1. Kesalahan
Unsur kesalahan dalam hukum pidana merupakan asas yang tidak tertulis, tetapi menempati posisi mutlak dapat dipidananya sutau perbuatan. Asas ini
terkenal dengan sebutan “geen straaft zonder schuld” yang mengindikasikan adanya kesengajaan dolus, opzet dan kealpaan culpos.
Baik kesalahan itu disengaja dolus, opzet maupun karena kealpaan culpos berakibat hukum, pelaku atau si pembuat dapat dipidana sesuai dengan
kesalahannya. Unsur kesalahan dalam suatu perbuatan pidana akan dilihat dari niat atau sikap batin pelaku yang berkait erat dalam rumusan delik dengan sifat
melawan hukumnya sutau perbuatan, dikenal dalam hukum pidana sebagai subyektif onrechts element dan akibat yang ditimbulkannya yang disebut obyektif
onrechts element. Moeljatno, menyebutkannya sebagai keadaan lahir atau obyektif yang menyertai suatu perbuatan
32
. Misalnya, dalam tindak pidana korupsi atau juga dalam tindak pidana pencucian uang, bahwa terdakwa tidak berhak dan tidak
memiliki kewenangan atas uang yang didapat. Karena uang yang didapat tidak dilakukan dengan cara yang halal yang dibolehkan oleh hukum.
Sehingga kesalahan berkaitan dengan sikap batin yang menentukan kesalahan seseorang tersebut sangat penting, karena perbuatan tidak membuat
orang bersalah kecuali jika terdapat sikap batin yang salah, jadi sikap batin yang salah inilah kesalahan yang merupakan sifat subyektif dari tindak pidana, karena
berada di dalam diri si pelaku. Sehingga kesalahan schuld merupakan unsur
32 Moeljatno, Op.cit, hlm. 82.
15
yang sangat penting untuk mengetahui bagaimana sikap batin dari si pelaku tindak pidana.
Sebagaimana menurut Teguh dalam bukunya mengatakan, karena kesalahan merupakan unsur yang bersifat subyektif dari tindak pidana, maka kesalahan juga
memiliki dua segi yaitu, segi psikologis dan segi yuridis. “ditinjau dari segi psikologis kesalahan itu harus dicari di dalam batin
pelaku, yaitu adanya hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Seorang gila
yang melakukan perbuatan melawan hukum barangkali dapat dikatakan tidak memiliki hubungan batin antara dirinya dengan perbuatan yang
dilakukan, sebab ia tidak menyadari akibat dari perbuatan itu. Untuk mengetahui sikap batin seseorang yang melakukan tindak pidana tentu saja
kita tidak dapat memakai pendirian yang ekstrem bahwa hanya Tuhanlah yang tahu batin orang. Oleh karena itu, harus dipakai cara untuk
mengetahuinya dengan menggeserkan kesalahan dalam pengertian psikologis menjadi kesalahan yang normatif, yaitu dengan melihat dari segi
yuridis, artinya menurut ukuran yang biasanya dipakai di dalam masyarakat, dipakai ukuran dari luar untuk menetapkan ada tidaknya hubungan batin
antara pelaku dengan perbuatannya. Menurut Soedarto sebagaimana dikutip oleh Prof. Teguh, mengatakan secara ekstrem bahwa “kesalahan seorang
pelaku tidak mungkin dapat dicari di dalam kepala si pelaku sendiri, melainkan di dalam kepala orang lain”, yaitu mereka yang memberikan
penilaian adalah hakim pada waktu mengadili suatu perkara dengan mendasarkan pada apa yang didengar, dilihat, dan kemudian disimpulkan di
dalam persidangan”.
33
Menurut Jan Remmelink, keadaan tertentu yang menyertai adanya kesalahan tidak dapat dihindari oleh hukum pidana yang berkembang dalam
konteks budaya. Menganggap kesalahan merupakan perilaku menyimpang yang tidak dapat diterima dalam kehidupan masyarakat umum.
33 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, edisi revisi, Jakarta, hlm. 77-78.
16
“bagaimanapun juga, kita tidak rela membebankan derita kepada orang lain, sekedar karena orang itu melakukan tindak pidana kecuali jika kita yakin
bahwa ia memang dapat dipersalahkan karena tindakannya itu. Karena itu dapat juga diandaikan bahwa manusia dalam kondisi yang tidak terlalu
abnormal, sepanjang ia memang menginginkannya, muncul sebagai mahluk yang memiliki akal budi serta sanggup dan mampu menaati norma-norma
masuk akal yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai jaminan kehidupannya. Karena itu, kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh
masyarakat – yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu – terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang
sebenarnya dapat dihindarinya. Bereaksi secara tidak positif berkehendak terhadap tuntutan perintah masyarakat hukum dapat dikembalikan pada
tedelnswerte Rechtsgesinnung pandangan tercela terhadap hukum, tiadanya rasa kebersamaan, atau ringkasnya, egoisme yang tidak dapat
diterima dalam kehidupan masyarakat. Kemungkinan dapat dihindari terjadinya perilaku menyimpang merupakan lapis pertama untuk
menetapkan kesalahan, suatu perbuatan harus memiliki sifat layak dipidana strafwaardugheid – dengan kata lain harus relevan dari sudut pandang
hukum pidana.”
34
2. Kemampuan bertanggungjawab