“bagaimanapun juga, kita tidak rela membebankan derita kepada orang lain, sekedar karena orang itu melakukan tindak pidana kecuali jika kita yakin
bahwa ia memang dapat dipersalahkan karena tindakannya itu. Karena itu dapat juga diandaikan bahwa manusia dalam kondisi yang tidak terlalu
abnormal, sepanjang ia memang menginginkannya, muncul sebagai mahluk yang memiliki akal budi serta sanggup dan mampu menaati norma-norma
masuk akal yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai jaminan kehidupannya. Karena itu, kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh
masyarakat – yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu – terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang
sebenarnya dapat dihindarinya. Bereaksi secara tidak positif berkehendak terhadap tuntutan perintah masyarakat hukum dapat dikembalikan pada
tedelnswerte Rechtsgesinnung pandangan tercela terhadap hukum, tiadanya rasa kebersamaan, atau ringkasnya, egoisme yang tidak dapat
diterima dalam kehidupan masyarakat. Kemungkinan dapat dihindari terjadinya perilaku menyimpang merupakan lapis pertama untuk
menetapkan kesalahan, suatu perbuatan harus memiliki sifat layak dipidana strafwaardugheid – dengan kata lain harus relevan dari sudut pandang
hukum pidana.”
34
2. Kemampuan bertanggungjawab
Ketentuan dalam KUHP pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, hal tersebut disampaikan oleh H.A. Zainal Abidin
Farid bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diseluruh dunia tidak dapat ditemukannya pengaturan tentang kemampuan bertanggungjawab, akan tetapi
yang diatur adalah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab sebagaimana tertera dalam pasal 44 KUHP.
35
Kemampuan bertanggungjawab atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah toerekeningsvatbaarheid menurut pendapat Sofjan Sastrawidjaja, ajaran
mengenai kemampuan bertanggungjawab ini mengenai keadaan jiwabatin seseorang yang normal atau keadaan yang sehat ketika melakukan suatu perbuatan
pidana. Mengenai pengertian kemampuan bertanggungjawab, dalam KUHP
34 Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 142. 35 H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Penerbit Sinar Grafika, edisi kesatu,
Jakarta, 2007, hlm. 260.
17
sebagaimana diuraikan diatas bahwa tidak ada ketentuan yang menyebutkan tentang arti kemampuan bertanggungjawab. Sofjan menyebutkan dalam M.v.T
hanya menerangkan secara negatif bahwa, “tidak mampu bertanggungjawab ontoerekeningsvatbaarheid dari pembuat
adalah dalam hal pembuat tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang dalam hal
perbuatan yang dipaksadwanghandelingen dan dalam hal pembuat ada di dalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa
perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak mengerti akibat perbuatannya nafsu patalogispatholoigische drife, gila, pikiran tersesat,
dan sebagainya.”
36
Sofjan melanjutkan, berdasarkan keterangan M.v.T tersebut yang mengartikan kemampuan bertanggungjawab secara negatif, dapat dikatakan
bahwa pembentuk undang-undang mengambil sebagai pokok inti bahwa pada umumnya seseorang memiliki jiwa atau batin yang normal atau sehat, sehingga
mampu bertanggungjawab atas perbuatannya.
37
Kemampuan bertanggungjawab menurut Sutrisna dan I Gusti Bagus dalam bukunya yang berjudul “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana Tinjauan
terhadap Pasal 44 KUHP”, sebagaimana mengutip pendapat Andi Hamzah, mengatakan bahwa:
“di dalam hal kemampuan bertanggungjawab apabila dilihat dari keadaan batin pelaku perbuatan pidana, merupakan masalah kemampuan
bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa seseorang yang melakukan
perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, karena orang yang normal atau sehat inilah yang kemudian dapat
mengatur tingkah laku sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat.”
38
Demikian hal tersebut diatas, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan
bahwa kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan
36 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Penidaan Pidana, Penerbit Armico, Bandung, 1995, hlm. 181.
37 Ibid., hlm. 182. 38 Sutrisna, I Gusti Bagus, Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana Tijauan
terhadap pasal 44 KUHP, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 78
18
jiwa geestelijke vermogens, dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikir verstandelijke vermogens dari seseorang, walaupun dalam istilah resmi
digunakan dalam ketentuan Pasal 44 KUHP ialah verstandelijke vermogens yang dalam perkembangan doktrin para ahli hukum diterjemahkan dengan istilah
keadaan dan kemampuan jiwa seseorang.
39
Sehingga berdasarkan pemahaman diatas, bahwa seseorang dianggap mampu bertanggungjawab apabila sikap batin dan atau keadaan jiwa nya dalam
keadaan normal atau sehat melakukan suatu perbuatan pidana dan dapat dikenakannya sanksi pidana terhadap dirinya.
Sutrisna dan I Gusti Bagus menjelaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 44 KUHP sebenarnya tidak merinci secara tegas mengenai kemampuan
bertanggungjawab, hanya dapat ditemukan menurut pandangan para ahli seperti Van Hammel yang mengatakan:
“seseorang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 tiga syarat, yaitu pertama dapat menginsyafi mengerti makna
perbuatannya dalam alam kejahatan; kedua, dapat menginsyafi bahwa perbuatannya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat, dan
ketiga, mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.”
40
Sedangkan menurut D. Simons mengatakan: “bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsyafi sifat
melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu menentukan kehendaknya.”
41
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor yang sangat pokok, yaitu pertama
faktor akal yang membedakan antar perbuatan yang di perbolehkan dan yang dilarang atau melanggar hukum, dan faktor kedua mengenai perasaan atau
39 E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 250. 40 Sutrisna, I Gusti Bagus, Op.Cit., hlm. 79.
41 Ibid.,
19
kehendak yang menentukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.
3. Sengaja dan Kelalaian