Dolus Kesengajaan Sengaja dan Kelalaian

kehendak yang menentukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.

3. Sengaja dan Kelalaian

Suatu perbuatan tidak dapat membuat orang bersalah kecuali bila dilakukan dengan niat jahat, yang mana asas tersebut dikenal dengan istilah Actus non facit reum, nisi mens sit rea. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil menterjemahkan dari kalimat tersebut diambil suatu ekspresi actus reus ini berarti kesengajaan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum pidana, menurutnya ada 2 dua segi yang menjadi masalah penting dalam asas actus reus dan mens rea ialah: 42 a. Adanya perbuatan lahiriah sebagai penjelmaan dari kehendak, misalnya perbuatan mengambil dalam perkara pencurian. b. Kondisi jiwa, iktikad jahat yang melandasi perbuatan tadi. Sehingga bentuk dari kesalahan adalah Sengaja dolus, opzet dan kelalaian culpos.

a. Dolus Kesengajaan

Kesengajaan merupakan salah satu unsur dari kesalahan, yang mana unsur tersebut berkaitan dengan sikap batin si pelaku tindak pidana dan hal tersebut dapat menentukan ia bersalah atau tidak dalam suatu peristiwa pidana yang diakibatkan oleh si pelaku. Mengenai pengertian kesengajaan, di dalam KUHP maupun Undang-undang tidak dapat ditemukan pengertian kesengajaan itu sendiri. Pengertian kesengajaan dalam Memorie van Toelicting Swb sebagaimana dikutip oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi mengatakan: “yang dimaksud dengan kesengajaan adalah willens en wetens veroorzaken van een gevolg. Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsyafi tindakan tersebut danatau akibatnya”. 43 42 C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Op.Cit., hlm. 50. 43 Ibid, hlm. 167 20 Sebagian besar perbuatan pidana mempunyai unsur kesengajaan opzet bukan unsur culpa. Kesengajaan yang terkait dengan sikap batin pelaku, harus memenuhi ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu: Kesatu, perbuatan yang dilarang. Kedua, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan ketiga, bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kesengajaan opzet ada 3 tiga macam, yaitu sebagai berikut : 44 1. Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu opzet als oogmerk. 2. Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi opzet bij mogelijkheids-bewustzijn. 3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan opzet bij mogelijkheids- bewustzijn. Berdasarkan uraian diatas, kesengajaan yang merupakan salah satu bagian dari kesalahan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan kejiwaan atau batin si pelaku terhadap perbuatannya dibandingkan dengan kelalaian. Oleh karena itu sebagaimana dikatakan oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, kesengajaan memiliki ancaman pidana jauh lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atas dasar kelalaian culpa. 45 Schaffmeister, N. Keijzer, PH. Sutorius, menjelaskan kesengajaan terkadang tidak secara murni dengan “menghendaki” suatu perbuatan, akan tetapi adakalanya mengenai keadaan-keadaan tertentu hanya diisyaratkan bahwa pelaku telah mengetahui atau bahkan mengenal keadaan tersebut, hal ini 44 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, edisi ketiga, cet.pertama, Bandung, hlm. 66. 45 E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 166. 21 ketiganya menyampaikan pendapat Menteri dalam diskusi antara komisi pelapor dan pemerintah mengatakan, “Menteri membenarkan hal itu, tetapi menambahkan bahwa kesengajaan adalah arah yang disadari dari kehendak yang tertuju kepada kejahatan tertentu. Menghendaki dan mengetahui berarti seperti dalam percakapan sehari-hari yaitu “sengaja” dan “dengan diketahui dan dikehendaki” dicampuradukan”. 46 Dimaksudkan dengan dikehendaki dan diketahui, Moeljatno dalam bukunya menerangkan, ada teori mengenai 2 dua aliran tersebut, yaitu: 47 a Teori kehendak wilstheorie yaitu yang paling tua dan pada masa timbulnya teori yang lain mendapat pembelaan kuat dari von Hippel guru besar di Gottingen, Jerman, di Negeri Belanda antara lain dianut oleh Simons, adalah kehendal yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan itu seperti dirumuskan dalam wet de op verwerkelijking der wettelijke omshrijving gerichte wil; sedangkan menurut yang lain kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet de wil tot handelen bj voorstelling van de wettelijke omschrijving behoorende bestandelen. b Teori pengetahuan voorstellingstheorie yang kira-kira tahun 1910 diajarkan oleh Frank, guru besar di Tubingen, Jerman, dan mendapat sokongan von listiz. Di Nedherland penganutnya antara lain adalah von Hamel, yang ditulis oleh Pompe diambil dari rumusan Frank dan von Hippel, bahwa perbedaan tidak terletak pada kesengajaan untuk mengadakan kelakuan positif maupun negatif itu sendiri yang oleh dua- 46 D. Schaffmeister, N. Keijzer, PH. Sutorius, Hukum Pidana, diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy, cet.ke-1, Penerbit: Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 88. 47 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 171-172. 22 duanya disebut sebagai kehendak, tetapi terletak dalam kesengajaan terhadap unsur-unsur lainnya sejauh harus diliputi kesengajaan, yaitu akibat dan keadaan yang menyertainya. Sengaja dengan maksud menurut van Hattum sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, ialah pelaku tersebut memang dengan sengaja menghendaki dan mengetahui adanya akibat dari perbuatannya. Sedangkan Pompe mengatakan: “bahwa apabila orang mengartikan maksud oogmerk sebagai tujuan bedoeling seperti rencana dan keinginan pembuat, berarti ada perbedaan antara maksud oogmerk dibatasi sampai tujuan terdekat naaste doel dari pembuat, berarti pengertian maksud oogmerk selalu juga berarti sengaja opzet, tetapi tidak setiap sengaja opzet juga merupakan maksud oogmerk.” 48 Sengaja dengan maksud oleh Vos, sebagaimana diterjemahkan oleh Utrech dengan sengaja tanpa maksud, dalam bukunya menguraikan pendapat Vos yakni : “sengaja yang dimaksud adalah, apabila pembuat dader menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, andaikata pembuat sebelumnya sudah mengetahi bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi, maka sudah tentu ia tidak melakukan perbuatannya.” 49 Sedangkan Gerson W. Bawengan, berpendapat bahwa kesengajaan dengan kesadaran dengan pasti mengenai tujuan yang pelaku menghendaki sesuatu tetapi terhalang oleh keadaan di luar perkirannya, kemudian untuk mencapai niat yang ia kehendakinya tercapai, dengan cara menyingkirkan penghalangnya secara ia sadari melawan hukum demi mencapai suatu tujuan utama. Kemudian Gerson memberi contoh, bahwa si A hendak mencuri sebuah kotak berisi berlian. Untuk melaksanakan niatnya, A harus memasuki kamar B yang merupakan pemilik yang menjaga harta tersebut. Untuk tidak 48 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 109. 49 Utrech, Op.Cit, hlm. 305. 23 menimbulkan kegaduhan si A membunuh si B menikamnya dengan sebilah pisau. 50 Dolus eventualis menurut Moeljatno, dikenal dengan teori “inkauf nehmen” atau op den koop toe nehmen. Menurutnya, dolus eventualis bukan mengenai kesengajaan melainkan akibat atau keadaan yang diketahuinya kemungkinan akan timbul akibat yang tidak disetujuinya. Namun meskipuan demi untuk mencapai tujuan yang dimaksud, resiko akan timbulnya akibat yang tidak disetujuinya tetap diterima. Maka dari itu teori ini dinamakan “inkauf nehmen” yang diterjemahkan menjadi “teori apa boleh buat”, sebab apabila resiko yang diketahui kemungkinan akan adanya itu sungguh-sungguh timbul di samping hal yang dimaksud, apa boleh buat ia juga berani pikul resikonya. Jadi menurut teori ini, Moeljatno merumuskan untuk adanya dolus eventualis diperlukan 2 dua syarat, yaitu: 51 1 Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibatkeadaan yang merupakan delik. 2 Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul, ialah apa boleh buat, dapat disetujui dan berani pikul resikonya. Menurut Jan Remmelink, dalam menerapkan kesengajaan tidak boleh dibatasi dan terlalu ketat untuk menetapkannya suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana. Namun dalam waktu yang bersamaan, tidak boleh dibiarkan terlalu longgar dengan cara mengobyektivasi banyak unsur perbuatan pidana. Remmelink mengatakan: “hasil akhir yang diharapkan bukanlah tingkat ketelitian yang semakin tinggi, tapi justru kelenturan yang lebih besar. Hal ini dapat dicapai justru 50 Gerson W. Bawengan, Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktek, Penerbit: PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hlm. 90. 51 Moeljatno, Op.Cit, hlm. 175. 24 tidak dengan cara menempatkan unsur-unsur atau faktor-faktor delik di dalam atau justru di luar lingkaran pengaruh dolus, melainkan menempatkan sebagian unsur-unsur tersebut ke dalam lingkaran pengaruh dolus, sebagian lainnya di obyektivasi, dan untuk bagian lainnya mengaitkannya dengan persyaratan culpa.” 52 Pandangan diatas menggambarkan bahwa adanya perbarengan antara unsur kesengajan dan unsur kealpaan dalam suatu perbuatan pidana, dalam istilah hukum pidana dikenal dengan bahasa Belanda pro parte dolus pro parte culpa. Sebagaimana disampaikan juga oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi mengenai pro parte dolus pro parte culpa, bahwa suatu kejahatan tersebut sebagian unsurnya diliputi kesengajaan, tetapi unsur lainnya mungkin diliputi oleh kesengajaan, tetapi mungkin pula diliputi oleh kealpaan. 53 Pro parte dolus pro parte culpa dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 480 KUHP tentang Penadahan yang menggunakan frasa “mengetahui, atau setidak-tidaknya patut menduganya bahwa” yang jelas mencakup baik dolus sebagai kesadaran akan kemungkinan maupun culpa. Yang mana cara memperoleh dan seterusnya harus dilakukan dengan sengaja, sedangkan pelaku sendiri tidak perlu mengetahui asal-usul barang tersebut yang diperoleh dari kejahatan. 54

b. Culpa Kelalaian