestinya ia dirugikan akibat ulah orang tuanya. Sebagaimana terdapat dalam hadist:

ْ ع

ْ ْ ك : س ع ه ص ا ق : ق ْ ا

ا أف , ْطفْ ا ع ْ

(

ا ا ) ... ا صْ ْ ا , ا

Dari Abu Huraiah berkata, Rasullah saw bersabda: setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah) lalu kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi,

atau Nasrani atau Majusi… (HR. Bukhari)

Namun di sisi lain putusan MK dalam kasus di atas dapat mengembalikan hak-hak dan perlindungan anak di luar nikah, tetapi tidak

15

Permohonan Machica dikabulkan oleh MK. Dalam putusan nomor 46/PUU-IX Tahun 2011, MK menetapkan seharusnya ayat tersebut berbunyi: “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahun dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan daah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

16

Judicial review berfungsi untuk menguji suatu peraturan, jika suatu peraturan bertentangan dengan konsiderans di atasnya (UU 1945), maka harus ditangguhkan dan dinyatakan tidak mengikat. Perlu diingat, rancangan Undang-Undang (RUU) sebelum disahkan, terlebih dahulu dilakukan pengkajian-pengkajian dari berbagai macam disiplin ilmu. Selain itu diadakan juga pendekatan-pendekatan etis, filosofis, sosiologis, budaya dan agama. Setelah semua proses itu, makan mengkristallah rancangan tersebut menjadi sebuah Undang-Undang tidak bisa dikritisi hanya dari satu pendekatan taua satu segi saja.


(38)

menutup kemungkinan akan muncul permasalahan baru di belakang akibat putusan MK ini. Karena wajar jika kemudian Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Makruf Amien menegaskan bahwa, putusan MK tersebut sangat kontroversial di kalangan umat Islam dan menimbulkan kegelisahan luar biasa, melanggar syariat Islam dan merubah tatanan Islam.17

Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat pada saksi itu sendiri.

Mengenai saksi di antara para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Syafi’I dan Maliki) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan,

bahkan Syafi’I bependapat bahwa saksi sebagai rukun nikah.18

Dalam hukum islam nikah sirri bukan masalah baru, sebab dalam kitab Al-Muwatha karyan Imam Malik telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri berasal dari ucapan Umar ibnu al-Khattab r.a:

,ك ْ ْخا

, ْ ا ج اا ْ ع ْ ْش ْ

ْ ف ج ْ ا ع ْ ا , ْ ْ ا

: ع قف

سْ ا

ا

ج ف

ق ْ ك ْ ْ ا ,

Artinya: “ bahwasanya Umar dihadapan seorang laki-laki yang menikah tanpa saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata: ini nikah sirri aku tidak membolehkannya, seandainya kamu melakukannya pasti aku rajam”.

17

http://www.mifdlol.staff.iainsalatiga.ac.id/2013/01/28/sebuah-catatan-untuk- keputusan-mahkamah-konstitusi-mk-terkait-pelaksanaan-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ di akses pada jumat, 3 Juli 2015 23.57 wib

18

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (suatu study perbandingan dalam kalangan Akhlus-sunah dan negara-negara islam), (Jakarta: P.T Bulan Bintang, 1994), cet-2, h. 153


(39)

Pengertian pernikahan sirri dalam persepsi Umar tersebut bahwa syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kriteria Umar dapat dipandang sebagai nikah sirri.19

Menurut Jumhur Ulama, pernikahan yang tidak dihadiri saksi-saksi tidak sah. Jika ketika ijab kabul tidak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang damai dengan cara lain, pernikahannya tidak sah.20

Menurut para Ulama Hanafiah telah meletakkan kriteria bagi orang yang diterima dan tidak di kesaksiannya dalam akad nikah. Mereka berkata, setiap orang yang layak untuk menjadi seorang wali dalam akd nikah dengan hak perwalian diri sendiri, maka ia layak untuk menjadi saksi dalam akad ini.

Sikap undang-undang terhadap kesaksiannya: undang-undang ahwal syakhshiyyah Syiria (pasal 12) mengambil pendapat madzhab Hanafi

dalam masalah persaksian. Di dalamnya tercantum bahwa, “Dalam sahnya

akad nikah disyaratkan kehadiran dua orang saksi lelaki, atau seorang lelaki dan dua orang perempuan yang beragama Islam, berakal, baligh serta mampu mendengar ucapan ijab dan qabul sekaligus memahaminya.” Maksudnya, ini dalam pernikahan sesama Muslim. Adapun pernikahan di antara Ahli Kitab, maka sah dengan kesaksian dua orang dari ahli kitab, sekalipun kedua saksi

19

Mahful M. dan Herry Mohammad, Fenomena Nikah Sirri, (Jakarta: IKAPI, 1996), h. 31

20


(40)

tersebut berbeda agama dengan si perempuan, seperti kesaksian orang-orang Nasrani akan pernikahan seorang perempuan Yahudi.21

Pernikahan sirri: sebagai penguat disyaratkannya persaksian, para

ulama Malikiah berkata, “Nikah sirri itu rusak dengan talak ba’in jika suami -istri tersebut telah melakukan persenggamaan. Sebagaimana juga rusaknya pernikahan tanpa saksi dengan terjadi hubungan suami-istri. Mereka berdua dikenakan had zina;jilis atau rajam, jika telah terjadi persenggamaan dan hal itu mereka akui. Atau persenggamaan tersebut terbukti dengan persaksian empat saksi, seperti dalam kasus perzinaan. Mereka berdua tidak diberi ampunan hanya karena ketidaktahuan mereka, akan tetapi mereka berdua tidak dikenakan had, jika pernikahan mereka telah menyebar dan diketahui oleh banyak orang, seperti dengan diiringi pemukulan rebana, diadakan walimah, disaksikan dua saksi fasik dan sejenisnya. Karena hal itu masih dalam taraf syubhat. Nabi saw.pernah bersabda22:

ْ ش ْ ْ ا ا

ء ْ ا

Artinya: “Halangilah had itu dengan hal-hal yang syubhat”

Perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan, ada yang menyebut kawin syar‟I dan juga yang menyebut kawin Modin, kawin Kyai. Sejumlah istilah muncul mengenai perkawinan di bawah tangan. Akan tetapi pada umumnya yang dimaksud perkawinan di bawah tangan adalah

21

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011, Jilid 9), h.79

22

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011, Jilid 9), h. 74


(41)

perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatatan Nikah (PPN). Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah secara Agama, tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pendapat lain menyebutkan bahwa perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundangan. Terdapat perbedaan pendapat tentang sah tidaknya perkawinan di bawah tangan, dikarenakan adanya perbedaan penafsirannya terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang pasti ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang mengharuskan pencatatan perkawinan terpisah dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang sahnya perkawinan yang harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya.23

Adapun pemahaman lain dan lebih umum mengenai kawin sirri dalam pandangan masyarakat islam adalah perkawinan hanya memenuhi ketentuan agama, yaitu memenuhi syarat dan rukun nikah. Rukun dan syarat nikah itu meliputi: 1) adanya calon suami dan calon istri 2) adanya wali pengantin perempuan 3) adanya dua saksi yang adil (terdiri atas dua orang laki-laki atau seorang laki-laki ditambah dua orang perempuan); 4) ijab dan Kabul. Selain rukun atau syarat wajib nikah, terdapat sunnah nikah yang perlu dilakukan, yaitu khotbah nikah; pengumuman perkawinan dengan

23

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta, 2011), h. 211


(42)

penyelenggaraan walimaturrus perayaan; menyebutkan mahar atau mas kawin.

Dalam pernikahan sirri, biasanya unsur walimatul „ursy /perayaan sebagai upaya pengumuman kepada masyarakat yang tidak dilakukan. Sebab pada praktiknya, pernikahan sirri tidak pernah diumumkan kepada masyarakat. Walimatul „ursy bertujuan untuk mengumumkan pernikahan yang sudah terjadi kepada masyarakat, minimal keluarga dan tetangga dekat. Hal ini harus dilakukan untuk menghindari fitnah dan prasangka buruk orang lain. Selain itu, perilaku pernikahan sirri pun tidak melaporkan pernikahannya ke KUA.24

Perkawinan sirri juga akan menimbulkan kecenderungan bahwa pihak laki-laki untuk bertindak sewenang-wenang karena merasa bahwa posisinya dihadapan hukum lebih menguntungkan dibandingkan perempuan, karena pihak suami bisa meninggalkan begitu saja istri sirinya tanpa tanggung jawab apa-apa dan hukum tidak bisa berbuat apa-apa terhadapnya. Perkawinan sirri pada umumnya dilakukan oleh orang yang secara aturan administrasi tidak dapat melakukan poligami tanpa adanya ijin dari istri dan atasannya, hal ini serng terjadi pada kalangan Pegawai Negri Sipil (PNS), TNI, Polri yang kemudian melakukan pernikahan secara diam-diam agar jangan sampai diketahui oleh pihak istri dan lingkungan kerjanya.

Dari fenomena kawin sirri itu kemudian memunculkan istilah “istri simpanan” yaitu istri-istri yang dikawini secara sirri oleh seorang laki-laki

24

https://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/04/04/nikah-siri/ diakses pada pukul 11:01 WIB tanggal 2 April 2015


(43)

yang keberadaannya disembunyikan dari istri dan keluarga dalam pernikahannya yang pertama, perkawinan sirri dilakukan untuk menghindari perbuatan zina sehingga dari sudut pandang itu sebenarnya mengandung nilai-nilai kebaikan, terlepas apakah perkawinan itu merupakan bentuk upaya untuk menyembunyikan dari istri dan keluarga, sepanjang bahwa rukun dan syarat itu terpenuhi menurut ketentuan agama, maka perkawinan seperti itu harus dipandang sebagai perkawinan yang sah.

Perkawinan sirri juga banyak dilatarbelakangi oleh adanya prinsip kebolehan berpoligami dalam ajaran islam, namun itu terkendala dengan adanya pembatasan dan pengaturan dalam aturan perundang-undangan, misalnya bagi seorang Pegawai Negri Sipil (PNS)/TNI dan Polri poligami walaupun bia dilakukan namun hal itu sulit, dan harus melewati segala macam prosedur yang rumit. Berpangkal tolak dari kenyataan tersebut, maka banyak orang yang mengambil jalam pintas dengan segala resiko jabatan yang menyertainya dengan melakukan perkawinan secara sirri demi melaksanakan hajatnya.25

C. Hubungan Pernikahan Sirri dengan Pencatatan

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina.

25

D. Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka Jakarta, 2012, Cetakan Pertama), h. 160


(44)

Karena suatu perkawinan merupakan perbuatan hukum, maka tentu saja ia akan menimbulkan akibat hukum. Yang tadinya antara seorang laki-laki dan perempuan haram berhubungan badan, setelah perkawinan menjadi halal. Dari hubungan badan itu menghasilkan turunan, melahirkan keluarga sedarah dan semenda. Dari perkawinan itu juga timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban lain seperti nafkah, waris, hibah dan sebagainya.26

Alquran dan hadist tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum Islam. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat , baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum islam. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian (mitsaqan ghalizan) aspek hukum yang timbul dari hukum perkawinan. Realisasi pencatatan itu, malhirkan Akta nikah yang masing-masing dimiliki oleh suami dan istri salinannya. Akta tersebut dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan umat islam khususnya dam masyarakat Indonesia pada umumnya. Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi dan unifikasi

26

Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2010 ), h. 127


(45)

hukum perkawinan yang bersifat national yang menempatkan hukum islam mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat. Amat wajar bila ada pendapat yang mengungkapkan bahwa Undang-undang Perkawinan merupakan ajal teori receptive (istilah Hazairin) yang dipelopori oleh Cristian Snouck Hourgroje. Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam pasal 2 ayat (2) meskipun telah disosialisasikan selama 26 tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala. Upaya ini perlu dilakukan oleh umat islam secara berkesinambungan di negara Republik Indonesia.27

Berdasarkan kendala di atas, sebagai akibat adanya pemahaman

fikih Imam Syafi’i yang sudah membudaya di kalangan umat islam Indonesia. Menurut paham mereka, perkawinan telah dianggap cukup bila syarat dan rukunnya sudah dipenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan, apalagi akta nikah. Kondisi seperti ini terjadi dalam masyarakat sehingga masih ditemukan perkawinan di bawah tangan (perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai laki-laki kepala calon mempelai wanita tanpa dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah dan tidak mempunyai Akta Nikah). Kenyataan dalam masyarakat seperti ini merupakan hambatan Undang-undang Perkawinan. Pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut.28

Pasal 5

27

ABD. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 296

28

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (palu: Sinar Grafika 2006), h. 26-27


(46)

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nmor 32 Tahun 1954.

Pasal 6

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah yang tidak mempunyai kekuatan hukum

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b. Hilangnya Akta Nikah

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan

d. Adanya perkawinan terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dan


(47)

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. (4)Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri,

anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkwinan itu.

Fundamentum yurudis dalam pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 diperjelas penekanannya dalam pasal 4-7 Kompilasi Hukum Islam. KHI memuat aturan-aturan sebagai berikut:29

a. Sahnya perkawinan mesti dilakukan menurut hukum islam. b. Dilarang pria islam kawin dengan non-muslim.

c. Setiap perkwinan harus dicatat.

d. Perkawinan harus sah apabila dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

e. Perkawinan di luar PPN adalah perkawinan liar.

f. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat PPN. Dalam perkawinan, pencatatan mutlak (jelas) diperlukan. Adapun fungsi dan kegunaan pencatatan adalah untuk memberikan jaminan hukum terhadap perkawinan yang dilakukan, bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, berdasarkan I’tikad baik, serta suami sebagai pihak yang melakukan transaksi benar-benar akan menjalankan segala konsekuensinya atau akibat hukum dari perkawinan yang dilaksanakannya itu.

29

ABD. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 296


(48)

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendpatkan salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lainnya dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, baik suami maupun istri memiliki bukti otentik atas perubahan hukum yang telah mereka lakukan.30

Dalam hal pencatatan perkawinan ini, bagi mereka yang menganut agama islam dilakukan oleh PPN sebagaimana dimaksud UU No. 32/ 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Dan bagi mereka yang menganut agama di luar islam, dicatat oleh KCS. Dalam pasal 11 ayat (1) dan (3) disebutkan bahwa sesaat sesudah perkawinan dilangsungkan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh PPN yang turut menghadiri perkawinan tadi, dan dengan penanda-tanganan akta nikah itu, maka perkawinan telah tercatat secara resmi menurut hukum dan kepada masing-masing suami istri diberi satu salinan akta nikah tersebut.dengan diberikannya salinan akta nikah kepada masing-masing suami-isteri, maka perkainan mereka telah dinyatakan sebagai perkawinan yang sah dan harus dilindungi oleh hukum. Perkawinan yang tidak dicatat sering disebut perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan atau dalam bahasa fikih disebutkan az-zawaj al-„urf. Menurut Huzaemah Tahido Yanggo bahwa ia membedakan antara perkawinan sirri dengan nikah di bawah tangan. Menurutnya, nikah sirri adalah nikah yang dirahasiakan atau disembunyikan

30

Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2010), h.133


(49)

supaya tidak diketahui oleh orang lain. Sementara nikah di bawah tangan adalah nikah yang secara fikih memenuhi syarat dan rukun yang ditetapkan, namun dalam pernikahan ini tidak dicatat secara resmi oleh pegawai pencatat nikah.31

Bagi yang tidak mendaftarkan perkawinan atau yang enggan melangsungkan perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah, maka akan menanggung risiko yuridis, perkawinannya dikualifikasikan sebagai perkawinan liar dalm bentuk kumpul kebo atau compassionate marriage.

Larangan kumpul kebo kemudian ditentukan dalam pasal 422 RUU-KUHP 1999-2000, tetapi masih merupakan delik aduan. Orang-orang atau para pihak yang dapat melakukan pengaduan adalah keluarga salah satu pihak sampai derajat ketiga, atau kepala adat, atau kepala desa/lurah setempat. Dengan berbagai langkah yang dapat dilakukan penulis, antara lain melalui buku Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, cetakan ke-1 sampai dengan cetakan ke-3, akhirnya dirumuskan laranan kumpul kebo dalam Pasal 487 RUU-KUHP 2008, yang bukan sebagai delik aduan lagi, tetapi sudah menjadi delik umum atau delik biasa.

Kumpul kebo, menurut Pasal RUU-KUHP tahun 2008 adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan yang melakukan hidup bersama seperti suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah. Sedangkan pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negri Sipil, yang diubah oleh Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1990 merumuskan ketentuan bahwa “Pegawai Negeri Sipil

dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan istrinya atau dengan pria

31

Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h.134


(50)

yang bukan suaminya sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang

sah”.32

Pencatatan bukanlah suatu hal yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Perkawinan adalah sah kalau telah dilakukan menurut ketentuan agamanya, walaupun tidak atau belum didaftarkan. Dalam Surat Putusan Mahkamah Islam Tinggi pada tahun 1953 No. 23/19 menegaskan bahwa bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak didaftarkan, maka nikah tersebut sah, sedangkan yang bersangkutan dikenakan denda karena tidak didaftarkannya nikah itu.33

Pencatatan perkawinan dalam putusan Mahkamah Agung Islam Tinggi pada Tahun 1953 No. 23/19 menganalisis bahwa Mahkamah Agung Islam Tinggi berpendapat sesuai dengan hukum islam, maka perkawinan itu sah walaupun tidak didaftarkan pada Pencatatan Pegawai Nikah. Sedangkan dengan Putusan Mk yang mengabulkan kasus Machica dengan pasal 43 UU Perkawinan 1974 bahwa anak yang lahir dari hasil pernikahan sirri (pernikahan yang tidak dicatatkan) maka mempunyai hubungan dengan bapak biologisnya, karena MK berasumsi bahwa bayi yang tidak bersalah atas kelahirannya. Setiap bayi memang dilahirkan dalam keadaan suci, sehingga tidak semestinya ia dirugikan akibat ulah orang tuanya.

Lembaga pencatatan perkawinan merupakan syarat administrasi, selain substansinya bertujuan untuk menertibkan hukum, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu

32

Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan tidak dicatat menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 2012), h. 351

33

ABD. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana 2010), h. 295


(51)

perkawinan. Setidaknya ada dua manfaat pencatatan perkawinan, yakni manfaat prevensif dan manfaat represif.

Manfaat preventif, yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaannya itu, maupun menurut perundang-undangan. Dalam bentuk konkretnya, penyimpangan tadi dapat dideteksi melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 3 PP No. 9 tahun 1974:34

1. Setiap orang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberi oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Dalam perkembangan terakhir ini, kehadiran penghulu dalam upacara pernikahan sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan perkawinan diwajibkan di negara-negara muslim. Ketidakhadiran pegawai pencatat nikah dalam suatu upacara perkawinan dapa menyebabkan yang menyelenggarakan perkawinan iut, di beberapa negara, dijatuhi pidana, sedang pernikahannya sendiri (yang kemudian dicatatkan) tidak dibatalkan. Di negara-negara muslim diwajibkan adanya pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di masing-masing negara, kendatipun bukan merupakan rukun nikah, tetapi dianggap sangat penting

34

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013, edisi revisi), h.94


(52)

untuk pembuktian pernikahan yang sah yang dilakukan oleh seseorang. Selain dari perkawinan itu sendiri harus dicatat, surat-surat yang berkaitan dengan pernikahan itu harus disimpan, didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian kalu timbul keraguan atau masalah di kemudian hari.35

Adapun manfaat represif Akta Nikah adalah sebagai berikut. Bagi suami istri yang karena sesuatu hal perkawinannya tidak dibuktikan dengan Akta Nikah, kompilasi memberi solusi kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat (penetapan) nikah kepada pengadilan agama. Hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fiqih saja, tetapi aspek-aspek keperdataannya juga diperhatika secara seimbang. Jadi, pencatatan adalah merupakan bentuk usaha pemerintah untuk mengayomi warga masyarakat dami terwujudnya ketertiban dan keadilan. Pasal 7 ayat (2) dan (3) menyebutkan:

1. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama.

2. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:36

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilangnya Akta Nikah.

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

35

ABD. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, h. 296

36


(53)

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Tidak ada sumber-sumber fikih yang menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, tidak dianalogikan kepada ayat muamalah tersebut. Dalam kaidah hukum islam, pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga. Sejalan dengan kaidah :

ا

ْا

ف

س

ق

ع

ج

ْ

ْا

ص

menghindari kerusakan didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan.”

ص

ف

ْلا

ع

ا

ع

ْ

ط

ْ

ْص

“tindakan (peraturan), berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.”

Pemerintah yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, dalam perspektif metodelogi, diformulasikan menggunakan metode istishlah atau maslahat mursalah.37 Hal ini karena meskipun secara formal tidak ada ketentuan ayat atau sunnah yang memerintahkan pencatatan nikah, kandungan maslahatnya

sejalan dengan tindakan syara’ (mulaimah Ii tasharrufat al-syar‟i) yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Atau dengan

37

Maslahah Mursalah yang artinya menurut bahasa yaitu kebaikan yang dikirimkan atau kebaikan yang terkandung.


(1)

Jakarta, April 2015 Responden

(tanda tangan dan nama jelas)

Catatan:


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)