Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya

16 Pernikahan yaitu salah satu sendi pokok pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, agama memerintahkan kepada umatnya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan oleh perbuatan terlarang dapat dihindari. Allah Swt. berfirman:                               Artinya: “Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim bilamana kamu menagwininya, maka kawinilah wanita- wanita lain yang kamu senangi: dua. Tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah labih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” An-nisa’:3. Dan juga firman Allah yang lain:                    Artinya: “Dan nikahilah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahaya kalian yang laki- laki dan juga perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” an-Nuur: 32. Sedangkan dalil dari hadist Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah sabda beliau: ج فْ صْ ا ص ْ ضغا آف ْج ْ ف ء ْ ا ع ط ْسا ش ا شْع ْ ع قف 17 Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dn memelihara kemaluan.” Muttafaqun Alaih. Perkawinan pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinanpernikahan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan. Orang yang berkeinginan untuk melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal fisik dan nonfisik dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. untuk berpuasa. Orang berpuasa akan memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan. 4 Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah, bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah, tenteram, dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang. Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam Al- Qur’an dan As- Sunnah yang bersifat global, tetapi perkawinan berkaitan pula dengan hukum suatu negara. Perkawinan baru dinyatakan sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun dan syarat-syarat. 5 4 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Palu: Sinar Grafika, 2006 h. 7 5 Dedi Ismatullah, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 30 18 Menurut Subekti menyatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Kitab Undang-Undang hukum perdata sendiri tidak memberikan definisi secara jelas tentang perkawinan. Hanya dalam pasal 26 kitab undang-undang hukum perdata disebutkan bahwa Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan saja. Hal ini berarti bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syara-syarat yang telah ditetapkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata dan syarat peraturan agama dikesampingkan. 6 Definisi Perkawinan pernikahan juga kita lihat dalam Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia dalam kaitannya ini Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan demikian: “ Perkawinan ialah ikatan Lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 7 Dalam kata kawin, terkesan seolah-olah perkawinan hanya melulu mencerminkan hubungan biologis seksual, yakni hubungan kelamin yang lazim dikenal dengan sebutan persetubuhan persenggamaan antara pria suami dengan wanita istri, seperti layaknya hubungan kelamin yang juga dilakukan oleh hewan jantan dengan hewan betina. Itulah sebabnya mengapa 6 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1980, Cet-XV, h. 23 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pasal 1 19 banyak orang enggan menikah secara hukum dan lebih suka memilih “kumpul kebo” karena bagi pasangan seperti in, hakikat kawin adalah persenggamanaan. 8 Sedangkan dalam kata nikah, tidak semata-mata tercermin konotasi makna biologis dari pernikahan itu sendiri, tetapi juga sekaligus tersirat dengan jelas hubungan psikis kejiwaan kerohanian dan tingkah laku pasangan suami istri di balik hubungan biologis itu. Dalam kata nikah, hubungan suami istri bahkan kemudian hubungan orang tua dengan anak, akan mencerminkan hubungan kemanusiaan yang lebih terhormat, sejajar dengan martabat manusia itu sendiri. Dalam banyak hal memang hubungan suami istri harus berbeda daripada hewan yang juga memiliki nafsu syahwati seksual. Bedanya, hewan naluri seks untuk seks; sementara manusia memiliki naluri seks untuk berketurunan dan sekaligus sebagai alah satu sarana penghambatan diri kepada Allah Swt. 9 Hukum nikah bervariasi, tergantung pada keadaaan seseorang untuk menentukan hukum nikah bagi seseorang haruslah diperhatikan lebih dahulu dua hal, yaitu “kemampuan”-nya melaksanakan kewajiban baik sebagai suami ataupun sebagai istri dan kesanggupan “memelihara diri”, yaitu sanggup tidaknya seseorang mengendalikan dirinya untuk tidak jatuh ke dalam jurang kejahatan seks. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, para ulama menyebut beberapa macam hukum nikah, sebagai berikut: 8 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, h. 48 9 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 48 20 1. Wajib, yaitu bagi seorang laki-laki yang ingin sekali menggauli wanita dan kurang mampu mengendalikan dirinya untuk tidak jatuh ke dalam kejahatan seks daan mampu membiayai nafkah rumah tangga. Firman Allah:            Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah memberikan kemapuan kepada mereka dengan karunia-Nya.An-Nuur:3 3 2. Sunat, ialah bagi seseorang laki-laki yang ingin menggauli wanita untuk memperoleh keturunan dan ingin memelihara diri jangan sampai melanggar batas agama meskipun orang itu sanggup memelihara dirinya daripada berbuat zina dan ia mampu membiayai rumah tangga. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetan dengan cara yang lurus lagi ramah kawn kepada k ita”. Sayyid Sabiq 6:1996:23 3. Makruh, yaitu bagi seorang laki-laki yang jika ia kawin akan menimbulkan berbagai kemusyrikan bagi istri dan anaknya, seperti tidak memperhatikan hak istri dan anaknya dengan sewajarnya karena ia terlalu mementingkan keperluannya sendiri. 4. Mubah, yaitu apabila seseorang berkeyakinan tidak akan jatuh ke dalam perzinaan kalau ia tidak kawin, seandainya ia kawin tidak akan mengabaikan kewajibannya sebagai suami atau istri. 5. Haram, ialah bagi seseorang laki-laki yang tidak mampu membiayai nafkah rumah tangganya, tidak ada sumber penghasilan untuk membiayai 21 dirinya dan keluarganya; atau berat dugaan bahwa ia akan berbuat zalim terhadap istrinya. Dengan demikian perkawinan itu merupakan jembatan baginya untuk berbuat zalim. Islam melarang berbuat zalim kepada siapapun. 10 firman Allah:             Artinya: “Dan jangan kamu jatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah, sungguh Allah menyukai orang- orang yang berbuat baik”. Al-Baqarah:195 Prinsip perkawinan ada 4: 1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama. Menurut agama, perkawinan itu adalah sunnah Nabi, berarti pernikahan adalah suatu pelaksanaan ajaran agama. 2. Kerelaan dan persetujuan. Sebagai calon pesangan suami istri tidak ada paksaan diantara mereka jika ingin menikah, sehingga mereka mempertimbangkan apa yang mereka lakukan. 3. Perkawinan untuk selamanya. Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat keturunan dan untuk ketenangan, ketenteraman dn cinta serta kasih saynag. Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. 4. Suami sebagai penanggung jawab umum dan rumah tangga. 10 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005, h. 109 22 Firman Allah:               Artinya: kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagaian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. an-Nisa: 33 Kedudukan suami lebih tinggi dari istri, bukan karena suami berkuasa atas istri. Melainkan kelebihan suami atas istri dalam rumah tangga, karena suami adalah pemimpin rumah tangga dan sudah sewajarnya pemimpin mempunyai hak dan kewajiban yang lebih dari warga yang ada dalam rumah tangga. 11 Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Al- Qur’an dan hadist, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 mengandung 7 asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut: 1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing- masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 2. Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. 3. Asas monogami terbuka 11 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana 2010, h. 32 23 Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka cukup seorang istri saja. 4. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berfikir kepada perceraian. 5. Asas persulitan terjadinya perceraian. 6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isti, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, segala sesuatu dlam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan bersama oleh suami istri. 7. Asas pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan mempemudah mengetahui manusia yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan. 12 Asas-asas perkawinan di atas, akan diungkapkan beberapa garis hukum yang dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selanjutnya disebutnya KHI. Selain itu, keabsahan perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UUP: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ayat 2 mengungkapkan: “ Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dalam garis hukum Kompilasi Hukum Islam diungkapkan bahwa pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 5 dan 6. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan merupakan syarat administrative, sehingga diungkapkan kutipan keabsahan dan tujuan perkawinan sebagai berikut. Pasal 2 KHI 12 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Palu: Sinar Grafika, 2006, h.7 24 Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 KHI Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menggunakan istilah yang bersifat umum , maka Kompilasi Hukum Islam menggunakan istilah khusus yang tercantum di dalam Al- Qur’an. Misalnya: mitsaqan ghalizdan, ibadah, sakinah, mawaddah dan rahmah. Pasal 4 KHI Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ini Kompilasi Hukum Islam mempertegas dan merinci mengenai pengaturan Undng-Undang Perkawinan. 13

B. Pengertian Nikah Sirri

Nikah sirri berasal dari kata bahasa arab yaitu sirriyyun yang berarti rahasia atau secara sembunyi-sembunyi. Jadi perkawinan sirri ini adalah perkawinan yang dilaksanakan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, itu dimaksud bahwa perkawinan itu dilakukan semata-mata untuk 13 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Palu: Sinar Grafika, 2006, hlm. 8 25 menghindari berlakuknya hukum negara yaitu undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan ialah perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan. Terdapat perbedaan pendapat tentang sah tidaknya perkawinan di bawah tangan, dikarenakan adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan pasal 2 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Yang jelas ketentuan pasal 2 ayat 2 yang mengharuskan pencatatan perkawinan terpisah dengan ketentuan pasal 2 ayat 1 yang mengatur tentang sahnya perkawinan yang harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya. Terminologi “kawin sirri” dikenal dikalangan para ulama paling tidak sejak masa Imam Malik bin Anas, hanya saja kawin sirri yang dikenal pada masa itu berbeda pengertiannya dengan kawin sirri yang dikenal sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan perkawinan sirri adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, wali, saksi dan ijab qabul yang dilakukan oleh mempelai laki-laki dan wali si mempelai perempuan yang disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja para saksi diminta untuk merahasiakan atas terjadinya perkawinan tersebut kepada khalayak ramai sehingga dengan sendirinya tidak ada I‟lanun nikah pengumuman perkawinan dalam bentuk walimatul- „ursy pesta atau dalam bentuk lain. 26 Sedangkan pengertian kawin sirri yang berkembang dalam masyarakat saat ini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh kedua mempelai dengan memenuhi semua rukun dan syarat perkawinan menurut ketentuan hukum agama islam, namun proses perkawinan tersebut tidak dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan sehingga oleh karenanya perkawinan tersebut tidak dicatat dalam daftar catatan perkawinan di Kantor Pencatat Perkawinan dan tidak memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. 14 Menurut hukum islam, perkawinan di bawah tangan atau sirri adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat rukun perkawinan. Namun dari aspek peraturan perundang-undangan perkawinan model ini belum lengkap karena belum dicatatkan. Pencatatan perkawinan hanya merupakan perbuatan administrative yang tidak berpengaruh pada sah tidaknya perkawinan. Yang biasanya menjadi korban akibat adanya perkawinan model ini, yang dalam bentuk pengingkaran terjadinya perkawinan di bawah tangan yang dilakukan dan tak jarang pula anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu juga tidak diakui. Terkadang muncul permasalahan juga dalam hal pembagian waris. Pasal 43 UUP mengatur bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, sedangkan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dalam undang-undang pemerintah bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari pasangan suami istri yang menikah sesuai dengan agama dan hukum pemerintah, sedangkan anak yang tidak sah adalah anak yang 14 D. Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Jakarta: Prestasi Pustaka Jakarta, 2012, Cetakan Pertama, h. 150 27 dilahirkan dari pasangan suami istri yang menikah sesuai agama saja, seperti pernikahan sirri pada kasus machica yang menggugat pasal 43 Undang- Undang Perkawinan. 15 Dalam judicial review 16 , MK menilai hubungan hukum anak dengan ayahnya tidak semata-mata didasarkan pada adanya ikatan perkawinan. Itu juga dapat didasarkan pada pembuktian adanya hubugan darah antara anak dengan laki-laki tersebut. Jika tidak demikian, maka dirugikan adalah anak yang bersangkutan. Barangkali dalam hal ini MK berasumsi bahwa bayi tidak bersalah atas kelahirannya. Setiap bayi memang dilahirkan dalam keadaan suci, sehingga tidak semestinya ia dirugikan akibat ulah orang tuanya. Sebagaimana terdapat dalam hadist: ْ ع ْ ْ ك : س ع ه ص ا ق : ق ْ ا ا أف , ْطفْ ا ع ْ ا ا ... ا صْ ْ ا , ا Dari Abu Huraiah berkata, Rasullah saw bersabda: setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan suci fitrah lalu kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi, atau Nasrani atau Majusi… HR. Bukhari Namun di sisi lain putusan MK dalam kasus di atas dapat mengembalikan hak-hak dan perlindungan anak di luar nikah, tetapi tidak 15 Permohonan Machica dikabulkan oleh MK. Dalam putusan nomor 46PUU-IX Tahun 2011, MK menetapkan seharusnya ayat tersebut berbunyi: “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahun dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan daah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. 16 Judicial review berfungsi untuk menguji suatu peraturan, jika suatu peraturan bertentangan dengan konsiderans di atasnya UU 1945, maka harus ditangguhkan dan dinyatakan tidak mengikat. Perlu diingat, rancangan Undang-Undang RUU sebelum disahkan, terlebih dahulu dilakukan pengkajian-pengkajian dari berbagai macam disiplin ilmu. Selain itu diadakan juga pendekatan-pendekatan etis, filosofis, sosiologis, budaya dan agama. Setelah semua proses itu, makan mengkristallah rancangan tersebut menjadi sebuah Undang-Undang tidak bisa dikritisi hanya dari satu pendekatan taua satu segi saja.