Latar Belakang Mempelajari Pengaruh Pemanasan Terhadap Mutu Keju Olahan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keju olahan adalah produk keju yang dibuat dengan mencampurkan keju natural muda dan tua yang dilelehkan, dipasteurisasi, dan ditambahkan bahan pengemulsi yang sesuai. Keju olahan, yang bermula sebagai hasil sampingan untuk menyelamatkan sisa keju dari operasi pengemasan keju natural, sekarang telah menjadi industri yang utama. Keju Cheddar yang diproduksi di Amerika diolah menjadi keju olahan hingga mencapai angka 50 persen Zahren dan Nusbaum 2000. Industri keju olahan telah berperan penting dalam pengembangan konsumsi keju di dunia. Di Indonesia, sekarang ada tiga perusahaan yang pemproduksi keju olahan, yaitu PT Kraft Ultrajaya Indonesia, PT Dairygold Indonesia, dan PT Diamond Cold Storage. Walaupun bahan baku yang digunakannya adalah keju impor, namun kehadirannya telah dapat memperkenalkan penggunaan keju yang lebih sesuai dengan selera Indonesia. Berbeda dengan keju natural yang terbatas penanganannya, keju olahan lebih banyak mempunyai fleksibilitas penanganan. Dalam pengolahannya, keju olahan menggunakan proses pemanasan dan pencampuran yang dilakukan untuk menghasilkan produk akhir yang stabil, homogen, dan tahan lama. Dengan melakukan seleksi terhadap keju natural, bahan pengemulsi, dan faktor-faktor pengolahannya, yaitu pemanasan dan pencampuran, maka keju olahan dapat dibuat dengan berbagai macam tekstur sesuai penggunaannya. Proses termal atau proses pengolahan yang menggunakan panas merupakan salah satu cara yang dipakai untuk mengawetkan bahan pangan. Tujuan utama pemanasan bahan pangan adalah untuk menginaktifkan mikroorganisma patogen atau pembusuk. Selain itu, pamanasan berguna untuk menginaktifkan enzim-enzim polifenol oksidase, lipase, protease yang terdapat di dalam bahan pangan. Polifenol oksidase aktif pada proses pencoklatan buah, sedangkan lipase dan protease dapat menyebabkan perubahan flavor Lewis dan Heppel 2000. Proses pemanasan suatu bahan pangan juga dapat menyebabkan perubahan fisik atau reaksi kimia seperti gelatinisasi pati, denaturasi protein, ataupun reaksi pencoklatan. Perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi karakter sensorik pangan seperti warna, flavor, dan tekstur baik menuju hal yang positif atau negatif Lewis dan Heppel 2000. Pada keju olahan, selain untuk keperluan mikrobiologis, ada tiga hal yang menjadi tujuan pemanasannya, yaitu untuk proses kimia-fisik dalam hal pelelehan yang homogen, untuk terjadinya fenomena “creaming” yang menentukan struktur yang dikehendaki, dan untuk memperpanjang umur simpan Berger et al. 2002. Untuk mencapai kecukupan panas dalam memenuhi segi keamanan pangan, maka pemanasan minimal pada keju olahan yang diwajibkan adalah pada suhu 150 o F 65,5 o C selama tidak kurang dari 30 detik FDA, 21 CFR, Part 133, sedangkan menurut International Codex Alimentarius Standards pemanasan keju harus dilakukan pada suhu 70 o C selama 30 detik atau ekivalen dari kombinasi waktu dan suhu lainnya. Selain untuk pemenuhan dari segi keamanan pangan, pemanasan keju olahan dalam prakteknya juga diperlukan untuk pemenuhan kecukupan pemanasan untuk mendapatkan mutu yang dikehendaki, sehingga suhu yang digunakan sering melebihi kecukupan panas dari segi keamanan pangan. Untuk itu perlu informasi kuantitatif mengenai kecukupan panas yang berhubungan dengan tingkat keamanan dan mutu keju olahan. Dalam hal ini, mutu keju olahan yang akan diamati adalah kekerasan, daya meleleh, warna, dan pH

B. Tujuan