D. Parameter Mutu Keju Olahan
Keju terutama dipakai karena nilai organoleptik keju dalam penggunaannya dengan bahan pangan lain. Namun demikian, keju juga dapat memberikan nilai
fungsional dan nilai gizi. Spesifikasi mutu dari USDA United States Department of Agriculture menetapkan bahwa rata-rata umur keju yang digunakan dalam campuran
harus sedemikian rupa hingga dapat menghasilkan flavor, tubuh body, tekstur, warna, dan penampakan yang diinginkan pada produk akhir. Selain itu, USDA juga
mensyaratkan kadar air, kadar lemak, kadar garam, dan pH untuk keju olahan sesuai dengan kategorinya Zehren Nusbaum 2000.
Pada penggunaan tertentu, keju olahan juga mempunyai parameter mutu dari kemampuannya meleleh. Uji daya leleh dapat dilakukan dengan uji pelelehan
Schreiber Kosikowski 1977, diacu dalam Zehren Nusbaum 2000. Pada uji Schreiber, keju dipotong berbentuk silinder dengan diameter 39,5 mm dan ketebalan
3 16
inch Keju tersebut diletakkan dalam cawan petri berukuran 15 x 100 mm dengan penutupnya dan dipanaskan dalam oven bersuhu 232
o
C selama 5 menit. Pelelehan keju yang dihasilkan diukur dengan menggunakan lembaran skor yang ada 11
lingkaran di dalamnya. Diamater masing-masing lingkaran berjarak 3,25 mm mulai dari diameter sampel. Semakin melebar pelelehannya, maka semakin besar skor
pelelehan yang dihasilkan. Salah satu parameter yang utama bagi keju adalah tekstur. Penampakan
menyeluruh dan rasa di mulut mouthfeel pada keju lebih dihargai dibanding flavornya Lawrence et al. 1987. Berbagai istilah yang berbeda digunakan untuk
mendeskripsikan tekstur keju.. Misalnya melar stretchy atau “seperti benang” stringy untuk keju mozarella, “mudah hancur” crumbly untuk keju parmesan.
Salah satu istilah sensorik yang digunakan Hort dan Grys 2001 adalah kekerasan firmness yaitu yang menunjukkan gaya yang dibutuhkan untuk menekan keju dengan
menggunakan jari tangan. Menurut Carpenter et al. 2000, ada tiga karakteristik sensorik yang utama
dalam pangan yaitu penampakan, tekstur, dan flavor. Karakteristik penampakan dinilai dengan menggunakan indra penglihatan saja, sedangkan untuk penilaian
karakteristik tekstur dan flavor melibatkan beberapa indra sensorik yang berbeda.
Untuk penerimaan konsumen, flavor adalah atribut yang paling penting diikuti oleh tekstur dan penampakan Moskowitz Krieger 1995
Tekstur adalah atribut suatu substansi yang dihasilkan dari kombinasi keadaan fisik dan persepsi oleh indra peraba termasuk kinesthesia dan mouthfeel, penglihatan
dan pendengaran. Keadaan fisik dapat berupa ukuran, bentuk, jumlah, kondisi alami dan konformasi dari elemen-elemen konstituen pembentuk struktur.
Peranan tekstur dalam menentukan kualitas produk tergantung jenis pangan yang dinilai. Bourne 1982 mengklasifikasi karakteristik tekstur menjadi tiga
kelompok sebagai berikut : 1. Kritis : yaitu bagi pangan yang memiliki tekstur sebagai karakteristik mutu
yang dominan; misalnya daging, keripik kentang, seledri. 2. Penting : yaitu bagi pangan yang memiliki kontribusi tekstur yang signifikan,
tapi tidak dominan, bila dibandingkan dengan flavor dan penampakan ; misalnya buah-buahan, roti, dan gula permen.
3. Minor : yaitu bagi pangan yang memiliki kontribusi tekstur yang tidak berarti terhadap mutu keseluruhan : misalnya minuman dan sup yang encer.
Untuk mempermudah penilaian tekstur pangan, Szczesniak 1963 membuat skema klasifikasi tekstur. Tiga kategori dibuat untuk mengklasifikasi karakteristik
tekstur, yaitu : 1. Karaketristik mekanik, yang berhubungan dengan reaksi pangan terhadap
tekanan stress yang terdiri atas parameter primer kekerasan, cohesiveness, viskositas, elastisitas, kelekatan adhesiveness, dan
parameter sekunder kerapuhan brittleness, kekenyalan chewiness, gummyness.
2. Karakteristik geometrik, yang berhubungan dengan ukuran, bentuk, dan arah partikel dalam pangan – misalnya, bersifat bubuk powdery, seperti
pasir gritty, menggumpal, mengeras flaky, berserat, berbentuk sel, berisi udara, berbentuk kristal.
3. Karakteristik lain, yang berhubungan dengan persepsi terhadap kandungan air dan lemak dalam pangan – misalnya kering, basah, berminyak.
Karena tekstur melibatkan beberapa atribut, maka wajar jika satu instrumen alat ukur tidak dapat mengukur semua atribut dari berbagai macam pangan atau
bahkan hanya satu jenis pangan saja. Teknik pengukuran tekstur dapat dilakukan dengan cara subyektif atau menggunakan instrumen. Pengukuran secara subyektif
atau evaluasi sensorik dapat dilaksanakan oleh panel tes terlatih, sedangkan dengan menggunakan instrumen dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu empirik, imitatif, dan
fundamental. Scott-Blair 1958. Tidak satupun dari metode tersebut yang dapat secara tepat mengukur tekstur pangan dengan baik.
Penetrometer adalah salah satu contoh alat yang digunakan dalam pengukuran tekstur secara empirik. Tes penetrometer adalah semacam tes kompresi. Dalam tes
ini, sebuah beban berbentuk kerucut dijatuhkan dari ketinggian tertentu ke atas produk. Kedalaman penetrasi kerucut tersebut diukur. Alat ini merupakan instrumen yang
relatif sederhana dan murah yang telah digunakan untuk mengukur daya olesan spreadability dari mentega Walstra 1980.
BAHAN DAN METODE
A. Tempat dan Waktu Penelitian