Ny. Komariah mengatakan konsekuensi pencantuman unsur-unsur sifat melawan hukum dalam rumusan delik, menyebabkan adanya beban pembuktian
bagi jaksa, karena berdasarkan tuntutan yang ia tuduhkan dengan pasal tertentu mewajibkan untuk memuat unsur-unsur perbuatan pidana yang dituduhkannya
dalam surat dakwaan atau surat tuntutan, dan kemudian membuktikan dakwaannya.
17
Berdasarkan pemahaman tersebut diatas, unsur melawan hukum juga menjadi bagian dari tindak pidana yang harus dicantumkan dalam surat dakwaan
yang kemudian harus dibuktikan terlebih dahulu dengan ketentuan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila hal tersebut tidak dapat
dibuktikan secara sah dan meyakinkan, maka hakim wajib membebaskan si pelaku.
2. Alasan Pembenar
Ketentuan khusus dapat tidak dipertanggung jawabkannya seorang pelaku dalam hukum pidana, dikenal dengan istilah alasan penghapusan pidana. Roeslan
Saleh, yang mengistilahkannya dengan alasan penghapusan pidana, menguraikan
alasan penghapusan pidana antara lain yaitu, Pertama adanya perbuatan yang
terdapat dalam rumusan delik tersebut dipandang tidak bersifat melawan hukum
atau dengan kata lain adanya “alasan-alasan pembenar”, kedua perbuatannya
memang sesuai dengan ketentuan dalam rumusan delik akan tetapi ia dipandang
tidak mempunyai kesalahan, atau dengan kata lain adanya “alasan pemaaf”.
18
17 Ny. Komariah, Op.cit., hlm. 25. 18 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dua pengerian
dasar dalam hukum pidana, penerbit: aksara baru, ctk. Ketiga, 1983, hlm. 97.
9
Diantara dasar-dasar yang meniadakan hal melawan hukumnya suatu perbuatan dan dapat dihukumnya perbuatan pidana, P.A.F Lamintang dan D.
Simons menjelaskan antara lain adalah dilakukannya sesuatu perbuatan karena keadaan terpaksa noodweer yaitu di dalam keadaan-keadaan dimana perbuatan
itu karena sesuatu hal ia dalam keadaan terancam dan tidak dapat dihindarinya lagi, maka dilakukan perbuatan tersebut terpaksa untuk melindungi nyawa atau
harta benda dirinya sendiri.
19
Keadaan semacam ini disebut dengan pembelaan terpaksa atau dalam istilah Belanda dikenal dengan noodweer. Sebagaimana
ketentuan dalam pasal 49 ayat 1 dan ayat 2 KUHP, menentukan syarat-syarat dimana melakukan suatu perbuatan pidana untuk membela diri dapat dibenarkan.
Sehingga keadaan seperti ini disebut dengan alasan pembenar dan sifat melawan hukumnya dapat ditiadakan, kemudian tidak dapat dituntut dengan
pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan pemahaman tersebut, alasan pembenar merupakan alasan yang meniadakan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan
pidana, sehingga menjadi perbuatan yang dibenarkan. Demikian menurut pandangan Van Bemmelen, sebagaimana dikutip oleh
Andi Hamzah, alasan pembenar dapat meniadakan unsur melawan hukum yang mana perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana, apabila jika terjadi penyertaan
yaitu seseorang ikut serta sebagai pembantu, menyuruh melakukan, memancing untuk melakukan perbuatan pidana, maka ia tidak dapat dipidana. Sehingga alasan
pembenar memiliki unsur obyektif, yaitu perbuatan pidana itu sendiri tidak dapat dipidana.
20
19 P.A.F. Lamintang, D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht, Penerbit Pionir Jaya, cet.pertama,1992, Bandung, hlm. 288.
20 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 145.
10
Suatu alasan pembenar lain selain keadaan terpaksa atau dikenal dengan istilah noodweer, adalah keadaan darurat noodtoestand, di mana noodtoestand
menurut Mr.J.E. Jonkers yang dikutip oleh R. Soenarto, merupakan bentuk yang ketiga dari daya paksa overmacht di samping daya paksa yang absolut tetapi
juga daya paksa yang relatif,
21
daya paksa overmacht sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 48 KUHP yang dijelaskan menurut R. Sugandhi, bahwa kalimat
“karena daya paksa” harus diartikan bahwa daya paksa tersebut daya paksa baik secara batin, maupun secara lahir, rohani, dan jasmani. Adapun daya paksa yang
tidak dapat dilawan, ialah adanya kekuasaan yang lebih besar sehingga tidak mungkin dapat ditentang.
22
Kekuasaan yang lebih besar tersebut merupakan suatu tekanan dari luar yang memaksa seseorang melakukan suruhan yang memiliki
kekuasaan tersebut, sehingga orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, hal ini Jan Remmelink mengatakan:
“bahwa dalam sejarah perundang-undangan, overmacht merupakan alasan atau sebab eksternal yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
dan menggambarkannya sebagai setiap daya, dorongan, paksaan, yang membuat seseorang tidak berdaya menghadapinya.”
23
Selain keadaan diatas, melaksanakan ketentuan undang-undang wettelijk voorschrif dan perintah jabatan sah bevogoed gegeven ambtelijk merupakan
dasar penghapusan pidana atau merupakan alasan pembenar dari suatu sifat melawan hukumnya perbuatan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 tentang
ketentuan undang-undang dan Pasal 51 ayat 1 KUHP tentang perintah jabatan. Dimaksud dengan menjalankan undang-undang, R. Sugandhi menjelaskan bahwa
21 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Penerbit Rajawali Pers, Edisi kelima, Jakarta, 2006, hlm. 40.
22 R. Sugandhi, K.U.H.P Dengan Penjelasannya, Penerbit: Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hlm. 54.
23 Jan Remmelink, Op.Cit., hlm. 226.
11
tidak hanya terbatas pada perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, tetapi meliputi perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang
diberikan oleh suatu perundang-undangan. R. Sugandhi melanjutkan, mengingat prinsip yang diletakkan di sini, bahwa apa yang harus diperintahkan oleh suatu
undang-undang, tidak mungkin diancam hukuman dengan undang-undang yang lain, maka apabila seorang pegawai polisi yang menembak seorang tahanan yang
berbahaya kemudian melarikan diri, tidak dapat dipersalahkan karena mereka dapat dianggap sebagai melakukan peraturan undang-undang.
24
Mengenai perintah jabatan sebagaimana Pasal 51 ayat 1 KUHP, menurut Jan remmelink dalam bukunya mengatakan:
“bahwa kewajiban untuk bertindak dengan cara tertentu muncul bukan atas dasar suatu aturan hukum umum, melainkan dari suatu perintah yang
diberikan berdasarkan atas aturan tersebut. Selanjutnya, aturan yang menetapkan kewenangan memberi suatu perintah tidak mesti tertulis, karena
ada juga yang tidak tertulis. Beranjak dari asas keselarasan tertib hukum, untuk keduanya berlaku ketentuan bahwa bilamana perintah tersebut
dilaksanakan dan sekaligus suatu tindak pidana terjadi, maka sifat dapat dipidana tindakan tersebut akan hilamh karena di dalam tindakan tersebut
tidak terkandung unsur melawan hukum.”
25
B. Konsep dan Ruang Lingkup Pertanggungjawaban Pidana