Culpa Kelalaian Sengaja dan Kelalaian

tidak dengan cara menempatkan unsur-unsur atau faktor-faktor delik di dalam atau justru di luar lingkaran pengaruh dolus, melainkan menempatkan sebagian unsur-unsur tersebut ke dalam lingkaran pengaruh dolus, sebagian lainnya di obyektivasi, dan untuk bagian lainnya mengaitkannya dengan persyaratan culpa.” 52 Pandangan diatas menggambarkan bahwa adanya perbarengan antara unsur kesengajan dan unsur kealpaan dalam suatu perbuatan pidana, dalam istilah hukum pidana dikenal dengan bahasa Belanda pro parte dolus pro parte culpa. Sebagaimana disampaikan juga oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi mengenai pro parte dolus pro parte culpa, bahwa suatu kejahatan tersebut sebagian unsurnya diliputi kesengajaan, tetapi unsur lainnya mungkin diliputi oleh kesengajaan, tetapi mungkin pula diliputi oleh kealpaan. 53 Pro parte dolus pro parte culpa dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 480 KUHP tentang Penadahan yang menggunakan frasa “mengetahui, atau setidak-tidaknya patut menduganya bahwa” yang jelas mencakup baik dolus sebagai kesadaran akan kemungkinan maupun culpa. Yang mana cara memperoleh dan seterusnya harus dilakukan dengan sengaja, sedangkan pelaku sendiri tidak perlu mengetahui asal-usul barang tersebut yang diperoleh dari kejahatan. 54

b. Culpa Kelalaian

Suatu peristiwa pidana tidak selalu terjadi karena kesengajaan opzet, akan tetapi dapat saja disebabkan karena kelalaian culpa seseorang, atau karena kurangnya kehati-hatian atau karena kesalahan. Mengenai kurang kehati-hatian atau kurang berhati-hati, Sofjan Sastrawidjaja membagi menjadi 52 Jan Remmelink, Op.Cit., hlm. 165. 53 E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 195. 54 Jan Remmelink, Loc.Cit., 25 dua yang sebagaimana ia kutip dari pendapat Vos, yang mengemukakan dua macam kurang berhati-hati onvoorzichtigheid, yaitu: 55 1. Pembuat tidak berkelakukan secara hati-hati menurut semestinya, dengan contoh bahwa si A seorang tukang cat yang membersihkan dan mencuci pakaian kerjanya di sebelah tempat perpian di dapur. 2. Pembuat memang berkelakukan sangat hati-hati, tetapi perbuatannya pada pokoknya tidak boleh dijalankan. Sebagai contoh si A pada perayaan tahun baru di rumahnya dengan sangat hati-hati menyalakan mercon, tetapi sebetulnya ia tidak boleh menyalakan mercon itu karena rumahnya terletak di sebelah pompa bensin. Sehingga di dalam praktek unsur kurang berhati-hati dalam pengertian menurut kedua point di atas, dapat dilihat sebagai suatu hubungan erat dengan kealpaan culpos, oleh karena itu sudah selayaknya jaksa harus menuduhkan dan membuktikan tentang perbuatan si pelaku yang kurang berhati-hati tersebut. Definisi culpa atau kelalaian tidak dapat ditemukan dalam undang- undang maupun KUHP, hanya dalam Memori Penjelasan menjelaskan, bahwa kelalaian culpa terletak antara kesengajaan dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa merupakan sifat yang dipandang lebih ringan dibanding dengan kesengajaan. Oleh karena itu Hazewinkel-Suringa sebagaimana dikutip oleh Prof. Andi Hamzah, mengatakan : “bahwa delik culpa itu merupakan delik semu quasidelict sehingga diadakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan kata Hazewinkel-Suringa dikenal pula di negara-negara Anglo-Saxon yang disebut per infortuninum the killing occured 55 Sofjan Sastrawidjaja, Op.Cit., hlm. 211. 26 accidenly. Dalam Memori Jawaban Pemerintah MvA mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja berarti mempergunakan salah kemampuannya sedangkan siapa karena salahnya culpa melakukan kejahatan berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang ia harus mempergunakan”. 56 Berdasarkan uraian diatas, diartikan bahwa perbuatan pidana atas dasar karena kelalaian seseorang maka dapat mempengaruhi berat atau ringannya suatu penjatuhan pidana. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 231 KUHP ayat 1 yang dilakukan dengan sengaja penjatuhan pidananya lebih berat dibandingkan dengan penjatuhan pidana karena orang tersebut lalai, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 231 KUHP ayat 4 yang menggunakan istilah kelalaian, penjatuhan pidananya lebih ringan.

4. Alasan Pemaaf